Asy-Syaikh
‘Abdullah bin Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah ta’ala
pernah ditanya tentang keadaan seseorang yang kekufuran tanpa ia bermaksud
untuk melakukannya, yaitu karena jahil. Apakah ia diberikan udzur baik dalam
perkataan, perbuatan, atau tawassul ?
Beliau
rahimahullah menjawab :
“Apabila
seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya melakukan perbuatan kekufuran
atau mempunyai keyakinan kufur karena ketidaktahuannya tentang syari’at yang
Allah utus dengannya Rasul-Nya, maka orang ini menurut kami tidak dikafirkan.
Kami tidak menghukumi kekafiran kepadanya hingga hujjah risaaliyyah ditegakkan
kepadanya yang menyebabkan kekafiran orang yang menyelisihinya.
Apabila
telah tegak hujjah padanya dan dijelaskan padanya tentang syari’at yang dibawa
oleh Rasulullah ﷺ, namun ia tetap melakukannya perbuatan
kufurnya setelah tegak hujjah padanya; maka dikafirkan. Hal itu disebabkan
kekufuran dapat terjadi karena penyelisihan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulillah ﷺ. Ini adalah disepakati oleh para ulama
secara umum.
Para
ulama berhujjah dengan firman Allah ta’ala :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
‘Dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul’ (QS.
Al-Israa’ : 15),
dan
juga firman-Nya :
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى
جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ
خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ
وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ
كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
‘Orang-orang
kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka
sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di
antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu
akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah
datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang
yang kafir” (QS. Az-Zumar : 71).
Para
ulama juga berdalil dengan hadits shahih yang terdapat dalam kitab Ash-Shahiihain,
As-Sunan, dan yang lainnya dari kitab-kitab Islam, yaitu hadits Hudzaifah radliyallaahu
‘anhu bahwasannya Rasulullah ﷺ
bersabda : “Sesungguhnya dulu ada seorang laki-laki sebelum kalian berkata
kepada anak-anaknya : ‘Apabila aku mati, maka bakarlah jasadku, kemudian
sebarkanlah setengah abu jasadku di daratan dan setengah yang lain di lautan.
Demi Allah, apabila Allah mempunyai kemampuan untuk membangkitkanku, niscaya Ia
akan mengadzabku dengan adzab yang tidak pernah Ia timpakan kepada seoragpun’.
Maka Allah memerintahkan lautan untuk mengumpulkan abu jasadnya, dan Allah pun
memerintahkan daratan untuk mengumpulkan abu jasadnya, lalu Ia berfirman
terhadapnya : ‘Kun (jadilah – maka jadilah). Ketika laki-laki itu berdiri
(setelah Allah bangkitkan), Allah ta’ala bertanya kepadanya : ‘Apa yang
menyebabkan engkau melakukannya ?’. Laki-laki itu berkata : ‘Karena rasa takut
dan khawatirku kepada-Mu’. Dan semua yang ia lakukan Allah mengampuninya’.
Orang
ini berkeyakinan apabila ia melakukan perbuatannya itu Allah tidak mampu
membangkitkannya; karena kebodohannya. Bukan karena kekufuran maupun
penentangan. Ia ragu akan kemampuan Allah untuk membangkitkannya. Bersamaan
dengan ini, Allah mengampuninya dan memberikan rahmat kepadanya. Setiap orang
yang sampai kepadanya Al-Qur’an, maka hujjah telah tegak kepadanya dengan
diutusnya Rasulullh ﷺ. Akan tetapi orang jahil membutuhkan orang
yang memberitahukan kepadanya tentang hal tersebut dari kalangan ulama, wallaahu
a’lam” [Ad-Durarus-Saniyyah, 10/239-240].
Masih
dalam kitab yang sama di halaman 273-274 disebutkan pertanyaan tentang orang yang
meninggal di atas tauhid, menegakkan rukun Islam yang lima, dan rukun iman yang
enam; akan tetapi ia berdoa menyeru (kepada selain Allah), bertawassul dalam
doanya apabila berdoa kepada Rabbnya, menghadap ke (makam) nabinya dalam doanya
karena bersandar pada dua hadits yang kami telah kamu sebutkan, atau karena
jahil terhadap (hukum) masalah tersebut; bagaimana hukum atas mereka ?
Dijawab:
Telah
lewat penjelasan tentang masalah permintaan kepada mayit dan istighatsah,
dan telah kami jelaskan perbedaan antara dua hal itu dengan bertawassul
dengannya dalam doa. Permintaan kepada mayit dan beristighatsah kepadanya untuk
memenuhi hajat dan menghilangkan berbagai kesulitan/kesusahan termasuk syirik
akbar yang diharamkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Kitab-kitab ilahiyyah dan dakwah-dakwah nabawiyyah
bersepakat dalam pengharamannya, pengkafiran pelakunya, berlepas diri darinya,
dan permusuhan terhadapnya.
Akan
tetapi di zaman fatrah dan meratanya (mendominasinya) kejahilan/kebodohan; seseorang tidak
dikafirkan secara personal (mu’ayyan) dengan sebab itu hingga tegak kepadanya
hujjah risaliyyah, dijelaskan kepada (hujjah tersebut) dan diberitahukan bahwa
perbuatan itu termasuk syirik akbar yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Apabila
sampai kepadanya hujjah serta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits nabawi, lalu ia berkeras terus melakukan kesyirikannya, makai a kafir.
Lain halnya dengan orang yang jahil dan belum dijelaskan (hujjah) kepadanya tentang
permasalahan tersebut. Orang yang jahil, perbuatannya kufur, namun orangnya
tidak dihukumi dengan kekafiran kecuali setelah sampai kepadanya hujjah.
Apabila hujjah telah tegak padanya, namun kemudian ia terus berkeras dalam
kesyirikannya, makai a kafir. Meskipun ia mengucapkan persaksian laa ilaha
illallaah wa anna Muhammadan rasuulallah, mengerjakan shalat, menunaikan
zakat, dan beriman terhadap rukun iman yang enam…….. [idem, 10/273-274].
Comments
Assalamualaikum ustadz,saya ingin tanya,teman saya mengundang saya ke acara ulang tahun,boleh gak saya memberi hadiah tanpa ikut acaranya?
Satu lagi ustadz,soal jual beli,teman saya misal jual 100 dengan cara dicicil,terus dia minta tolong untuk menjualkan barangnya dan saya boleh mengambil keuntungan dengan melebihkan harga,apakah ada unsur riba dalam jual beli ini atau tidak
Posting Komentar