Yaitu, ketika (menjelang) shalat Jum’at. Para ulama berselisih pendapat. Sebagian
ulama mengatakan ia berdiri menjawab adzan, dan ketika telah selesai ia baru
shalat tahiyyatul-masjid; sebagian ulama lain mengatakan ia langsung shalat
tahiyyatul-masjid agar tidak kehilangan khuthbah Jum’ah dari awal waktu.
Sebelumnya
mari kita perhatikan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ
عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ
الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا
يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ "
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi ﷺ : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di
setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih
dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas
mimbar), mereka melipat/menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan
adz-dzikr (khutbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3211 dan Muslim
no. 850].
Dalam
riwayat Ibnu Maajah terdapat tambahan:
فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا
يَجِيءُ بِحَقٍّ إِلَى الصَّلَاةِ
“Barangsiapa
yang datang setelah itu, maka dirinya hanyalah datang seperti orang datang
untuk shalat” [Sunan Ibni Maajah no. 1092].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ
الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي
السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ
الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasululah ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada
hari Jum’at seperti mandi janabah, lalu segera pergi seawall mungkin ke masjid,
seakan-akan ia berkurban seekor unta yang gemuk. Dan barangsiapa pergi pada
waktu yang kedua, seakan-akan ia berkurban sapi betina. Dan barangsiapa pergi
pada waktu yang ketiga, seakan-akan ia berkurban domba yang bertanduk. Dan
barangsiapa pergi pada waktu yang keempat, seakan-akan ia berkurban seekor ayam.
Dan barangsiapa yang pergi pada waktu yang kelima, seakan-akan ia berkurban
sebutir telur. Apabila imam telah keluar (untuk berkhutbah), maka para Malaikat
turut hadir sambil mendengarkan dzikir (khuthbah)” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 881].
Yang
dimaksud dengan ‘menutup lembaran catatan kitab’ adalah lembar catatan
keutamaan yang berkaitan dengan bersegera menuju shalat Jum’at [Fathul-Baariy,
2/367]. Hadits ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar untuk bersegera
datang di hari Jum’at sebelum khaathib memulai khuthbahnya.
Sebagian ulama berdalil dengan hadits di atas tentang wajibnya mendengarkan khuthbah Jum’at
[Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal 4/131], karena malaikat
pencatat amal kebaikan ketika khathib naik mimbar dan berkuthbah, menutup
lembar catatan amal kebaikan mereka duduk untuk mendengarkannya. Dan itu sesuai
firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada ‘dzikrullah’ dan tinggalkanlah jual beli”
[QS. Al-Jum’ah : 9].
Ternukil
dari sebagian ulama seperti Sa’iid bin Al-Musayyib dan Mujaahid rahimahumallah
menafsirkan ‘dzikrullah’ dengan nasihat imam (khuthbah Jum’at) [lihat
: Mushannaf Ibni Abi Syaibah 2/64 no. 5598 dan Jaami’ul-Bayaan
22/642].
Oleh
karena itu jika ada seseorang datang shalat Jum’at ketika adzan telah
berkumandang dan khathib sudah duduk di atas mimbar mengucapkan salam, hanya
ada dua kondisi:
1.
Orang tersebut tetap
berdiri mendengarkan dan menjawab adzan, baru setelah itu shalat
tahiyyatul-masjid namun terlambat/ketinggalan mendengarkan awal khuthbah;
2.
Orang tersebut langsung
mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid dalam keadaan tidak mendengarkan dan
menjawab adzan, namun tidak terlambat/ketingalan mendengarkan awal khuthbah.
Mana
yang lebih afdlal ?.
Kondisi
pertama mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala mendengarkan dan menjawab
adzan serta shalat tahiyyatul-masjid (yang keduanya hukumnya sunnah
mu’akkadah), namun kehilangan kesempatan mendengarkan khuthbah (yang
hukumnya wajib) dari awal waktu dan keutamaannya.
Kondisi
kedua mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala shalat tahiyyatul-masjid
dan tidak tertinggal mendengarkan khuthbah dari awal waktu, namun kehilangan pahala mendengarkan dan menjawab adzan.
Meraih
keutamaan amalan sunnah namun kehilangan keutamaan (kesempurnaan) amalan yang
diwajibkan, ataukah meraih keutamaan (kesempurnaan) amalan yang diwajibkan
namun kehilangan keutamaan amalan sunnah ?
Dalam
kaedah fiqhiyyah disebutkan:
أن الواجب مقدم على المندوب عند التعارض
“Bahwasannya
kewajiban lebih didahulukan daripada anjuran ketika terjadi pertentangan”
أن الواجب لا يترك إلا لواجب
“Kewajiban
tidak ditinggalkan kecuali untuk sebuah kewajiban (yang lain)”
الواجب لا يترك للسنة
“Kewajiban
tidak ditinggalkan untuk sesuatu yang sunnah”
[Referensi
: Tanbiihul-Ummah bi-Ushuulin wa Masaailin Jaami’ah hal. 26 dan Al-Mufaadlalah
fil-‘Ibaadaat, Qawaa’idun wa Tathbiiqaat hal. 527].[1]
Maka
dapat dipahami bahwa dalam hal ini kondisi kedua yang lebih diutamakan.
Al-Mardawiy
rahimahullah ketika menukil beberapa pendapat ulama Hanaabilah dalam
permasalahan ini, diantaranya ia mengatakan:
قال في الفروع : ولعل المراد : غير أذان
الخطبة ، لأن سماع الخطبة أهم اختاره في مجمع البحرين
“Dikatakan
dalam kitab Al-Furuu’ : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain adzan
khuthbah, karena mendengarkan khuthbah lebih penting. Pendapat ini dipilih
dalam kitab Majma’ul-Bahrain” [Al-Inshaaf, 1/427].
Al-Bahuutiy
rahimahullah menjelaskan lebih lanjut:
قَالَ فِي الْفُرُوعِ : ( وَلَعَلَّ
الْمُرَادَ غَيْرُ أَذَانِ الْخُطْبَةِ ) أَيْ : الْأَذَانِ الَّذِي يَكُونُ
بَيْنَ يَدَيْ الْخَطِيبِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ( لِأَنَّ سَمَاعَهَا ) أَيْ : الْخُطْبَةِ
أَهَمُّ مِنْ الْإِجَابَةِ ، فَيُصَلِّي التَّحِيَّةَ إذَا دَخَلَ .
"Dalam
kitab Al-Furuu’ disebutkan : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain
adzan khuthbah’; yaitu adzan yang dikumandangkan menjelang khuthbah pada hari
Jum'at, karena mendengarkan khuthbah lebih penting daripada menjawab adzan.
Maka hendaknya ia langsung shalat tahiyyatul-masjid ketika masuk ke
masjid" [Kasysyaaful-Qinaa’, 1/229].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
ذكر أهل العلم أن الرجل إذا دخل المسجد وهو
يسمع الأذان الثاني فإنه يصلي تحية المسجد ولا يشتغل بمتابعة المؤذن وإجابته ,
وذلك ليتفرغ لاستماع لأن استماعها واجب , وإجابة المؤذن سنة , والسنة لا تزاحم
الواجب
“Para
ulama menyebutkan bahwa seseorang jika masuk ke masjid pada hari Jum’at dan
ketika itu ia mendengar adzan kedua, maka hendaknya ia (langsung) mengerjakan
shalat tahiyyatul-masjid dan tidak menyibukkan diri untuk mendengarkan
adzan mu’adzdzin dan menjawabnya. Hal itu dilakukan agar ia dapat
berkonsentrasi mendengarkan khuthbah, karena mendengarkannya hukumnya wajib
sedangkan menjawab adzan hukumnya sunnah. Sunnah tidak dapat menyaingi kewajiban” [Majmuu
Al-Fataawaa war-Rasaail, 16/151].
Kasus
ini seperti ketika seseorang datang ke masjid untuk shalat berjama’ah sedangkan
iqamat sudah dikumandangkan, apakah dirinya shalat tahiyyatul-masjid terlebih
dahulu ataukah langsung bergabung ke shaff makmum untuk shalat berjama’ah ?.
Tentu dirinya hendaknya langsung bergabung shalat berjama’ah. Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا صَلَاةَ
إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
“Apabila
iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat yang wajib”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 710].
Penerapan
dalam kasus lain banyak.
Seseorang
harus mengedepankan bershadaqah kepada orang yang menjadi kewajiban untuk
menanggungnya (tanggung jawabnya) daripada selainnya. Allah ta’ala berfirman:
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ
وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf” [QS. Al-Baqarah : 233].
Rasulullah
ﷺ bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى
مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu
dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
membebaskan budak, satu dinar yang engkau shadaqahkan kepada seorang miskin, dan
satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; maka yang paling besar
pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan
untuk keluargamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 995].
Orang
yang belum berhaji, hendaknya melaksanakan kewajiban haji untuk dirinya sendiri
sebelum menghajikan orang lain[2].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ
سَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، قَالَ: " مَنْ
شُبْرُمَةُ؟ " قَالَ: أَخٌ لِي، أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: " حَجَجْتَ
عَنْ نَفْسِكَ "، قَالَ: لَا، قَالَ: " حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ
حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi ﷺ mendengar (ketika berhaji) seorang
laki-laki mengucapkan talbiyyah haji : ‘Labbaika (kupenuhi
panggilan-Mu ya Allah) atas nama hajinya Syubrumah’. Nabi ﷺ bertanya : “Siapa Syubrumah?”. Ia
menjawab : “Saudara saya (atau kerabat saya)”. Beliau ﷺ kembali bertanya : ”Apakah engkau telah
berhaji untuk dirimu sendiri?”. Ia menjawab : “Belum”. Maka beliau ﷺ bersabda
: ”Berhajilah untuk dirmu sendiri, kemudian (kelak) kamu berhaji untuk
Syubrumah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1811, Ibnu Majah no. 2903, dan
Ibnu Hibbaan no. 962; dishahihkan oleh A-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi
Dawud 1/509].
Dan
yang lainnya.
Lantas
bagaimana dengan hadits:
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: «أَصَلَّيْتَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ «فَصَلِّ
رَكْعَتَيْنِ
“Telah
datang seorang laki-laki dalam keadaan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-
sedang khuthbah ( Jum’at ). Maka beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata
: “Kamu sudah sholat ( tahiyyatul masjid ) ? “. Orang itu menjawab :
“Belum”. Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Sholatlah dua rekaat.”
[ HR. At-Tirmidzi : 2/385 no : 511, Ibnu Majah : 1/353 no : 1113 dan selain
keduanya dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-.
Lafadz di atas lafadz Ibnu Majah ].
???
Bukankah
di situ Nabi ﷺ tetap memerintahkan untuk shalat
tahiyyatul-masjid yang hukumnya sunnah padahal khathib sudah memberikan
nasihatnya ?
Dijawab
:
Kasus
ini adalah perkecualian keluar dari kaedah yang disebutkan di atas, karena
ada dalil yang menjadi dasar. Seandainya tidak ada dalil tersebut, niscaya tetap
sebagaimana asalnya[3]. Pengecualian
ini sama seperti kasus seseorang hendak makan dan makanan telah tersedia di
hadapannya, lalu iqamat berkumandang; maka ia diperintahkan mendahulukan makannya berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ قَالَ: " إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ
تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Dari
Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Apabila makan malam
telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat
Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557,
At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ
فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ " قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ
قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda : “Apabila makan malam
telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan
makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia
mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].
Dalam
riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ
عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ
الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
“Apabila
makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat
hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].
Padahal
hukum asal makan adalah mubah.
Ini
dalam kondisi, makanan telah tersedia dan sudah hendak makan, lalu adzan/iqamat
berkumandang[4]. Jika
makanan belum tersedia atau makanan telah tersedia namun yang bersangkutan
belum hendak makan, hendaknya ia mendahulukan shalat[5].
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Inilah
sedikit yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– rnn – 05042018 – merupakan kelanjutan dari artikel Masuk
Masjid Ketika Adzan Jum’at Dikumandangkan].
وَمَا
تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ،
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan
tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah)
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan
amalan sunnah hingga Aku mencintainya….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 6502].
[2] Meskipun jika ia mendahulukan menghajikan
orang lain, tetap sah.
[3] Bahkan para ulama berbeda pendapat dalam
masalah seseorang yang datang ketika khuthbah Jum’at telah dimulai, apakah ia
langsung duduk mendengarkan khuthbah ataukah shalat tahiyyatul-masjid terlebih
dahulu. Hanafiyyah dan Maalikiyyah berpendapat orang tersebut langsung duduk
mendengarkan khuthbah dan tidak boleh baginya shalat, sedangkan Syaafi’iyyah
dan Hanaabilah sebaliknya, yaitu orang tersebut shalat (tahiyyatul-masjid)
terlebih dahulu dengan ringkas, baru kemudian duduk mendengarkan khuthbah. Masing-masing
membawakan dalil, namun yang raajih dalam hal ini adalah pendapat Syaafi’iyyah
dan Hanaabilah karena dalil yang mereka bawakan shahih lagi sharih yang menjadi
pengecualian (istitsnaa’) dalil-dalil yang dibawakan Hanafiyyah dan
Maalikiyyah, wallaahu a’lam.
[4] An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِي
هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد
أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع
، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا
صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ
تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة
الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا
“Dalam
hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika
makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan
kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan
ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih
luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci
(wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu
tersebut untuk menjaga kehormatan waktu
shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih
Muslim, 5/46].
Silakan
baca artikel : Makan
Dulu atau Shalat Dulu ?.
[5] Sesuai keumuman dalil:
مَنْ
سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa
mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak
sempurna shalatnya) kecuali bagi yang memiliki udzur” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Maajah no. 793].
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ
بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ
أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ
مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh
seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan adzan
untuknya. Kemudian aku suruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu aku
datangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan akan aku bakar
rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya salah
seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk
dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi
shalat ‘isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 644].
NB : Terlepas
perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum shalat berjama’ah di masjid
yang tentunya memerlukan pembahasan tersendiri..
Comments
ada planning utk fulltime pada ilmu din tadz ?
mungkin coba beberapa tahun mulazamah bersama ulama.
antum punya banyak bekal dan kelebihan. jangan sia-siakan itu.
Posting Komentar