Dikatakan, salah satu dalil
diperbolehkannya shalat di masjid yang ada kuburannya adalah dulu pernah ada
perselisihan bahwa sebagian shahabat ada yang mengusulkan agar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dikuburkan dekat mimbar di dalam Masjid
Nabawi dan sebagian shahabat lain tidak ada yang mengingkarinya. Artinya, ada ijmaa’
sukuti di situ. Apa itu riwayatnya ? Berikut akan dibawakan pembahasannya secara ringkas:
حَدَّثَنِي
يَحْيَى، عَنْ مَالِك، أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ الْاثْنَيْنِ، وَدُفِنَ يَوْمَ
الثُّلَاثَاءِ، وَصَلَّى النَّاسُ عَلَيْهِ أَفْذَاذًا لَا يَؤُمُّهُمْ أَحَدٌ،
فَقَالَ نَاسٌ: يُدْفَنُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ: يُدْفَنُ
بِالْبَقِيعِ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا دُفِنَ نَبِيٌّ
قَطُّ إِلَّا فِي مَكَانِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ.....
Telah
menceritakan kepadaku Yahyaa, dari Maalik, bahwasannya telah sampai kepadanya
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat pada hari Senin,
dikuburkan pada hari Selasa, dan orang-orang menyalatkan beliau
sendiri-sendiri, tidak diimami oleh satu orang. Orang-orang berkata : “Kuburkan
(nabi) di mimbar (masjid Nabawi)”. Yang lain berkata: “Kuburkan di pemakaman Baqi’”.
Kemudian Abu Bakr datang dan berkata : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak ada nabi yang meninggal dunia
kecuali ia dikuburkan di tempat dimana ia wafat”. Kemudian di gali lah di
dalam kamar Nabi tersebut….
[Al-Muwaththa’ 2/203 no. 597].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu
Sa’d[1] dalam Ath-Thabaqaat 2/395
dari jalan Maalik. Sanad riwayat ini lemah karena mu’dlal.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu
Maajah[2] no. 1628 dan Abu Ya’laa[3] no. 22; semuanya dari
jalan Muhammad bin Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku Husain bin ‘Abdillah,
dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas,…… dari Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
Sanadnya lemah karena Husain
bin ‘Abdillah seorang yang lemah.
Husain bin ‘Abdillah mempunyai mutaba’ah
dari Ibnu Sa’d[4]
dalam Ath-Thabaqaat 2/395.
Sanadnya sangat lemah karena
faktor Al-Waaqidiy, seorang yang matruuk; dan Ibraahiim bin Ismaa’iil bin
Abi Habiibah, seorang yang dla’iif.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu
Sa’d[5] dalam Ath-Thabaqaat 2/395
: Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Anshaariy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah bin
‘Abdirrahmaan dan Yahyaa bin ‘Abdirrahmaan bin Haathib, ia berkata : Abu Bakr
berkata : ………
Sanadnya dla’iif karena mursal.
Maka dapat kita lihat riwayat yang
menyebutkan usul sebagian shahabat untuk menguburkan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam di mimbar atau
masjid Nabawi tidak lepas dari kelemahan.
Seandainya shahih, maka tetap
saja di dalamnya tidak ada dalil diperbolehkannya menguburkan seseorang di
dalam masjid dengan alasan:
1.
Usul sebagian shahabat agar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dikuburkan di mimbar atau di dalam masjid kemungkinan
karena ketidaktahuannya akan nash larangannya.
2.
Usul sebagian shahabat tersebut bertentangan dengan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menjadikan kubur
beliau sebagai masjid:
عَنْ عَائِشَةَ،
وَعَبْد اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ، قَالَا: لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى وَجْهِهِ، فَإِذَا اغْتَمَّ
بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: " وَهُوَ كَذَلِكَ، لَعْنَةُ اللَّهِ
عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ
مَا صَنَعُوا
Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata :
Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kesehatannya menurun
pada saat-saat akhir hidupnya, beliau menutupkan kain khamishah-nya (selimut
wolnya) pada wajahnya, namun beliau melepas kain tersebut dari wajahnya ketika napasnya
semakin terganggu seraya bersabda : “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi
dan Nashara yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”.
Aisyah berkata : “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang
mereka lakukan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 435 & 436 dan Muslim no.
531].
عَنْ عَائِشَةَ،
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ
الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ: " لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى،
اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ "، قَالَتْ: فَلَوْلَا ذَاكَ
أُبْرِزَ قَبْرُهُ، غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring : “Allah
telah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi
mereka sebagai masjid”. Aku ‘Aaisyah berkata : “Kalau bukan karena takut
(laknat) itu, niscaya kuburan beliau ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja
beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 529].
‘Illat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di Baqii’
adalah karena khawatir kubur beliau akan dijadikan masjid oleh kaum muslimin
sehingga mereka tertimpa laknat Allah sebagaimana laknat telah menimpa orang
Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan
dan melarang kaum muslimin agar tidak meniru jalan mereka. Lantas, bagaimana
bisa seseorang berpikir mengambil perkataan salah seorang shahabat – apabila
shahih perkataan ini – tentang kebolehan menguburkan beliau di dalam masjid ?.
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu
berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ،
وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 970].
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ
الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى
مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا
تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin
Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah
engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula
kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy
no. 2031, dan yang lainnya].
Apakah menurut kita – orang yang berakal – Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam melarang membangun bangunan di atas kubur, namun malah memperbolehkan
membangun masjid di atasnya atau meletakkan kubur beliau di dalam masjid yang secara
fisik jelas lebih megah daripada sekedar mengapur dan menyemen kubur ?.
3.
Riwayat-riwayat yang menyebutkan adanya sebagian
shahabat yang mengusulkan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan
di mimbar atau di dalam masjid, hanyalah menyebutkan macam perselisihan yang
ada di waktu tersebut. Tidak ada qarinah sama sekali bahwa para shahabat
tidak mengingkari usul tersebut.
Begitu juga Abu Bakr yang datang setelah adanya
perselisihan tersebut dan kemudian mengatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dikuburkan di tempat beliau wafat; mengindikasikan adanya
kemungkinan bahwa ia tidak mengetahui usul penguburan di masjid tersebut.
Seandainya mengetahui, niscaya akan ia ingkari. Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Tahdziirus-Saajid
menyebutkan riwayat:
عن أمهات
المؤمنين أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا : كيف نبني قبر رسول الله
صلى الله عليه وسلم ؟ أنجعله مسجدا ؟ فقال أبو بكر الصديق : سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Dari Ummahatul-Mukminiin : Bahwasannya para shahabat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya : “Bagaimana
kami harus membangun kubur Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
apakah kami boleh menjadikannya sebagai masjid ?”. Maka Abu Bakar menjawab :
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kubur
para Nabi mereka sebagai masjid” [HR. Ibnu Zanjawaih dalam kitab Fadlaailush-Shiddiiq
sebagaimana disebutkan dalam Al-Jamii’ul-Kabiir 3/147/1].
4.
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
واتخاذ القبر مسجداُ معناه الصلاة عليه ، أو إليه
“Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di
atasnya atau dengan menghadap ke arahnya” [Az-Zawaajir, 1/121].
Maksudnya, larangan menjadikan kubur sebagai masjid
itu mencakup larangan untuk shalat di atasnya atau shalat menghadap ke arahnya.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى
كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ
أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya
telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja,
apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman
hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى
غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di
atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari
sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Jika membangun masjid di atas kubur (atau sebaliknya :
meletakkan kubur di dalam masjid) tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dapat
dipahami shalat di dalam masjid yang ada kuburnya diperbolehkan seperti kata ‘mereka’
?.
Al-Munawi rahimahullah berkata :
أي اتخذوها جهة قبلتهم ، مع اعتقادهم الباطل ، وإن اتخاذها
مساجد ، لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وهذا بين به سبب لعنهم لما فيه من المغالاة
في التعظيم . قال القاضي ( يعني البيضاوي ) : لما كانت اليهود يسجدون لقبور أنبيائهم
تعظيماً لشأنهم ، ويجعلونها قبلة ، ويتوجهون في الصلاة نحوها ، فاتخذوها أوثاناً لعنهم
الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه
“Artinya,.. mereka menjadikan kubur para nabi itu
sebagai arah kiblat mereka akibat keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan
kubur itu sebagai masjid menuntut konsekuensi pembangunan masjid di atasnya,
dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka,
yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan.
Al-Qadli (yaitu Al-Baidlaawiy) mengatakan : ‘Orang-orang Yahudi bersujud kepada
kubur para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai
kiblat. Mereka juga menghadap ke kubur itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah
lainnya. Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadikannya sebagai berhala
yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal
tersebut” [Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’ Ash-Shaghiir – melalui
perantara Tahdziirus-Saajid hal. 35].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
قيل معناه النهي عن السجود على قبور الأنبياء وقيل النهي
عن اتخاذها قبلة يصلى إليها
“Dikatakan maknanya adalah larangan terhadap sujud di
atas kubur para Nabi. Dan juga dikatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk
menjadikannya sebagai kiblat dimana ia shalat menghadapnya” [Tanwiirul-Hawaalik
Syarh Muwaththa’ Malik no. 414, 1/143].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ،
وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا "
Dari Abu Martsad Al-Ghanawiy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah
kalian duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadap ke arahnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 972, Abu Daawud no. 3229, Ahmad 4/135, An-Nasaa’iy
no. 761, At-Tirmidzi no. 1050; dan yang lainnya].
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Semoga yang
sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 04 Ramadlaan 1436 – 21062015 – 16:13].
أَخْبَرَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، أَخْبَرَنَا مَالِكُ
بْنُ أَنَسٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا تُوُفِّيَ، قَالَ نَاسٌ: يُدْفَنُ عِنْدَ
الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ: يُدْفَنُ بِالْبَقِيعِ، فَجَاءَ أَبُو
بَكْرٍ، فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " مَا دُفِنَ نَبِيٌّ إِلا فِي مَكَانِهِ الَّذِي قَبَضَ اللَّهُ
فِيهِ نَفْسَهُ "، قَالَ: فَأُخِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْمَكَانِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ،
أَنْبَأَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاق، حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَرَادُوا أَنْ يَحْفِرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثُوا إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ
الْجَرَّاحِ وَكَانَ يَضْرَحُ كَضَرِيحِ أَهْلِ مَكَّةَ، وَبَعَثُوا إِلَى أَبِي
طَلْحَةَ وَكَانَ هُوَ الَّذِي يَحْفِرُ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَكَانَ يَلْحَدُ،
فَبَعَثُوا إِلَيْهِمَا رَسُولَيْنِ، وَقَالُوا: اللَّهُمَّ خِرْ لِرَسُولِكَ،
فَوَجَدُوا أَبَا طَلْحَةَ، فَجِيءَ بِهِ وَلَمْ يُوجَدْ أَبُو عُبَيْدَةَ
فَلَحَدَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَلَمَّا
فَرَغُوا مِنْ جِهَازِهِ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ فِي
بَيْتِهِ، ثُمَّ دَخَلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرْسَالًا يُصَلُّونَ عَلَيْهِ، حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا
النِّسَاءَ، حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا الصِّبْيَانَ، وَلَمْ يَؤُمَّ
النَّاسَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ، لَقَدِ
اخْتَلَفَ الْمُسْلِمُونَ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يُحْفَرُ لَهُ، فَقَالَ قَائِلُونَ: يُدْفَنُ فِي مَسْجِدِهِ،
وَقَالَ قَائِلُونَ: يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا
قُبِضَ نَبِيٌّ إِلَّا دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ "
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مِهْرَانَ السَّبَّاكُ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى السَّامِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَرَادُوا
أَنْ يَحْفُرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو
عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ يَضْرَحُ، يَحْفُرُ، لأَهْلِ مَكَّةَ، وَكَانَ أَبُو
طَلْحَةَ زَيْدُ بْنُ سَهْلٍ هُوَ الَّذِي كَانَ يَحْفُرُ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ،
وَكَانَ يَلْحَدُ، فَدَعَا الْعَبَّاسُ رَجُلَيْنِ، فَقَالَ لأَحَدِهِمَا: اذْهَبْ
إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ، وَلِلآخَرِ: اذْهَبْ إِلَى أَبِي طَلْحَةَ، اللَّهُمَّ
خِرْ لِرَسُولِكَ، فَوَجَدَ صَاحِبُ أَبِي طَلْحَةَ أَبَا طَلْحَةَ فَجَاءَ بِهِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الثُّلاثَاءِ، وُضِعَ عَلَى
سَرِيرِهِ، وَقَدْ كَانَ الْمُسْلِمُونَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ، فَقَالَ
قَائِلٌ: نَدْفِنُهُ فِي مَسْجِدِهِ،
وَقَالَ قَائِلٌ: بَلْ يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا
قُبِضَ نَبِيٌّ إِلا دُفِنَ حَيْثُ قُبِضَ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، أَخْبَرَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا فُرِغَ مِنْ جِهَازِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ الثُّلاثَاءِ وُضِعَ عَلَى سَرِيرٍ فِي بَيْتِهِ وَكَانَ
الْمُسْلِمُونَ قَدِ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ، فَقَالَ قَائِلٌ: ادْفِنُوهُ فِي مَسْجِدِهِ، وَقَالَ قَائِلٌ:
ادْفِنُوهُ مَعَ أَصْحَابِهِ بِالْبَقِيعِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَا مَاتَ نَبِيٌّ إِلا
دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ "، فَرُفِعَ فِرَاشُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الَّذِي تُوُفِّيَ عَلَيْهِ ثُمَّ حُفِرَ لَهُ تَحْتَهُ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الأَنْصَارِيُّ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ، قَالَ:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ: " أَيْنَ يُدْفَنُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ: عِنْدَ الْمِنْبَرِ،
وَقَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ: حَيْثُ كَانَ يُصَلِّي يَؤُمُّ النَّاسَ، فَقَالَ أَبُو
بَكْرٍ: بَلْ يُدْفَنُ حَيْثُ تَوَفَّى اللَّهُ نَفْسَهُ، فَأُخِّرَ الْفِرَاشُ
ثُمَّ حُفِرَ لَهُ تَحْتَهُ "
Comments
Terkait kalimah "janganlah kalian menjadikan makam sebagai masjid seperti jahudi dan nasrani"
Ana lebih cederung pada pendapat agar jgn menjadikan makam sebagai tempat ibadah spt shalat, mengaji, zikir, dan lain sbg'a... sebab itulah yg diperbuat oleh jahud dan nasrani. sementara sinagog2 mereka tidaklah didirikan diatas kuburan nabi mereka.
Allahu 'alam
pak, mohon sharing ilmunya. bagaimana memaknai sifat sibuknya Allah pd ayat “setiap waktu Dia berada dalam kesibukan” (Qs. Ar Rahman: 29) dg makna yg pas tanpa kurang dan berlebihan..syukran
Posting Komentar