Tanya
: Apa
hukum memboikot produk-produk orang kafir yang melakukan kedhaliman (penindasan)
terhadap kaum muslimin, seperti memboikot produk-produk Yahudi dan produk-produk yang dihasilkan oleh
produsen yang membela kepentingan
Yahudi?.
Jawab : Para ulama telah menjelaskan bahwa asal hukum memboikot
produk-produk orang kafir adalah diperbolehkan, dan jika ada maslahat syar’iy
dalam pemboikotan tersebut, maka ia dapat dihukumi sunnah atau bahkan wajib.
Firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ
بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُونِي بِأَخٍ لَكُمْ مِنْ أَبِيكُمْ أَلا تَرَوْنَ أَنِّي
أُوفِي الْكَيْلَ وَأَنَا خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ * فَإِنْ لَمْ تَأْتُونِي بِهِ
فَلا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِي وَلا تَقْرَبُونِ
“Dan
tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata:
"Bawalah kepadaku saudaramu yang se ayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah
kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik
penerima tamu?. Jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan
mendapat sukatan lagi dari padaku dan jangan kamu mendekatiku” [QS. Yuusuf
: 59-60].
Sisi
pendalilan : Yuusuf ‘alaihis-salaam menjadikan ditahannya makanan kepada
saudara-saudaranya sebagai sarana (wasiilah) untuk membawa saudaranya
(Bunyamin) kepadanya.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai
Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka” [QS. At-Taubah : 73].
Sisi pendalilan : Jalan pemboikotan/pemutusan
hubungan perdagangan (jual-beli) merupakan salah satu jalan melawan orang kafir
dan munafiq dengan cara memberikan kemudlaratan secara ekonomi, sehingga ia termasuk
dalam cabang jihad secara umum.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لا
يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلا نَصَبٌ وَلا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَطَئُونَ
مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ
لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Yang
demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu
suatu amal shalih” [QS. At-Taubah : 120].
Sisi pendalilan : pemboikotan perdagangan
merupakan salah satu upaya yang menyebabkan bencana, kesulitan, dan
kemudlaratan bagi orang kafir.
Dari hadits :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي
سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: بَعَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ
بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ، يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ،
فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟
" فَقَالَ: عِنْدِي خَيْرٌ يَا مُحَمَّدُ، إِنْ تَقْتُلْنِي تَقْتُلْ ذَا
دَمٍ، وَإِنْ تُنْعِمْ تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْمَالَ،
فَسَلْ مِنْهُ مَا شِئْتَ، فَتُرِكَ حَتَّى كَانَ الْغَدُ، ثُمَّ قَالَ لَهُ:
" مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟ " قَالَ: مَا قُلْتُ لَكَ: إِنْ تُنْعِمْ
تُنْعِمْ عَلَى شَاكِرٍ، فَتَرَكَهُ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْغَدِ، فَقَالَ: "
مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ؟ " فَقَالَ: عِنْدِي مَا قُلْتُ لَكَ، فَقَالَ:
" أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ "، فَانْطَلَقَ إِلَى نَجْلٍ قَرِيبٍ مِنَ
الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، يَا
مُحَمَّدُ وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى الْأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ
وَجْهِكَ، فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الْوُجُوهِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا
كَانَ مِنْ دِينٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ دِينِكَ، فَأَصْبَحَ دِينُكَ أَحَبَّ
الدِّينِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ بَلَدٍ أَبْغَضُ إِلَيَّ مِنْ
بَلَدِكَ، فَأَصْبَحَ بَلَدُكَ أَحَبَّ الْبِلَادِ إِلَيَّ، وَإِنَّ خَيْلَكَ
أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ، فَمَاذَا تَرَى؟ فَبَشَّرَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ، فَلَمَّا
قَدِمَ مَكَّةَ، قَالَ لَهُ قَائِلٌ: صَبَوْتَ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ
مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا وَاللَّهِ
لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah menceritakan kepada kami
Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abi Sa’iid,
bahwasannya ia mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim pasukan berkuda menuju Najd.
Mereka kembali
dengan membawa tawanan seseorang dari Bani Haniifah yang bernama Tsumaamah bin Atsaal. Lalu mereka mengikatnya pada salah satu tiang diantara
tiang-tiang masjid. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya
dan bersabda kepadanya : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah?”. Ia menjawab
: “Aku memiliki yang lebih baik wahai Muhammad. Jika engkau membunuhku maka engkau telah
membunuh orang yang memiliki darah. Jika engkau memberi (kebebasan), maka
engkau telah memberi pada
orang
yang tahu berterima
kasih.
Jika engkau menginginkan harta, maka mintalah apa yang engkau minta”. Lalu ia pun ditinggalkan hingga keesokan harinya.
Beliau bersabda : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah ?”. Ia
menjawab : “Apa yang telah aku katakan kepadamu (sebelumnya). Jika engkau
berbuat baik, maka engkau telah berbuat baik pada orang yang tahu berterima
kasih”. Maka beliau meninggalkannya hingga keesokan harinya. Beliau kembali
bersabda : “Apa yang engkau miliki wahai Tsumaamah ?”. Ia menjawab :
“Aku memiliki apa yang telah aku katakan kepadamu sebelumnya”. Beliau bersabda
: “Bebaskan Tsumaamah”. Lalu ia pergi ke sebuah batang phon kurma di
dekat masjid, dan kemudian mandi. Setelah itu ia masuk masjid dan berkata :
“Aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku
bersaksi Muhammad adalah utusan Allah. Wahai Muhammad, dulu tidak ada wajah
seorang pun di muka bumi ini yang paling aku benci daripada wajahmu. Namun
sekarang, wajahmu adalah wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak
ada agama yang paling aku benci daripada agamamu. Namun sekarang, agamamu
adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada negeri yang
paling aku benci daripada negerimu ini. Namun sekarang, negerimu adalah negeri
yang paling aku cintai. Dan sesungguhnya pasukanmu telah menangkapku, sedangkan
aku hendak melaksanakan ‘umrah. Bagaimana pendapatmu ?”. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam memberikan kabar gembira dan memerintahkannya untuk
melaksanakan ‘umarh. Ketika ia sampai di Makkah, seseorang berkata kepadanya
(Tsumaamah) : “Apakah engkau telah murtad ?”. Tsumaamah menjawab : “Tidak,
namun aku telah memeluk agama Islam bersama Muhammad Rasulillah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Demi Allah, engkau tidak akan mendapatkan gandum dari
Yamaamah hingga diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4372].
Sisi pendalilan : Tsumaamah
memberikan ultimatum bahwa orang kafir di Makkah tidak akan mendapatkan pasokan
gandum dari wilayahnya hingga diizinkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Ini adalah salah satu bentuk pemboikotan perdagangan yang dilakukan
Tsumaamah. Perbuatannya sama sekali tidak diingkari oleh Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat lainnya.
Akad muamalah maaliyyah (yang
berkaitan dengan harta) masuk dalam bab sarana (wasilah), bukan tujuan [lihat
: Al-Mughniy, 6/7]. Maka, hukum muamalah mengikuti tujuannya. Jika
tujuannya adalah untuk jihad di jalan Allah ta’ala memberikan
kemudlaratan kepada orang kafir, maka muamalah tersebut disyari’atkan.
Hukum pemboikotan ada beberapa
keadaan:
1.
Apabila diperintahkan ulil-amri.
Dalam keadaan ini, wajib hukumnya untuk melakukan
pemboikotan berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ
رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengar dan
taatlah, meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Habsyiy yang
kepalanya seperti kismis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 693 & 696
& 7142, Ibnu Maajah no. 2860, dan yang lainnya, dari Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhu].
Perintah ulil amri didapat melalui pertimbangan adanya
kemaslahatan umum dan menolak adanya mafsadat. Dan memang
seharusnya begitu,
sebagaimana kaedah:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Kebijakan imam terhadap rakyat harus dikaitkan pada kemaslahatan”.
2.
Apabila tidak diperintahkan ulil-amri; maka dalam hal
ini ada dua keadaan:
a.
Ia yakin atau berprasangka kuat bahwa hasil/keuntungan
dari muamalah jual-beli dengan kuffar dipergunakan untuk memerangi kaum
muslimin, melakukan kekufuran, atau keharaman lainnya; maka haram
bermuamalah dengan mereka dan wajib untuk memboikotnya.
Misalnya : Menjual senjata kepada orang kafir harbi,
atau menjual semen kepada orang yang menggunakannya untuk membuat berhala. Atau bermuamalah dengan orang yang hasil muamalahnya itu diketahui dipergunakan
membeli senjata untuk memerangi kaum muslimin, atau mendirikan kuil dan gereja
tempat ibadah orang kafir; maka haram hukumnya bermuamalah dengan mereka sehingga
wajib memboikot mereka.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى جَوَاز مُعَامَلَة أَهْل
الذِّمَّة وَغَيْرهمْ مِنْ الْكُفَّار إِذَا لَمْ يَتَحَقَّق تحريم ما مَعَهُ ،
لَكِنْ لَا يَجُوز لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَبِيع أَهْل الْحَرْب سِلَاحًا وَآلَة حَرْب
، وَلَا مَا يَسْتَعِينُونَ بِهِ فِي إِقَامَة دِينهمْ ، وَلَا بَيْع مُصْحَف ،
وَلَا الْعَبْد الْمُسْلِم لِكَافِرٍ مُطْلَقًا . وَاللَّهُ أَعْلَم .
“Kaum muslimin telah bersepakat tentang bolehnya
bermuamalah dengan ahludz-dzimmah dan selain mereka dari kalangan orang-orang
kafir, selama tidak mengandung keharaman. Akan tetatpi tidak diperbolehkan bagi
muslim untuk menjual senjata dan peralatan perang pada orang kafir harbi. Tidak
diperbolehkan pula menjual sesuatu yang dapat menolong tegaknya agama mereka, (menjual)
mushhaf, dan budak muslim kepada orang kafir secara mutlak, wallaahu
a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 11/40].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya
tentang hukum bermuamalah dengan orang Tataar, ia menjawab:
أما معاملة التتار فيجوز فيها ما يجوز فى أمثالهم و يحرم فيها ما
يحرم من معاملة أمثالهم فيجوز أن يبتاع الرجل من مواشيهم و خيلهم و نحو ذلك كما
يبتاع من مواشي التركمان و الأعراب و الأكراد و خيلهم و يجوز أن يبيعهم من الطعام
و الثياب و نحو ذلك ما يبيعه لأمثالهم
فاما ان باعهم و باع غيرهم
ما يعينهم به على المحرمات كالخيل و السلاح لمن يقاتل به قتالا محرما فهذا لا يجوز
قال الله تعالى و تعاونوا على البر و التقوى و لا تعاونوا على الاثم و العدوان
“Adapun
bermuamalah dengan orang Tataar, diperbolehkan padanya apa saja yang
diperbolehkan terhadap
orang yang semisal mereka. Begitu juga diharamkan padanya apa saja yang diharamkan dalam perkara muamalah terhadap orang yang semisal
mereka. Diperbolehkan bagi seseorang membeli hewan ternak, kuda, dan semacamnya
(dari orang Tataar) sebagaimana diperbolehkan membeli hewan ternak dan kuda orang
Turkmenistan, A’raab, dan Kurdi. Dan diperbolehkan pula menjual makanan,
pakaian, dan yang semacamnya kepada mereka, sebagaimana diperbolehkan
menjualnya kepada orang yang semisal mereka.
Adapun ia menjual kepada mereka dan selain mereka
sesuatu yang dapat membantu pada hal-hal yang diharamkan, seperti kuda dan
senjata pada orang yang melakukan peperangan yang diharamkan, maka tidak
diperbolehkan. Allah ta’ala berfirman: ‘Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran’ (QS. Al-Maaidah : 3)” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
29/275].
Dasarnya adalah firman Allah ta’ala –
sebagaimana telah disebut oleh Ibnu Taimiyyah - :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى
الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran” [QS. Al-Maaidah : 3].
Kewajiban pemboikotan ini dikecualikan untuk barang
komoditas yang bersifat dlaruriy atau berkaitan dengan hajat hidup kaum
muslimin yang tidak ada penggantinya dimana ia hanya diperoleh denga cara
membeli dari orang kafir. Contohnya peralatan kedokteran, peralatan/suku cadang
alat tempur/perang, dan yang semisalnya. Ini perlu pertimbangan dari para ulama
dan para ahli akan maslahat dan mafsadatnya.
b.
Ia tidak tahu atau tidak yakin atau mempunyai
prasangka yang tidak kuat bahwa hasil/keuntungan muamalah tersebut dari
muamalah jual-beli dengan kuffar dipergunakan untuk memerangi kaum muslimin,
melakukan kekufuran, atau keharaman lainnya; maka muamalah dengan mereka diperbolehkan.
Pembolehan ini merupakan madzhab jumhur ulama meski
diketahui bahwa orang kafir memperoleh keuntungan dalam muamalah jual-beli
tersebut. Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ،
قَالَ: تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ وَالْقَبِيلَ فِي السَّلَفِ، فَقَالَ
إِبْرَاهِيمُ: حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى
أَجَلٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid
: Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Kami pernah mengadakan
diskusi di sisi Ibraahiim tentang gadai dan pembayaran tunda dalam jual beli.
Lalu Ibraahiim berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Aswad, dari ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda, yang
beliau menggadaikan baju besinya (untuk itu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2509].
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ
بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً، أَوْ قَالَ أَمْ هِبَةً، قَالَ: لَا، بَلْ بَيْعٌ فَاشْتَرَى
مِنْهُ شَاةً "
Telah
menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir
bin Sulaimaan, dari ayahnya, dari Abu ‘Utsmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian
datanglah seorang laki-laki musyrik yang tingginya lebih dari rata sambil
menggiring kambingnya. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Kambing itu mau dijual atau diberikan ?” – atau beliau bersabda : “atau
dihadiahkan ?”. Laki-laki itu menjawab : “Dijual”. Maka beliau pun membeli
darinya seekor kambingnya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2216].
Al-Bukhaariy
rahimahullah memasukkan hadits
di atas (no. 2216) dalam kitab Shahiih-nya pada bab:
باب الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْحَرْبِ
“Bab : Jual Beli dengan Orang-Orang Musyrik dan
Orang Kafir Harbi”.
Ibnu Hibbaan membawakan hadits tersebut (no. 1239),
dan kemudian berkata:
فِي هَذَا الْخَبَرِ دَلِيلٌ عَلَى إِبَاحَةِ التِّجَارَةِ إِلَى دُورِ
الْحَرْبِ لأَهْلِ الْوَرَعِ
“Dalam khabar/hadits ini terdapat dalil
diperbolehkannya aktivitas perdagangan di daarul-harb bagi orang yang wara’”
[Shahiih Ibni Hibbaan, 4/44].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ : ( بَابُ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ مَعَ الْمُشْرِكِينَ
وَأَهْلِ الْحَرْبِ )
قَالَ اِبْنُ بَطَّالٍ : مُعَامَلَةُ الْكُفَّارِ جَائِزَةٌ ، إِلَّا
بَيْعَ مَا يَسْتَعِينُ بِهِ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ . ......
وَفِيهِ جَوَازُ بَيْعِ الْكَافِرِ وَإِثْبَاتُ مِلْكِهِ عَلَى مَا فِي يَدِهِ
“Perkataannya : (Bab : Jual Beli dengan Orang-Orang
musyrik dan Kafir Harbi). Ibnu Baththaal berkata : “Muamalah dengan orang
kafir diperbolehkan, kecuali menjual sesuatu yang dapat menolong orang kafir harbi
memerangi kaum muslimin. ….. Dan dalam hadits tersebut terdapat faedah diperbolehkannya
pembeliaan orang kafir dan penetapan atas kepemilikan barang yang ada di
tangannya” [Fathul-Baariy, 4/410].
Namun, jika seseorang yang melakukan pemboikotan dalam keadaan ini memandang bahwa dalam pemboikotannya tersebut terdapat maslahat dalam melemahkan
perekonomian orang kafir, maka pemboikotan tersebut dianjurkan.
Dalilnya adalah sebagaimana disebutkan di awal artikel.
Atau ia sekedar berniat melakukan pemboikotan untuk
turut andil berjihad membela kaum muslimin dengan melemahkan perekonomian orang
kafir, pemboikotan itupun dianjurkan, karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap
perbuatan hanyalah tergantung niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1, Muslim no. 1907, Abu Dawud no.
2201, At-Tirmidzi no. 1647, dan yang lainnya].
Tidak ada larangan apapun bagi kita untuk tidak membeli produk-produk orang kafir dan pro kafir seandainya kita memang mampu
untuk tidak membeli dan mendapatkan substitusinya dari produk yang lain.
Pemboikotan ini akan berdampak besar jika dilakukan melalui gerakan massal,
apalagi diserukan oleh ulil-amri. Seandainya dilakukan oleh individu, meski
dampaknya lebih kecil – atau katakanlah sangat kecil – maka ia tetap akan diberi
pahala sesuai dengan niatnya, insya Allah.
Apakah pemboikotan ini
dipersyaratkan harus ada izin dari imam ?. Yang raajih – wallaahu a’lam
– tidak dipersyaratkan izin dari imam, karena Tsumaamah ketika memboikot orang
kafir Makkah atas inisiatifnya sendiri tanpa ada perintah dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam sebelumnya.
Masyru’-nya pemboikotan produk kafir ini telah difatwakan
oleh banyak masyayikh Ahlus-Sunnah seperti Asy-Syaikh Ahmad Syaakir,
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Si’diy, Asy-Syaikh Al-Albaaniy,
Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahumullah, Asy-Syaikh Al-Barraak,
Asy-Syaikh Ar-Raaijihiy hafidhahumallah, dan yang lainnya.
Semoga jawaban ini ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – wonogiri – 1 syawwal
1435 H – 2:50]
Comments
Selama masih ada subtitusinya sebaiknya memang boikot saja. Perlu memang sosialisasi tentang keanekaragaman pangan dan produk, utamanya YLKI, biar masyarakat bisa tahu bahwa miman berkarbonasi tidak hanya ada produksi si A saja misalnya. Sayangnya porsi iklan memang mengutamakan pemilik modal, dan akhirnya masyarakat tahunya ya kalau mau "itu" ya merek dan beli itu.
saya bekerja di perusahaan telekomunikasi, dan pemilik perusahaan tsb adalah org kafir membeli produk buatan yahudi untuk material telekomunikasi. bagaimana hukumnya?
Bagaimana dgn fatwa syaikh utsaimin, syaikh fauzan dan lajnah daimah. Tlg juga ditulis dong
@Anonim 9 Agustus 2014 20.37
Kenapa tidak ada tampilkan saja sendiri?
Pada bagian akhir kan sudah jelas posisi dari postingan di atas. Lagi pula bukan upaya pembentoran. Tetapi langkah tengah-tengah. Jika Anda merasa berat untuk memboikot, ya nggak usah boikot. Setelah post ini, ya silakan pilih dgn pikiran. Begitu.
@Anonim 8 Agustus 2014 09.24
Ya, semoga saja alat alat yang dibeli memang berkualitas, dan dapat meningkatkan pelayanan telekomunikasi umat untuk kepentingan dakwah
Ustadz ana ada dengar istilah pembatal-pembatal keislaman, tapi ada juga pembatal-pembatal keimanan, apakah keduanya sama atau berbeda ustadz?
Afriadi
Posting Komentar