Makan Dulu atau Shalat Dulu ?


Tanya : Ketika saya baru mulai makan, terdengar adzan. Manakah yang harus saya dahulukan, makan atau bergegas menuju masjid untuk shalat?.
Jawab : Jika Anda merasa lapar dan keinginan untuk makan, maka Anda dahulukan untuk makan daripada shalat. Dalilnya antara lain adalah:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Dari Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila makan malam telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557, At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan telah dihidangkan atau menahan buang air besar atau kecil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 560 dan Abu Daawud no. 89].
عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ " قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
“Apabila makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَابْنُ عُمَرَ، وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق يَقُولَانِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ وَإِنْ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ.قَالَ أَبُو عِيسَى: سَمِعْت الْجَارُودَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ وَكِيعًا يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ إِذَا كَانَ طَعَامًا يَخَافُ فَسَادَهُ وَالَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَشْبَهُ بِالِاتِّبَاعِ، وَإِنَّمَا أَرَادُوا أَنْ لَا يَقُومَ الرَّجُلُ إِلَى الصَّلَاةِ وَقَلْبُهُ مَشْغُولٌ بِسَبَبِ شَيْءٍ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: لَا نَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَفِي أَنْفُسِنَا شَيْءٌ
“Hadits ini[1] diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya : Abu Bakr, ‘Umar, dan Ibnu ‘Umar. Ahmad dan Ishaaq berpendapat dengannya, dimana mereka berdua berkata : ‘Hendaklah ia mulai dengan makan malam meskipun akan ketinggalan shalat berjama’ah’. Abu ‘Iisaa (At-Tirmidziy) berkata : Aku mendengar Al-Jaarud berkata : Aku mendengar Wakii’ berkata tentang hadits ini : ‘Hendaknya ia mulai dengan makan malam apabila makanan dikhawatirkan menjadi rusak’. Pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya lebih tepat untuk diikuti. Yang mereka maksudkan hanyalah seseorang tidak berdiri shalat sedangkan hatinya tersibukkan oleh sesuatu (selain shalat). Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwasannya ia berkata : ‘Kami tidak berdiri shalat sedangkan pada diri kami terdapat sesuatu” [A-Jaami’ At-Kabiir, 1/381].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا
“Dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci (wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu tersebut untuk menjaga kehormatan waktu  shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/46].
Al-Manawiy rahimahullah ketika mengomentari hadits ‘Aaisyah, berkata:
وفيه تقديم فضيلة حضور القلب على فضيلة أول الوقت
“Dalam hadits tersebut terdapat faedah mendahulukan keutamaan hadirnya hati daripada keutamaan awal waktu” [Faidlul-Qadiir, 6/557 no. 9896].
Maksud mendahulukan makan di sini bukan untuk makan sampai kenyang, akan tetapi sekedar menghilangkan rasa laparnya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
أن يكون به جوع، أو عطش شديد، وحضر الطعام والشراب، وتاقت نفسه إليه، فيبدأ بالاكل والشرب. قال الاصحاب: وليس المراد أن يستوفي الشبع، بل يأكل لقما يكسر حدة جوعه
“Apabila ia merasa sangat lapar atau haus, sedangkan makanan dan minuman telah tersedia dan dirinya sangat menginginkannya; hendaklah ia dahulukan untuk makan dan minum (daripada shalat). Shahabat-shahabat kami berkata : Maksudnya di sini bukanlah untuk makan sampai kenyang, akan tetapi makan sekedar untuk menghilangkan rasa laparnya” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/451].
‘Illat mendahulukan makan daripada shalat di sini adalah untuk menghilangkan kesibukan hati (dari sesuatu selain shalat) dan ketidakkhusyukan. Jika seseorang tidak terlalu berkeinginan untuk makan sehingga ia dapat menghadirkan hati dan kekhusyukan selama shalat, maka didahulukan shalat.
Sebagaimana dikatakan An-Nawawiy rahimahullah di atas, ketentuan untuk mendahulukan makan atau minum daripada shalat ini berlaku jika waktu shalat masih longgar. Namun jika waktu shalat hampir habis, tetap wajib untuk mendahulukan shalat; karena shalat di luar waktunya adalah haram, sedangkan shalat dengan menahan rasa lapar dan haus hanyalah makruh saja (tidak sampai haram). Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Wallaahu a’lam.
Semoga jawaban ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 18 Ramadlaan 1435].





[1]      Maksudnya, hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.

Comments

Anonim mengatakan...

Afwan ustadz, berkaitan dengan waktu sholat yang muwassa' ini dan masalah hadirnya hati... apakah boleh jika kita ingin jima' kemudian mendahulukan jima' terlebih dahulu? tentunya dengan kehilangan jama'ah di masjid. syukron ustadz

abu.luqman mengatakan...

afwan, sepertinya, gambarnya itu bayi lagi disuapin pake tangan kiri.

Anonim mengatakan...

kok pake tangan kiri, nyuapinnya ?

Anonim mengatakan...

@abu.luqman dan @anonim

barangkali orang tuanya kidal, dan agak kesulitan dalam hal itu. bagaimana kalau sudah begitu? lihat substansinya saja, tulisan yang dimaksud.

terima kasih

Anonim mengatakan...

@anonim yang paling atas

baiknya jangan membiasakan berjimak di dekat-dekat waktu salat wajib. nafsu itu kan bagaimana kita mengkontrolnya saja.