Al-Kulainiy
– ulama Syi’ah – berkata:
مُحَمَّدُ
بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ
بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) أَنَّهُ
أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَكَرِهَ ذَلِكَ أَبِي فَمَضَيْتُ
فَتَزَوَّجْتُهَا حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ زُرْتُهَا فَنَظَرْتُ فَلَمْ
أَرَ مَا يُعْجِبُنِي فَقُمْتُ أَنْصَرِفُ فَبَادَرَتْنِي الْقَيِّمَةُ مَعَهَا
إِلَى الْبَابِ لِتُغْلِقَهُ عَلَيَّ فَقُلْتُ لَا تُغْلِقِيهِ لَكِ الَّذِي
تُرِيدِينَ فَلَمَّا رَجَعْتُ إِلَى أَبِي أَخْبَرْتُهُ بِالْأَمْرِ كَيْفَ كَانَ
فَقَالَ أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ لَهَا عَلَيْكَ إِلَّا نِصْفُ الْمَهْرِ وَ قَالَ
إِنَّكَ تَزَوَّجْتَهَا فِي سَاعَةٍ حَارَّةٍ
Muhammad
bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibnu Fadldlaal, dari Ibnu Bukair,
dari Zuraarah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far (‘alaihis-salaam)
: Bahwasannya ia pernah hendak menikahi seorang wanita, namun ayahnya ternyata
tidak suka. (Abu Ja’far berkata) : “Lalu aku pun tetap melakukannya dan
menikahi wanita tersebut. Setelah itu aku mengunjunginya. Aku pun memandangnya dan
ternyata aku tidak melihat sesuatu yang membuatku tertarik kepadanya. Maka aku
berdiri untuk beranjak pergi. Namun pembantu wanita itu bergegas mendahuluiku
ke pintu dan menutupnya untukku (sehingga aku tidak bisa keluar). Aku berkata (kepada
wanita itu) : ‘Janganlah engkau tutup (pintunya). Engkau akan mendapatkan apa
yang engkau inginkan’. Ketika aku kembali ke ayahku, aku mengkhabarkan perkara
tersebut kepadanya. Ia (ayahku) berkata : ‘Engkau hanya berkewajiban membayar
setengah mahar kepadanya’. Ayahku berkata : ‘Sesungguhnya engkau menikahinya
pada waktu yang panas (siang/Dhuhur)” [Al-Kaafiy,
5/366].
Kata
Al-Majlisiy, status riwayat ini muwatstsaq.
Ada
beberapa hal yang dapat kita pahami dari riwayat ini:
1.
Ayah Abu Ja’far
tidak suka dengan keinginan Abu Ja’far yang hendak menikahi seorang wanita.
Komentar:
Seandainya
para imam itu ma’shum[1]
– sebagaimana yang diyakini kaum Syi’ah (Raafidlah) - , seharusnya ayah Abu Ja’far
tidak perlu merasa tidak suka akan keinginan anaknya, karena perbuatan anaknya
itu sudah pasti benar dan sudah pasti diridlai oleh Allah ta’ala. Tapi
sayangnya, riwayat di atas tidak mendukung teori ini.
2.
Setelah Abu Ja’far
melaksanakan pernikahannya, ternyata Abu Ja’far tidak suka dengan wanita yang
dinikahinya itu. Malah setelah melihat fisiknya, ia hendak pergi karena tidak ada
sesuatu yang menarik darinya sehingga ia berkeinginan terhadapnya.
Komentar:
Sama
seperti sebelumnya. Sikap ini menodai kema’shuman dirinya, karena hal tersebut
mengisyaratkan kedhaliman terhadap si wanita. Apakah sebelumnya ia tidak
mencari informasi terlebih dahulu untuk melakukan cek-ricek perihal si wanita?.
Dapat kita lihat, bahwa si wanita kecewa dengan sikap Abu Ja’far yang hendak
meninggalkannya begitu saja setelah ia (Abu Ja’far) tidak melihat hal yang
menarik dari dirinya.
Sebagai informasi, Al-Kulainiy meletakkan
meletakkan riwayat tersebut dalam bab : Waktu yang Dibenci untuk Melakukan
Pernikahan. Begitu juga Al-‘Aamiliy meletakkannya dalam bab : Dibencinya
Pernikahan pada Waktu yang Panas dan Peniadaan Keharamannya.
Artinya apa ?. Kedua ulama ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa Abu Ja’far melakukan perbuatan yang dibenci (makruuh)
dalam syari’at, meski tidak diharamkan. Jika ma’shum, seharusnya juga
terjaga pada perbuatan yang dibenci oleh syari’at. Bukan begitu?
Namun secara pribadi, saya tidak percaya
dengan riwayat di atas. Mungkin untuk kesekian kalinya, orang-orang Syi’ah
harus bersepakat dengan saya bahwa riwayat itu tidak benar meski status
dinyatakan muwatstsaq oleh Al-Majlisiy.
[abul-jauzaa – perumahan ciomas permai, ciapus,
bogor – 14071435/13052014 – 22:55].
[1] Ma’shum menurut agama Syi’ah
menuntut terbebasnya dari segala macam dosa (besar atau kecil), kesalahan, dan
bahkan lupa.
Comments
Ustaz apa yg dimaksudkan dengan 'muwatstsaq'
adakah ia bermaksud hadith yg perawinya bukan syiah namun dipercayai oleh syiah?
Kepada Ustadz Abu Al Jauza yang terhormat dan yagn pintar
Kitab AL KAFI ditulis oleh Syaikh Kulaini. Dia mengumpulkan cerita2, gossip2 dan berita2 tentang Imam Ke 5 dan Imam ke 6 dari Masyarakat Iraq dan Iran pada waktu itu
Kaum Syiah percaya bahwa hanya Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husian yang sudah dibersihkan dari dosa dosa baca Hadith Kisa
Wasalam
Haji Muhammad Abdullah
Ya, sepakat dengan perkataan Anda, dia memang tukang gosip.
@Haji Anonim Muhammad Abdullah:
Antara anda (atau orang-orang yang memberitahu anda soal Syi'ah tanpa membaca bukunya), dengan Al-Khomeini jelas lebih tinggi keilmuan Syi'ahnya Al-Khomeini.
Dia mengatakan,
“Sesungguhnya kema’shuman yang dimiliki oleh imam dua belas hanyalah karena sebab kedudukan yang tinggi dan maqam yang terpuji yang tidak dicapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) dan Nabi yang diutus. Juga dengan sebab kekuasaannya (imam ma’shum) yang berkaitan dengan alam semesta, yang seluruh atom alam ini tunduk terhadap kekuasaannya.” (Imam Syi'ah, Al-Khomeini, dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hlm. 47).
Kepada Yth. Haji Muhammad Abdullah..
Kalau sudah tau kalau Ulama Besar Syi;ah ini adalah tukang gosip (dan menulis buku tarikh berdasarkan cerita rakyat), lantas kenapa masih saja dijadikan rujukan hukum dan tarikh? Lantas kenapa masih memanggilnya Syaikh?
Apakah anda tidak tau bahwa julukan Syaikh anda pada Al-Khulainy ini bisa membuat orang-orang awam tertipu?
Posting Komentar