Berbuka
puasa adalah salah satu kenikmatan Allah ta’ala yang dirasakan oleh
orang yang berpuasa. Kenikmatan tersebut termasuk kegembiraan yang diawalkan
bagi orang yang berpuasa di dunia sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ
يَلْقَى رَبَّهُ
“Dan
bagi orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika
berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 7492 dan Muslim no. 1151].
Oleh karena itu, sesuatu yang
biasa-biasa saja kita makan di luar waktu puasa bulan Ramadlaan, seringkali menjadi luar
biasa saat kita makan ketika berbuka puasa. Segelas air putih dan sepotong
singkong goreng dingin pun dapat terasa sangat nikmat dalam kecapan waktu berbuka. Berbukanya seorang muslim yang baik tidak sekedar dengan cara ‘membatalkannya’ melalui makan minum saja atau yang penting perut terisi dan kenyang. Ada
beberapa tuntunan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang jika
kita meneladaninya, dapat menjadikan amalan berbuka puasa kita menjadi lebih
sempurna dan berpahala. Apa sajakah itu? Berikut beberapa hal yang diambilkan
dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih:
1.
Menyegerakan berbuka puasa.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، أَنّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ
بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dari Sahl bin Sa’ad, bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Manusia senantiasa berada di dalam
kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1957 dan Muslim no. 1098].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَزَالُ الدِّينُ
ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، إِنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى
يُؤَخِّرُونَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Agama senantiasa kokoh
selama manusia menyegerakan berbuka. Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani
mengakhirkannya (menundanya)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2353;
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud
2/58].
Yaitu waktunya dimulai ketika matahari telah terbenam yang
dengannya masuk waktu Maghrib. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ
وَأَدْبَرَ النَّهَارُ، وَغَابَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu,
serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1100].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: ( إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْل وَأَدْبَرَ النَّهَار وَغَابَتْ الشَّمْس فَقَدْ أَفْطَرَ
الصَّائِم ) مَعْنَاهُ : اِنْقَضَى صَوْمه وَتَمَّ , وَلَا يُوصَف الْآن بِأَنَّهُ
صَائِم , فَإِنَّ بِغُرُوبِ الشَّمْس خَرَجَ النَّهَار وَدَخَلَ اللَّيْل , وَاللَّيْل
لَيْسَ مَحِلًّا لِلصَّوْمِ
“Makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu, serta matahari pun
terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” ; adalah puasanya
telah selesai sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan
sempurna) dia bukan orang yang berpuasa.
Maka dengan terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan malam pun
tiba; dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa” [Syarh Shahiih Muslim 7/209].
2.
Mendahulukan berbuka sebelum shalat maghrib.
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ، قَالَ:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ
قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat
(Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr. Jika tidak
ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 2356, Ahmad 3/164, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy
dalam Irwaaul-Ghalil 4/45 no. 922].
3.
Sebelum berbuka membaca basmalah.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكمْ
, فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَليهِ, يُبَارَكْ لَكمْ فِيهِ
“Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah
nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 3764, Ibnu Maajah no. 3286, dan yang lainnya; dihasankan oleh
Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 2/268-270 no. 664].
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ
الطَّعَامَ أَنْ لَا يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya setan menghalalkan makanan (untuk ia
makan dari makanan yang dimakan manusia) yang tidak disebut nama Allah padanya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2017].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
مَعْنَى ( يَسْتَحِلّ )
يَتَمَكَّن مِنْ أَكْله ، وَمَعْنَاهُ : أَنَّهُ يَتَمَكَّن مِنْ أَكْل الطَّعَام
إِذَا شَرَعَ فِيهِ إِنْسَان بِغَيْرِ ذِكْر اللَّه تَعَالَى . وَأَمَّا إِذَا
لَمْ يَشْرَع فِيهِ أَحَد فَلَا يَتَمَكَّن . وَإِنْ كَانَ جَمَاعَة فَذَكَرَ
اِسْم اللَّه بَعْضهمْ دُون بَعْض لَمْ يَتَمَكَّن مِنْهُ
“Makna dari ‘menghalalkan’ yaitu dapat
menikmati makanan tersebut. Maksudnya, bahwa setan itu mendapatkan bagian
makanan jika seseorang memulainya tanpa dzikir kepada Allah ta’ala.
Adapun bila belum ada seseorang yang memulai makan, maka (setan) tidak akan
dapat memakannya. Jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka
menyebut nama Allah sedangkan sebagian lainnya tidak, maka setan pun tidak akan
dapat memakannya” [Syarh Shahiih Muslim 13/189-190].
Apabila lupa mengucapkan basmalah, ketika ingat
disunnahkan membaca:
بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan
menyebut Allah di awal dan di akhirnya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/143
& 246 & 265, Ibnu Maajah no. 3264, Ibnu Hibbaan no. 5214, dan yang
lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahiih Ibni Hibbaan 12/14-15].
4.
Berbuka dengan kurma atau makanan lain yang ada dan
mudah didapat.
Berbuka puasa dengan memakan beberapa butir kurma,
baik ruthab (kurma setengah matang yang masih sedikit keras dan berwarna
hijau kecoklatan), tamr (kurma matang), atau
hanya sekedar air putih jika yang ada hanya itu - sebagaimana hadits Anas bin
Maalik radliyallaahu ‘anhu di atas.
Atau
berbuka dengan beberapa makanan yang
disukai atau biasa dimakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرِ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ "
Dari ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam makan ruthab dengan mentimun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 5440 & 5447 & 5449 dan Muslim no. 2043].
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرُّطَبِ وَالْخِرْبِزِ
Dari Anas, ia berkata : “Aku permah melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencampur antara ruthab dengan khirbiz
(semangka kuning)” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/142 & 143, Ibnu Hibbaan no.
5248, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Arna’uth dalam Takhriij Shahiih Ibni
Hibbaan 12/53].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،
قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الْبِطِّيخَ
بِالرُّطَبِ، فَيَقُولُ: نَكْسِرُ حَرَّ هَذَا بِبَرْدِ هَذَا وَبَرْدَ هَذَا بِحَرِّ
هَذَا
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata
: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa makan semangka dan ruthab,
lalu beliau bersabda : ‘Panasnya ruthab ini kami hilangkan dengan dinginnya
semangka ini, dan dinginnya semangka ini kami hilangkan dengan panasnya ruthab
ini” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3836, At-Tirmidziy no. 1843, Ibnu
Hibbaan no. 5246 & 5247, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy
dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/454-455].
عَنْ ابْنَيْ بُسْرٍ السُّلَمِيَّيْنِ،
قَالَا: دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدَّمْنَا
زُبْدًا وَتَمْرًا، وَكَانَ يُحِبُّ الزُّبْدَ وَالتَّمْرَ
Dari
dua orang anak Busr As-Sulamiy, mereka berdua berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam masuk menemui kami. Lalu kami hidangkan keju dan tamr kepada beliau, dan beliau menyukai keju dan tamr”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3837, Ibnu Maajah no. 3334, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/455].
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ:
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ، فَقَالُوا:
مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ، فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ، وَيَقُولُ: نِعْمَ
الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka
berkata : “Tidak ada di sisi kami kecuali cuka”. Maka beliau menyuruh untuk
diambilkan dan kemudian makan dengannya. Beliau bersabda : “Sebaik-baik lauk
adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
2052, At-Tirmidziy no. 1839 & 1842, dan yang lainnya].
Dan makanan lainnya yang pernah dimakan oleh beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Beberapa jenis makanan di atas bukan merupakan bagian
dari sunnah yang dianjurkan bagi kita untuk memakannya. Akan tetapi jika kita
memakannya dikarenakan kecintaan kita kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, maka kita akan diberikan pahala berdasarkan niat kita. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah berdasarkan
niat, dan setiap orang hanyalah akan dibalas sesuai apa yang diniatkannya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1].
Amalan kecil akan menjadi besar karena niatnya, dan
begitu juga sebaliknya, amalan besar akan menjadi kecil – dan bahkan hilang
sama sekali – karena niatnya pula.
5.
Tidak berlebihan ketika berbuka, memenuhi perut dengan
makanan dan minuman.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا
تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [QS. Al-A’raaf : 31].
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مَلَأَ
آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ،
فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Dari Miqdaam bin Ma’diikarib, ia berkata : Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah
anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam
memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus
(melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga
untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2380, Ibnu Maajah no. 3349, Ahmad 4/132, Ibnu Hibbaan no. 674
& 5236, dan yang lainnya; shahih].
Berbuka dimulai dengan sedikit makanan dan minuman (diantaranya
seperti dalam nomor 4) agar tidak menyebabkan berat ketika shalat Maghrib. Baru
setelah itu, dapat dilanjutkan kembali dengan makan makanan berat seperti nasi
dan yang lainnya.
Memenuhi perut dengan makanan dan minuman dapat
menyebabkan rasa malas/berat untuk beribadah, mual, dan berbagai gangguan
kesehatan.
6.
Mengucapkan hamdalah atau doa-doa lain yang ma’tsuur
setelah selesai makan dan minum.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ
الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ، فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ
فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ridla
terhadap hamba-Nya yang makan atau minum, dan setelah itu ia memuji Allah
atasnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2734].
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ، قَالَ: الْحَمْدُ
لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلَا مُوَدَّعٍ وَلَا
مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا
Dari Abu Umaamah, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam apabila selesai dari makanannya beliau mengucapkan : “Alhamdulillaahi
katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi ghairo makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa
mustaghnan ‘anhu Robbanaa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh barakah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan, dan tidak
dapat ditinggalkan, wahai Rabb kami” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
5458].
عَنْ مَرْوَان يَعْنِي ابْن سَالِمٍ
الْمُقَفَّعَ قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا
زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dari Marwaan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ - , ia
berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar menggenggam jenggotnya dan memotong
selebih dari (genggaman) telapak tangannya, lalu berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa berdoa : ‘(Dzahabazh-zhoma-u
wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh) Rasa haus telah pergi
dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 2357, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/374 no. 3315
& 9/119 no. 10058 dan dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 268-269 no.
299, dan yang lainnya; dihasankan oleh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Mausu’ah
Al-Haafidh Ibni Hajar Al-Hadiitsiyyah 2/360 no. 78].
Jika kita diberikan makanan atau minuman berbuka puasa
oleh orang lain, maka disunnahkan untuk mendoakannya dengan doa diantaranya:
اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي
وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
“Alloohumma ath’im man ath’amanii wasqi man asqoonii
(ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah
minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku)” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2055].
7.
Jika mempunyai kelebihan hidangan untuk berbuka,
sangat dianjurkan untuk memberikan sebagiannya kepada orang lain (yang
berpuasa) atau mengundang mereka untuk berbuka bersama.
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ فَطَّرَ
صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ
شَيْئًا "
Dari Zaid bin Khaalid Al-Juhaniy, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
yang memberi makanan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang
diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang
berpuasa itu sedikitpun juga” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 807, Ibnu
Maajah no. 1746, Ahmad 4/114 & 116, dan Ibnu Hibbaan no. 3429; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/423-424].
Ini saja yang
dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 09 Ramadlaan 1436/25062015 –
23:33].
Comments
Assalamu'alaikum Ustadz,
mau tanya, adakah rencana menambah postingan dengan label tokoh?
Dengan gembira kami berharap.
Syukran.
Assalamualaikum pak Ustadz,
saya ingin bertanya...
untuk point pertama,
seandainya nihh pak ustadz,, saat kita sedang dalam perjalan pulang naik angkutan umum yang melalui tol dan saat itu kita lupa membawa / membeli minum untuk menyegerakan berbuka saat adzan telah tiba, apakah hukum puasa kita pak ustadz,..
wasalamualaikum,
Online MonitoringWa'alaikumus-salaam..... puasanya sah.
Posting Komentar