Satu Kesalahan Dibandingkan Seribu Kebaikan


Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam[QS. Al-Mukminuun : 102-103].
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri” [QS. Al-A’raaf : 8-9].
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ * وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ * فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah [QS. Al-Qaari’ah : 6-9].
Melalui ayat-ayat di atas Allah ta’ala memberikan penjelasan kepada kita bahwa orang-orang yang selamat, bahagia, dan memperoleh keberuntungan adalah orang-orang yang kebaikan mereka melebihi kesalahan mereka.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وقوله: { فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ } أي: من رجحت حسناته على سيئاته ولو بواحدة، قاله ابن عباس.
{ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ } أي: الذين فازوا فنجوا من النار وأدخلوا الجنة.
“Dan firman-Nya : ‘Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’ (QS. Al-Mukminuun : 102); yaitu : barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya melebihi keburukan-keburukannya meskipun hanya satu. Hal itu dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas. Firman-Nya : ‘maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’; yaitu : orang-orang yang memperoleh kemenangan sehingga selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/496].
Allah tidak mensyaratkan golongan yang mendapatkan keberuntungan harus terbebas dari kekeliruan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Aadam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Maajah no. 4251, dan lain-lain; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Sebaliknya, Allah ta’ala tidak mengatakan bahwa seorang yang celaka tidak mempunyai kebaikan. Akan tetapi orang yang celaka adalah orang yang keburukan dan kesalahan mereka melebihi kebaikan.
Dulu, ketika Haathib bin Abi Baltha’ah kedapatan membocorkan rencana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam menyerang Makkah karena kasih saying dan rasa khawatir atas keselamatan keluarganya di Makkah, para shahabat mencelanya. Bahkan saking geramnya, ‘Umar sampai meminta izin kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun respon yang diberikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian[1]” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkomentar:
وارتكب مثل ذلك الذنب العظيم فأخبر صلى الله عليه و سلم انه شهد بدرا فدل على ان مقتضى عقوبته قائم لكن منع من ترتب اثره عليه ماله من المشهد العظيم فوقعت تلك السقطة العظيمة مغتفرة في جنب ماله من الحسنات
“Dan Haathib sebenarnya telah berbuat dosa besar, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwasannya ia ikut hadir dalam perang Badr. Hal itu menunjukkan bahwa sebab yang menuntut adanya hukumannya sudah ada, akan tetapi pelaksanaannya terhalang oleh adanya amal yang sangat besar berupa keikutsertaannya hadir dalam perang Badr, sehingga kesalahan besarnya diampuni di sisi keberadaan kebaikan-kebaikannya tersebut” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/176].
Oleh karena itu, kita mesti memahami hal ini dalam proses interaksi kepada sesama manusia sehingga kita bisa mendudukkan mana orang yang layak diberikan penghormatan dan mana pula orang yang layak untuk dicela dan diberikan peringatan.
Dulu, Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata:
والمنصف من اغتفر قليل خطأ المرء في كثير صوابه
“Orang yang adil adalah orang yang dapat memaafkan sedikit kesalahan orang lain yang memiliki banyak kebenaran” [Al-Qawaa’id, hal. 3].
Terkait dengan hal itu, mari kita simak kisah menarik antara Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan Al-Imaam Al-Humaidiy (guru Al-Bukhaariy) rahimahumullah. Al-Humaidiy berkata:
كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ أَقَامَ عِنْدَنَا بِمَكَّةَ، فَقَالَ لِي ذَاتَ يَوْمٍ، أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ: هَاهُنَا رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، لَهُ بَيَانٌ وَمَعْرِفَةٌ، فَقُلْتُ لَهُ: فَمَنْ هُوَ؟ قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ، وَكَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ جَالَسَهُ بِالْعِرَاقِ، فَلَمْ يَزَلْ بِي حَتَّى اجْتَرَّنِي إِلَيْهِ. وَدَارَتْ مَسَائِلُ، فَلَمَّا قُمْنَا، قَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: كَيْفَ رَأَيْتَ؟ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ مَا كَانَ أَخْطَأَ فِيهِ، وَكَانَ ذَلِكَ مِنِّي بِالْقُرَشِيَّةِ يَعْنِي: مِنَ الْحَسَدِ، فَقَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: فَأَنْتَ لا تَرْضَى أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ يَكُونُ لَهُ هَذِهِ الْمَعْرِفَةُ، وَهَذَا الْبَيَانُ ! ! أَوْ: نَحْوُ هَذَا مِنَ الْقَوْلِ، تَمُرُّ مِائَةُ مَسْأَلَةٍ يُخْطِئُ خَمْسًا أَوْ عَشْرًا، اتْرُكُ مَا أَخْطَأَ، وَخُذْ مَا أَصَابَ
“Dulu Ahmad bin Hanbal pernah tinggal di sisi kami di Makkah. Pada suatau hari atau suatu malam, ia berkata kepadaku : ‘Di sini ada seorang laki-laki keturunan Quraisy yang mempunyai kefasihan retorika dan keluasan ilmu pengetahuan’. Aku berkata kepadanya : ‘Siapakah ia ?’. Ahmad berkata : ‘Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy’. Ahmad bin Hanbal memang biasa bermajelis dengannya di ‘Iraaq. Ia (Ahmad) senantiasa mengajakku untuk bermajelis dengannya (Asy-Syaafi’iy), yang kemudian terjadi diskusi banyak permasalahan. Ketika kami berdiri, Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : ‘Bagaimana pendapatmu (tentangnya) ?’. Maka aku pun mencari-cari kekeliruannya yang ia terjatuh padanya. Hal itu aku lakukan karena rasa hasadku dengan sebab faktor Quraisy-nya. Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku : ‘Engkau tidak ridla ada seorang laki-laki yang mempunyai keluasan ilmu dan kefasihan retorika ini ?. – atau ia mengatakan sesuatu yang semisal dengannya - . Engkau melewati seratus permasalahan lalu ia keliru dalam lima atau sepuluh masalah saja. Tinggalkan kekeliruannya, dan ambil apa yang benar darinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal. 43-44 dengan peringkasan. Diriwayatkan juga olehnya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 7/202-203, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 9/96; sanadnya hasan].
Contoh yang baik juga ditunjukkan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah saat memberikan penilaian terhadap beberapa tokoh terkemuka yang terjatuh dalam kekeliruan. Saat menyebutkan biografi Qataadah bin Di’aamah[2], ia berkata:
ولعل الله يعذر أمثاله ممن تلبس ببدعة يريد بها تعظيم الباري وتنزيهه، وبذل وسعه، والله حكم عدل لطيف بعباده، ولا يسأل عما يفعل.
ثم إن الكبير من أئمة العلم إذا كثر صوابه، وعلم تحريه للحق، واتسع علمه، وظهر ذكاؤه، وعرف صلاحه وورعه واتباعه، يغفر له الله، ولا نضلله ونطرحه، وننسى محاسنه نعم ولا نقتدي به في بدعته وخطئه، ونرجو له التوبة من ذلك
“Mungkin Allah memberikan ‘udzur orang semisal dirinya yang mengenakan pakaian bid’ah yang menginginkan dengannya untuk mengagungkan Al-Baariy (Allah) dan menyucikan-Nya, dengan mencurahkan segala kemampuannya (untuk itu). Dan Allah Maha Bijaksana, ‘Adil, dan Lembut terhadap hamba-hamba-Nya, yang tidak akan ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya. Sesungguhnya orang-orang besar dari kalangan ahli ilmu apabila banyak kebenarannya, diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, serta diketahui kebaikan, wara’, dan sikap ittibaa’-nya; maka Allah akan mengampuninya (kesalahannya). Kita tidak boleh menyesatkannya, menggugurkannya, dan melupakan segala kebaikannya. Benar, kita tidak boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya, dan kita memohon agar ia bertaubat darinya…” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 5/271].
Begitu pula saat menyebutkan biografi Abu Bakr Muhammad bin ‘Aliy Al-Qaffaal rahimahullah:
قال أبو الحسن الصفار: سمعت أبا سهل الصعلوكي، وسئل عن تفسير أبي بكر القفال، فقال: قدسه من وجه، ودنسه من وجه، أي: دنسه من جهة نصره للاعتزال.
قلت: قد مر موته، والكمال عزيز، وإنما يمدح العالم بكثرة ماله من الفضائل، فلا تدفن المحاسن لورطة، ولعله رجع عنها.
وقد يغفر له باستفراغه الوسع في طلب الحق ولا قوة إلا بالله.
“Abul-Hasan Ash-Shaffaar berkata : Aku mendengar Abu Sahl Ash-Sha’luukiy ditanya tentang tafsir Abu Bakr Al-Qaffaal, lalu ia menjawab : ‘Ia (Abu Bakr Al-Qaffaal) menyucikannya di satu sisi dan mengotorinya di sisi yang lain’. Maksudnya, mengotorinya dari sisi pembelaannya terhadap paham Mu’tazilah.
Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : Sungguh ia telah meninggal, dan satu kesempurnaan merupakan kemuliaan. Seorang ulama hanyalah dipuji karena banyaknya harta berupa keutamaan-keutamaan (yang dimilikinya). Maka, kebaikan-kebaikannya tidaklah ikut dikubur dengan sebab satu keburukan. Barangkali ia telah rujuk dari kesalahannya itu sehingga Allah mengampuninya karena ia mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari kebenaran. Tidak ada kekuatan melainkan milik Allah…” [idem, 16/285].
Ibnu Katsiir saat menyebutkan perihal gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahumallah, berkata:
وبالجملة فقد كان رحمه الله من كبار العلماء وممن يخطئ ويصيب ، ولكن خطأه بالنسبة إلى صوابه كنقطة في بحر لجي ، وخطؤه مغفور له
“Dan secara umum, beliau rahimahullah termasuk diantara ulama besar, dan bisa salah maupun benar. Akan tetapi kesalahannya dibandingkan dengan kebenarannya seperti titik di tengah lautan luas. Dan kesalahannya tersebut diampuni (oleh Allah)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 14/160].
Sungguh, diantara keajaiban orang-orang yang berperilaku dhalim terhadap sesama dari generasi belakangan adalah hobi mereka yang senang sekali mencari-cari kesalahan orang. Berjam-jam mereka membaca kitab, mendengarkan rekaman, dan membolak-balik halaman website hanya untuk mengumpulkan kesalahan seseorang. Mereka mencela dan membatalkan kebaikan seseorang hanya karena sedikit kesalahan - bahkan diantara kesalahan itu hanyalah sebuah pengambilan pendapat yang dianggap lemah dalam masalah ijtihadiyyah. Muamalah mereka itu mirip dengan Khawaarij dalam masalah iman. Khawaarij menganggap iman itu pejal tak bercabang yang jika hilang satu bagian, maka hilang semuanya. Begitu juga dengan orang-orang yang ghulluw itu. Ketika mereka melihat kekeliruan seseorang dalam satu atau dua hal, maka bara'-lah mereka 100%. Mereka gugurkan semua kebaikan orang itu dan kemudian mengeluarkannya dari lingkup sunnah tanpa melihat jenis, banyak-sedikit, dan besar-kecilnya kesalahan.
Apalagi, banyak diantara orang yang mereka cela itu adalah para ulama. Seperti dikatakan : “Apabila air telah mencapai dua qullah, maka air itu tidak menanggung najis".
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Jika seorang hakim memutuskan (satu perkara) yang kemudian dia berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala; dan jika dia memutuskan (satu perkara) kemudian dia berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352].
Wallaahul-musta'aan.
[abul-jauzaa' – senayan, Jakarta – 10062014 – 15:10].




[1]      Riwayat selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ مَرَّتَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا والزُّبَيْرَ والْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ، قَالَ: " انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ، فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ، فَقُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا، فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا حَاطِبُ مَا هَذَا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar yang aku mendengar darinya dua kali, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abi Raafi’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusku, Az-Zubair, dan Al-Miqdaad. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berangkatlah kalian hingga mendatangi kebun Khaakh, karena di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya”. Maka kami pun pergi dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di kebun tersebut. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan. Kami berkata : “Keluarkan surat yang engkau bawa”. Wanita itu berkata : “Aku tidak membawa surat apapun”. Kami berkata : “Sungguh, engkau harus mengeluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu”. Lalu ia pun mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ternyata berasal dari Haathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrikin penduduk Makkah untuk mengkhabarkan sebagian urusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Haathib, apa maksudnya ini ?”. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Kisah Haathib di atas merupakan sebab turunnya QS. Al-Mumtahanah ayat 1 di atas sebagaimana riwayat berikut :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي بَهَمْدَانَ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، ثنا وَرْقَاءُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ إِلَى قَوْلِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ " نَزَلَ فِي مُكَاتَبَةِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَمَنْ مَعَهُ إِلَى كُفَّارِ قُرَيْشٍ يُحَذِّرُونَهُمْ ......... هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Al-Hasan Al-Qaadliy Bahamdaan : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Husain : Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang’.... hingga firman-Nya : ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Mumtahanah : 1-3), ayat tersebut turun mengenai surat-menyurat Haathib bin Abi Balta’ah dan orang-orang yang bersamanya dengan orang-orang kafir Quraisy untuk memperingatkan mereka (tentang rencana serangan kaum muslimin)....” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 2/485; dan ia berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 241].
[2]      Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].

Comments

Anonim mengatakan...

Bismillaah.. Mohon sedikit penjelasan tentang hadist terakhir pada artikel diatas. Maksudnya ketika seseorang berAMAL buah dari ijtihad yang ternyata (misal) keliru itu tetap dapat pahala atau dosa akhii ? Dan atau dia mengikuti ijtihad seorang ulama yang keliru apakah berdosa ( yg mengamalkan atau pengikut pendapat Ulama yg berijtihad tersbt ). Semoga dipahami pertanyaan saya.

Abu Muhammad mengatakan...

"...sehingga Allah mengampuninya karena ia mencurahkan segala kemampuannya untuk mencari kebenaran. Tidak ada kekuatan melainkan milik Allah..." (Siyar A'lam Nubala 16/285)

InsyaAllah diampuni sepanjang dalam ijtihad atau dalam mengikuti ijtihad tersebut orang itu benar-benar dalam keadaan tulus karena Allah DAN sudah berusaha maksimal dalam mencari kebenaran atas/sebelum ijtihad itu.

Penjelasan ulama diatas juga berlaku untuk hadits "berijtihad benar mendapat pahala sekian, dan berijtihad salah mendapat pahala sekian".
Tentunya ijtihad yang sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran sebelumnya, serta tulus, bukan ijtihad yang asal karena hawa nafsu.

Begitu pula yang mengikuti, sepanjang dia mengikuti bukan karena hawa nafsu, melainkan karena sikap hati-hati dan sudah semaksimal mungkin mencari kebenaran. Maka InsyaAllah akan diampuni oleh Allah.