Untuk
menjawab ini, perlu diketahui beberapa hal sebagai berikut:
1.
Tidak diwajibkan bagi
seorang suami menyamakan kadar dan/atau frekwensi jima’ di antara
istri-istrinya[1].
Allah ta’ala berfirman
:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung” [QS. Aali ‘Imraan : 129].
قَوْله ( بَاب الْعَدْل بَيْن النِّسَاء ، وَلَنْ تَسْطِيعُوا أَنْ
تَعْدِلُوا بَيْن النِّسَاء )
أَشَارَ بِذِكْرِ الْآيَة إِلَى أَنَّ الْمُنْتَهَى فِيهَا الْعَدْل
بَيْنهنَّ مِنْ كُلّ جِهَة ، وَبِالْحَدِيثِ إِلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْعَدْلِ
التَّسْوِيَة بَيْنهنَّ بِمَا يَلِيق بِكُلِّ مِنْهُنَّ ، فَإِذَا وَفَّى لِكُلِّ
وَاحِدَة مِنْهُنَّ كِسْوَتهَا وَنَفَقَتهَا وَالْإِيوَاء إِلَيْهَا لَمْ يَضُرّهُ
مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ مِنْ مَيْل قَلْب أَوْ تَبَرُّع بِتُحْفَةٍ ، ...... قَالَ
التِّرْمِذِيّ يَعْنِي بِهِ الْحُبّ وَالْمَوَدَّة ، كَذَلِكَ فَسَّرَهُ أَهْل
الْعِلْم ، ...... وَقَدْ أَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيق عَلِيّ بْن أَبِي
طَلْحَة عَنْ اِبْن عَبَّاس فِي قَوْله ( وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا ) الْآيَة ، قَالَ
: فِي الْحُبّ وَالْجِمَاع ، وَعَنْ عَبْدَة بْن عَمْرو السَّلْمَانِيّ مِثْله .
”Perkataan Al-Bukhaariy : Bab Berbuat Adil
Diantara Para Istri; Firman Allah : ”Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku ‘adil diantara istri-istrimu” ; Al-Bukhaariy mengisyaratkan
dengan menyebutkan ayat tersebut bahwasannya tidak mungkin berbuat ‘adil
terhadap mereka semua dalam segala sisi, serta beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam mengisyaratkan dalam hadits di bawahnya bahwa
yang dimaksudkan dengan keadilan adalah mempersamakan mereka dalam hal yang
layak bagi masing-masing. Apabila suami telah memenuhi kebutuhan pakaian,
nafkah, dan jadwal bermalam; maka lebih dari itu tidak mengapa dia lakukan
seperti kecenderungan hati, hadiah……..”. At-Tirmidziy mengatakan : ’Yang dimaksud
dengannya (kecenderungan) ialah cinta dan kasih sayang’. Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama’…. Al-Baihaqiy telah meriwayatkan sebuah hadits melalui jalan ‘Aliy bin Abi Thalhah dari
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang firman Allah : “Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku ‘adil diantara istri-istrimu” ; ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : ’Dalam urusan cinta dan jimaa’[2]’. Juga diriwayatkan yang semisalnya dari ‘’Abdah[3] bin ‘Amru As-Salmaaniy[4]” [Fathul-Baariy,
9/313].
Artinya, boleh bagi suami menjimai
salah seorang istrinya lebih sering daripada yang lain, meski jika ia melakukan
dalam kadar yang sama lebih utama.
2.
Wajib bagi suami adil dalam pembagian jadwal bermalam
terhadap istri-istrinya.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
masalah ini.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
إذا كَانَ عند الرجل أكثر من امرأة واحدة، يجب عَلَيْهِ التسويةُ
بينهن فِي القسم إن كُنَّ حرائر، سواء كُنَّ مسلمات أو كتابيات، ...... فإن ترك
التسوية بينهن فِي فعل القسم، عصى اللَّه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وعليه القضاء
للمظلومة.ورُوي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " مَنِ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ
يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مائلٌ "، وَفِي إسناده نظر، وأراد بهَذَا الميل
الميلَ بالفعل، ولا يُؤاخذ بميل القلب إذا سوَّى بينهن فِي فعل القسم، قَالَ
اللَّه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ، معناه: لن
تَسْتَطيعُوا أن تعدلوا بما فِي القلوب، فلا تميلوا كلَّ الميل، أي: لا تُتبعوا
أهواءكم أفعالكم.
“Apabila seorang suami
mempunyai istri lebih dari satu orang, maka wajib baginya untuk menyamakan
pembagian jadwal di antara mereka apabila wanita tersebut statusnya merdeka,
baik ia muslimah ataupun Ahli Kitab….. Apabila ia meninggalkan penyamaan
pembagian jadwal di antara mereka, maka ia telah bermaksiat kepada Allah subhaanahu
wa ta’ala, dan wajib baginya untuk mengqadla’-nya untuk istri yang ia
dhalimi. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam : ‘Apabila kalian mempunyai dua orang istri, lalu ia condong
kepada salh satu di antara keduanya, niscaya kelak ia datang di hari kiamat
dalam keadaan badannya miring’. Sanad hadits ini perlu diteliti[5]. Yang dimaksudkan dengan
kecondongan di sini adalah kecondongan dalam perbuatan. Kecondongan hati tidak
berdoa apabila ia telah melakukan pembagian jadwal melalui perbuatan. Allah subhaanahu
wa ta’ala berfirman : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)’ (QS.
An-Nisaa’ : 129). Maknanya : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil’, yaitu berlaku adil dengan apa yang ada di dalam hati (cinta).
Firman-Nya : ‘karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai)’, maksudnya : janganlah hawa nafsumu mengikuti perbuatanmu…” [Syarhus-Sunnah,
9/150-151].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
لَا نَعْلَمُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي وُجُوبِ التَّسْوِيَةِ
بَيْنَ الزَّوْجَاتِ فِي الْقَسْمِ خِلَافًا ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : {وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ } .
وَلَيْسَ مَعَ الْمَيْلِ مَعْرُوفٌ .
“Kami tidak
mengetahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang wajibnya
penyamaan pembagian. Allah
ta’ala telah berfirman : ‘Dan bergaullah dengan mereka secara patut”
(QS. An-Nisaa’ : 19). Adanya kecondongan (terhadap salah seorang istri dalam
pembagian) bukanlah tindakan yang patut” [Al-Mughniy, 8/139].
لَا خِلَافَ فِي هَذَا ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ اللَّيْلَ لِلسَّكَنِ
وَالْإِيوَاءِ ، يَأْوِي فِيهِ الْإِنْسَانُ إلَى مَنْزِلِهِ ، وَيَسْكُنُ إلَى
أَهْلِهِ ، وَيَنَامُ فِي فِرَاشِهِ مَعَ زَوْجَتِهِ عَادَةً ، وَالنَّهَارَ
لِلْمَعَاشِ ، وَالْخُرُوجِ ، وَالتَّكَسُّبِ ، وَالِاشْتِغَالِ .
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى { وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا } وَقَالَ
تَعَالَى : { وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا }
وَقَالَ { وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا
فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ } فَعَلَى هَذَا يَقْسِمُ الرَّجُلُ بَيْنَ
نِسَائِهِ لَيْلَةً وَلَيْلَةً ، وَيَكُونُ فِي النَّهَارِ فِي مَعَاشِهِ ،
وَقَضَاءِ حُقُوقِ النَّاسِ ، وَمَا شَاءَ مِمَّا يُبَاحُ لَهُ ، إلَّا أَنْ
يَكُونَ مِمَّنْ مَعَاشُهُ بِاللَّيْلِ ، كَالْحُرَّاسِ وَمَنْ أَشْبَهَهُمْ ،
فَإِنَّهُ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ بِالنَّهَارِ ، وَيَكُونُ اللَّيْلُ فِي
حَقِّهِ كَالنَّهَارِ فِي حَقِّ غَيْرِهِ .
فَصْلٌ : وَالنَّهَارُ يَدْخُلُ فِي الْقَسْمِ تَبَعًا لِلَّيْلِ ؛
بِدَلِيلِ مَا رُوِيَ أَنَّ سَوْدَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ .
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
وَقَالَتْ عَائِشَةُ { قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي ، وَفِي يَوْمِي .
وَإِنَّمَا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَارًا .
.وَيَتْبَعُ الْيَوْمُ اللَّيْلَةَ الْمَاضِيَةَ ؛ لِأَنَّ
النَّهَارَ تَابِعٌ لِلَّيْلِ
“Tidak ada
perbedaan pendapat dalam permasalahan ini (yaitu pokok dalam pembagian adalah
malam hari), karena malam hari untuk tinggal dan istirahat, manusia
beristirahat di malam hari di rumahnya, berkumpul dengan keluarganya, dan tidur
di kasurnya bersama istrinya sebagaimana biasa. Adapun siang hari untuk mencari penghidupan dan beraktivitas.
Allah ta’ala berfirman: ‘dan menjadikan
malam untuk beristirahat’ (QS. Al-An’aam : 96). Allah ta’ala berfirman
: ‘Dan Kami jadikan malam sebagai
pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan’ (QS. An-Naba’ :
10-11). Dan Allah ta’ala juga berfirman : ‘Dan karena rahmat-Nya, Dia
jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan
supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu
bersyukur kepada-Nya’ (QS. Al-Qashshash : 73). Berdasarkan hal ini, seorang
suami membagi jadwal di antara istri-istrinya semalam-semalam, dan menjadikan
siang harinya untuk mencari penghidupan, menunaikan hak-hak manusia, dan hal
lain yang dimubahkan (dibolehkan) untuk dirinya; kecuali bagi orang yang
penghidupannya (pekerjaannya) dilakukan di malam hari, seperti petugas jaga dan
yang semisalnya, maka mereka membagi jadwal di antara istri-istrinya di siang
hari, sedangkan malam harinya seperti siang hari bagi orang selain dirinya.
Pasal : Siang hari masuk dalam pembagian yang ikut
pada malam (sebelumnya) dengan dalil hadits : Bahwasannya Saudah memberikan
jadwal harinya untuk ‘Aaisyah. Muttafaqun ‘alaih.
‘Aaisyah berkata : ‘Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meninggal di rumahku dan pada waktu jadwal hariku” [idem,
8/145].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata:
عِمَادُ
الْقَسْمِ اللَّيْلُ لِأَنَّهُ سَكَنٌ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:
جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ. وقَالَ: خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا.
“Pokok pembagian adalah malam hari, karena waktu itu
untuk istrirahat. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman : ‘Dialah yang
menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padany’ (QS. Yuunus :
67). Allah ta’ala berfirman : ‘Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya’
(QS. Ar-Ruum : 21)" [Al-Umm, 5/211].
3.
Diperbolehkan bagi
seorang suami untuk mendatangi istri-istrinya dalam satu hari.
Dalilnya
adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا، كَان رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ
مِنَ الْعَصْرِ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ، فَيَدْنُو مِنْ إِحْدَاهُنَّ، فَدَخَلَ عَلَى
حَفْصَةَ فَاحْتَبَسَ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَ يَحْتَبِسُ
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam apabila telah selesai menunaikan shalat ‘Ashr, beliau masuk
menemui istri-istrinya, lalu mencumbui mereka, lalu masuk ke tempat Hafshah dan
berlama-lamaan di sana” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5216].
Al-Bukhaariy
memasukkan hadits di atas dalam bab : Masuknya Seorang Laki-laki Menemui
Istri-Istrinya dalam Satu Hari.
Al-‘Ainiy
rahimahullah berkata:
وأجاز مالك أن يأتي
إلى الأخرى في حاجة وليضع شأنه إذا كان على غير ميل وقال أيضا لا يقيم عند إحداهما
إلا من عذر
“Maalik
membolehkan seseorang mendatangi istrinya yang lain (yang bukan pemilik jadwal
hari) karena hajat dan menyelesaikan urusannya apabila tidak ada kecondongan
(terhadapnya dibanding yang lain). Ia juga berkata : Tidak boleh tinggal di
rumah salah satunya kecuali ada ‘udzur” [‘Umdatul-Qaariy,
29/494].
عَنْ عَائِشَة قَالَتْ:
" يَا ابْنَ أُخْتِي، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا، وَكَانَ
قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ
مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
Dari
‘Aaisyah, ia berkata : Wahai anak saudaraku, dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam hal
pembagian jadwal tinggalnya di sisi kami. Sangat jarang pada diri beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam satu hari, kecuali beliau mendatangi kami semuanya,
lalu beliau mencumbui semua istrinya tanpa menyentuhnya (menggaulinya), hingga
sampai pada tempat istri yang mempunyai giliran hari dan kemudian beliau
bermalam di sana....” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2135, Al-Haakim 2/186,
Al-Baihaqiy 7/74-75 (118) no. 13434, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no.
5254; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 3/466-469
no. 1479].
Ash-Shan’aaniy
rahimahullah berkata:
فيه دليل على أنه يجوز
للرجل الدخول على من يكن في يومها من نسائه، والتأنيس لها واللمس والتقبيل.
وفيه بيان حسن خلقه
عليه الصلاة والسلام، وأنه كان خير الناس لأهله.
“Dalam hadits ini terkandung dalil bolehnya seorang
suami masuk menemui istrinya yang tidak memiliki jadwal giliran harinya di
antara istri-istrinya; serta bolehnya bersenang-senang, bersentuhan, dan
menciumnya. Hadits tersebut juga terdapat penjelasan tentang baiknya akhlaq
beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam, dan bahwasannyabeliau adalah orang
yang paling baik terhadap keluarganya” [Subulus-Salaam, 3/446].
4.
Diperbolehkan bagi seorang suami untuk menjimai istri-istrinya
dalam satu hari.
Dalilnya:
عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ،
قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدُورُ عَلَى نِسَائِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِنَ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ وَهُنَّ إِحْدَى عَشْرَةَ
Dari
Anas bin Maalik, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendatangi istri-istrinya dalam satu waktu pada malam dan siang hari, dan
istri-istri beliau berjumlah sebelas orang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
268].
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ،
بِغُسْلٍ وَاحِدٍ "
Dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah mendatangi istri-istrinya dengan satu kali mandi
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 309].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ: يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كُنْتُ أُطَيِّبُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ، ثُمَّ
يُصْبِحُ مُحْرِمًا يَنْضَخُ طِيبًا
Dari
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Semoga Allah merahmati Abu ‘Abdirrahmaan,
dulu aku pernah memberikan
minyak wangi kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau mendatangi istri-istrinya. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berada di pagi hari dalam keadaan berihram menebarkan kewangian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 267].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَأَمَّا طَوَاف
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِد ،
فَهُوَ مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ كَانَ بِرِضَاهُنَّ
أَوْ بِرِضَى صَاحِبَة النَّوْبَة ، إِنْ كَانَتْ نَوْبَة وَاحِدَة
“Adapun
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mendatangi istri-istrinya
dengan sekali mandi, maka itu dibawa kepada makna bahwa hal itu berdasarkan
keridlaan mereka atau keridlaan pemilik jadwal giliran, apabila jadwal giliran
satu” [Syarh Shahiih Muslim, 3/218].
Perkataan An-Nawawiy bahwa hal itu dilakukan
berdasarkan keridlaan, maka perlu ditinjau kembali. Hal itu disebabkan kewajiban
berbuat adil adalah bermalam, bukan menyamakan jima’. An-Nawawiy rahimahullah
berkata :
قَالَ
أَصْحَابنَا وَإِذَا قَسَمَ لَا يَلْزَمهُ الْوَطْء وَلَا التَّسْوِيَة فِيهِ بَلْ
لَهُ أَنْ يَبِيت عِنْدهنَّ ، وَلَا يَطَأ وَاحِدَة مِنْهُنَّ وَلَهُ أَنْ يَطَأ
بَعْضهنَّ فِي نَوْبَتهَا دُون بَعْض ، لَكِنْ يُسْتَحَبّ أَلَّا يُعَطِّلهُنَّ
وَأَنْ يُسَوِّي بَيْنهنَّ فِي ذَلِكَ كَمَا قَدَّمْنَاهُ وَاَللَّه أَعْلَم
“Shahabat-shahabat kami berkata : Apabila suami telah
membagi (jadwal bermalam), maka tidak wajib baginya menjimai-nya dan berlaku
‘adil dalam masalah itu. Bahkan ia boleh bermalam di sisi istri-istrinya dan
tidak menjimai seorang pun diantara mereka. Suami boleh menjimai salah seorang
istrinya saat ia bermalam dengannya tanpa menjimai yang lain (ketika jatah
bermalam mereka). Akan tetapi, disukai agar ia menjimai istri-istrinya
dan menyamakannya di antara istri-istrinya sebagaimana yang telah kami
jelaskan. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 10/46].
As-Sarkhasiy rahimahullah berkata:
وهذه التسوية في البيتوتة
عندها للصحبة والمؤانسة لا في المجامعة، لأن ذلك ينبني على النشاط ولا يقدر على اعتبار
المساواة فيه، فهو نظير المحبة في القلب
“Penyamaan dalam hal bermalam ini di sisinya adalah
untuk menemani dan berbuat baik (menghibur/beramah-ramah), bukan dalam hal
menjimai. Hal itu dikarenakan jima’ didasari oleh keinginan (libido), sehingga
tidak mungkin untuk menyamakannya. Ia sama seperti kecintaan dalam hati” [Al-Mabsuuth,
5/218].
Selain itu, telah lewat di atas hadits dari ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bercumbu dengan istri-istrinya
yang bukan pemilik jadwal giliran di siang hari. Apabila syari’at telah
membolehkan seorang suami masuk menemui istrinya, bercumbu, dan berintim-intim dengannya,
maka jika ada orang yang melarang suami tersebut berjima’ dengan istrinya
hendaknya mendatangkan dalil[6].
Adapun di malam hari, maka ini adalah asal kewajiban adil
dalam pembagian jadwal giliran bermalam. Suami wajib tinggal dan menemani istri
yang memiliki jadwal giliran. Oleh karena itu, jika suami yang akan keluar
menemui istrinya yang lain – apalagi bermalam dan menjimainya – harus dengan
keridlaan istri pemilik jadwal giliran.
Kesimpulan : Boleh bagi suami menemui istri-istrinya di siang hari
untuk bercumbu dengannya dan juga berjima’ dengannya. Adapun di malam hari,
maka ia mesti dengan keridlaan istri pemilik jadwal giliran.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai – 18022015 – 02:43 – banyak mengambil faedah dari Ahkaamut-Ta’addud
fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah oleh Ihsaan Al-‘Utaibiy, penjelasan
Asy-Syaikh Abu Bakr Yuusuf La’uwaisiy, dan beberapa bahan bacaan lainnya].
[2] Riwayatnya adalah :
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، أنا
أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدُوسٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ
سَعِيدٍ، نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي
قَوْلِهِ تَعَالَى: " وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ
النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، قَالَ: فِي الْحُبِّ وَالْجِمَاعِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi
Ishaaq Al-Muzakkiy : Telah memberitakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin
Muhammad bin ‘Abduus : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Sa’iid :
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih, dari Mu’aawiyyah bin
Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa tentang firman-Nya ta’ala : ‘Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali ‘Imraan
; 129), ia berkata : ‘Dalam hal cinta dan jimaa’” [Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 7/298 (7/486) no. 14740].
[3] Yang benar : ‘Abiidah.
[4] Riwayatnya adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ،
قَالَ: ثنا سُفْيَانُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،
عَنْ عَبِيدَةَ "وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ، قَالَ: بِنَفْسِهِ فِي الْحُبِّ وَالْجِمَاعِ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Sufyaan, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari ‘Abiidah
tentang ayat : ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian’ (QS. Aali
‘Imraan ; 129), ia berkata : “Dengan dirinya dalam hal cinta dan jimaa’”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 9/285; shahih].
[5] Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 1141, Abu Daawud no. 2133, An-Nasaa’iy no. 3942, Ibnu
Maajah no. 1969, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil
7/80-81 no. 2017.
[6] Tentang hadits
‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : ‘Sangat jarang pada diri beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hari, kecuali beliau mendatangi kami
semuanya, lalu beliau mencumbui semua istrinya tanpa menyentuhnya (menggaulinya),
hingga sampai pada tempat istri yang mempunyai giliran hari dan kemudian beliau
bermalam di sana’ ; maka ini
bukan pelarangan, akan tetapi sekedar pengkhabaran, karena telah shahih hadits dari
Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam mendatangi istri-istrinya di siang hari dan menjimai mereka. Oleh
karena itu pemahamannya adalah bahwa kadang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi istri-istri beliau bercumbu dengan mereka tanpa berjimak,
kadang disertai jima’. Wallaahu a’lam.
Comments
Posting Komentar