Catatan tentang Waktu Shalat Shubuh


Membahas waktu kapan waktu Shubuh dimulai, maka itu tak akan lepas dari nash-nash puasa. Yaitu, kapan seseorang yang akan berpuasa harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan jima’). Di sini saya akan mencoba menuliskan sebuah catatan sederhana nan ringkas tentang tema kapan waktu Shubuh dimulai.
Allah ta’ala berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah (w. 310) berkata :
وفي قوله تعالى ذكره { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ } أوضح الدلالة على خطأ قول من قال حلال الأكل والشرب لمن أراد الصوم إلى طلوع الشمس لأن الخيط الأبيض من الفجر يتبين عند ابتداء طلوع أوائل الفجر وقد جعل الله تعالى ذكره ذلك حدا لمن لزمه الصوم في الوقت الذي أباح إليه الأكل والشرب والمباشرة
“Dalam firman Allah ta’ala : ‘Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam….’ (QS. Al-Baqarah : 187); merupakan petunjuk yang paling jelas tentang kekeliruan pendapat yang mengatakan dihalalkannya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa hingga terbitnya matahari. Karena, benang putih dari waktu fajar menjelaskan permulaan terbitnya permulaan fajar. Allah ta’ala telah menjadikan hal itu sebagai batas waktu diperbolehkannya makan, minum, dan jima’ bagi orang yang hendak berpuasa” [Tafsir Ath-Thabariy, 5/530-531].
وأما قوله {من الفجر} فإنه تعالى ذكره يعني حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود الذي هو من الفجر وليس ذلك هو جميع الفجر ولكنه إذا تبين لكم أيها المؤمنون من الفجر ذلك الخيط الأبيض الذي يكون من تحت الليل الذي فوقه سواد الليل فمن حينئذ فصوموا ثم أتموا صيامكم من ذلك إلى الليل
“Adapun firman-Nya : ‘minal-fajr; yaitu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar. Hal itu bukan berarti keseluruhan waktu fajar, namun maksudnya adalah jika terang bagi kalian – wahai orang-orang yang beriman – sebagian waktu fajar, yaitu (nampaknya) benang putih yang berada di bawah (kegelapan) malam. Maka mulai waktu itu, berpuasalah, kemudian sempurnakanlah puasa kalian itu hingga waktu malam” [idem, 3/530].
Al-Baghawiy rahimahullah (w. 516 H) berkata :
يعني بياض النهار من سواد الليل سُمِّيا خيطين لأن كل واحد منهما يبدو في الابتداء ممتدا كالخيط
“Yaitu putihnya waktu siang dari kegelapan malam. Dinamakan dua benang karena dua hal tersebut nampak di permulaan secara memanjang (horizontal) seperti benang” [Ma’aalimut-Tanziil, 1/208].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْف حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِق، قَالَ لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Hushain, dari Asy-Sya’biy, dari ‘Adiy bin Haatim radliyallaahu ‘anhu : Ketika turun ayat ‘hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar’; ‘Adiy berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah meletakkan di bawah bantalku dua helai tali : tali putih dan tali hitam, agar aku mengetahui malam telah berganti siang”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, sedangkan (benang) putih adalah siang” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1090].
Ayat dan hadits di atas menjelaskan bahwa fajar adalah batas akhir diperbolehkannya seorang yang hendak berpuasa untuk makan dan minum (serta jima’), karena telah masuk waktu Shubuh, sebagaimana tertera dalam riwayat :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ أَبِي أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: " أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Ismaa’iil, dari Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari (1) Naafi’, dari Ibnu ‘Umar – dan (2) dari Al-Qaasim bin Muhammad dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Bilaal adzan di waktu malam, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan (Shubuh) kecuali setelah terbitnya fajar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1918-1919].
Fajar yang dimaksud adalah fajar shaadiq, bukan fajar kaadzib, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam riwayat berikut :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا أُسَيْدُ بْنُ عَاصِمٍ، ثنا الْحُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يَطْلُعُ بِلَيْلٍ يَحِلُّ فِيهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَلا يَحِلُّ فِيهِ الصَّلاةُ، وَفَجْرٌ يَحِلُّ فِيهِ الصَّلاةُ وَيَحْرُمُ فِيهِ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ، وَهُوَ الَّذِي يَنْتَشِرُ عَلَى رُءُوسِ الْجِبَالِ "
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Usaid bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Hafsh, dari Sufyaan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Fajar itu ada dua macam :  Pertama, fajar yang muncul di waktu malam yang dihalalkan padanya makan dan minum, namun tidak dihalalkan mengerjakan shalat (shubuh). Kedua, fajar yang dihalalkan padanya mengerjakan shalat (Shubuh), namun diharamkan padanya makan dan minum. Fajar itulah yang menyebar di puncak-puncak gunung” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 1/377; shahih].[1]
Dijelaskan lebih lanjut dalam beberapa riwayat sebagai berikut :
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ، أَوَ قَالَ: نِدَاءُ بِلَالٍ مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ، أَوَ قَالَ: يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَيُوقِظَ نَائِمَكُمْ، وَقَالَ: لَيْسَ أَنْ يَقُولَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَصَوَّبَ يَدَهُ وَرَفَعَهَا، حَتَّى يَقُولَ هَكَذَا وَفَرَّجَ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ "،
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Sulaimaan At-Taimiy, dari Abu ‘Utsmaan, dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah adzan Bilaal menghalangi salah seorang di antara kalian – atau beliau bersabda : seruan Bilaaldari sahurnya. Karena ia adzan – atau beliau bersabda : menyerudi waktu malam untuk mengingatkan orang yang sedang shalat malam (bahwa waktu shubuh telah dekat) dan membangunkan orang-orang yang masih tidur di antara kalian. Janganlah engkau hiraukan orang yang mengatakan demikian dan demikian”. (Perawi berkata) : Beliau mengatakannya sambil membenahi letak tangannya dan kemudian mengangkatnya (ke atas). Hingga  beliau bersabda : “Namun, yang benar adalah demikian”. (Perawi berkata) : Lalu beliau merenggangkan celah di antara kedua jarinya.
وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَعْنِي الْأَحْمَرَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ، غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ: " إِنَّ الْفَجْرَ لَيْسَ الَّذِي يَقُولُ هَكَذَا وَجَمَعَ أَصَابِعَهُ، ثُمَّ نَكَسَهَا إِلَى الْأَرْضِ، وَلَكِنْ الَّذِي يَقُولُ هَكَذَا، وَوَضَعَ الْمُسَبِّحَةَ عَلَى الْمُسَبِّحَةِ وَمَدَّ يَدَيْهِ
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid – yaitu Al-Ahmar - , dari Sulaimaan At-Taimiy dengan sanad ini, akan tetapi beliau bersabda : “Sesungguhnya fajar itu bukanlah seperti yang dikatakan orang begini dan begitu”. (Perawi berkata) : Beliau mengumpulkan jari-jarinya, kemudian membalikkannya ke arah bumi. Beliau melanjutkan : “Akan tetapi fajar itu adalah seperti yang dikatakan orang demikian”. Beliau meletakkan jari telunjuknya di atas jari telunjuk yang lain lalu membentangkan kedua tangannya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1093].
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَوَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ، وَلَا هَذَا الْبَيَاضُ لِعَمُودِ، الصُّبْحِ حَتَّى يَسْتَطِيرَ هَكَذَا"
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Sawaadah, dari ayahnya, dari Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian terkecoh oleh adzannya Bilaal. Jangan pula terkecoh oleh putihnya (ufuk) yang mencuat vertikal. Waktu Shubuh datang hingga menyebar seperti ini”.
Dalam riwayat lain :
حَدَّثَنِي أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَوَادَةَ الْقُشَيْرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَغُرَّنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ، وَلَا بَيَاضُ الْأُفُقِ الْمُسْتَطِيلُ هَكَذَا، حَتَّى يَسْتَطِيرَ هَكَذَا "
Telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy : Telah menceritakan kepada kami Hammaad – yaitu Ibnu Zaid - : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Sawaadah Al-Qusyairiy, dari ayahnya, dari Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah sahur kalian terkecoh oleh adzannya Bilaal. Jangan pula terkecoh pada putihnya ufuk yang memanjang, hingga menyebar seperti ini [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1094].
Dari empat riwayat yang yang menjelaskan perbedaan dan ciri fajar shaadiq dan kaadzib diperoleh dua point sebagai berikut :
a)        Fajar kaadzib adalah cahaya putih (tipis) yang mencuat vertikal di ufuk. Oleh karena itu, dalam riwayat ia disebut seperti ekor serigala (ذَنَبُ السَّرْحَانِ). Waktu ini masih diperbolehkan makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, karena belum masuk waktu Shubuh.
Al-Azhariy rahimahullah berkata :
وهما فجران فالأول منهما مستطيل في السماء  يشبَّه بذنب السرحان وهو الذئب لأنه مُستدق صاعد غير معترض في الأفق
“Keduanya adalah dua macam fajar. Fajar pertama memanjang (vertikal) di langit yang menyerupai ekor serigala, karena tipis, vertikal naik ke atas, dan tidak horizontal” [Az-Zaahir fii Ghariibi Alfaadhisy-Syaafi’iy – sebagaimana disebutkan Al-Muzanniy dalam Al-Mukhtashar hal. 75].
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata :
شُبِّه بذنب السرحان لأنه مُسْتَدِق صاعد في غير اعتراض
“Ia (fajar kaadzib) diserupakan dengan ekor serigala karena tipis, vertikal naik ke atas, dan tidak horizontal” [Adabul-Kaatib, 1/72 – Al-Maktabah Asy-Syaamilah].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأما الفجر الأول فهو البياض المُسْتَدِقُّ صُعُداً من غير اعتراض
“Adapun fajar yang pertama (kaadzib), ia berwarna putih tipis naik ke atas dan tidak horizontal” [Al-Mughniy, 2/29].
Al-Maawardiy rahimahullah berkata :
وهو فجران فالأول أزرق يبدو مثل العمود طولاً في السماء له شعاع ثم يهمد ضوؤه ثم يبدو بياض الثاني بعده عرضاً منتشراً في الأفق
“Ia adalah dua fajar. Fajar pertama berwarna biru yang muncul seperti tiang yang memanjang memancar di langit. Kemudian warnanya meredup, lalu mulai muncul cahaya putih kedua setelahnya, melebar horizontal dan menyebar di ufuq” [Al-Haawiy Al-Kabiir, 2/59].
b)        Fajar shaadiq adalah cahaya putih yang telah menyebar horizontal di ufuk. Pada waktu ini sudah dilarang untuk makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa karena telah masuk waktu Shubuh.
Ada riwayat lain tentang ciri fajar shaadiq selain dari yang telah disebutkan di atas, yaitu :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ طَلْقٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Mulaazim bin ‘Amru, dari ‘Abdullah bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepadaku Qais bin Thalq, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah terganggu oleh sinar yang mencuat ke atas. Makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian warna merah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2348].
Hadits ini hasan, walaupun sebagian ulama ada yang melemahkannya[2].
Abu Daawud rahimahullah berkomentar tentang hadits ini :
هَذَا مِمَّا تَفَرَّدَ بِهِ أَهْلُ الْيَمَامَةِ
“Ini termasuk pendapat dimana penduduk Yamaamah menyendiri dengannya” [selesai].
Akan tetapi, At-Tirmidziy rahimahullah berkata lain :
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ عَلَى الصَّائِمِ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ حَتَّى يَكُونَ الْفَجْرُ الْأَحْمَرُ الْمُعْتَرِضُ. وَبِهِ يَقُولُ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Inilah yang diamalkan oleh para ulama, bahwasannya tidak diharamkan bagi orang yang hendak berpuasa untuk makan dan minum hingga muncul fajar yang berwarna merah yang melintang horizontal. Demikianlah yang dikatakan oleh jumhur ulama” [Sunan At-Tirmidziy, 2/79].
Jadi, berdasarkan perkataan At-Tirmidziy di atas, pendapat ini bukanlah pendapat yang syaadz.[3]
Penyifatan warna merah horizontal pada hadits di atas tidaklah bertentangan dengan penyebutan warna putih dalam nash-nash yang disebutkan sebelumnya.
Abu ‘Awaanah rahimahullah berkata :
الفجر هو المستطير الذي تخالطه الحمرة
“Fajar itu cahaya (putih) yang menyebar bercampur warna merah” [Al-Mustakhraj, 1/309].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :
ومعنى الأحمر ههنا أن يستبطن البياض المعترض أوائلُ الحمرة وذلك أن البياض إذا تتام طلوعه ظهرت أوائل الحمرة والعرب تشبه الصبح بالبلق في الخيل لما فيه من بياض وحمرة
“Dan makna ‘merah’ di sini adalah mengandung warna putih yang melintang mengawali warna merah. Warna putih, jika telah sempurna kemunculannya, maka akan nampak awal kemunculan warna merah. Orang ‘Arab menyamakan waktu Shubuh dengan belang yang ada di kuda karena padanya terdapat warna putih dan merah” [Ma’aalimus-Sunan yang dicetak bersama Sunan Abi Daawud, 2/527].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
والآخر هو البياض الذي يأخذ في عرض السماء في أفق المشرق في موضع طلوع الشمس في كل زمان ينتقل بانتقالها وهو مقدمة ضوئها ويزداد بياضه وربما كان فيه توريد بحمرة بديعة وبتبينه يدخل وقت الصوم ووقت الأذان لصلاة الصبح ووقت صلاتها فأما دخول وقت الصلاة بتبينه فلا خلاف فيه من أحد من الأمة
“Adapun fajar yang kedua (fajar shaadiq) adalah warna putih yang menyebar di langit di ufuk sebelah timur, tempat terbitnya matahari sepanjang jaman. Fajar itu akan bergeser bersamaan dengan bergesernya matahari, dan ia merupakan permulaan sinarnya sehingga menambah warna putihnya. Seringkali warna putih itu tercampur warna merah yang indah. Dengan semakin nampaknya sinar tersebut, masuklah waktu berpuasa, waktu adzan untuk shalat Shubuh, dan waktu shalatnya. Adapun masuknya waktu shalat dengan nampaknya cahaya tersebut, maka tidak ada perselisihan padanya dari seorang ulama pun” [Al-Muhallaa, 3/192].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
أن وقت الصبح يدخل بطلوع الفجر الثاني إجماعاً وقد دلت عليه أخبار المواقيت وهو البياض المستطير المنتشر في الأفق ويسمى الفجر الصادق لأنه صدقك عن الصبح وبينه لك والصبح ما جمع بياضاً وحمرة ومنه سمي الرجل الذي في لونه بياض وحمرة أصبح
“Bahwasannya waktu Shubuh masuk dengan terbitnya fajar yang kedua (= fajar shaadiq) secara ijmaa’. Hal itu ditunjukkan oleh hadits-hadits tentang waktu-waktu shalat, yaitu putih, memancar, dan menyebar di ufuk. Dinamakan fajar shaadiq karena ia membenarkanmu dan menjelaskanmu dari waktu Shubuh. Dan waktu Shubuh itu apa-apa yang mengumpulkan warna putih dan merah; dan darinya seseorang yang mempunyai kulit putih dan merah dinamakan ashbah” [Al-Mughniy, 2/29].
Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata :
الفجر ضوء الصباح وهو حمرة الشمس في سواد الليل ..... الجوهري الفَجْر في آخر الليل كالشفق في أوله
“Fajar adalah cahaya Shubuh, yaitu merahnya (cahaya) matahari di kegelapan malam. …..Al-Jauhariy berkata : ‘Fajar di akhir waktu malam adalah seperti syafaq (sinar merah) di waktu awalnya” [Lisaanul-‘Arab, 5/45].
Sampai di sini ada kejelasan bagi kita bahwa yang dimaksud fajar shaadiq sebagai penanda waktu Shubuh tiba itu adalah cahaya putih horizontal yang panjang, menyebar, dan tercampur warna merah (kemerah-merahan) di ufuk.[4]
Selanjutnya,…. apakah dipersyaratkan bahwa cahaya fajar yang putih kemerahan itu menyebar hingga menerangi jalan-jalan dan rumah-rumah sebagaimana dikatakan sebagian ulama ?
Dhahirnya tidakwallaahu a’lam - berdasarkan riwayat :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ، قَالَتْ: كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya ‘Aaisyah telah mengkhabarkannya, ia berkata : “Dulu kami para wanita mukminah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian berbulu. Setelah shalat usai, kami lalu pulang ke rumah-rumah kami dalam keadaan tidak mengenal (wajah) mereka karena masih gelap” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 578].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا بَدْرُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مُوسَى، عَنْ أَبِي مُوسَى، أَنَّ سَائِلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا حَتَّى أَمَرَ بِلَالًا، فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ فَصَلَّى حِينَ كَانَ الرَّجُلُ لَا يَعْرِفُ وَجْهَ صَاحِبِهِ، أَوْ أَنَّ الرَّجُلَ لَا يَعْرِفُ مَنْ إِلَى جَنْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Badr bin ‘Utsmaan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Muusaa, dari Abu Muusaa : Bahwasannya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sedikitpun dijawab, hingga beliau memerintahkan Bilaal (untuk iqamat). Lalu iqamat shalat Shubuh ditegakkan ketika fajar telah terbit, dan kemudian beliau shalat dimana waktu itu seseorang tidak mengetahui wajah rekannya yang lainnya – atau – seseorang tidak mengetahui siapa yang ada di sampingnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 395; shahih].
Lantas, apakah adzan Shubuh yang dikumandangkan oleh kaum muslimin di beberapa negeri Islam terlalu cepat ?
Berikut perkataan dan pengalaman dari para ahli ilmu di negeri-negeri mereka berkaitan dengan permasalahan ini :
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menuturkan fenomena adzan di kotan ‘Ammaan, Yordania :
وفيه تنبيه هام إلى وجوب أداء الصلاة بعد طلوع الفجر الصادق وهذا ما أخل به المؤذنون في كثير من العواصم منها عمَّان فإن الأذان الموحد فيها يرفع قبل الفجر بنحو نصف ساعة بناء على التوقيت الفلكي وهو خطأ ثابت بالمشاهدة وكذلك في كثير من البلاد الأخرى كدمشق والجزائر والمغرب والكويت والمدينة والطائف والله المستعان
“Padanya terdapat peringatan yang penting tentang wajibnya menegakkan shalat (Shubuh) setelah terbitnya fajar shaadiq. Hal inilah yang diremehkan oleh para muadzdzin di kebanyakan tempat, di antaranya adalah ‘Ammaan. Sesungguhnya adzan berkumandang di kota itu kira-kira 30 menit sebelum fajar (shaadiq), yang didasarkan oleh jadwal waktu falakiy. Hal itu adalah satu kekeliruan yang nyata berdasarkan observasi. Begitu juga yang terjadi di kebanyakan negeri yang lain, seperti damaskus, Aljazaair, Maroko, Kuwait, Madiinah, dan yang lainnya. Wallaahul-Musta’aan” [Silsilah Ash-Shahiihah, 2/308-309].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
والذي نراه أن التقويم الذي بين أيدي الناس الآن فيه تقديم خمس دقائق في الفجر خاصة يعني لو أكلت وهو يؤذن على التقويم فلا حرج إلا إذا كان المؤذن يحتاط ويتأخر فبعض المؤذنين جزاهم الله خيرا يحتاطون ولا يؤذنون إلا بعد خمس دقائق من التوقيت الموجود الآن
“Yang kami lihat bahwasannya jadwal yang beredar di masyarakat sekarang ini terdapat mendahului sekitar 5 menit dari waktu fajar. Khususnya, yaitu seandainya engkau makan sahur sedangkan muadzdzin mengumandangkan adzan berdasarkan jadwal tersebut, maka tidak mengapa. Kecuali jika muadzdzin berhati-hati dengan mengakhirkan/melambatkannya (dari jadwal yang ada). Dan sebagian muadzdzin – semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan – telah berhati-hati, dimana mereka tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah lewat 5 menit dari jadwal yang ada sekarang” [Majmu’ Al-Fataawaa, 19/302].
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah berkata :
وثانياً بالمتابعة وُجد أن في التوقيت الذي في التقويم وبين ظهور الفجر الفعلي مقدار عشرين دقيقة وقد تابعت ذلك أنا بنفسي قبل مجيء الكهرباء وكنت أنام على سطح بيتي الذي في صامطة وأراقب الفجر فلا يتضح إلا بعد حوالي عشرين دقيقة
“Yang kedua, berdasarkan pengamatan didapatkan bahwasannya waktu yang tertera dalam jadwal dengan kemunculan fajar yang nyata di lapangan ada perbedaan sekitar 20 menit. Sungguh, aku telah mengamatinya sendiri sebelum adanya listrik, yang saat itu aku tidur di teras rumahku di Saamithah. Aku mengamati fajar yang ternyata ia tidak jelas nampak kecuali setelah lewat 20 menit (dari jadwal)….” [dari ta’liq beliau atas kitab Subulus-Salam yang masih berupa tulisan tangan – melalui perantaraan kitab Aushaaful-Fajrain].
Bagaimana dengan di tempat kita (Indonesia) ?
Objektifnya, silakan dijawab masing-masing dengan melakukan pengamatan langsung atau bertanya kepada orang yang berpengalaman tentangnya, berdasarkan ciri-ciri fajar shaadiq yang telah disebutkan di atas.
Menurut cerdik pandai yang telah meluangkan waktunya melakukan pengamatan yang pernah saya dengar/baca, fajar shaadiq muncul kira-kira setelah 10-20 menit dari jadwal. Tapi itu tidak bisa diglobalkan, karena tergantung letak dan topografi daerah.
Seandainya benar bahwa jadwal waktu Shubuh sekarang ini terlalu cepat 10-20 menit, lantas bagaimana sikap kita ? Apakah tetap ikut shalat berjama’ah di masjid atau tidak ?
Seandainya iqamat baru ditegakkan setelah 10-20 menit, niscaya itu ‘tidak masalah’ sebab shalat Shubuhnya sendiri otomatis dilakukan setelah de facto masuk waktu Shubuh.
Seandainya tidak seperti itu bagaimana ?
Ini menimbulkan polemik tersendiri, sebab masuknya waktu shalat termasuk syarat sahnya shalat; sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama, di antaranya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah :
شروط الصلاة تسعة : الإسلام، والعقل، والتمييز، ورفع الحدث، وإزالة النجاسة، وستر العورة، ودخول الوقت، واستقبال القبلة، والنية
“Syarat (sahnya) shalat ada 9 : Islam, berakal, tamyiiz, suci dari hadats, menghilangkan najis, menutupi aurat, telah masuk waktunya, menghadap kiblat, dan niat” [Syarh Syuruuthish-Shalaah li-Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab oleh Muhammad Aman Al-Jaamiy, hal. 4; dari buku format pdf yang dipublikasikan oleh www.ajurry.com].
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Menjadi polemik tersendiri khusunya bagi orang yang berpendapat bahwa shalat berjama’ah di masjid hukumnya wajib ‘ain (namun bukan termasuk syarat sahnya shalat).[5] Apakah mereka tetap berjama’ah dengan orang-orang di masjid ataukah tidak ?
Mungkin akan timbul pertanyaan terkait hal ini : “Jika masuknya waktu shalat termasuk bagian dari syarat sahnya shalat, bukankah ia harus didahulukan daripada kewajiban menghadiri shalat jama’ah yang statusnya bukan syarat sahnya shalat ?”.
Ringkas kata, Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah memberikan jawaban sebagai berikut (yaitu jawaban ketika ditanya Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy untuk kasus yang sama) :
أنت في هذة الحال تصلي ورائهم تطوع ثم تعود الي دارك فتصلي بأهلك فرضا 
“Dalam keadaan ini, engkau shalat di belakang mereka dengan niat shalat sunnah (tathawwu’), kemudian engkau pulang ke rumahmu, lalu shalat wajib bersama keluargamu” [Silsilatul-Hudaa wan-Nuur, no. 43 – atau bisa dibaca selengkapnya di : http://qiblati.com/dialog-syaikh-al-albani-dan-syaikh-abu-ishaq.html#detail-52-229].
Inilah catatan ringkas saya yang semoga ada manfaatnya bagi diri saya dan juga rekan-rekan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman – banyak mengambil faedah dari kitab : Aushaaful-Fajrain fil-Kitaab was-Sunnah oleh Abu ‘Abdirrahmaan Jalaal Ad-Daaruudiy – bisa diunduh di : http://www.alathar.net/home/ebook/index.php?op=shbo&boid=30; dengan beberapa tambahan].[6]


[1]        Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 3/514 no. 2994 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkara : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Athaa’, bahwasannya ia mendengar Ibnu ‘Abbaas berkata : “…..(al-atsar)…”.
Sanad riwayat ini hasan. Al-Hasan bin ‘Arafah seorang yang shaduuq. Adapun Rauh bin ‘Ubaadah, seorang yang tsiqah [lihat Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imam Ibni Jariir Ath-Thabariy no. 770 & 1167].
Riwayat ini juga dibawakan secara marfuu’ sebagaimana diriwayatkan juga Ibnu Khuzaimah no. 356 & 1927, Al-Haakim 1/191 & 1/425, Al-Baihaqiy 1/377 & 1/457 & 4/215, Ad-Daaruquthniy no. 2185, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 4/95-96; semuanya dari jalan Abu Ahmad Az-Zubairiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi riwayat marfuu’ ini ma’luul :
a.     Abu Ahmad Az-Zubairiy, nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Az-Zubair bin ‘Umar bin Dirham Al-Aslamiy Abu Ahmad Az-Zubairiy Al-Kuufiy. Bersamaan dengan ketsiqahan dan ketsabatannya, namun ia disifati sering keliru (yukhthi’) dalam hadits Ats-Tsauriy [At-Taqriib, hal. 861 no. 6055]. Dan di sini ia meriwayatkan darinya.
b.    Ad-Daaruquthniy setelah membawakan riwayat marfu’ berkata : “Tidak ada yang memarfu’kannya kecuali Abu Ahmad Az-Zubairiy, dari Ats-Tsauriy. Adapun Al-Firyaabiy dan yang lainnya dalam periwayatan dari Ats-Tsauriy memauqufkannya. Dan hal itu disepakati oleh ashhaab Ibnu Juraij yang lain dalam periwayatan darinya juga” [selesai].
Bahkan Ibnu Khuzaimah sampai berkata : “Tidak ada yang memarfu’kannya di dunia selain Abu Ahmad Az-Zubairiy” [Shahih Ibni Khuzaimah, 1/185].
Ada syaahid lain bagi riwayat marfuu’ ini sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 693 dan 2002 (dengan tambahan dari saya – Abul-Jauzaa’) :
a.     Jaabir bin ‘Abdillah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim 1/191 dan dari jalannya Al-Baihaqiy 1/377. Al-Haakim berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Haatim Ad-Daarawardiy di kota Marwi : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rauh Al-Madaainiy : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah memberitakan Ibnu Abi Dzi’b, dari Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…..(al-hadits)…..”.
Al-Haakim berkata : “Sanadnya shahih”. Penghukuman ini disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
Akan tetapi ‘Abdullah bin Rauh dalam periwayatannya dari Yaziid bin Haaruun diselisihi oleh Ahmad bin Yuunus (sebagaimana diriwayatkan oleh  Abu Daawud dalam Al-Maraasil no. 97), ‘Aliy bin Ja’d, ‘Aashim bin ‘Aliy (sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 1/377), Ibnu Wahb (sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 4/215), Muhammad bin Ismaa’iil Al-Hassaaniy, dan Ibnu Abi Fudaik  (sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 1053 & 2184) yang meriwayatkan dari Yaziid bin Haaruun, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan secara mursal.
Al-Baihaqiy menta’lil dengan mengatakan bahwa riwayat mursal ini lebih shahih.
b.    Tsaubaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 9157 – Jawaami’ul-Kalim), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari pamannya, dari Tsaubaan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا الَّذِي كَأَنَّهُ ذَنَبُ السَّرْحَانِ فَإِنَّهُ لَا يُحِلُّ شَيْئًا، وَلَا يُحَرِّمُهُ، وَلَكِنِ الْمُسْتَطِيلُ
“Fajar itu ada dua macam. Adapun fajar yang penampakannya seperti ekor serigala, maka itu bukan menjadi patokan halal dan haramnya (makan, minum, dan jima’). Akan tetapi (fajar yang menjadi patokan) adalah fajar yang memanjang horizontal”.
Riwayat ini perlu dicermati kembali.
Pertama, dhahir riwayat ini munqathi’, karena paman Ibnu Abi Dzi’b, yaitu Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, tidak mendengar riwayat dari Tsaubaan. Kedua, ada kemungkinan kekeliruan penyebutan Tsaubaan, dimana riwayat jama’ah dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Al-Haarits menyebutkan Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan. Bukan Tsaubaan.
c.     Mauquf ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, sebagaimana  diriwayatkan oleh As-Silafiy dalam At-Taasi’ minal-Masyaikhah Al-Baghdaadiyyah no. 25, Ad-Daaruquthniy no. 2183; dari jalan Abul-Fadhl Daawud bin Rusyaid : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari Al-Waliid bin Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Rabii’ah bin Bilaal, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “…….(atsar)…”.
Ad-Daaruquthniy berkata : “Sanadnya shahih”. Namun ini tidak benar, sebab dalam sanadnnya terdapat ‘an’anah Al-Waliid bin Muslim, sedangkan ia seorang mudallis.
Atsar mauquf tidaklah bisa menjadi penguat hadits marfu’.
Wallaahu a’lam.
[2]        Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/23, At-Tirmidziy no. 705, Ibnu Khuzaimah no. 1930, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-aatsaar 2/54, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 8257, dan yang lainnya; dari jalan Qais bin Thalq, dari ayahnya secara marfuu’.
Sebagian ada yang melemahkan hadits ini karena faktor Qais bin Thalq. Sebagian ada yang melemahkannya, sebagian ada yang menguatkannya. Telah ada tulisan di blog ini keterangan tentang Qais (baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/batalkah-wudlu-dengan-menyentuh.html).
[3]        Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah.
[4]        Seandainya ada orang yang menafikkan bahwa fajar shaadiq itu bukanlah fajar yang tercampuri warna merah, maka itu sama saja menafikkan hadits Thalq yang telah disebutkan di atas – seandainya ia menerima bahwa hadits Thalq itu shahih atau hasan. Dalam hadits sangat jelas disebutkan bahwa orang yang akan berpuasa boleh tetap makan dan minum hingga muncul fajar yang berwarna merah.
Oleh karenanya, saya pribadi masih belum bisa memahami esensi hujjah pihak yang menerima hadits Thalq, namun di sisi lain menafikkan keterangan warna ‘merah’ untuk fajar shaadiq.
Kecuali jika ia menganggap hadits Thalq adalah lemah, sehingga yang tetap akan ciri fajar shaadiq tidak disertai warna merah.
[5]        Lainnya halnya dengan orang yang berpendapat hukumnya sunnah muakkadah saja. Yang sunnah tentu tidak bisa mengalahkan yang wajib.
[6]        Saya sangat sedih melihat fenomena sebagian ikhwah yang menjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini sebagai satu asas untuk saling cela satu dengan yang lainnya……..

Comments

Irfan mengatakan...

Ustadz,

Sepertinya ada yang terbalik di bagian ini:


a) Fajar shaadiq adalah cahaya putih yang telah menyebar horizontal di ufuk. Waktu ini masih diperbolehkan makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, karena belum masuk waktu Shubuh.
b) Fajar kaadzib adalah cahaya putih (tipis) yang mencuat vertikal di ufuk. Oleh karena itu, dalam riwayat ia disebut seperti ekor serigala (ذَنَبُ السَّرْحَانِ). Pada waktu ini sudah dilarang untuk makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa karena telah masuk waktu Shubuh.

dcanang@yahoo.com mengatakan...

Ustadz , perkara seperti ini memang pernah menjadi polemik sebagian ikhwan kurang lebih setahun yang lalu , dan saat itu kita sama-sama sedih dengan adanya saling cela diantara mereka.

Dan alhamdulillah , perbedaan cara pandang dan penetapan ini tidak menimbulkan perpecahan namun justru hikmahnya memperluas ilmu dan pemahaman para ikhwah , insya Allah .
Ana pernah mendengar dan sangat kecewa dengan ungkapan seorang ustad senior yang meremehkan secara personal ustadz yang tidak sepaham dengannya .

Pertanyaannya ustadz , adakah korelasinya dengan ketaatan kepada ulil amri ( mentri agama ) dalam hal ini , sebagaimana ulil amri-lah yang menentukan waktu puasa dan berbukanya. ?

Anonim mengatakan...

a) Fajar shaadiq adalah cahaya putih yang telah menyebar horizontal di ufuk. Waktu ini masih diperbolehkan makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa, karena belum masuk waktu Shubuh.
b) Fajar kaadzib adalah cahaya putih (tipis) yang mencuat vertikal di ufuk. Oleh karena itu, dalam riwayat ia disebut seperti ekor serigala (ذَنَبُ السَّرْحَانِ). Pada waktu ini sudah dilarang untuk makan dan minum bagi orang yang hendak berpuasa karena telah masuk waktu Shubuh.

Apa nggak tebalik akh?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@mas irfan dan @mas anonim, antum benar,.... ada salah ketik. Insya Allah nanti ba'da 'Ashar akan saya perbaiki, soalnya browser saya tidak memungkinkan untuk melakukan pengeditan. Lagi di kampus nih.....

@mas danang,.... yang menentukan waktu puasa, waktu shalat, dan yang lainnya adalah Allah ta'ala, karena ini merupakan syari'at-Nya. Adapun jika ada perbedaan pendapat yang terkait dengan kemaslahatan umat, maka itu hendaknya dibicarakan dengan penguasa dengan baik-baik. Semoga Allah memberikan kelapangan dann petunjuk bagi kita semua.....

abu zuhriy mengatakan...

@abul jauzaa

"yang menentukan waktu shalat, puasa... adalah Allah ta'ala."

tapi dalam masalah jam'iy? bukankah pemerintah yang menentukan? bukan person-person? terlebih lagi menyerukan agar orang-orang mengikuti pendapatnya.

seperti puasa arafah dan 'id al-adh-ha yang menurut pendapat yang paling rajih, adalah mengikuti pemerintah. sebagaimana mungkin antum sebagai orang yang berpendapat mengikuti mekkah akan berkata, kalau demikian, maka tidak sah puasa arafahnya karena tidak shaum bersama orang-orang dimekkah. yang ini kembali dibantah, apakah ada dahulu salafush shalih yang mengutus orang kemekkah untuk melihat keputusan mereka dalam hilal dzulhijjah sehingga mereka bisa berpuasa arafah dan 'idul adh-ha bersama orang-orang mekkah. dan ini sangat tidak mungkin, karena perjalanan madinah-mekkah kemudian mekkah-madinah lebih dari sembilan hari pada waktu itu (sedangkan sehingga tidak mungkin salafush shalih akan mengikuti keputusan amir mekkah dalam hal puasa arafah atau 'idul 'adh-ha)

dan ustadz badrusalam pun pernah menyinggung masalah ini:

"ingatlah akhiy, dalam perkara puasa ini, adalah keputusan pemerintah; bukan organisasi, bukan ustadz. yang jika salah, maka yang menanggung kesalahan mereka."

yang hal ini sendiri diqiyaskan oleh Rasulullah dan salafush shalih, yang ana belum mendapati salafush shalih yang membedakan dalam penetapan'idul fithriy dan 'idul adh-ha. bahkan terdapat atsar dari al-hasan tentang perkataan beliau, yang beliau berkata tentang yang menjadi kewajiban penguasa adn kaum muslimin berada dibelakangnya ada 5; (1) jihad, (2) 'IDAIN, (3) shalat berjama'ah, (4) shalat jum'at .. dll.

(hal ini seperti penetapan waktu 1 ramadhan, hal ini wajib, sebagaimana halnya shalat. dan rukunnya adalah PADA WAKTUnya, namun apabila pemerintah salah dalam menetapkan, bukan kita yang menanggung dosa. tapi mereka yang menanggung dosa seluruhnya.)

kembali kepada masalah shalat shubuh, dalam masalah ini bukankah mereka -dalam penetapan ini- tidak memutlakkan falakiyyah?

bahkan syaikh abdullah bin mani' menanggapi pendapat ini:

"...Oleh karena itu, hendaknya kita tidak menghiraukan pendapat-pendapat yang seperti ini, yang bersumber dari terkaan dan jauh dari kenyataan, serta tidak percaya kepada lembaga yang ahli dalam bidangnya dan memiliki kelebihan dalam bidang ilmu syariat dan ilmu falak.

Wajib bagi kita untuk membuang jauh pendapat seperti ini dan jangan sampai menghiraukannya, karena ini merupakan tindakan skeptis yang tidak pada tempatnya, ditambah lagi mereka tidak memiliki dalil nyata yang mendukungnya"

baca: http://addariny.wordpress.com/2009/09/12/siapa-yg-salah-kaprah-dlm-waktu-subuh-5/

'afwan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Muqaddimah antum dengan membawakan kasus 'arafah adalah tidak relevan. Dan saya tidak akan menanggapi di sini. Oleh karenanya, mengqiyaskan antara penentuan hilal dengan permasalahan tersebut tidaklah tepat minimal dari dua sisi :

1. Perbedaan pendefinisian (ciri-ciri) apa yang dimaksud dengan fajar shaadiq.

2. Kewajiban shalat adalah kewajibanyang bersifat individu. Maksudnya, ketika ia melihat waktu shalat telah tiba, maka saat itulah ia wajib menunaikan shalat. Tidak dipersyaratkan menunggu keputusan imam apakah waktu shalat telah masuk ataukah belum.

Tentang perkataan Al-Hasan Al-Bashriy, khususnya tanggung jawab imam untuk menegakkan shalat berjama'ah, maka itu berbeda dengan penentuan apakah waktu shalat sudah masuk ataukah belum. Karena shalat berjama'ah (terutama di masjid) adalah bersama imam.

Saya pada dasarnya sepakat perkataan Syaikh Ibnu Mani' bahwa dalam masalah penentuan waktu shubuh diperlukan ilmu. Namun jika antum menganggap bahwa orang yang mengatakan jadwal waktu Shubuh yang beredar ini terlalu cepat hanya dikatakan oleh orang-orang yang tidak ahli di bidangnya, saya kira ini adalah perkataan yang terlalau gegabah. Syaikh 'Abdul-Malik Kulaib menuturkan bahwa seorang peneliti yang bernama 'Isa bin 'Aliy telah melakukan pengamatan selama hampir 5 tahun untuk mengamati kemunculan fajar shaadiq ini di Mesir yang hasil intinya, waktu fajar tidaklah muncul kecuali matahari di posisi 14 - 16 derajat di bawah ufuk. Apa artinya ? Artinya, jadwal adzan Shubuh di Mesir ini menurut beliau terlalu cepat. Begitu pula berbagai penelitian yang ada di tempat lain.

Abu Zuhriy mengatakan...

Namun jika pendapat yang ana ikuti (demikian juga yang lain, yang mengikuti depag) dan ana yakin kebenarannya. bukankah ana tetap sah shalatnya? karena keyakinan tidaklah dikalahkan dengan keraguan.

merujuk pada perkataan syaikh al-albaaniy:

"orang yang punya ilmu harus menyampaikan kepada manusia, maka barang siapa sampai kepadanya hukum ini kemudian berpaling daripadanya maka shalatnya batal.

Dan barang siapa tidak sampai kepadanya hukum ini maka engkau mengetahui tidak ada tanggungjawab dalam kondisi seperti ini."

(dalam link yang antum sebutkan diatas)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyyah yang meliputi khilaf atas pendefinisian fajar shaadiq ataupun khilaf/perbedaan dalam masalah observasi di lapangan.

Seandainya antum meyakini pendapat bahwa adzan Shubuh yang ada sekarang ini telah tepat waktu dengan merujuk perkataan ulama dan para ahli, tentu saja shalat antum sah.

Yang jadi pokok permasalahan bukanlah itu. Tapi, apakah jadwal yang disusun telah menepati kenyataan riil di lapangan atau tidak. Jika tidak, bagaimana hukum shalat yang dilakukan sebelum masuk waktunya. Al-Baihaqiy telah menulis bab dalam kitabnya : I'aadatu Shalaatin Man Iftatahaa Qabla Thulu'il-Fajril-Aakhir (Bab : mengulang shalat bagi siapa saja yang memulai shalat sebelum munculnya fajar akhir).

Seandainya antum meyakini bahwa waktu shalat telah masuk, ya tentu saja shalatnya sah. Yang tidak sah adalah orang shalat sebelum waktunya dalam keadaan tahu (bahwa fajar shaadiq belum muncul).

Maka, yang menjadi titik kritis - sekali lagi - bukan yang antum katakan itu. Tapi, masalah pendefinisian fajar shaadiq (dan implementasinya di lapangan). Jika dari sini saja telah beda, maka yang selanjutnya akan lebih beda.

Namun perbedaan ini masuk dalam ranah ijtihadiyyah.

Dan menurut menurut hemat saya, dengan melihat perbedaan di kalangan ulama akan hal ini, sebagai langkah hati-hati adalah mengundurkan waktu adzan yang dengan itu akan keluar pada perselisihan yang ada. Atau paling tidak, menunda pelaksanaan shalat Shubuh berjama'ahnya hingga waktu yang semua kaum muslimin sepakat bahwa waktu itu fajar shaadiq telah muncul. Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Anonim mengatakan...

Ada perkataan Syaikh Shalih Al Fauzan tentang waktu subuh ini

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121000

Semoga bermanfaat

Aqil mengatakan...

pertanyaaanya
1. sudah validkah hasil lapangan dari ulama saudi yg berfatwa diatas.
2. Para Ahli falak dunia dengan berbagai observasinya telah menentukan berdasr fakta lapangan yg ternyata berbeda dg fatwa saudi, yang mana yg harus diikuti?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kenapa Anda lagi-lagi mesti nyebut Saudi ya ?. Saya tidak tahu, apakah Saudi merupakan alergen bagi Anda.

Mas, permasalahan ini di dalam negeri sudah dibincangkan dengan Prof. T. Djamaluddin dari LAPAN. Pakar astronomi dan ilmu falak kita. Intinya, adanya perbedaan persepsi tentang waktu Shubuh ini terutama dikarenakan : perbedaan pendefinisian tentang fajar shaadiq sebagaimana disinggung pada artikel di atas. Penelitian di Mesir (bukan Saudi) selama 5 tahun sebagaimana dilaporkan Syaikh 'Abdul-Malik Al-Kulaib juga mengindikasikan hal yang sama. Dan juga yang lainnya. Itu sudah ramai diperbincangkan di forum-forum ilmiah di Timur Tengah. Saran saya, coba Anda buka jendela internet Anda untuk mencari informasi ini.

Belajarlah berkomentar yang cerdas.

NB : Justru jumhur ulama Saudi dan pemerintah Saudi masih mengikuti taqwim Ummul-Qurra'yang ini banyak dijadikan acuan banyak negara lain.

Aqil mengatakan...

terus masalah himbauan di pagikan 20 menit itu bener gak sih berdasarkan fatwa ulama SAUDI?, padahal ASTROMICAL TWILIGHT itu -18 deg, dan itu sudah kesepakatan para ahli astronom, sementara ahli falak berkosar, -18,dan -19 deg, berdasarkan ajakan Ulama Saudi tersebut kami lihat disini sudah sangat terang benderang dan bukan lagi fajar, belum lagi wilayah geografis indonesia yg jauh berbeda dengan SAUDI, di Mesir setahu kami pakai -19 deg

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Fatwa yang mana yang Anda maksud ?. Saya tidak mengetahuinya. Kalau dipagikan - sesuai lisan orang Indonesia - ya maknanya dicepatkan. Mungkin Anda mengalami kesulitan pemilihan kata/bahasa. Dan mungkin maksud Anda adalah dilambatkan atau lebih 'disiangkan' selama 20 menit.

Jika ini yang Anda maksud, maka di atas ada pengamatan dari Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyaa An-Najmiy rahimahullah. Kebetulan, beliau orang Saudi. Ini memang menjadi perdebatan yang panjang, karena pengamatan dengan mata akan berbeda satu tempat dengan tempat yang lain. Banyak faktor. terlalu panjang jika dituliskan. Silakan diubek-ubek artikel yang ada di :

http://www.skyandtelescope.com/.

Jangan suka mengklaim ijma' atau kesepakatan gitu dong. Gak bagus. Astronomical (bukan : Astromical) Twilight menurut pakar astronomi berkisar antara 12 derajat sampat 18 derajat. You can read here :

http://www.skyandtelescope.com/community/skyblog/stargazing/8833662.html.

http://en.wikipedia.org/wiki/Twilight#Astronomical_twilight.

NB : Ahli astronomi itu ekuivalen dengan ahli falak. Cuma yang satu dari serapan bahasa Inggris, yang satau dari serapan bahasa Arab. Beda kemasan saja.

Anonim mengatakan...

Akhi , mana yang lebih baik ana lakukan :

1. Sholat sunah sebelum sholat subuh di rumah dengan konsekwensi ketinggalan takbir imam masjid ( dari rumah ke masjid -/+ 100 mtr ).

2. Sholat sunahnya di lakukan di masjid .

Sukron , syukur2 kalau ada landasan dalilnya atau minimal perkataan ulama .


Ibn Rasi

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Antum melakukan shalat sunnah di masjid agar tidak ketinggalan takbir imam.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum ustadz abul jauzaa (smoga Allah menjaga antum dan keluarga).

Mengingat besarnya keutamaan shalat sunnah fajr, kemudian kalau kita ikut pendapat yang memundurkan waktu shubuh.

Bagaimanakah dengan sunnah fajrnya?
Apakah shalat sunnah fajrnya juga dilakukan dirumah setelah berjama'ah dimasjid?

Jazakallahu khairan
Ibnu Rusli

Anonim mengatakan...

Kalau shalat sunnah fajrnya dilakukan dimasjid, bukankah bertentangan dengan yg kita yakini, bahwa saat itu belum masuk waktunya?

Anonim mengatakan...

sebaiknya kita sabar dalam menghadapi masalah ijtihadi semacam ini.
kenapa? karena hal ini perlu observasi lebih lanjut, gk cukup cuma observasi sebulan atau malah cuma semalam.
ini pengalaman pribadi saya (sktr 8th), terkadang jadwal waktu sholat yang ada sudah tepat. terkadang dalam bulan yg lain agak kecepetan.. dan disetiap daerah berbeda, antara jawa dan sumatra, gk percaya buktikan sendiri.
Wallahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Yang masih terasa mengganjal bagi saya:
1. Dari pihak yang meyakini jadwal lama, belum pernah sekalipun (setahu saya) menyampaikan hasil pembuktian/pengamatan mengenai fajar (kadzib maupun shidiq).
2. Biasanya yang dikedepankan adalah sulitnya mendapatkan lokasi pengamatan yang tidak terkena bias lampu/penerangan yang ada.
3. Hal lain yang jadi penguat adalah tidak boleh berbeda pendapat dengan jadwal pemerintah.
4. Kalau dari pihak yg menunda waktu subuh menanyakan hal tersebut, salah satu jawabannya terkesan menghindar dengan mengatakan "kalau anda yakin dengan pendapat tersebut dan memang benar2 pernah menyaksikannya, jalankan keyakinan anda tersebut", seolah2 si penanya sekedar ikut2an dalam pendapatnya.

Saya masih belum mengerti mengapa para ustadz, baik yang sudah pernah membuktikan masalah ini maupun (terutama)yang tidak setuju, bersama2 melakukan pengamatan di lapangan, toh itu juga dalam rangka mengamalkan dan membuktikan sunnah/hadits Rasulullah mengenai fajar. Sebanyak apapun tempat di dunia yang terjangkau listrik tentu masih tetap bisa ditemukan tempat yang masih 'bersih', sehingga bisa dilakukan pengamatan fajar.