Pernah ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih : “Bukankah (ucapan syahadat) Tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali
Allah sebagi kunci surga?“. Dia (Wahb) menjawab :
بَلَى وَلَكِنْ
لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ
فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ
“Betul, akan tetapi tidaklah ada kunci melainkan padanya ada gigi-gigi. Maka jika engkau mendatangkan kunci yang mempunyai gigi-gigi, kamu
dapat membuka. Dan jika tidak, maka engkau tidak dapat membuka“ [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy secara mu‘allaq,
di atas hadits no. 1237].
Adapun gigi-gigi kunci yang dimaksud adalah
syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam syahadat Laa ilaha illallaah".
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Al-Ilmu, yang meniadakan kebodohan, yaitu mengetahui maknanya
baik secara peniadaan maupun penetapannya.
Allah ta’ala
berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ
لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
“Maka
ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sembahan/ilah yang berhak diibadahi selain
Allah” [QS. Muhammad ayat 19].
شَهِدَ اللَّهُ
أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا
بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Aali ‘Imraan : 18].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ
أَنَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa
yang meninggal sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwasannya tidak ada
tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah, melainkan ia akan masuk surga’
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 26].
Maksudnya,
pengetahuan untuk meniadakan peribadahan selain Allah, dan menetapkannya hanya
kepada Allah Yang Maha Esa. Oleh karena, pengertian kalimat Laa ilaha
illallaah adalah pengesaan Allah dalam peribadahan kepada-Nya.
Kalimat
yang agung ini mempunyai dua rukun:
a. An-nafyu (peniadaan), yaitu pada
kalimat ‘laa ilaha (لَا إِلَهَ) : meniadakan semua
tuhan/sesembahan yang diibadahi selain Allah.
b. Al-itsbat (penetapan),
yaitu pada kalimat ‘illallaah’ (إِلَّا اللهُ) : menetapkan semua jenis
peribadahan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Peniadaan
saja bukanlah tauhid. Begitu pula dengan penetapan saja bukanlah tauhid. Akan
tetapi tauhid adalah penggabungan antara peniadaan dan penetapan sekaligus.
2. Al-Yaqiin, adalah kesempurnaan ilmu tentangnya (kalimat Laa
ilaha illallaah) yang meniadakan keraguan.
Keimanan
seseorang membutuhkan ilmu yakin, bukan sekedar ilmu dhann (persangkaan).
Maka, orang yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah harus
benar-benar yakin terhadap makna yang terkandung di dalamnya dengan keyakinan
yang pasti. Keyakinan menjadikan hati istiqamah bertauhid dengan tanpa
keraguan. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” [QS.
Al-Hujuraat : 15].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا
عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dan
sesungguhnya aku adalah utusan (Rasul) Allah. Tidaklah seorang hamba yang
berjumpa Allah dengan keduanya tanpa keraguan (syak), melainkan ia akan masuk
surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 27].
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu:
فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ
وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُسْتَيْقِنًا
بِهَا قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Orang
yang engkau temui di balik tembok ini, ia bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan/ilah
yang berhak disembah selain Allah dengan keyakinan di hatinya, maka berikanlah
kabar gembira kepadanya akan surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 31].
Orang
yang ragu, maka ia termasuk orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا
يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya
yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keragu-raguannya” [QS. At-Taubah : 45].
3. Al-Ikhlash, yang meniadakan kesyirikan, yaitu kecintaan kepada
Allah, menginginkan keridlaan-Nya, memurnikan peribadahan hanya kepada-Nya
semata dari semua kesyirikan. Hal itu dikarenakan hanya Allah lah yang berhak
mendapatkannya (peribadahan dari makhluk-Nya), bukan selain-Nya.
Kalimat
tauhid tidak akan bermanfaat tanpa keikhlashan yang meniadakan kesyirikan.
Makna kesyirikan adalah menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam
semua hal yang menjadi kekhususan-Nya.
Allah ta’ala
berfirman:
أَلا لِلَّهِ
الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” [QS. Az-Zumar :
3].
وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS.
Al-Bayyinah : 5].
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ
بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا
مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Manusia
yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang
mengucapkan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain
Allah) secara ikhlash dari hatinya atau jiwanya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 99].
4. Ash-Shidq (jujur), yang meniadakan kedustaan yang menjadi
penghalang kemunafikan. Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallaah harus
jujur dari hatinya, hatinya sejalan dengan lisannya. Barangsiapa yang
mengucapkannya dengan lisannya secara dhahir namun ternyata dusta secara batin
(dalam hatinya), maka ia seorang munafik. Kemunafikan adalah menampakkan
kebaikan secara dhahir dan menyembunyikan kejelekan secara batin.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ *
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ
وَمَا يَشْعُرُونَ * فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu
Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri
sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah
penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” [QS. Al-Baqarah : 8-10].
أَحَسِبَ النَّاسُ
أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS. Al-Ankabuut : 2-3].
Allah ta’ala
banyak berfirman tentang orang-orang munafik dalam Al-Qur’an. Bahkan, Ia
berfirman secara khusus dalam satu surat, yaitu surat Al-Munaafiquun
(orang-orang munafik), karena besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh mereka. Begitu
juga dengan surat At-Taubah dimana banyak sekali ayat-ayat dalam surat ini
berbicara tentang mereka. Surat At-Taubah disebut juga ‘Al-Faadlihah’
karena Allah menyingkap tirai-tirai keburukan dan kejahatan mereka yang
tersembunyi, serta memperingatkan kaum muslimin agar berhati-hati dari
sifat-sifat mereka. Mereka adalah musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak
tampak, sedangkan orang-orang kafir adalah musuh yang tampak.
5. Al-Mahabbah, cinta yang merupakan lawan dari kebencian. Yaitu
mencintai kalimat laa ilaha illallaah, segala sesuatu yang dikandungnya,
dan bergembira karenanya. Seseorang harus mencintai dan melazimi kalimat tauhid, dan membenci apa-apa yang bertentangan/menbatalkan tauhid.
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada
Allah” [QS. Al-Baqarah : 165].
وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ
جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا
خَاسِرِينَ
“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan:
"Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah,
bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi” [QS. Al-Baqarah :
165].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ، أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga
sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1)
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai
seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah semata, dan (3) ia
membenci untuk kembali kepada kekafiran (setelah Allah menyelamatkannya darinya)
sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka“
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 16].
Kecintaan
adalah perkara yang sangat agung, bahkan ibadah diantaranya terbangun hal ini,
yaitu rasa takut/khawatir, harap, dan cinta.
Kecintaan ada dua macam, yaitu kecintaan wajib dan
kecintaan sunnah. Kecintaan wajib adalah kecintaan yang seseorang tidak
dihukumi muslim kecuali jika ia dapat mewujudkannya; yaitu : kecintaan kepada
Allah. Kecintaan yang mengkonsekuensikan melakukan apa yang diperintahkan
kepadanya, meninggalkan apa yang diharamkan kepadanya. Apabila seseorang
meninggalkan semua hal tersebut atau tidak mewujudkan sesuatu yang seseorang
tidak akan masuk Islam kecuali dengannya; maka ia bukan seorang muslim. Apabila
ia meremehkan sebagian kewajiban, maka imannya berkurang sesuai kadar
kemaksiatan yang ia lakukan tersebut. Adapun kecintaan sunnah adalah kecintaan yang
mendorong seseorang mewujudkan sesuatu yang dianjurkan/disunnahkan untuk
melakukannya. Maka, kecintaan ini ada jika seseorang mencintai kalimat tauhid
dan segala hal yang dikandungnya berupa perintah-perintah dan yang semisalnya;
bergembira serta bahagia dengannya.
Poros kecintaan terletak pada ittiba’ terhadap
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 65].
Ayat
ini dinamakan ayat mihnah (ujian), karena Allah ta’ala menguji
seseorang yang mengaku mencintai Allah dengan ayat tersebut. Sebagian ulama terdahulu berkata:
تعصي الإله وأنت
تزعم حبه --- هذا لعمري في القياس شنيع
لو كان حبك صادقا
لأطعته --- إن المُحِبّ لمن يحب مطيع
“Engkau bermaksiat kepada Allah dan engkau
mengklaim mencintai-Nya
demi hidupku, qiyas ini sangatlah buruk
Seandainya cintamu benar, niscaya engkau akan
mentaati-Nya
sesungguhnya orang mencintai itu orang yang mencintai
Dzat yang dicintainya”
6. Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh
terhadap hak-hak kalimat laa ilaha illallaah berupa amal-amal kewajiban,
secara ikhlash hanya untuk Allah dan
memohon keridlaan-Nya.
Tunduk terhadap hak-haknya (kalimat tauhid) adalah satu kriteria, karena banyak orang yang
mengaku mengetahui makna kalimat ini, ikhlash, jujur, dan yakin; apabila mereka
diperintahkan dengan satu perintah atau dilarang dengan satu larangan terhadap
sesuatu, ia tidak mau tunduk dan patuh, sehingga batallah semua pengakuannya
itu. Seandainya ia jujur, yakin, dan cinta secara hakiki; niscaya ia akan
tunduk dan patuh terhadap kalimat ini baik secara dhahir maupun batin, ikhlash
hanya kepada Allah, mengharap keridlaan-Nya, dan takut terhadap kemurkaan dan hukuman-Nya.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ
وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
“Dan
barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” [QS. Luqmaan :
22].
7. Al-Qabul, penerimaan yang menafikkan penolakan. Yaitu menerima
dan menunaikan Tauhid dengan hati dan lisan. Allah telah mengisahkan kepada
kita tentang kabar yang telah lampau berkenaan akibat/kesudahan orang-orang
terdahulu dan menimpakan siksa sebab menolak dan enggan men-Tauhid-kan Allah.
Seseorang
harus menerima kalimat laa ilaha illallaah dengan hati dan lisannya.
Barangsiapa yang tidak menerimanya dan menolaknya, serta bersikap sombong; maka
ia kafir sebagaimana orang-orang kafir Quraisy menolaknya dengan penentangan,
kesombongan, tanpa mau menerimanya.
Allah ta’ala
telah berfirman dalam Al-Qur’an tentang berita-berita di masa lampau, yaitu
keselamatan orang-orang yang mau menerimanya serta celakanya orang-orang yang
menolak dan enggan terhadapnya. Begitu juga dengan adanya pahala yang Allah
janjikan bagi orang-orang yang mau menerimanya dan adzab yang Allah ancamkan
bagi orang-orang yang menolaknya.
Allah ta’ala
telah berfirman:
وَكَذَلِكَ مَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
* قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ
قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ * فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam
suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu)
berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu
dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan
mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”
[QS. Az-Zukhruf : 23-25].
إِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya
mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah"
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan
mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS.
Ash-Shaaffaat : 35-36].
Namun demikian, perlu digarisbawahi di sini bahwa tetapnya
keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Banyak ulama yang menetapkan hal ini, yang kemudian setelah itu dituntut untuk mendirikan shalat,
membayar zakat, dan semua perkara-perkara syari’at. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمُوا مِنِّي، دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ
إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintah untuk memerang manusia
hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain
Allah. Apabila mereka mengucapkan ‘tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah
selain Allah’, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, kecuali dengan
haknya (Islam); sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 21].
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ،
فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ
فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَالَ: لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا
قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ، قَالَ: " أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ،
حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟ " فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى
تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: فَقَالَ سَعْدٌ: وَأَنَا وَاللَّهِ
لَا أَقْتُلُ مُسْلِمًا حَتَّى يَقْتُلَهُ ذُو الْبُطَيْنِ يَعْنِي أُسَامَةَ، قَالَ:
قَالَ رَجُلٌ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ،
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، فَقَالَ سَعْدٌ: قَدْ قَاتَلْنَا حَتَّى لَا تَكُونَ
فِتْنَةٌ، وَأَنْتَ، وَأَصْحَابُكَ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونُ فِتْنَةٌ
Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Kami pernah
dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan
perang. Lalu kami sampai di Al-Huraqaat, daerah Juhainah pada waktu shubuh.
Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah,
lalu aku pun menikamnya. Kemudian dalam diriku aku ada ganjalan karenanya,
sehingga aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah ia telah
mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”. Aku
berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya karena takut
terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati
orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha
illallaah atau tidak ?”. Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku
hingga berangan-angan aku baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 4269 dan Muslim no. 96].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَقَدْ عُلِمَ بِاْلاِضْطِرَارِ مِنْ دِيْنِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم
وَاِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأُمّةُ أَنَّ أَصْلَ اْلإِسْلاَمِ وَأَوَّلَ مَا
يُؤْمَرُ بِهِ الْخَلْقَ : شَهَادَةُ أَنَ لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله
فَبِذَلِكَ يَصِيْرُ الْكَافِرُ مُسْلِمًا وَالْعَدُوُّ وَلِيًا وَالْمُبَاحُ
دَمَهُ وَمَالَهُ : مَعْصُومُ الدَّمَ وَالْمَالَ
“Telah diketahui dengan pasti dari agama Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan umat telah bersepakat terhadapnya bahwa pokok Islam dan
hal yang diperintahkan pertama kali kepada makhluk adalah persaksian tidak ada
tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah
utusan (Rasul) Allah. Karenanya seorang kafir menjadi muslim, musuh mejadi wali,
darah dan hartanya dihalalkan, menjadi darah dan hartanya dilindungi….” [Fathul-Majiid,
hal. 89].
Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata:
وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ....
“Hukum Islam secara dhahir ditetapkan dengan
ucapan dua kalimat syahadat….” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/12].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَمِنْ حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ،
فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ " فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ
تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد
خِلَاف ذَلِكَ -
“Di antara hujjah-hujjah ulama yang membolehkan
hal tersebut adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku
diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah
yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya, terpeliharalah
dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat
dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari
itu” [Fathul-Baariy, 13/174].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:
ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان
يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه
بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا
الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه
“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan
pasti bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima siapa
saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat saja, dan beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang
muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari dengan
sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa
ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya” [Jaami’ul-‘Ulum
wal-Hikam, hal. 207].
وبهذا الذي قرَّرناه يظهر الجمع بين ألفاظ أحاديث هذا الباب ، ويتبين أنَّ
كُلَّها حقٌّ ، فإنَّ كلمتي الشهادتين بمجردهما تَعْصِمُ من أتى بهما ، ويصير بذلك
مسلماً
“Dengan penjelasan kami ini maka nampak jelas
penggabungan/penjamakan lafdh-lafadh hadits
dalam bab ini, dan menjadi jelas bahwa semuanya benar. Sesungguhnya dua
kalimat syahadat saja sudah dapat melindungi orang yang mengucapkannya, dan
menjadikannya seorang muslim…” [idem, hal. 209].
Begitu juga keislaman ditetapkan bagi orang
yang dilahirkan dari kedua orang tua muslim atau perwaliannya milik kaum
muslimin sejak kecil sebelum ia mencapai baligh. Hal itu berdasarkan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1385].
Fithrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam
sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. Ar-Ruum
: 30].
Apa yang dipaparkan di sini perlu disampaikan
karena sebagian orang mencampurkan hukum Islam secara duniawi dan
ukhrawiy. Mereka menyangka penghukuman keislaman seseorang (di dunia)
mengkonsekuensikan hukum selamatnya ia di akhirat; atau mereka menyangka bahwa keislaman
seseorang tidak ditetapkan kecuali setelah memahami syarat-syarat kalimat Laa
ilaha illallaah yang disebutkan di atas. Ini keliru. Sebagaimana diketahui
bahwa kebanyakan dari syarat-syarat tersebut merupakan amal-amal hati, bukan
amal-amal anggota badan, sehingga sangat sulit untuk menelitinya/memastikannya. Terkait dengan itu, sekedar pengucapan dua kalimat syahadat memang tidak cukup
menyelamatkan seorang hamba di sisi Allah (kelak di akhirat) kecuali jika ia
mewujudkan/merealisasikan syarat-syaratnya. Adapun penghukuman keislaman seseorang di dunia
cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat, hingga datang keterangan yang jelas
yang membatalkan keislamannya.
Wallaahu a’lam
[abul-jauzaa’ – banyak mengambil faedah dari
buku At-Tanbiihaat Al-Mukhtasharah Syarh Al-Waajibaat Al-Mutahattimaat Al-Ma’rifah
‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah oleh Ibraahiim bin Shaalih Al-Khurashiy, hal.
33-61, Daar Ash-Shumai’iy, Cet. 2/1415; Al-‘Udzr bil-Jahl war-Radd ‘alaa Bid’atit-Takfiir
oleh Dr. Ahmad Fariid, hal. 30-33, Maktabah At-Tau’iyyah Al-Islaamiyyah,
Cet. 4/1422; dan Nawaaqidlul-Iimaan Al-I’tiqaadiyyah oleh Dr. Muhammad
bin ‘Abdillah Al-Wuhaibiy, 1/236-237, Daarul-Muslim, Cet. 2/1422 – perumahan ciomas
permai – 20022015 – 01:21].
Comments
Assalamualaikum Pak.
Izin di copy buat makaalah Kuliah, Bisa ndak ustaadz???
Gak bisa bhs arab jadi gak bisa buka kitab gundul...
Suwun ustaadz
Wa'alaikumus-salaam. Silakan.
Posting Komentar