Tempo
hari beredar sebuah rekaman drama dari seseorang dengan para figuran membahas permasalahan
‘dimanakah Allah’. Banyak retorika disampaikan - tanpa dalil - hingga jatuh
pada satu kesimpulan implisit/eksplisit : keliru orang yang mengatakan Allah berisitiwaa’
di atas langit di atas ‘Arsy, dan keliru pula jika ada orang yang berisyarat
dengan tangan atau anggota tubuh lainnya ke atas (Allah di atas langit).
Berikut
akan saya sampaikan beberapa riwayat yang menunjukkan Allah di atas langit serta
ketetapan bolehnya berisyarat ke atas.
1.
Riwayat dari Nabi ﷺ.
Abu Daawud
As-Sijistaaniy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ الْجَوْزَجَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: " أَنَّ رَجُلًا
أَتَى النَّبِيَّ ﷺ بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ
عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللَّهُ ؟، فَأَشَارَتْ إِلَى
السَّمَاءِ بِأُصْبُعِهَا، فَقَالَ لَهَا: فَمَنْ أَنَا؟، فَأَشَارَتْ إِلَى
النَّبِيِّ ﷺ وَإِلَى السَّمَاءِ، يَعْنِي أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ:
أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ "
Telah menceritakan
kepada kami Ibraahiim bin Ya’quub Al-Juuzajaaniy : Telah menceritakan kepada
kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku
Al-Mas’uudiy, dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah, dari Abu
Hurairah : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ dengan membawa budak wanitanya yang
berkulit hitam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki
kewajiban untuk memerdekan budak yang mukmin”. Maka beliau ﷺ berkata kepada budak tersebut : “Dimanakah
Allah?”. Lalu budak tersebut berisyarat ke langit dengan jarinya. Beliau
ﷺ
melanjutkan : “Siapakah diriku?”. Budak itu berisyarat kepada Nabi ﷺ dan (berisyarat) ke langit. Yaitu
maksudnya : ‘engkau adalah Rasulullah (utusan Allah). Setelah itu beliau
bersabda : “Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang wanita mukminah
(beriman)” [As-Sunan no. 3287].
Diriwayatkan juga
oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/388 no. 15268, semuanya dari Yaziid
bin Haaruun dari Al-Mas’uudiy dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah.
Diriwayatkan juga Ahmad
2/291, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 284-285, Al-Laalikaa’iy
dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 653, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
9/115, Ibnu Qudaamah Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal.
72-74; namun ‘Aun meriwayatkan dari saudaranya yang bernama ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah
(bin ‘Utbah) dari Abu Hurairah.
Perbedaan syaikh dari
‘Aun ini dikarenakan faktor Al-Mas’uudiy, seorang yang shaduuq, namun mengalami ikhtilaath
sebelum meninggalnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 586 no. 3944]. Namun yang
benar di sini adalah ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah (saudara ‘Aun) sebagaimana akan dijelaskan
pada penjabaran di bawah.
Aun bin
‘Abdillah bin ‘Utbah; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 758 no. 5258]. ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud
Al-Hudzaliy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi tsabt [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 640 no. 4338].
Periwayatan Yaziid
bin Haaruun memiliki mutaba’aat dari:
‘Aashim
bin ‘Aliy sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Usaamah dalam Bughyatul-Baahits
1/160 no. 15, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 283-284, dari ‘Ubaidullah
bin ‘Abdillah.
‘Abdullah
bin Rajaa’ sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath
3/95 no. 2598 (Majma’ul-Bahrain 4/83-84 no. 2134), dari ‘Ubaidullah bin
‘Abdillah
Asad
bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal.
285-286, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Abu
Daawud Ath-Thayaaliisiy sebagaimana diriwayatkan oleh Syarh
Musykiilil-Aatsaar 12/521 no. 4990, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid
hal. 286-287 dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah.
Dari kelima orang
perawi yang meriwayatkan hadits dari Al-Mas’uudiy ini perlu diteliti, mana
diantara mereka yang meriwayatkan setelah dan sebelum masa ikhtilaath-nya.
Ahmad bin Hanbal berkata tentang Al-Mas’uudiy : “Tsiqah, banyak
haditsnya. Dirinya mengalami ikhtilaath di Baghdaad. Barangsiapa yang
mendengar riwayat darinya di Kuufah dan Bashrah, maka periwayatannya jayyid
(baik)”. Ahmad juga berkata : “Penyimakan ‘Aashim bin ‘Aliy dan orang-orang
tersebut dari Al-Mas’uudiy setelah dirinya mengalami ikhtilaath”. Muhammad
bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Al-Mas’uudiy tsiqah. Ketika di akhir
usianya, ia mengalami ikhtilaath. ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy dan Yaziid
bin Haaruun mendengar hadits-hadits yang mengalami ikhtilaath. Adapun
hadits-hadits yang diriwayatkan para syuyuukh (senior) darinya, maka ia
lurus”. Muslim bin Qutaibah menjelaskan bahwa Ath-Thayaaliisiy meriwayatkan
dari Al-Mas’uudiy setelah masa ikhtilaath-nya.
Di sini dapat
diketahui bahwa Yaziid bin Haaruun, ‘Aashim bin ‘Aliy, dan Abu Daawud
Ath-Thayaalisiy adalah perawi yang meriwayatkan setelah masa ikhtilaath.
Berdasarkan perkataan
para ulama tersebut di atas, Ibnu Kayyaal rahimahullah mengidentifikasi para
perawi haditsnya diterima dalam periwayatannya dari Al-Mas’uudiy sebelum masa ikhtilaath
selama berada di Kuufah dan Bashrah, yang salah satu diantaranya adalah
‘Abdullah bin Rajaa’. Adapun Asad bin Muusaa, maka dirinya adalah penduduk kota
Bashrah [selengkapnya : Al-Mukhtalithiin – beserta komentar muhaqqiq-nya – hal. 72-73 no. 28
dan Al-Kawaakibun-Niiraats hal. 282-298 no. 35].
Oleh karena itu, riwayat
dari jalan ini adalah shahih.[1]
Adz-Dzahabiy rahimahullah mengatakan : “Sanadnya hasan” [Al-‘Ulluw,
hal. 17].
‘Aun bin ‘Abdillah
memiliki mutaba’ah dari Az-Zuhriy sebagaimana diriwayatkan Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 287-288. Namun riwayat ini keliru
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah, dimana kekeliruan ini berasal dari
Al-Husain bin Al-Waliid [idem, hal. 287]. Yang benar, hadits tersebut
adalah hadits salah seorang shahabat Anshaar (mubham), bukan hadits Abu
Hurairah.
‘Abdullah bin ‘Utbah
memiliki mutaba’ah dari Abu Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 1/29 no. 38 (berisyarat dengan tangan), Ath-Thahawiy
dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 12//522 no. 4991 (tanpa menyebutkan isyarat),
Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 283-284 (isyarat dengan mengangkat
kepala), Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 693 (isyarat mengangkat
kepala), dan Ibnul-Atsiir dalam Usdul-Ghaabah 4/70 (mengangkat tangan).
Faedah : Hadits ini
menunjukkan taqriir (penetapan) Nabi ﷺ atas jawaban dan isyarat budak wanita itu
dengan menunjukkan tangannya ke atas langit.
2.
Riwayat ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah
berkata:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ الشَّامَ
اسْتَقْبَلَهُ النَّاسُ وَهُوَ عَلَى الْبَعِيرِ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ
الْمُؤْمِنِينَ لَوْ رَكِبْتَ بِرْذَوْنًا يَلْقَاكَ عُظَمَاءُ النَّاسِ
وَوُجُوهُهُمْ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا أَرَاكُمْ هَاهُنَا، إِنَّمَا الْأَمْرُ مِنْ
هُنَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ
Telah menceritakan
kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru
datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di
atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja
engkau mengendarai birdzaun (sejenis kuda yang bukan berasal dari Arab),
niscaya para pembesar dan tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab
: “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia
(‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Al-Mushannaf,
13/40 (11/577) no. 34418].
Diriwayatkan juga di
kitab yang sama 13/263 (12/186) no. 35446 dan darinya Ibnu Qudaamah
Al-Maqdiisiy dalam Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw hal. 149 no. 56, Abu Nu’aim
dalam Hilyatul-Auliyaa’ 1/47. Ibnu Abi Syaibah mempunyai mutaba’ah dari
Muhammad bin Abaan Al-Balkhiy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah
no. 399.
Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata : “Sanadnya seperti matahari” [Al-'Ulluw, hal. 62].
Maksudnya : Sangat shahih.
Faedah : Perintah di
sini maksudnya adalah perintah Allah ta’ala. Isyarat ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dengan tangannya ke langit
menunjukkan asal dari perintah datang, yaitu dari Allah ta’ala yang ada
di atas langit.
3.
Riwayat ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
Ath-Thabaraaniy rahimahullah
berkata:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الصَّائِغُ، ثنا أَبُو مُصْعَبٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
الْحَارِثِ الْجُمَحِيُّ، ثنا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، قَالَ: مَرَّ ابْنُ عُمَرَ
بِرَاعِي غَنَمٍ، فَقَالَ: " يَا رَاعِيَ الْغَنَمِ هَلْ مِنْ جَزْرَةٍ؟
" قَالَ الرَّاعِي: لَيْسَ هَا هُنَا رَبُّهَا، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "
تَقُولُ: أَكَلَهَا الذِّئْبُ "، فَرَفَعَ الرَّاعِي رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ،
ثُمَّ قَالَ: فَأَيْنَ اللَّهُ ؟ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: " فَأَنَا وَاللَّهِ
أَحَقُّ أَنْ أَقُولَ: فَأَيْنَ اللَّهُ؟ " فَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ
الرَّاعِي وَاشْتَرَى الْغَنَمَ، فَأَعْتَقَهُ وَأَعْطَاهُ الْغَنَمَ
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Abu
Mush’ab : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Haarits Al-Jumahiy :
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam : (Suatu ketika) Ibnu ‘Umar
melewati seorang penggembala kambing, lalu ia berkata kepadanya : “Wahai
penggembala, apakah ada hewan yang dapat dipotong/disembelih?”. Penggembala
menjawab : “Pemiliknya tidak ada di sini”. Ibnu ‘Umar berkata : “Katakan saja
(kepadanya) dimakan serigala”. Maka penggembala tersebut mengangkat
kepalanya ke langit lalu berkata : “Lantas dimana Allah?”. Ibnu ‘Umar
berkata : “Dan aku – demi Allah – lebih berhak untuk mengatakan ‘Lantas
dimanakah Allah?”. Maka Ibnu ‘Umar membeli penggembala tersebut (karena
statusnya bidak) dan sekaligus membeli kambingnya (dari pemiliknya), lalu
membebaskannya dan memberikan kambing itu kepadanya [Al-Mu’jamul-Kabiir,
12/263 no. 13054].
Diriwayatkan juga
oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 11/102-103 no. 8250 dari jalan
Muhammad bin Nashr Ash-Shaaigh.
Sanad riwayat ini hasan.
Muhammad bin Nashr
Ash-Shaaigh seorang yang shaduuq, ahli ibadah, dan ahli qira’at [Irsyaadul-Qaashiy
wad-Daaniy, hal. 623-624]. Abu Mush’ab, ia adalah Ahmad bin Abi Bakr bin
Al-Haarits, Abu Mush’ab Az-Zuhriy; seorang yang shaduuq, atau bahkan tsiqah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 87 no. 17 dan Tahriirut-Taqriib, 1/58 no. 17]. ‘Abdullah
bin Al-Haarits Al-Jumahiy; seorang yang shaduuq [Taqriibut-Tahdziib, hal. 498 no. 3281]. Zaid bin Aslam, seorang yang tsiqah lagi
‘aalim [idem, hal. 350 no. 2129].
Zaid bin Aslam
mempunyai mutaba’ah dari :
Naafi’
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Az-Zuhd no. 306, Ibnu
Abid-Dunyaa dalam Qisharul-Amal no. 187, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan
no. 4908, Ibnu Atsiir dalam Usdul-Ghaabah 3/43, Abu Nu’aim dalam Al-Arba’iin
no. 14, serta Ibnul-Jauziy dalam Shifatush-Shafwah no. 615 dan dalam
At-Tabshirah no. 237;
Asy-Sya’biy
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Balaadzuuriy dalam Ansaabul-Asyraf 10/452.
Faedah
: Penggembala kambing itu tahu bahwa Allah ta’ala Maha Melihat dan Mengetahui
semua perbuatan hamba-Nya. Dia Tinggi di atas langit beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya,
sedangkan ilmu-Nya meliputi semua tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya.
4.
Riwayat ‘Abdurrahmaan
bin Mahdiy rahimahullah
Ibnu Baththah
Al-‘Ukbariy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
أَبُو حَفْصٍ، قَالَ: نا أَبُو جَعْفَرٍ، قَالَ: نا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نا أَبُو
بَكْرِ بْنُ خَلادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ مَهْدِيٍّ، "
إِذَا ذُكِرَ عِنْدَهُ أَمْرُ جَهْمٍ، وَأَمْرُ بِشْرٍ يَعْنِي الْمَرِّيسِّي
قَالَ: تَدْرِي إِلَى أَيِّ شَيْءٍ يَذْهَبُونَ؟ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ، وَيُشِيرُ
بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ، أَيْ: لَيْسَ إِلَهٌ
Telah menceritakan
kepada kami Abu Hafsh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Khallaad, ia berkata : Aku mendengar
'Abdurrahmaan bin Mahdiy apabila disebutkan di sisinya perkara Jahm dan Bisyr
Al-Mariisiy, ia berkata : "Tahukah engkau apa yang akan mereka tuju ?.
Yaitu kepada pendapat bahwasannya - sambil ia (Ibnu Mahdiy) berisyarat
dengan tangannya ke langit - (Dzat yang ada di langit) bukan tuhan" [Al-Ibaanah
(Ar-Radd 'alal-Jahmiyyah) 2/94-95 no. 327].
Sanad riwayat ini hasan atau shahih.
Abu Hafsh adalah
‘Umar bin Muhammad bin Rajaa’, Abu Hafsh Al-‘Ukbariy, seorang yang shaduuq
[Taariikh Baghdaad, 13/93 no. 5934]. Abu Ja’far adalah Muhammad bin
Daawud bin Shubaih, Abu Ja’far Al-Mishshiishiy; seorang yang tsiqah lagi
mempunyai keutamaan [Taqriibut-Tahdziib, hal. 843 no. 5906]. Abu Bakr
adalah Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj Al-Marruudziy – murid Al-Imaam Ahmad
bin Hanbal yang terkenal - ; seorang imam, tsiqah, lagi faqiih [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 13/173 no. 103]. Abu Bakr bin Khallaad adalah Muhammad
bin Khallaad bin Katsiir Al-Baahiliy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 842 no. 5902].
Faedah
: ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy rahimahumallah mengingkari pendapat rusak
Jahm dan Bisyr Al-Mariisiy yang mengkonsekuensikan Allah yang ada di atas
langit bukan tuhan yang disembah; padahal Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi, tuhan
semesta alam.
Jika
demikian, apakah layak ada pengingkaran terhadap orang yang menetapkan 'aqidah
Allah di atas langit seraya berisyarat dengan tangan atau anggota badan lain
(misalnya : kepala sebagaimana riwayat di atas) ?. Bukan satu keharusan untuk
menunjuk-nunjuk ke atas seperti skenario acting dagelan Anda, tapi ini hanya
sekedar kebolehan untuk penegasan tentang 'aqidah ini.
Saya
khawatir Anda ditimpa kekafiran karena menyelisihi nash, ijmaa’,
fithrah, dan akal sehat.
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ
هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ
خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ
قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ،
فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku
mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr
Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan
bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit,
maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau
bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh
Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; shahih].
Apalagi
ditambah perkataan level badut yang menyamakan dengan ‘tuhan Yahudi atau
Nashrani. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun. Terlalu, meminjam kata dari Bang Haji. Saya hanya berpesan, bertaubatlah kepada Allah dari
perkataan Anda. Mari terus belajar (yang giat). Masalah sifat duduk (juluus),
saya telah menuliskannya dalam dua artikel Sifat
Duduk (Juluus) – 1 dan Sifat
Duduk (Juluus) – 2.
Sebagai
pengayaan, silakan baca juga artikel :
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
NB
: Salam buat para figuran, aktingnya lumayan.
[abul-jauzaa’
– dps – 16012018].
[1] Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Mukhtashar
Al-‘Ulluw hal. 81-82 dan Al-Arna’uth dalam takhriij-nya terhadap Syarh
Musykiilil-Aatsaar 12/521 mendlaifkannya dengan sebab ikhtilaath
Al-Mas’uudiy. Namun yang benar – wallaahu a’lam – adalah dengan
melakukan perincian sebagaimana dijelaskan di atas.
Comments
Posting Komentar