Tulisan
ini merupakan kelanjutan dari tulisan Bagian Pertama
yang membahas tentang sifat ‘Duduk’ (Juluus), dan akan saya ambilkan
secara ringkas dari referensi kutub Ahlis-Sunnah.
Allah
ta’ala berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
“Kemudian
Dia beristiwaa’ menuju langit” [QS. Al-Fushshilat : 11].
An-Nasaa’iy
rahimahullah membuat satu bab dalam kitab As-Sunan Al-Kubraa
(10/245) dengan ayat tersebut, kemudian membawakan hadits berikut:
أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، عَنِ
ابْنِ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، أَنَّ أَبَا الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ،
أَنَّ عَلِيًّا الأَسَدِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَعْلَمَهُ،
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ، خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ
كَبَّرَ ثَلاثًا، وَقَالَ: " سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا
لَهُ مُقْرِنِينَ { 13 } وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ { 14 } ، اللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا
تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ،
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الأَهْلِ، اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ، وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ
فِي الأَهْلِ وَالْمَالِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Sulaimaan bin Daawud, dari Ibnu Wahb, ia berkata :
Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Juraij : Bahwasannya Abuz-Zubair
mengkhabarkan kepadanya: Bahwasannya ‘Aliy Al-Asadiy mengkhabarkan kepadanya :
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar memberitahukan kepadanya : Bahwasannya
Rasulullah ﷺ
apabila berada (duduk) di atas kudanya (istiwaa ‘alaa ba’iirihi)
keluar untuk safar (bepergian), maka beliau bertakbir tiga kali dan mengucapkan
: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami
sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada
Tuhan kami’ (QS. Az-Zukhruf : 13-14). Ya Allah, sesungguhnya kami mohon
kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan dan ketakwaan, serta amal yang Engkau
ridlai. Ya Allah, ringankanlah perjalanan ini kepada kami dan dekatkan jaraknya
untuk kami. Ya Allah, Engkau adalah teman dalam safar, pengganti dalam
keluarga. Ya Allah, sesungguhnya, aku berlindung kepada-Mu dari beratnya
perjalanan, pandangan yang menyedihkan, dan buruknya keadaan ketika kembali,
baik mengenai keluarga dan harta” [As-Sunan Al-Kubraa, 10/245-246
no. 11.402].
Hadits
ini menunjukkan kepada kita bahwa salah satu makna istiwaa’ secara bahasa
adalah duduk.
حَدَّثَنِي أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، قَالَ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: "
إِذَا جَلَسَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْكُرْسِيِّ سُمِعَ لَهُ أَطِيطٌ
كَأَطِيطِ الرَّحْلِ الْجَدِيدِ "
Telah
menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahmaan, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah,
dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Apabila Allah tabaaraka
wa ta’ala duduk di atas kursi, maka terdengarlah suara seperti suara
seseorang yang baru duduk” [As-Sunnah hal. 301 no. 575].
حَدَّثَنِي أَبِي، نا وَكِيعٌ، بِحَدِيثِ
إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " إِذَا جَلَسَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ
عَلَى الْكُرْسِيِّ "
فَاقْشَعَرَّ رَجُلٌ سَمَّاهُ أَبي عِنْدَ
وَكِيعٍ فَغَضِبَ وَكِيعٌ وَقَالَ: أَدْرَكْنَا الأَعْمَشَ وَسُفْيَانَ
يُحَدِّثُونَ بِهَذِهِ الأَحَادِيثِ لا يُنْكِرُونَهَا
Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah
menceritakan kepada kami Wakii’ tentang hadits Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari
‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Apabila
Rabb ‘azza wa jalla duduk di atas kursi’.
Maka gemetaranlah seorang laki-laki - yang namanya
disebutkan ayahku - di sisi Wakii’, sehingga Wakii’ marah (karenanya). Ia (Wakii’)
berkata : “Kami menjumpai Al-A’masy dan Sufyaan (Ats-Tsauriy) menceritakan
hadits ini tanpa ada pengingkaran terhadapnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 302 no. 578].
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahumullah
sebelum membawakan riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah di atas berkata:
سئل عما روي في الكرسي وجلوس الرب عز وجل عليه
584 - رَأَيْتُ أَبِيَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُصَحِّحُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ
أَحَادِيثَ الرُّؤْيَةِ وَيَذْهَبُ إِلَيْهَا وَجَمَعَهَا فِي كِتَابٍ وَحَدَّثَنَا
بِهَا
“Ditanyakan (kepada ayahku) tentang apa yang
diriwayatkan perihal kursi dan duduknya Rabb ‘azza wa jalla di atasnya.
584. Aku melihat ayahku (Ahmad bin Hanbal) rahimahullah
menshahihkan hadits-hadits ini, yaitu hadits-hadits tentang ru’yah,
mengambil pendapat kepadanya, mengumpulkannya dalam kitab, dan meriwayatkannya”
[As-Sunnah hal. 300].
Sebagian ulama men-ta’liil riwayat ini, dan
sebagian lain menshahihkannya[1].
Namun yang benar, riwayat ini adalah mauquuf shahih (dari perkataan
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu) sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imaam Ahmad rahimahullah di atas. Meskipun mauquuf, dihukumi marfuu'
karena tidak mungkin perkataan 'Umar ini datang dari ijtihadnya.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
وهذا الحديث صحيح عند جماعة من المحدثين.....فإذا كان هؤلاء الأئمة: أبو
إسحاق السبيعي، والثوري، والأعمش، وإسرائيل، وعبد الرحمن بن مهدي، وأبو أحمد
الزبيري، ووكيع، وأحمد بن حنبل، وغيرهم ممن يطول ذكرهم وعددهم الذين هم سُرُج
الهدى ومصابيح الدجى قد تلقوا هذا الحديث بالقبول وحدثوا به، ولم ينكروه، ولم
يطعنوا في إسناده، فمن نحن حتى ننكره ونتحذلق عليهم؟، بل نؤمن به ونكل علمه إلى
الله عز وجل
“Hadits ini shahih menurut sekelompok ahli
hadits…… Apabila para imam seperti Abu Ishaaq As-Sabii’iy, Ats-Tsauriy,
Al-A’masy, Israaiil, ‘Abdurrahman bin Mahdiy, Abu Ahmad Az-Zubairiy, Wakii’,
Ahmad bin Hanbal, dan lainnya yang jumlahnya banyak, yang mereka itu adalah penerangan
yang memberikan petunjuk serta pelita bagi kegelapan; mereka mendapatkankan
hadits ini dengan penuh penerimaan, meriwayatkannya tanpa ada pengingkaran,
serta tidak pula mereka mencela sanadnya, maka siapakah diri kita hingga kita
(berani) mengingkarinya dan menyusahkan diri terhadapnya ?. Bahkan kita harus
mengimaninya dan menyerahkan ilmunya[2]
kepada Allah ‘azza wa jalla” [Al-‘Arsy,
2/121-122].
Allah
ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Tuhan
Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy” [QS. Thaha : 4].
Tentang
ayat tersebut, terdapat beberapa riwayat tentang penafsiran istiwaa’
sebagai berikut:
قال الخلال: أخبرنا أبو بكر المروذي قال:
سمعت عبدالوهاب يقول: { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } قال: قعد
Telah berkata Al-Khallaal : Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Bakr Al-Marwadziy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdul-Wahhaab
tentang firman Allah : ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 4), ia berkata : “Duduk”
[Dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy dalam Itsbaatil-Hadd lillaah hal.
180 no. 50 dan Ibnu Taimiyyah dalam Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah 1/435].
Tentang
‘Abdul-Wahhaab (Al-Warraaq), Al-Fath bin Abil-Fath pernah bertanya kepada
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallah ketika sakit:
مَنْ نَسْأَلُ بَعْدَكَ؟
“Siapakah
yang layak kami tanyai setelah engkau wafat?”.
Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjawab:
سَلْ عَبْدَ الْوَهَّابِ
“Bertanyalah kepada ‘Abdul-Wahhaab” [Diriwayatkan
oleh Al-Marwadziy dalam Az-Zuhd no. 3 – baca juga referensi : https://goo.gl/vHOZgh].
ثَنَا مُوسَى، ثَنَا رَوحُ بنُ عُبَادَةَ،
عن حَمَّاد بن سَلَمَة، عَن عَطَاء بن السائب، عن الشعبي عن عبد الله [رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ] أَنَّهُ قَالَ : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، فَقَالَ :
جَالِس
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Rauh bin
‘Ubaadah, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari
Asy-Sya’biy, dari ‘Abdullah, tentang firman-Nya : ‘‘Tuhan Yang Maha Pemurah,
Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 4), ia
berkata : “Duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Ma’bad dalam Ar-Ru’yah
sebagaimana dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy dalam Itsbaatil-Hadd
lillaah hal. 173 no. 47].
Hammaad
bin Salamah seorang yang tsiqah lagi ahli ibadah. Hanya saja ia berubah
hapalannya di akhir usianya. Tidak diketahui kapan Rauh bin ‘Ubaadah mengambil
riwayat darinya, sebelum ataukah setelah masa ikhtilath-nya. Namun
Muslim mengambil riwayat Rauh dari Hammaad bin Salamah dalam kitab Shahiih-nya.
Periwayatan ‘Aamir Asy-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Mas’uud adalah mursal sebagaimana
dijelaskan oleh Al-‘Alaaiy, dan Asy-Sya’biy tidak meriwayatkan kecuali dari
orang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Yahyaa bin Ma’iin[3].
حدثنا محمد بن حاتم، ثنا الفضل بن عباس،
ثنا عبد الرحمن بن ثابت، عن يزيد بن هارون، عن عباد بن منصور، قال: سألت الحسن
وعكرمة، عن قوله { الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، قالا: جالس
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim[4]
: Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin ‘Abbaas[5]
: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit[6],
dari Yaziid bin Haaruun[7],
dari ‘Abbaad bin Manshuur[8],
ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan dan ‘Ikrimah tentang firman-Nya ta’ala
: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy’ (QS.
Thaha : 4), mereka berdua berkata : “Duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Hakam bin
Ma’bad dalam Ar-Ru’yah sebagaimana dibawakan oleh Ad-Dasytiy Al-Hanbaliy
dalam Itsbaatil-Hadd lillaah hal. 174 no. 48 dan Fathul-Hamiid fii
Syarh Kitaabit-Tauhiid hal. 1675].
Riwayat
ini lemah karena faktor ‘Abbaad bin Manshuur An-Naajiy.
Abu
Muusaa Al-Madiiniy rahimahullah berkata:
سألتُ أبا القاسم إسماعيل بن محمد يومًا،
وقلت له: أليس قد رُوي عن ابن عباس في قوله تعالى: اسْتَوَى، قعد؟، قال: نعم.
Aku
pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Ismaa’iil bin Muhammad pada suatu hari. Aku
katakan kepadanya : “Bukankah telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas tentang
firman-Nya ta’ala : ‘istiwaa’ , yaitu duduk ?”. Ia menjawab : “Ya
benar” [Taariikhul-Islaam
oleh Adz-Dzahabiy].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
واذا كان قعود الميت فى قبره ليس هو مثل
قعود البدن فما جاءت به الآثار عن النبى من لفظ القعود والجلوس فى حق الله تعالى
كحديث جعفر بن أبى طالب رضى الله عنه وحديث عمر بن الخطاب رضى الله عنه وغيرهما
أولى أن لا يماثل صفات أجسام العباد
“Apabila duduknya mayit di kuburnya bukan seperti duduknya
badan, maka yang terdapat dalam atsar-atsar dari Nabi ﷺ tentang
lafadh qu’uud dan juluus (duduk) dari hak Allah ta’ala –
seperti hadits Ja’far bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, hadits ‘Umar
bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, dan yang lainnya – lebih layak
untuk tidak dibawa (kepada pemahaman) sifat badan manusia” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 5/527].
Asy-Syaikh
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah berkata:
فكذلك نثبت أنّه استوى على
عرشه استواء يليق بجلاله سواء فُسِّر ذلك بالإرتفاع أو بعلوّه على عرشه ، أو
بالإستقرار أو بالجلوس .فهذه التّفاسير واردة عن السلف
“Begitu
pula kita menetapkan bahwa Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya yang
layak dengan keagungan-Nya. Sama saja apakah itu ditafsirkan dengan irtifaa’
atau dengan ketinggiannya di atas ‘Arsy-Nya, atau dengan istiqraar, atau
dengan juluus (duduk). Berbagai penafsiran ini semuanya datang dari
salaf…..” [Al-Ajwibatus-Sa’diyyah ‘anil-Masaailil-Kuwaitiyyah, hal. 147].
Kesimpulan
: Duduk adalah salah satu makna dari kata istiwaa’, dan ini merupakan
sifat yang ada pada Allah ta’ala.
Wallaahu
a’lam.
Abul-Jauzaa’
– sore yang gelap di seberang lautan, 17032017
[1] Beberapa ulama men-ta’liil riwayat
ini, diantaranya Ad-Daaraquthniy, Ibnu Khuzaimah, Al-Ismaa’iiliy, Ibnul-Jauziy,
Ibnu Katsiir, Al-Albaaniy, dan yang lainnya. Ta’liil tersebut dengan
sebab:
a. Idlthiraab
Sebagian diriwayatkan secara mauquuf, marfuu’,
dan mursal (tanpa penyebutan ‘Umar), yang semuanya berporos pada Abu
Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah. Sufyaan Ats-Tsauriy dan Syu’bah[1] secara
mauquuf, sedangkan Israaiil bin Abi Ishaaq meriwayatkan secara marfuu’,
mursal, dan mauquuf. Satu riwayat dihukumi idllthiraab apabila
tidak dapat dilakukan tarjiih, sedangkan tarjiih di sini sangat
memungkinkan untuk dilakukan. Riwayat mauquuf yang dibawakan Sufyaan dan
Syu’bah jauh lebih kuat daripada riwayat Israaiil yang padanya terdapat
perselisihan. Oleh karena itu, yang mahfuudh dalam riwayat Abu Ishaaq,
dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar adalah mauquuf.
b. Majhuul-nya ‘Abdullah bin Khaliifah
Ini
tidak valid dengan alasan:
i.
Riwayat ‘Abdullah bin
Khaliifah telah dishahihkan oleh Ahmad bin Hanbal sebagaimana diriwayatkan oleh
‘Abdullah. Ditetapkan juga oleh Wakii’, Al-A’masy, dan Sufyaan.
Penshahihan
terhadap riwayat (dengan sanadnya) ekuivalen dengan penshahihan (tautsiq)
terhadap para perawinya.
ii.
‘Abdullah bin
Khaliifah adalah seorang yang dlaabith dalam periwayatan, diantaranya
ditunjukkan dengan dua riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ انْقَطَعَ شِسْعُهُ
فَاسْتَرْجَعَ، وَقَالَ: " كُلُّ مَا سَاءَكَ مُصِيبَةٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah
bin Khaliifah, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Bahwasannya tali sandalnya pernah
putus, lalu ia ber-istirjaa’ (mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun – Abul-Jauzaa’), dan mengatakan : “Semua hal yang
menyusahkanmu adalah musibah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 27063 dan
darinya ‘Abdullah bin Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1211].
حَدَّثَنَا
عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا شَيْبَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ،
عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: انْقَطَعَ قُبَالُ
عُمَرَ، فَقَالَ: " إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ "،
فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَفِي قُبَالِ نَعْلِكَ؟ قَالَ: "
نَعَمْ، كُلُّ شَيْءٍ أَصَابَ الْمُؤْمِنَ يَكْرَهُهُ فَهُوَ مُصِيبَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Muusaa, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Syaibaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, dari Sa’iid
bin Al-Musayyib, ia berkata : “Tali sandal ‘Umar pernah putus, lalu ia
mengucapkan : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Orang-orang
berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, apakah (ucapan istirjaa’ itu)
disebabkan karena tali sandalmu (yang putus) ?”. Ia (‘Umar) berkata : “Ya,
semua hal yang menimpa seorang mukmin yang ia tidak menyukainya, maka itu
adalah musibah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 27064].
Riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah berkesesuaian dengan riwayat Ibnul-Musayyib
– dan ia seorang imam yang tsiqah lagi tsabt – sehingga ini
menunjukkan sifat dlabth darinya.
iii.
Terputusnya riwayat ‘Abdullah bin Khaliifah dari ‘Umar.
Hal ini sebagaimana dikatakan Ibnu Katsiir yang mengatakan periwayatan
‘Abdullah bin Khaliifah dari ‘Umar perlu diteliti kembali. Ta’liil Ibnu Katsiir
ini tidak benar, karena telah shahih pertemuan ‘Abdullah bin Khaliifah dengan
‘Umar, dan kemudian meriwayatkan darinya sebagaimana riwayat:
حَدَّثَنَا
أَبُو الأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ،
قَالَ: كُنْتُ مَعَ عُمَرَ فِي جِنَازَةٍ فَانْقَطَعَ شِسْعُهُ فَاسْتَرْجَعَ
ثُمَّ قَالَ: " كُلُّ مَا سَاءَكَ مُصِيبَةٌ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Abu Ishaaq, dari
‘Abdullah bin Khaliifah, ia berkata : Aku pernah bersama ‘Umar dalam pemakaman
seorang jenazah. Tali sandalnya putus, lalu ia ber-istirjaa’ dan
kemudian berkata : “Semua hal yang menyusahkanmu adalah musibah”
[Diriwayatkan oleh Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd no. 423].
Selain itu, ‘Abdullah
bin Khaliifah adalah seorang kibaarut-taabi’iin yang berstatus mukhdlaram
(= orang yang pernah hidup pada masa jahiliyyah dan kemudian masuk Islam, namun
tidak pernah bertemu dengan Nabi ﷺ). Tentu saja hal ini sangat memungkinkan bagi dirinya untuk
bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Tulisan ini sekaligus merupakan koreksi atas komentar saya dalam Blog ini beberapa waktu lalu, wal-‘ilmu ‘indallah…..
[2] Yaitu tentang kaifiyat-nya.
[3] Hanya saja ia (Asy-Sya’biy) meriwayatkan
dari Al-Haarits Al-A’war yang dikritik banyak ulama, dan ini merupakan satu aib
dalam periwayatannya.
[4] Muhammad bin Haatim bin Yuunus Al-Jarjaraaiy
Al-Mishiishiy, Abu Ja’far Al-‘Aabid, seorang yang tsiqah. Wafat tahun
225 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 834 no. 5832].
[6] ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit bin Tsaubaan Al-‘Ansiy, Abu
‘Abdillah Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Az-Zaahid; seorang yang shaduuq
hasanul-hadiits. Lahir tahun 75 H dan meninggal tahun 165 H [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 572 no. 3844, Man Tukullima fiihi Wahuwa
Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits oleh Adz-Dzahabiy hal. 324-325 no.
206, dan Tahriirut-Taqriib, 2/309-310 no. 3820].
Catatan
:
Perkataan
Abu Haatim rahimahullah :
و تغير عقله فى آخر حياته ، و هو مستقيم الحديث
“Berubah
akalnya di akhir kehidupannya, namun ia adalah seorang yang mustaqiimul-hadiits”
[Tahdziibut-Tahdziib, 6/151].
Perkataan
ini tidak mengandung konsekuensi haditsnya ditolak dengan sebab ikhtilaath,
kareba Abu Haatim sendiri melanjutkan : ‘hawuwa mustaqiimul-hadiits’.
Artinya, ikhtilaath-nya tersebut tidak mempengaruhi hadits yang
disampaikannya. Di tempat lain ia sendiri mengatakan : “Tsiqah”.
[7] Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan
As-Sulamiy, Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ahli
ibadah. Meninggal tahun 206 H [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
[8] ‘Abbaad bin Manshuur An-Naajiy, seorang
yang dla’iif, berubah hapalan di akhir usianya [Tahriirut-Taqriib,
2/180-181 no. 3142].
Comments
Ust adakah Ulama Ahlussunnah yg menolak makna Istiwa dgn Duduk??
حَدَّثَنِي أَبِي رَحِمَهُ اللَّهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: " إِذَا جَلَسَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْكُرْسِيِّ سُمِعَ لَهُ أَطِيطٌ كَأَطِيطِ الرَّحْلِ الْجَدِيدِ "
Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, dari Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdullah bin Khaliifah, dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Apabila Allah tabaaraka wa ta’ala duduk di atas kursi, maka terdengarlah suara seperti suara seseorang yang baru duduk” [As-Sunnah hal. 301 no. 575].
maaf ustadz, saya cek di kitab As-Sunnah hal 301 tapi nomornya 585, bukan 575.
ustadz, imam nasa-i dalam tafsir QS Al-Fushshilat 11 itu juga meriwayatkan hadits نصرت بالصبا وأهلكت عاد بالدبور (kami diselamatkan dari angin timur dan kaum 'ad dihancurkan dengan angin barat).
apa hubungan hadits tersebut dengan QS Fushshilat 11?
Posting Komentar