Casing Boleh Sama, Isinya Beda



Allah ta'ala berfirman:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" [QS. Ar-Rahmaan : 26-27].
Al-Imaam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam kitab At-Tauhiid (1/51-52) mengatakan bahwa sebagian orang bodoh dari kalangan JAHMIYYAH menyangka bahwa Allah ta'ala menyifati keagungan Diri-Nya dengan ayat ini. Mereka mengatakan Allah lah yang mempunyai kebesaran/keagungan dan kemuliaan, bukan wajah-Nya, sebagaimana ayat (lain) :

تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
"Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai kebesaran dan kemuliaan" [QS. Ar-Rahmaan : 78].
Dakwaan mereka keliru karena kebodohan terhadap bahasa Arab (dan mengikuti hawa nafsu). Dalam QS. Ar-Rahmaan ayat 27, Allah ta’ala berfirman dengan "wa yabqaa WAJHU Rabbika DZUL-jalaali wal-ikraam". Di situ disebutkan kata 'dzu' (ذُو) sehingga kembalinya pada wajah yang rafa'. Jika kembalinya kepada Allah/Rabb yang majrur (karena berkedudukan sebagai mudlaf ilaih), maka katanya adalah 'dzi' (ذِي). Selengkapnya, silakan lihat referensi di bawah.
Di sini lain, Abu Ja'far Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan bahwa pembacaan dengan ya (yaitu dzi - ذِي) merupakan bacaan 'Abdullah (bin Mas'uud). Muhaqqiq kitab (Dr. 'Abdullah bin 'Abdil-Muhsin At-Turkiy hafidhahullah) memberikan keterangan referensi perkataan Ath-Thabariy tersebut pada kitab Ma'aanil-Qur'aan tulisan Al-Farraa' 2/116 dan Al-Bahrul-Muhiith 8/192. Saya tambahkan : I'raabul-Qur'aan oleh Abu Ja'far An-Nahhaas hal. 1076. Selengkapnya, silakan lihat referensi di bawah.
Apakah dengan ini Jahmiyyah menjadi benar karena berkesesuaian dengan qira'at Ibnu Mas'uud? Atau Ibnu Mas'uud menjadi keliru karena berkesesuaian dengan Jahmiyyah ?. Tentu tidak.
Jahmiyyah mengemukakan pendapatnya itu bukan karena berdasar qira'at 'Abdullah bin Ma'uud. Mereka menolak qira'at 'dzul-jalaali wal-ikraam' karena ingin menta'thil sifat dzaatiyyah wajah bagi Allah ta'ala. Sementara Ibnu Mas'uud mengucapkan dan mengajarkan qira'at tersebut tidak ada hubungannya dengan motif ta'thil Jahmiyyah. Tidak pula Ibnu Mas'uud memiliki 'aqidah ala Jahmiyyah. Ibnu Mas'uud semata-mata mengucapkan apa yang diketahuinya dari Rasulullah .
Jahmiyyah tetap mengatakan apa yang ingin mereka katakan meskipun perkataan Ibnu Mas'uud tidak mereka dapatkan. Bisa jadi di era kontemporer ini, Jahmiyyah modern merasa suka cita menemukan qira'at Ibnu Mas'uud karena (dianggap) menguatkan 'aqidah mereka meski sebenarnya mereka tak membutuhkannya.
Di sini dapat diambil faedah bahwa kadang perkataan orang-orang menyimpang/ahlul-bid'ah berkesesuaian secara dhahir dengan perkataan seorang Ahlus-Sunnah. Niat/tujuan dan latar belakang 'aqidah/manhaj yang membedakannya.
Khawaarij dan bughat sering mengambil fatwa sebagian (kecil) ulama yang membolehkan demonstrasi bersyarat. Mereka mengambilnya karena sesuai dengan motif pengkafiran dan/atau pemberontakan yang menjadi dasar 'aqidah mereka, sedangkan ulama tersebut berfatwa hanya sebatas pertimbangan maslahat dan mafsadat[1], serta sangat menentang pemberontakan, pengkafiran, pertumpahan darah, dan fitnah.[2]
Ustadz politik dan ustadz sunnah sama-sama mengambil fatwa ulama kibar dalam masalah Pemilu/Pilkada (intikhabaat). Dhahir ucapan keduanya mungkin hampir sama, atau bahkan sama. Hanya saja, ustadz politik menggunakannya untuk menambang suara dan kekuasaan; sedangkan ustadz sunnah mengambil fatwa dalam rangka mengamalkan substansi fatwa : memilih mudlarat teringan.
Banyak oknum memanfaatkan faktor 'kesamaan' untuk memuluskan ide dan pikiran buruk mereka.
Jangan samakan yang hakekatnya beda, dan jangan bedakan yang hakekatnya sama.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – dari status FB yang ditulis beberapa hari yang lalu].



[1]    Menurut jumhur ulama kibaar Ahlus-Sunnah pendapatnya lemah lagi keliru.
[2]    Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah berkata:
إِنَّ الْفِتْنَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ عَرَفَهَا الْعَالِمُ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ عَرَفَهَا كُلُّ جَاهِلٍ
“Sesungguhnya fitnah ketika ia datang, diketahui para ulama. Dan apabila fitnah telah berlalu, orang-orang jahil baru mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/24].


Kitab At-Tauhiid oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah:



Kitab Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiilil-Qur’an oleh Abu Ja'far Ath-Thabariy rahimahullah (Tafsiir Ath-Thabariy):



Kitab I’raabul-Qur’aan oleh An-Nahhaas rahimahullah:



Comments

Anonim mengatakan...

Ustadz, akun FB nya mana kok nggak ada? Mohon diinfokan supaya bisa kami bisa konek ke Antum lagi..Bara Barakallahu fiik..