Al-Imaam
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَابِسِ بْنِ
رَبِيعَةَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ
الْأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ
وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami
Sufyaan, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Aabis bin Rabii’ah, dari ‘Umar radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya ia pernah mendatangi hajar aswad lalu menciumnya dan
berkata : “Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau hanyalah sebuah batu
yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat. Seandainya aku tidak
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak sudi menciummu”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 1597].
Riwayat
ini memberikan beberapa faedah, diantaranya:
1.
Hajar Aswad –
sebagaimana batu yang lainnya – tidak memberikan mudlarat maupun manfaat.
2.
‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tidak bertabarruk dengan dzat Hajar
Aswad karena dianggap mengandung barakah, karena kerberkahan benda-benda
tertentu harus berdasarkan dalil, bukan berdasarkan akal dan pendapat semata[1].
3.
‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu hanyalah mencium Hajar Aswad karena melihat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.
Oleh karenanya, tabarruk
‘Umar radliyallaahu ‘anhu bukan pada dzat bendanya (yaitu Hajar
Aswad), akan tetapi bertabarruk dengan sikap ittibaa’ dan ibadah/amal
ketaatan sesuai dengan yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tabarruk dengan amal shaalih adalah dianjurkan oleh syari’at.
Ath-Thabariy rahimahullah
berkata:
إِنَّمَا
قَالَ ذَلِكَ عُمَر لِأَنَّ النَّاس كَانُوا حَدِيثِي عَهْد بِعِبَادَةِ
الْأَصْنَام فَخَشِيَ عُمَر أَنْ يَظُنّ الْجُهَّال أَنَّ اِسْتِلَام الْحَجَر
مِنْ بَاب تَعْظِيم بَعْض الْأَحْجَار كَمَا كَانَتْ الْعَرَب تَفْعَل فِي
الْجَاهِلِيَّة فَأَرَادَ عُمَر أَنْ يُعَلِّم النَّاس أَنَّ اِسْتِلَامه
اِتِّبَاع لِفِعْلِ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا لِأَنَّ
الْحَجَر يَنْفَع وَيَضُرّ بِذَاتِهِ كَمَا كَانَتْ الْجَاهِلِيَّة تَعْتَقِدهُ
فِي الْأَوْثَان
“’Umar hanyalah
mengatakannya karena orang-orang belum lama terlepas dari penyembahan terhadap
berhala, sehingga ia khawatir orang-orang bodoh akan menyangka mencium batu
merupakan pengagungan terhadap sebagian batu-batu sebagaimana orang-orang ‘Arab
dulu melakukannya di jaman Jaahiliyyah. Maka ‘Umar hendak memberitahukan kepada
orang-orang bahwa ia mencium Hajar Aswad karena ittibaa’ terhadap
perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dikarenakan
batu tersebut dapat memberikan manfaat dan mudlarat sebagaimana Jaahiliyyah
dulu yang meyakininya pada berhala-berhala’ [Fathul-Baariy, 3/462-463].
Al-Baihaqiy rahimahullah
berkata:
فَأَمِيرُ
الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ قَدْ عَبَدَ الْحَجَرَ فَحِينَ
أَهْوَى إِلَى الرُّكْنِ كَأَنَّهُ هَابَ مَا كَانَ عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَتَبَرَّأَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سِوَى اللَّهِ وَأَخْبَرَهُ بِأَنَّهُ حَجَرٌ لا
يَضُرُّ وَلا يَنْفَعُ يُرِيدُ مَا كَانَ عَلَى هَيْئَتِهِ حَجَرًا وَأَنَّهُ
إِنَّمَا يُقَبِّلُهُ مُتَابَعَةً لِلسُّنَّةِ
“Amiirul-mukminiin
‘Umar radliyallaahu ‘anhu dulu menyembah batu. Maka ketika beliau
membungkuk hendak mencium Ar-Rukn, sepertinya ia khawatir tentang
kondisinya dulu di jaman Jaahiliyyah (yang menyembah batu). Maka beliau berlepas
diri dari segala sesuatu selain Allah dan mengkhabarkan bahwa ia hanyalah batu
yang tidak memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat – maksud beliau
adalah statusnya sebagai batu - , dan bahwasannya beliau hanya menciumnya
karena ber-ittibaa’ kepada sunnah” [Syu’abul-Iimaan, 5/471].
An-Nawawiy rahimahullah
berkata:
وَأَمَّا
قَوْل عُمَر - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - : ( لَقَدْ عَلِمْت أَنَّك حَجَر وَإِنِّي
لَأَعْلَم أَنَّك حَجَر وَأَنَّك لَا تَضُرّ وَلَا تَنْفَع ) فَأَرَادَ بِهِ
بَيَان الْحَثّ عَلَى الِاقْتِدَاء بِرَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي تَقْبِيله ، وَنَبَّهَ عَلَى أَنَّهُ لَوْلَا الِاقْتِدَاء بِهِ
لَمَا فَعَلَهُ ، وَإِنَّمَا قَالَ : وَإِنَّك لَا تَضُرّ وَلَا تَنْفَع ؛
لِئَلَّا يَغْتَرّ بَعْض قَرِيبِي الْعَهْد بِالْإِسْلَامِ الَّذِينَ كَانُوا
أَلِفُوا عِبَادَة الْأَحْجَار وَتَعْظِيمهَا وَرَجَاء نَفْعهَا ، وَخَوْف
الضَّرَر بِالتَّقْصِيرِ فِي تَعْظِيمهَا ، وَكَانَ الْعَهْد قَرِيبًا بِذَلِكَ ،
فَخَافَ عُمَر - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - أَنْ يَرَاهُ بَعْضهمْ يُقَبِّلهُ ،
وَيَعْتَنِي بِهِ ، فَيَشْتَبِه عَلَيْهِ فَبَيَّنَ أَنَّهُ لَا يَضُرّ وَلَا
يَنْفَع بِذَاتِهِ ، وَأنْ كَانَ اِمْتِثَال مَا شَرَعَ فِيهِ يَنْفَع
بِالْجَزَاءِ وَالثَّوَاب فَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا قُدْرَة لَهُ عَلَى نَفْع وَلَا
ضَرّ ، وَأَنَّهُ حَجَر مَخْلُوق كَبَاقِي الْمَخْلُوقَات الَّتِي لَا تَضُرّ
وَلَا تَنْفَع وَأَشَاعَ عُمَر هَذَا فِي الْمَوْسِم ؛ لِيُشْهَد فِي الْبُلْدَان
، وَيَحْفَظهُ عَنْهُ أَهْل الْمَوْسِم الْمُخْتَلِفُو الْأَوْطَان . وَاَللَّه
أَعْلَم .
“Adapun perkataan
‘Umar radliyallaahu ‘anhu : ‘Sesungguhnya aku tahu bahwasannya engkau
hanyalah sebuah batu, dan aku tahu bahwa engkau sebuah batu yang tidak
memberikan kemudlaratan dan tidak pula manfaat’, maka ia hendak memberikan
penjelasan dengannya tentang anjuran untuk meneladani Rasulullah shallallaahu
‘alaihi w sallam dalam menciumnya (Hajar Aswad), dan memberitahukan bahwa
seandainya bukan karena maksud untuk meneladani beliau, niscaya ia tidak
melakukannya. ‘Umar hanyalah berkata : ‘dan sesungguhnya engkau tidak
memberikan mudlarat dan tidak pula manfaat; agar orang-orang yang baru
masuk Islam yang dulunya senang menyembah batu, mengagungkannya, dan
mengharapkan manfaatnya, dan khawatir terhadap mudlarat yang ditimbulkannya
karena kurang dalam pengungannya; tidak terpedaya. Mereka baru saja lepas dari
semua itu. Maka ‘Umar radliyallaahu ‘anhu khawatir timbul syubhat pada
sebagian orang melihatnya mencium Hajar Aswad dan memberikan perhatian
kepadanya. ‘Umar pun menjelaskan bahwa ia (Hajar Aswad) tidak dapat memberikan
mudlarat dan tidak pula manfaat dengan dzatnya, serta bahwasannya ia adalah makhluk
ciptaan yang tidak dapat memberikan manfaat berupa balasan dan pahala serta
tidak dapat memberikan mudlarat. ‘Umar menyebarkan ini pada musim haji agar
diketahui di negeri-negeri dan dihapal orang-orang dari berbagai negara yang
menunaikan haji di muslim haji. Wallaahu a’lam’ [Syarh Shahiih Muslim,
9/16-17].
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
وَهُوَ
قَاعِدَة عَظِيمَة فِي اِتِّبَاع النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيمَا يَفْعَلهُ وَلَوْ لَمْ يَعْلَم الْحِكْمَة فِيهِ ، وَفِيهِ دَفْع مَا
وَقَعَ لِبَعْضِ الْجُهَّال مِنْ أَنَّ فِي الْحَجَر الْأَسْوَد خَاصَّة تَرْجِع
إِلَى ذَاته ، وَفِيهِ بَيَان السُّنَن بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل
“Hal tersebut
merupakan kaedah yang sangat agung dalam ittibaa’ kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada apa yang dilakukan ‘Umar meskipun ia tidak
mengetahui hikmah yang terkandung di dalamnya” [Fathul-Baariy, 3/463].
4.
Mencium atau
mengusap benda-benda tertentu dalam rangka ibadah tidak diperbolehkan kecuali
jika ada dalilnya.
Al-Qaadliy
Abu Ya’laa rahimahullah ketika menyebutkan alasan pendapat kedua yang
beredar dalam madzhabnya (Hanaabilah) tentang permasalahan berkata:
إنما
طريقة القربة تقف على التوقيف ولهذا قال عمر ـ رضي الله عنه ـ في الحجر: لولا أني
رأيت رسول الله يقبلك لما قبلتك وليس في هذا توقيف
“Jalan mendekatkan diri kepada Allah hanyalah berdiri
di atas tauqiif (landasan dalil). Oleh karena itu ‘Umar radliyallaahu
‘anhu berkata tentang Hajar Aswad : ‘Seandainya aku tidak
melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menciummu, sungguh aku tidak sudi menciummu’. Dan tidak ada tauqiif dalam perbuatan ini (meletakkan
tangan di atas kubur dan mengusap-usapnya)’ [Al-Masaailul-Fiqhiyyah min
Kitaab Ar-Riwaayatain wal-Wajhain, 1/215].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata:
قَالَ
شَيْخنَا فِي " شَرْح التِّرْمِذِيّ " : فِيهِ كَرَاهَة تَقْبِيل مَا
لَمْ يَرِدْ الشَّرْع بِتَقْبِيلِهِ
“Telah
berkata Syaikh kami dalam Syarh At-Tirmidziy : ‘Dalam riwayat tersebut
terdapat dalil dibencinya mencium sesuatu yang tidak ada dalil dalam syari’at
untuk menciumnya’ [Fathul-Baariy, 3/463].
عَنْ
نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam[2]
[Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no.
27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar
12/378; shahih].
حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ
قَتَادَةَ، وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى: إِنَّمَا أُمِرُوا أَنْ
يُصَلُّوا عِنْدَهُ وَلَمْ يُؤْمَرُوا بِمَسْحِهِ، وَلَقَدْ تَكَلَّفَتْ هَذِهِ الأُمَّةُ
شَيْئًا مَا تَكَلَّفَتْهُ الأُمَمُ قَبْلَهَا.......
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Yaziid bin Zurai’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Sa’iid, dari Qataadah tentang ayat : ‘Dan jadikanlah sebahagian maqam
Ibrahim tempat shalat’ (QS. Al-Baqarah : 125), ia berkata : “Kalian
hanyalah diperintahkan untuk shalat di tempat tersebut, dan tidak diperintahkan
untuk mengusap-usapnya. Dan sungguh umat ini telah takalluf
(memperberat-berat diri) pada sesuatu yang umat sebelumnya tidak ber-takalluf
padanya.…..”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 2/35;
sanadnya hasan].
عَنْ
عَطَاءٍ أَنَّهُ كَرِهَ أَنْ يُقَبِّلَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ أَوْ يَمْسَحَهُ
Dari
‘Athaa’ : Bahwasannya ia membenci seseorang mencium maqaam (Ibraahiim)
dan mengusap-usapnya” [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah
no. 951; sanadnya hasan].
Ada
sekelompok orang mempraktekkan ketika ulama mengatakan ‘membenci’ sesuatu; maka
itu untuk dilanggar, boleh-boleh saja melakukannya, bahkan menjadi syi’ar dan
anjuran dalam ibadah. Memang
beda antara salaf dan mereka…..
Wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
Ini saja yang
dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai – 03042015 – 03:12].
[1] Benda-benda tertentu yang mengandung
barakah berdasarkan dalil sehingga kita boleh bertabarruk dengannya antara
lain:
a.
Hujan
Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
“Dan
Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan
air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” [QS. Qaaf : 9].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ بَرَكَةٍ، إِلَّا أَصْبَحَ فَرِيقٌ مِنَ النَّاسِ بِهَا كَافِرِينَ، يُنْزِلُ اللَّهُ الْغَيْثَ، فَيَقُولُونَ الْكَوْكَبُ كَذَا وَكَذَا
“Tidaklah
Allah menurunkan barakah dari langit, kecuali akan ada sekelompok manusia yang
kufur terhadapnya. Allah menurunkan hujan, lalu mereka berkata : ‘Bintang ini
dan itu (yang menurunkan hujan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 72].
Oleh
karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyingkap pakaian
beliau saat turun hujan pertama agar badan beliau terkena air hujan. Juga
sebagian shahabat mengeluarkan beberapa barang/perabot keluar rumah agar
terkena air hujan. Selengkapnya silakan baca artikel Hujan,
Keberkahan Bersamanya dan Beberapa
Sunnah Ketika Turun Hujan.
b.
Zaitun
Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api” [QS. An-Nuur : 35].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُوا الزَّيْتَ
وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Makanlah
zaitun dan jadikanlah ia sebagai minyak, karena ia termasuk pohon yang
diberkahi” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1851, Ibnu Maajah no. 3319, ‘Abd
bin Humaid no. 13, dan yang lainnya; lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.
379].
c.
Kurma
Dalilnya
adalah hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ
صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسٌ إِذَا أُتِيَ بِجُمَّارِ نَخْلَةٍ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ لَمَا
بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ،
فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ الْتَفَتُّ
فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ، فَسَكَتُّ، فَقَالَ النَّبِيُّ
صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ "
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Ketika kami
sedang duduk bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
disuguhi jantung kurma. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang barakahnya seperti
barakah seorang muslim”. Aku pun menduganya yang dimaksud adalah pohon
kurma. Lalu aku ingin menjawabnya : ‘Ia adalah pohon kurma wahai Rasulullah’,
namun ketika aku menoleh ternyata aku adalah yang paling muda diantara yang
hadir. Maka aku pun diam, dan kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ia adalah pohon kurma” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5444].
d.
Segala sesuatu dari
badan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (rambut, keringat, dan yang
lainnya).
Dalilnya
diantaranya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:
" كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ،
فَيَنَامُ عَلَى فِرَاشِهَا، وَلَيْسَتْ فِيهِ، قَالَ: فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَنَامَ
عَلَى فِرَاشِهَا، فَأُتِيَتْ، فَقِيلَ لَهَا: هَذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَامَ فِي بَيْتِكِ، عَلَى فِرَاشِكِ، قَالَ: فَجَاءَتْ وَقَدْ عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ
عَرَقُهُ عَلَى قِطْعَةِ أَدِيمٍ عَلَى الْفِرَاشِ، فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا، فَجَعَلَتْ
تُنَشِّفُ ذَلِكَ الْعَرَقَ فَتَعْصِرُهُ فِي قَوَارِيرِهَا، فَفَزِعَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا تَصْنَعِينَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ ؟ فَقَالَتْ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا، قَالَ: أَصَبْتِ
Dari
Anas bin Maalik, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu hari pernah masuk ke rumah Ummu Sulaim. Beliau lalu tidur di atas
alas tidur Ummu Sulaim ketika ia tidak ada di rumah. Pada hari lainnya beliau
juga datang dan melakukan hal yang sama. Ketika Ummu Sulaim datang, ada yang
melapor bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidur di alas tidur di
rumahnya. Segera saja Ummu Sulaim masuk dan mendapati Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersimbah keringat yang sangat banyak sehingga mengenai
sepotong kulit yang berada di dekat alas tidur tersebut. Kemudian Ummu Sulaim
menyeka keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol-botol yang terbuat
dari kaca. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terbangun dan merasa
kaget. Beliau bertanya : “Apa yang sedang kamu lakukan wahai Ummu Sulaim ?”. Ia
menjawab : “Wahai Rasulullah, kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak
kami”. Maka beliau berkata : “Engkau benar” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
2331].
Dan
yang lainnya.
Maka,
orang tidak boleh seenaknya mengatakan bahwa tahu, tempe, asem, dan melon ada barakahnya secara spesifik, karena itu tidak ada dalilnya. Begitu juga tidak
boleh mengatakan keringat kakek dan neneknya mengandung barakah diqiyaskan
dengan barakahnya keringat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
karena para shahabat dulu tidak pernah bertabarruk dengan keringat selain dari
keringat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
كره ذلك لأنه رآه إساءة أدب ، وقد سُئل أحمد بن حنبل عن
مسّ القبر النبوي وتقبيله فلمْ يرَ بذلك بأسا ، رواه عنه ولده عبدالله بن أحمد
“Hal itu dimakruhkan karena ia (Ibnu ‘Umar)
berpandangan sebagai suu’ul-adab saja. Ahmad bin Hanbal pernah ditanya
tentang mengusap-usap kubur nabi dan menciumnya, maka ia berpendapat tidak
mengapa. Diriwayatkan darinya oleh anaknya yang bernama ‘Abdullah” [Mu’jamusy-Syuyuukh,
1/45].
Sebagian orang membawakan perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah
di atas untuk menegaskan tetap dimasyru’kannya mengusap-usap kubur Nabi dalam
rangka tabarruk
padanya dan mengisyaratkan bahwa sikap Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut
bukan mengandung larangan.
Sangat kontradiktif ! Jika memang mengusap-usap kubur dan
bertabarruk padanya itu
diperbolehkan oleh syari’at,
tentu Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak akan membencinya dan mengklasifikasikan
perbuatan tersebut sebagai suu’ul-adab
terhadap beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah shahabat
yang dikenal sangat besar rasa ittibaa’-nya hingga dalam hal kebiasaan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang asalnya tidak diperintahkan
untuk mengikutinya.
حَدَّثَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ الْعَدْلُ،
ثَنَا أَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصْرٍ، ثَنَا أَبُو غَسَّانَ
مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ، عَنْ
أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا أَحْذَرَ أَنْ لا يَزِيدَ
فِيهِ وَلا يُنْقِصَ مِنَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا "
Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Diinaar Al-‘Adl : Telah
menceritakan kepada kami Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Nashr : Telah
menceritakan kepada kami Abu Ghassaan Maalik bin Ismaa’iil : Telah menceritakan
kepada kami Zuhair, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Ja’far, ia berkata :
“Tidak ada seorang pun dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
aalihi wa sallam apabila mendengar satu hadits dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa aalihi wa sallam yang lebih bersemangat untuk memperingatkan
agar tidak menambah ataupun menguranginya daripada Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (At-Tatabbu’
– Muqbil Al-Wadii’iy), 3/690 no. 6453; sanadnya hasan].
Jika
mengusap-usap dan bertabarruk merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada
Allah ta’ala, niscaya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak
akan meninggalkannya, membencinya, dan menghukuminya sebagai kejelekan adab. Apakah
mungkin Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membenci sunnah Nabi jika ia
memang mengetahui itu merupakan bagian dari sunnah beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?.
Thinking
before speaking !.
Apalagi,
tidak ada riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
bertabarruk mengusap-usap kubur dan juga tidak ada riwayat shahih dari para
shahabat radliyallaahu ‘anhum yang melakukannya pada kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Jika memang disyari’atkan, tentu sudah dijelaskan.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ
يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ،
إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ "
Dari Abu Dzarr, ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami
dalam keadaan tidak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau
telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tidak tersisa sesuatupun yang mendekatkan
ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647;
sanadnya shahih].
Adapun tentang
riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah yang membolehkan mengusap-usap kubur
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka ber-taqarrub kepada
Allah, maka telah dibahas dalam artikel : Tabarruk dengan
Mengusap dan Mencium Kubur Nabi. Sebagai tambahan kita katakan:
Sebagian ulama
madzhab Hanaabilah mengingkari riwayat tersebut dengan menafikkan keshahihannya
– meski sebagian lain ada yang menetapkannya – . Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَأَمَّا غَيْره فَنُقِلَ عَنْ الْإِمَام أَحْمَد أَنَّهُ سُئِلَ
عَنْ تَقْبِيل مِنْبَر النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقْبِيل
قَبْره فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا ، وَاسْتَبْعَدَ بَعْض اِتِّبَاعه صِحَّة ذَلِكَ
“Adapun mencium
selain manusia, maka telah dinukil dari Al-Imaam Ahmad bahwasannya ia pernah
ditanya tentang mencium mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
mencium kuburnya, dan ia berpendapat tidak mengapa. Dan sebagian pengikutnya
(yaitu ulama madzhab Hanaabilah) menganggap riwayat tersebut tidak shahih” [Fathul-Baariy,
3/475].
Selain itu, ada riwayat lain dari Al-Imaam Ahmad rahimahullah sebagai
berikut:
فَصْلٌ : وَلَا يُسْتَحَبُّ التَّمَسُّحُ بِحَائِطِ قَبْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَقْبِيلُهُ ، قَالَ أَحْمَدُ
: مَا أَعْرِفُ هَذَا .
قَالَ الْأَثْرَمُ : رَأَيْت أَهْلَ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ لَا يَمَسُّونَ قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُومُونَ مِنْ نَاحِيَةٍ فَيُسَلِّمُونَ .
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ : وَهَكَذَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُ
. قَالَ : أَمَّا الْمِنْبَرُ فَقَدْ جَاءَ فِيهِ. يَعْنِي مَا رَوَاهُ
إبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِئُ ، أَنَّهُ نَظَرَ إلَى
ابْنِ عُمَرَ ، وَهُوَ يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَقْعَدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمِنْبَرِ ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى وَجْهِهِ .
Pasal
: Tidak disukai/disunnahkan
mengusap tembok kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula
menciumnya. Ahmad berkata : ‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : “Aku
melihat ulama dari kalangan penduduk Madiinah tidak menyentuh kubur Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan mereka berdiri dari sisi kubur lalu mengucapkan salam.
Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar”. Abu ‘Abdillah
berkata : “Adapun mimbar, maka ada riwayat tentang hal
tersebut (yang membolehkannya). Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan
bin ‘Abdil-Qaari’, bahwasannya ia pernah melihat Ibnu ‘Umar meletakkan
tangannya di atas tempat duduk mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian meletakkannya (mengusapnya) ke wajahnya” [Al-Mughniy, 3/599].
Yang penting untuk kita ketahui adalah pokok cara pandang Al-Imaam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah dalam permasalahan ini. Ketika beliau tidak
mengetahui adanya nash atau atsar dari salaf, maka beliau tidak melakukannya.
Namun ketika beliau menemukan nash atau atsar yang dapat dijadikan dasar, maka
beliau membolehkannya. Menurut riwayat Al-Atsram ini, perbuatan mengusap dan
mencium kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui
dalil/pijakannya, dan kemudian beliau rahimahullah menjelaskan sikap Ibnu
‘Umar dan ulama Madiinah yang tidak melakukannya.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa tidak melakukannya karena membenci perbuatan tersebut. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa pandangan beliau rahimahullah adalah tidak
masyru’-nya mengusap-usap kubur Nabi. Inilah juga yang dipahami Al-Qaadli Abu Ya’laa Al-Hanbaliy setelah menyebutkan
riwayat Al-Atsram rahimahumallah tersebut:
وهذه الرواية تدل على أنه ليس بسنة وضع اليد على القبر
“Riwayat ini
menunjukkan tidak disunnahkannya meletakkan tangan di atas kubur (dan
mengusap-usapnya)” [Al-Masaailul-Fiqhiyyah min Kitaab Ar-Riwaayatin
wal-Wajhain, 1/215].
Adapun mengusap
mimbar, menurut beliau (Ahmad bin Hanbal) diperbolehkan karena berpegangan
dengan riwayat Ibnu ‘Umar yang dikatakan pernah mengusap mimbar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam; sedangkan Ibnu ‘Umar merupakan salah seorang shahabat yang
sangat besar ittibaa’-nya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Atsar Ibnu ‘Umar
dari Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ yang dimaksudkan dalam riwayat Al-Atsram
tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat (1/123) : Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil bin Abi Fudaik, ia berkata :
Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Dzi’b, dari Hamzah bin Abi Ja’far, dari
Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ : “…..(al-atsar)…”.
Riwayat ini lemah
karena majhulnya Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdil-Qaari’ dan Hamzah bin
Abi Ja’far. Keterangan tentang Ibraahiim dapat dibaca pada At-Taariikh
Al-Kabiir 1/297 no. 951, Al-Jarh wat-Ta’diil 2/111 no. 329, dan Ats-Tsiqaat
li-Ibni Hibbaan 4/9. Adapun Ja’far bin Abi Hamzah dapat dibaca pada At-Taariikh
Al-Kabiir 3/51 no. 192, Al-Jarh wat-Ta’diil 3/209 no. 914, dan Ats-Tsiqaat
6/227. Wallaahu a’lam.
Dikarenakan lemah kita tidak dapat
memegang riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tersebut dan menyepakati
pendapat Al-Imaam Ahmad rahimahullah. Meskipun dalam hal sikap akhir kita
berbeda dengan beliau dalam riwayat Al-Atsram ini, pada hakekatnya kita
berkesesuaian dengan metode beliau. Bukan seperti orang yang tidak memahaminya
dan ‘pokoknya’ cocok dengan pendapat beliau tanpa memperhatikan metode yang
beliau pakai.
Seandainya pun shahih, maka Al-Imaam
Ahmad tidak menyamakan antara mengusap mimbar dan mengusap kuburan. Seandainya
beliau menyamakannya, niscaya beliau akan membolehkannya mengusap kuburan yang
diqiyaskan dengan mengusap mimbar. Sama-sama diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa. Namun, ternyata beliau rahimahullah tidak bersikap
demikian.
Kembali kepada riwayat Al-Imaam Ahmad
yang pertama (yang disebutkan oleh Adz-Dzahabiy rahimahumallah).
Di sini ternukil dua riwayat yang berbeda dalam masalah mengusap-usap
kubur. Al-Qaadliy Abu Ya’laa Al-Hanbaliy rahimahullah menyebutkan
permasalahan ini dalam kitab Ar-Riwaayatain wal-Wajhain (melalui
perantaraan kitab Al-Masaailul-Fiqhiyyah min Kitaab Ar-Riwaayatain
wal-Wajhain, 1/214-215).
Mana yang shahih dari madzhab Hanaabilah
?. Al-Mardawiy rahimahullah menjawab:
لَا يُسْتَحَبُّ تَمَسُّحُهُ بِقَبْرِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ
الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ قَالَ فِي
الْمُسْتَوْعِبِ : بَلْ يُكْرَهُ قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ : أَهْلُ الْعِلْمِ
كَانُوا لَا يَمَسُّونَهُ
“Tidak disunnahkan mengusap kubur
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pendapat yang benar
dari madzhab (Hanaabilah). Ia berkata dalam Al-Mustau’ib : ‘Bahkan
dimakruhkan’. Al-Imaam Ahmad berkata : ‘Para ulama tidak menyentuhnya” [Al-Inshaaf,
4/53].
Untuk madzhab Syaafi’iyyah, An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
قال أبو موسى : وقال الإمام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعفراني وكان من
الفقهاء المحققين في كتابه في الجنائز : ولا يستلم القبر بيده ، ولا يقبله قال : وعلى
هذا مضت السنة. قال أبو الحسن : واستلام القبور وتقبيلها الذي يفعله العوام الآن من
المبتدعات المنكرة شرعا ، ينبغي تجنب فعله وينهى فاعله ، قال فمن قصد السلام على ميت
سلم عليه من قبل وجهه ، وإذا أراد الدعاء تحول عن موضعه واستقبل القبلة ، قال أبو موسى
: وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون : المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة
مستقبلا وجه الميت ، يسلم ولا يمسح القبر ولا يقبله ولا يمسه ، فإن ذلك عادة النصارى
“Abu Muusaa berkata : Dan telah berkata Al-Imaam Abul-Hasan
Muhammad bin Marzuuq Az-Za’faraaniy – dan ia termasuk fuqahaa yang
terkenal teliti – dalam kitabnya pada pembahasan tentang janaaiz :
‘Tidak mengusap kubur dengan tangannya dan tidak pula menciumnya’. Ia berkata :
‘Inilah yang sesuai dengan sunnah’. Abul-Hasan berkata : ‘Mengusap-usap kubur
dan menciumnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang awam termasuk
bid’ah-bid’ah yang munkar secara syar’iy. Sudah seharusnya perbuatan
tersebut dijauhi dan pelakunya dilarang’. Ia berkata : ‘Barangsiapa yang hendak
mengucapkan salam terhadap mayyit, maka ucapkanlah salam dari arah wajahnya. Dan apabila hendak berdoa, maka ia
berpindah tempat dan menghadap kiblat’. Abu
Muusaa berkata : Telah berkata fuqahaa negeri Khurasaan yang luas
ilmunya : ‘Dianjurkan ketika ziarah kubur untuk berdiri membelakangi kiblat
seraya menghadapkan wajah ke mayit dan mengucapkan salam kepadanya tanpa mengusap
kubur, menciumnya, dan menyentuhnya, karena hal itu termasuk kebiasaan orang
Nashaaraa”.
Kemudian An-Nawawiy mengomentari :
وما ذكروه صحيح لأنه قد صح النهي عن تعظيم القبور ، ولأنه إذا لم يستحب
استلام الركنين الشاميين من أركان الكعبة لكونه لم يسن ، مع استحباب استلام الركنين
الآخرين ، فلأن لا يستحب مس القبور أولى ، والله أعلم
“Apa yang mereka sebutkan itu adalah benar, karena telah
shahih adanya larangan pengagungan terhadap kubur. Selain itu, apabila tidak
dianjurkan untuk mencium dua rukun Syaam yang merupakan bagian dari rukun-rukun
Ka’bah karena hal itu tidak disunnahkan, bersamaan dengan adanya anjuran untuk
mencium dua rukun yang lain (Hajar Aswad dan Rukun Yamaniy); maka menyentuh
(dan mengusap) kubur tentunya lebih tidak disunnahkan, wallaahu a’lam” [Al-Majmuu’,
5/286-287].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir Al-Jiilaaniy rahimahullah berkata:
اذا زار قبرا لا يضع يده عليه و لا يقبله فانه عادة اليهود و لا يقعد
عليه و لا يكتى عليه
“Apabila seseorang berziarah ke kubur, ia tidak boleh meletakkan
tangannya di atas kubur dan tidak pula menciumnya, karena hal itu kebiasaan
orang Yahuudi. Tidak boleh duduk di atasnya dan tidak boleh bersandar padanya”
[Al-Ghunyah, 1/91].
Jika kubur Nabi saja tidak disunnahkan, maka apalagi kubur
orang yang kedudukannya di bawah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Comments
Assalamualaikum Ustad..
karena didalam keyakinan aswaja tradisinalis.. sebelum umar mengatakan begitu kepada khalayak umum,terlebih dahulu telah mendengar perkataan dari Ali bin abi thalib akan keberkahan batu tersebut..
yg intinya mereka ingin Umar bukanlah Ittiba hanya saja Umar begitu karena telah mendengar dari Ali..
klo g salah ada dibuku bantahan atas wahabiyah ..udah lupa ustad..
bagaimana riwayat tersebut ustad..?
barakallahufik
@abu Abyan
Wa'alaikumus-salaam. Riwayat 'Aliy lemah.
Mohon dijelaskan lebih lanjut mengenai perkataan antum di bagian akhir tulisan:
**************
Ada sekelompok orang mempraktekkan ketika ulama mengatakan ‘membenci’ sesuatu; maka itu untuk dilanggar, boleh-boleh saja melakukannya, bahkan menjadi syi’ar dan anjuran dalam ibadah. Memang beda antara salaf dan mereka…..
*************
Saya belum paham.
Jazakallahu khairan wa baarakallahu fiikum.
assalamu'alaikum yaa Ustadz.. .
ada sebagian ummat Islam yg bertabarruk kpda makam yg dianggap Wali oleh mereka lalu mereka meng-Qiyas-kan dg atsar dr Umar bin al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu. mereka beranggapan jika mencium batu nisan makam tersebut, itu berkah'y lebih besar ketimbang mencium hajar aswad.
padahalkan hajar aswad dan batu nisan itu benda mati ????
mereka menggosok-gosok makam, batu nisan dan mencium'y. mereka mengambil tanah pekuburan dan batu kerikil yg ada di sekitar makam pun mereka ambil untuk d bawa pulang. katanya, tanah atau batu kerikil dr sekitar makam para wali sangat manjur buat dijadikan jimat agar selalu mendapatkan kebaikan dalam berumah tangga, rejeki yg melimpah dan sebagai tolak bala.
na'udzubillahi min dzalik !!
Posting Komentar