b.
Keutamaan shahabat
Keutamaan para shahabat radliyallaahu ‘anhum telah
disebutkan dalam banyak nash, antara lain:
Firman Allah ta’ala:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا
مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ
الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari
karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih
di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Orang-orang yang bersama dengan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Allah
telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang terpuji dalam ayat tersebut. Al-Imaam
Maalik rahimahullah berkata : “Barangsiapa di waktu pagi sedangkan di
hatinya terdapat rasa marah kepada para shahabat Muhammad ‘alaihis-salaam,
sungguh ia terkena sasaran ayat ini” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah
no. 759]. Ibnu Katsiir rahimahullah menukil perkataan Malik tentang
kekafiran Syi’ah Rafidlah yang membenci para shahabat, dimana beliau (Imam
Malik) mengatakan :
لأنهم يغيظونهم ومن غاظ الصحابة رضي الله عنهم فهو كافر لهذه الاَية
“Karena mereka membenci para shahabat, dan barangsiapa
membenci para shahabat, maka ia telah kafir berdasarkan ayat ini (yaitu QS. Al-Fath
: 29)” [lihat Tafsiir Ibni Katsiir, 7/362].
Allah ta’ala juga berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhaajirin dan Anshaar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya”[QS. At-Taubah
: 100].
Dalam ayat di atas Allah telah memberikan keridlaan
secara khusus kepada kaum Muhaajirin dan Anshaar. Merekalah para shahabat
Rasul, yang masuk di dalamnya : Abu Bakr, ’Umar, ’Utsmaan, ’Aliy, Thalhah,
Az-Zubair, Sa'd bin Abi Waqqaash, dan 'Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’iid bin Zaid, istri-istri
Nabi (’Aaisyah, Hafshah, Shafiyyah, dll.), Mu’aadz bin Jabal, dan yang lainnya radliyallaahu
’anhum ajma’in. Tidak ada umat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam
yang dipuji dan diberikan keridlaan secara khusus selain para shahabat,
terlebih kaum Muhaajiriin dan Anshaar radliyallaahu ’anhum.
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ
وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا
كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya
Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhaajirin dan orang-orang
Anshaar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari
mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu” [QA. At-Taubah : 117].
Sama seperti ayat sebelumnya, bahwa Allah ta’ala telah
menerima taubat para shahabat dari golongan Muhaajiriin dan Anshaar. Khusus
dalam ayat ini disebutkan peristiwa saa’atul-‘usrah (masa kesulitan). Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Ka’b bin Maalik yang panjang, bahwa yang ayat ini turun
berkaitan dengan perang Tabuk. Inilah makna ‘saa’atul-‘usrah’.
Faedah :
Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa adalah
salah seorang shahabat yang mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
di saat-saat yang sulit tersebut (perang Tabuk). Artinya, Mu’aawiyyah termasuk
shahabat yang diterima taubatnya oleh Allah ta’ala. Ini membantah
syubhat beberapa golongan menyimpang:
1.
Syi’ah Raafidlah yang telah mengkafirkan Mu’aawiyyah
bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa.
2.
Sebagian kelompok kontemporer yang mengeluarkan
Mu’aawiyyah dari cakupan shahabat dan mencelanya
Taqiyuddiin An-Nabhaniy, pendiri Hizbut-Tahriir,
mengeluarkan Mu’aawiyyah dari cakupan shahabat:
معاوية بن أبي
سفيان رأى الرسول واجتمع به, وكل من رأى الرسول واجتمع به فهو صحابي, فالنتيجة أن
معاوية بن أبي سفيان صحابي, وهذه النتيجة خطأ, فليس كل من رأى الرسول واجتمع به
صحابي, وإلا لكان أبو لهب صحابياً
“Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan pernah melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkumpul dengannya. Dan setiap orang
yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
berkumpul dengannya, maka ia disebut shahabat. Maka kesimpulannya, Mu’aawiyyah
bin Abi Sufyaan termasuk shahabat. Kesimpulan ini keliru. Tidaklah setiap orang
yang pernah melihat melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan berkumpul dengannya itu disebut sebagai shahabat. Jika tidak demikian,
niscaya Abu Lahab juga termasuk shahabat (dengan definisi ini)” [Asy-Syakhshiyyah
Al-Islaamiyyah, 1/43].
Akibatnya, salah seorang aktivis Hizbut-Tahriir yang
bernama Dr. Muhammad Al-Mis’ariy pun akhirnya terprovokasi untuk mencela
Mu’aawiyyah:
فيما يتعلق بمعاوية
بن أبي سفيان، قلت في معرض ردي على سؤال من أحد الأخوة الشيعة الحضور أنني اعتبر معاوية
(مغتصبا) وأنني أعتقد أنه سيلقى جزاءه من الله يوم القيامة على ما ارتكبه من جرائم
ولكني لم أكفره بل انني أكدت على أنني اعتبر عهده أصلح من عهد آل سعود
“Berkaitan dengan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan, aku
telah mengatakan dalam jawabanku terhadap pertanyan salah seorang saudara dari
kalangan Syi’ah yang hadir, bahwasannya aku menganggap Mu’aawiyyah adalah
seorang perampas ! Dan saya berkeyakinan ia pasti akan menerima balasannya dari
Allah pada hari kiamat atas kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi aku tidak
mengkafirkannya. Bahkan aku berkeyakinan masa pemerintahannya lebih baik
daripada masa pemerintahan keluarga Su’uud” [selebaran resmi Comittee for
the Defence of Legitimate Rights in Saudi Arabia (اللجنة الدفاع عن الحقوق الشرعية); tanggal 22/10/1415 atau 23/3/1995 M].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
لَيْسَ أَحَدٌ مِنَّا
أَعْلَمَ مِنْ مُعَاوِيَةَ
“Tidak ada seorang pun dari kami yang lebih ‘alim
daripada Mu’aawiyyah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4641 dan darinya
Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2655; sanadnya hasan].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
مَا رَأَيْتُ رَجُلا
بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَسْوَدَ مِنْ مُعَاوِيَةَ،
فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَلا عُمَرُ؟ فَقَالَ: عُمَرُ كَانَ خَيْرًا مِنْهُ، وَكَانَ
هُوَ أَسْوَدَ مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat laki-laki setelah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lebih dermawan dibandingkan Mu’aawiyyah”.
Seorang laki-laki berkata kepadanya : “Tidak juga ‘Umar ?”. Ibnu ‘Umar berkata
: “’Umar lebih baik darinya. Akan tetapi Mu’aawiyyah lebih dermawan darinya”
[Diriwayatkan oleh Al-Khallaal no. 677 & 679, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh
Ushuulil-I’tiqaad no. 2781, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy
no. 514, dan yang lainnya; shahih].
Dalil dari sunnah:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik ummatku adalah yang orang-orang hidup
pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17, Ahmad 4/426-427, dan
Abu Dawud no. 4657].
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup
pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka" [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3651, Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah no.
2363, Ahmad 1/378 & 434 & 442, dan Ath-Thayaalisiy no. 299].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا
فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Seorang laki-laki pernah
bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Manusia manakah
yang paling baik ?’. Beliau menjawab : ‘Generasi manusia yang aku masih ada
di dalamnya. Kemudian yang kedua (setelahnya), kemudian yang ketiga (setelahnya
lagi)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2536 dan Ahmad 6/156].
Orang-orang yang hidup sejaman dengan beliau adalah
para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat disifati sebagai umat
terbaik dan manusia terbaik. Orang-orang yang datang setelah mereka adalah
generasi taabi’iin, kemudian generasi setelahnya yaitu atbaa’ut-taabi’iin.
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ
أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى
أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي
أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
“Bintang-bintang ini merupakan amanah/penjaga bagi
langit. Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka akan datang kepada langit
apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah/penjaga para sahabatku. Kalau aku
sudah tidak ada, maka akan datang kepada para sahabatku apa yang telah
dijanjikan. Para sahabatku adalah amanah/penjaga umatku. Apabila para sahabatku
telah tiada, maka akan datang kepada umatku apa yang telah dijanjikan” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2531 dan Ahmad 4/398-399].
Apabila bintang-bintang hilang, maka datang kepada
langit apa yang telah dijanjikan; maksudnya adalah : datangnya kiamat dengan
terbelahnya langit dan keluarlah segala isinya.
Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat,
maka datang kepada para shahabat apa yang telah dijanjikan; yaitu fitnah-fitnah,
peperangan, murtadnya orang-orang yang murtad dari (sebagian) bangsa ‘Arab,
perselisihan hati-hati, dan yang lainnya.
Apabila para sahabat telah tiada, maka akan datang
kepada umat Muhammad apa yang telah dijanjikan kepada mereka; yaitu munculnya
bid’ah-bid’ah dan hal-hal baru yang diada-adakan dalam agama, fitnah-fitnah,
dan munculnya tanduk setan [lihat : Syarh Shahiih Muslim 16/83 dan Faidlul-Qadiir
6/296].
c.
Kewajiban Berpegang pada Jalan Shahabat dan Meneladani
Mereka.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”
[QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalan orang-orang
mukmin menyebabkan seseorang jatuh dalam kesesatan dan diancam dengan Jahannam.
Tidak ada kaum mukminiin saat ayat ini turun kecuali para shahabat Nabi radliyallaahu
‘anhum.
Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
ونتبع السنة والجماعة ونجتنب الشذوذ والخلاف والفرقة
“Dan kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhi
penyelewengan, perselisihan, dan perpecahan”.
Kemudian Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menjelaskan:
السنة : طريقة الرسول لله والجماعة : جماعة المسلمين وهم
الصحابة والتابعون لهم بإحسان إلى يوم الدين . فاتباعهم هدى وخلافهم ضلال
يعني الشذوذ عن السنة ومخالفة الجماعة الذين هم السلف كما
علمت . وليس من الشذوذ في شيء أن يختار المسلم قولا من أقوال الخلاف لدليل بدا له ولو
كان الجمهور على خلافه خلافا لمن وهم فإنه ليس في الكتاب ولا في السنة دليل على أن
كل ما عليه الجمهور أصح مما عليه مخالفوهم عند فقدان الدليل نعم إذا اتفق المسلمون
على شيء دون خلاف يعرف بينهم فمن الواجب اتباعه لقوله تعالى : ( ومن يشاقق الرسول من
بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
) [ النساء : 115 ] وأما عند الاختلاف فالواجب الرجوع إلى الكتاب والسنة فمن تبين له
الحق اتبعه ومن لا استفتى قلبه سواء وافق الجمهور أو خالفهم وما أعتقد أن أحدا يستطيع
أن يكون جمهوريا في كل ما لم يتبين له الحق بل إنه تارة هكذا وتارة هكذا حسب اطمئنان
نفسه وانشراح صدره وصدق رسول الله صلى الله عليه و سلم إذ قال : استفت قلبك وإن أفتاك
المفتون
“As-Sunnah adalah jalan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan al-jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin,
yaitu para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
hari kiamat. Maka, mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi
mereka adalah kesesatan.
(Menjauhi penyelewengan), yaitu penyelewengan dari sunnah
dan penyelisihan terhadap jama’ah, yaitu salaf sebagaimana yang engkau ketahui.
Bukanlah disebut penyimpangan terhadap sesuatu apabila seorang muslim memilih
satu pendapat dari pendapat-pendapat yang diperselisihkan dikarenakan dalil
yang nampak baginya, meskipun jumhur ulama menyelisihinya. Berbeda halnya
dengan orang yang keliru (memahami permasalahan tersebut sehingga ia menganggap
sebagai penyelewengan karena adanya penyelisihan terhadap jumhur). Hal itu
dikarenakan tidak ada dalil dalam Al-Kitaab dan As-Sunnah yang
menegaskan bahwa pendapat yang dipegang jumhur lebih shahih daripada pendapat
yang menyelisihi mereka ketika tidak ada dalil.
Benar, ketika kaum muslimin bersepakat terhadap sesuatu perkara tanpa
adanya perselisihan di antara mereka, maka wajib untuk mengikutinya berdasarkan
firman Allah ta’ala : ‘Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115). Adapun jika terjadi perselisihan, maka
wajib untuk kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang nampak
baginya kebenaran, ia mesti mengikutinya. Barangsiapa yang tidak nampak baginya
kebenaran, hendaklah ia minta fatwa kepada hatinya, baik nanti hasilnya ia
menyepakati jumhur ataupun menyelisihi mereka. Aku tidak yakin seorang pun
mampu menjadi seorang jumhuriy (selalu mengikuti jumhur ulama) pada
setiap perkara yang tidak nampak baginya kebenaran. Namun terkadang ia begini
dan terkadang begitu sesuai ketentraman hatinya dan kelapangan dadanya.
Benarlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
bersabda : ‘Mintalah fatwa kepada hatimu meskipun orang yang berfatwa
menyampaikan fatwanya kepadamu” [Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah, Syarh wa
Ta’liiq, hal. 34].
Juga firman Allah ta’ala:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ
اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ
اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 137].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
فالآية جعلت إيمان الصحابة ميزاناً للتفريق بين الهداية والشقاق،
والحق والباطل
فإن آمن أهل الكتاب بما آمن به الصحابة فقد اهتدوا هدايةً
مطلقة تامة، وإن تولوا عن الإيمان بما آمن به الصحابة كمثل إيمانهم فقد سقطوا في شقاق
كلي بعيد
وعلى قدر مطابقة إيمانهم إيمان الصحابة يتحقق لهم من الهداية،
وبمقدار بُعدهم عن إيمان الصحابة يكون فيهم من الشقاق........ وطلب الهداية
والإيمان أعظم الفرائض، واجتناب الشقاق والضلال من كليات الواجبات؛ فدلَّ على أن
إتباع الصحابة من أوجب الواجبات
“Ayat di atas menjadikan iman shahabat sebagai
timbangan untuk membedakan antara hidayah/petunjuk dan permusuhan, antara
kebenaran dan kebathilan. Apabila ahli kitab beriman dengan apa yang para
shahabat beriman dengannya, sungguh mereka mendapatkan petunjuk yang mutlak
lagi sempurna. Apabila mereka berpaling dari keimanan seperti keimanan para
shahabat, sungguh mereka akan terjatuh pada perpecahan yang sangat jauh……
Memohon hidayah dan keimanan adalah kewajiban yang paling agung, serta menjauhi
perpecahan dan kesesatan termasuk kewajiban yang menyeluruh; sehingga hal itu
menunjukkan mengikuti shahabat termasuk diantara kewajiban yang paling wajib” [Al-Mufashshal
fir-Radd ‘alaa Syubuhaat A’daail-Islaam, 3/249].
Allah ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah” [QS. Aali ‘Imraan : 110].
Umat terbaik yang dimaksudkan ketika ayat ini turun
adalah para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun dalil dari As-Sunnah:
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، قَالَ: وَعَظَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ
الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا
تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ،
وَالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ
مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا
ضَلَالَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Dari ‘Irbaadl bin Sariyyah, ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami pada suatu hari setelah
shalat Shubuh dengan satu nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami
bercucuran dan hati kami bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya
nasihat ini seperti nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak
engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku
nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat
walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di
antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan.
Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa
yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku
dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia
erat-erat dengan gigi geraham” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2676, Abu
Daawud no. 4607, Ibnu Maajah no. 43, dan yang lainnya; shahih].
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga
golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat)
bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang
aku dan para shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy
no. 2641, Al-Hakim 1/218-219, Ath-Thabaraniy dalam Ash-Shaghiir (melalui
Ar-Raudlud-Daaniy) 2/29-30 no. 724), dan yang lainnya; hasan].
Ini adalah penjelasan dari beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi pada umat, yaitu banyaknya
perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, perkataan,
perbuatan, dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam sebelumnya tentang perpecahan umat beliau menjadi tujuh
kelompok dimana semua kelompok tersebut tersebut masuk neraka kecuali satu;
yaitu kelompok yang berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah para
shahabat. Dalam hadits ini juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan
agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin
sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya
berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan
perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi
salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga
aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail
bin ‘Iyadl [Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342]
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan :
وفي أمره صلى الله عليه وسلم باتباع سنته وسنة الخلفاء
الراشدين بعد أمره بالسمع والطاعة لولاة الأمور عموما دليل على أن سنة الخلفاء
الراشدين متبعة كاتباع السنة بخلاف غيرهم من ولاة الأمور
“Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para al-khulafaur-rasyidin setelah
mendengar dan taat kepada pemimpin merupakan bukti bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin
harus diikuti sebagaimana halnya mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Ini tidak berlaku bagi sunnah para pemimpin selain al-khulafaur-rasyidin”
[idem, hal. 342].
Dalil dari atsar:
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ
بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا
أَبَرَّ هَذِهِ الأُمَّةِ قُلُوبًا وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا
وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا وَأَحْسَنَهَا حَالا، قَوْمًا اخْتَارَهُمُ اللَّهُ
لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْرِفُوا لَهُمْ
فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوهُمْ فِي آثَارِهِمْ ؛ فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهُدَى
الْمُسْتَقِيمِ
“Barangsiapa yang ingin diantara kalian yang ingin mengambil
keteladanan, hendaklah ia mengambil teldan dari para shahabat Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang yang paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling lurus
petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Orang-orang yang telah Allah pilih
untuk menemani/mendampingi Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka
ketahuilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar-atsar mereka, karena mereka
berada di atas petunjuk yang lurus” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u
Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, no. 1810; sanadnya laa’ ba’sa bih].
Ibnu ‘Aun rahimahullah berkata:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلا لَزِمَ هَذَا الأَثَرَ، وَرَضِيَ
بِهِ، وَإِنِ اسْتَثْقَلَهُ وَاسْتَبْطَأَهُ
“Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang tetap
berpegang/berkomitmen pada atsar ini dan ridla terhadapnya, meskipun terasa
berat dan menghambat olehnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah
no. 291; sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain].
Ibraahiim An-Nakhaa’iy rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ مَسَحُوا عَلَى ظُفُرٍ
لَمَا غَسَلْتُهُ الْتِمَاسَ الْفَضْلِ فِي اتِّبَاعِهِمْ
“Seandainya para shahabat Muhammad hanya mengusap kuku
mereka, niscaya aku tidak akan mencucinya demi mengharapkan keutamaan dalam
mengikuti mereka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no.
254, Ad-Daarimiy, dan yang lainnya; sanadnya shahih].
Al-Auzaa’iy rahimahullah berkata:
اصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ
الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُوا، وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيلَ
سَلَفِكَ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ
“Bersabarlah diri kalian di atas sunnah, berhentilah
sebagaimana mereka (para shahabat) berhenti. Katakanlah apa-apa yang mereka
katakan, dan tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya.
Ikutilah jalan para pendahulu kalian yang shaalih (as-salafush-shaalih),
karena akan mencukupimu apa-apa yang telah mencukupi mereka” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 315].
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ،
وَإِيَّاكَ وَرَأْيَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوهُ بِالْقَوْلِ
“Wajib bagimu untuk berpegang pada atsar-atsar salaf
meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah dengan pendapat
orang-orang, meskipun mereka menghiasinya dengan perkatan (yang indah)”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 233, Ibnu ‘Abdil-Barr
dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2077, dan yang lainnya].
Faedah:
Apa yang menjadi ketetapan/sunnah dari para shahabat
dan Al-Khulafaur-Rasyidin memerlukan perincian sebagaimana dijelaskan
oleh para ulama. Seandainya salah satu atau lebih dari Al-Khulafaur-Rasyidin
tersebut berkata atau berbuat tanpa ada pertentangan dari yang lain, maka
inilah sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang diterima. Bahkan inilah yang
disebut ijma’. Hal ini didasari oleh hadits Ka’b bin ‘Aashim Al-Asy’ary radliyallaahu
‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إن الله تعالى قد أجار أمتي من أن تجتمع على ضلالة
“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku dari
bersepakat di atas kesesatan” [Shahih bi syawahidihi sebagaimana
penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah no. 80-85].
Adapun jika terdapat perselisihan pendapat, maka hal
itu dirinci :
1.
Apabila yang berselisih pendapat itu salah satu atau
lebih pembesar shahabat (Al-Khulafaur-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, atau Ibnu Mas’ud)
di satu pihak dengan selain mereka di pihak lain; maka pendapat yang
diunggulkan adalah pendapat para pembesar shahabat dengan syarat tidak
bertentangan (kontradiktif) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
2.
Jikalau yang berselisih pendapat itu antar pembesar
shahabat, maka dalam hal ini tidak ada kecondongan. Pendapat yang dipilih
adalah yang paling dekat dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah).
Wallaahu a’lam, selesai pembahasan point 1 dan point 2.
Bersambung, insya
Allah…
[Perum Ciomas Indah
Bukit Asri, Sabtu, 14-03-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal. 25-28, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, dengan beberapa referensi lain sebagai penjelasan].
Silakan baca pembahasan sebelumnya : Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bn Hanbal (1) - Pendahuluan & Berpegang pada Manhaj Shahabat
Comments
Trimakasih artikelnya bagus
Posting Komentar