Tanya
:
Apa makna fii sabiilillah dalam QS. At-Taubah ayat 60 ? Lalu, bolehkah
mengalokasikan zakat maal (harta) untuk pembangunan Rumah Sakit, jalan,
masjid, pencetakan mushhaf, dan yang lainnya dari kepentingan dan
maslahat kaum muslimin ?
Jawab
: Allah
ta’ala berfirman :
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah (fii
sabiilillah), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”
[QS. At-Taubah : 60].
Terdapat perbedaan pendapat
mengenai makna fii sabiilillah yang
ternukil dari lisan ulama :
1.
Tentara/orang-orang yang
berjihad (berperang) di jalan Allah, tanpa ada makna lain.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah[1],
Maalik[2],
Asy-Syaafi’iy[3], dan
satu riwayat dari Ahmad yang dishahihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni[4].
Mereka berdalil dengan dhahir nash fii
sabiilillah di atas yang jika dimutlakkan, maka maknanya tidak lain adalah
jihad. Hal itu seperti firman Allah ta’ala yang lain :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas” [QS. Al-Baqarah : 90].
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا
تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa
mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya” [QS. Al-Baqarah : 154].
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berperang di jalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” [QS.
Ash-Shaff : 4].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ وَسُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، أَنَّهُمَا سَمِعَا النُّعْمَانَ بْنَ
أَبِي عَيَّاشٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ صَامَ
يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ،
وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid bin
Suhail bin Abi Shaalih, bahwasannya keduanya mendengar An-Nu’maan bin Abi
‘Ayyaasy, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
yang berpuasa sehari di jalan Allah (fii sabiilillah),
niscaya Allah akan jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun
perjalanan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2840].
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُبَارَكِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ
أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا عَبَايَةُ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي أَبُو عَبْسٍ هُوَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ جَبْرٍ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا
عَبْدٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَتَمَسَّهُ
النَّارُ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mubaarak : Telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yaziid bin Abi
Maryam : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abaayah bin Raafi’ bin Khudaij, ia
berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu ‘Abs ‘Abdurrahmaan bin Jabr :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah
berdebu kedua kaki seorang hamba di jalan Allah (fii
sabiilillah) kemudian akan disentuh oleh api neraka” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2811].
Abu Bakr bin
Al-‘Arabiy rahimahullah berkata :
قال مالك: سبل الله كثيرة ولكني لا أعلم خلافاً في أن المراد
بسبيل الله ها هنا: الغزو
“Maalik (bin Anas)
berkata : Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa yang
dimaksud dengan fii sabiilillah dalam ayat ini (yaitu : QS. At-Taubah :
60) adalah peperangan” [Ahkaamul-Qur’aan, 2/533].
2.
Tentara/orang-orang yang
berjihad (berperang) di jalan Allah, dan haji.
Ini adalah pendapat Muhammad bin Al-Hasan
Asy-Syaibani[5] dan
Ahmad dalam satu riwayat yang menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhabnya[6].
Begitu juga Al-Hasan (Al-Bashriy) dan Ishaaq (bin Rahawaih) sebagaimana
dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah :
وأما في سبيل الله: فمنهم الغزاة الذين لا حق لهم في
الديوان، وعند الإمام أحمد، والحسن، وإسحاق: والحج من سبيل الله، للحديث.
“Adapun makna fii sabiilillah, maka ia mencakup orang
yang berperang namun tidak memperoleh bagian (gaji) dari negara. Menurut
Al-Imaam Ahmad, Al-Hasan, dan
Ishaaq bahwa haji termasuk fii sabiilillah dengan dasar hadits” [Tafsir Ibni Katsiir, 4/169].
Haji mereka masukkan dalam bagian fii
sabiilillah berdasarkan dalil :
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ ابْنِ
إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عُمَرَ
بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، وَكَانَ ثِقَةً، عَنِ أَبِي لَاسٍ الْخُزَاعِيِّ،
قَالَ: حَمَلَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِبِلٍ
مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ ضِعَافٍ إِلَى الْحَجِّ، قَالَ: فَقُلْنَا: لَهُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْإِبِلَ ضِعَافٌ نَخْشَى أَنْ لَا
تَحْمِلَنَا.قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَا مِنْ بَعِيرٍ إِلَّا فِي ذُرْوَتِهِ شَيْطَانٌ، فَارْكَبُوهُنَّ،
وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِنَّ كَمَا أُمِرْتُمْ، ثُمَّ امْتَهِنُوهُنَّ
لِأَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا يَحْمِلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ "
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub : Telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaaq : Telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan –
dan ia seorang yang tsiqah - , dari Abu Laas Al-Khuza’iy, ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaikkan kami di atas onta dari
onta-onta shadaqah (zakat) yang kurus untuk ibadah haji. Kami berkata : "Wahai
Rasulullah, onta-onta ini kurus/lemah sehingga kami khawatir mereka tidak kuat
membawa kami". Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: "Tidak ada satu onta pun melainkan di punuknya terdapat setan. Maka
naikilah dan sebutlah nama Allah sebagaimana kalian diperintahkan. Kemudian
pergunakanlah untuk diri kalian, karena yang mengendarakan kalian adalah Allah ‘azza
wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/221; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، وَحَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ
عَامِرٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجَّ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ
لِزَوْجِهَا: أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
جَمَلِكَ، فَقَالَ: مَا عِنْدِي مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، قَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى
جَمَلِكَ فُلَانٍ، قَالَ: ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَّلَ فَأَتَى
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي تَقْرَأُ
عَلَيْكَ السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَإِنَّهَا سَأَلَتْنِي الْحَجَّ مَعَكَ، قَالَتْ:
أَحِجَّنِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: مَا عِنْدِي
مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ: أَحِجَّنِي عَلَى جَمَلِكَ فُلَانٍ، فَقُلْتُ:
ذَاكَ حَبِيسٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ: أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ
كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: وَإِنَّهَا أَمَرَتْنِي أَنْ أَسْأَلَكَ مَا يَعْدِلُ
حَجَّةً مَعَكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
أَقْرِئْهَا السَّلَامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتِهِ وَأَخْبِرْهَا أَنَّهَا تَعْدِلُ
حَجَّةً مَعِي يَعْنِي عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Dan
telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, dari ‘Aamir Al-Ahwal, dari Bakr
bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam hendak melaksanakan haji. Lalu berkatalah seorang wanita kepada
suaminya : “Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam di atas ontamu”. Si suami berkata : “Aku tidak punya kendaraan yang
dapat membawa berangkat haji”. Wanita itu berkata : “Berangkanlah aku haji
dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’”. Si suami berkata : “Onta itu diwaqafkan
di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza wa jalla”. Lalu laki-laki
tersebut (si suami) pergi mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu berkata : “Sesungguhnya istriku menyampaikan salam dan rahmat
kepadamu. Sesungguhnya ia memintaku untuk memberangkatkan haji bersamamu.
Istriku berkata : ‘Ajaklah aku haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam’. Aku katakan : ‘Aku tidak punya kendaraan yang dapat membawa berangkat
haji’. Ia berkata : ‘Berangkatkanlah aku haji dengan naik ontamu yang bernama ‘Fulaan’.
Aku berkata : ‘Onta itu diwaqafkan di jalan Allah (fii sabiilillah) ‘azza
wa jalla”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
seandainya engkau memberangkatkannya berhaji di atas onta tersebut, maka itu
termasuk fii sabiilillah”. Laki-laki itu berkata : “Sesungguhnya
istriku memintaku agar bertanya kepada engkau, amalan apa yang dapat menyamai
ibadah haji bersamamu ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Aku menjawab salamnya : Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dan khabarkanlah kepadanya ‘umrah di bulan Ramadlan sama halnya berhaji
bersamaku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1990; shahih].
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْفَتْحِ الْعُمَرِيُّ الشَّرِيفُ الإِمَامُ،
أنا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ أَبِي شُرَيْحٍ، ثنا أَبُو الْقَاسِمِ الْبَغَوِيُّ، ثنا
عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنا شُعْبَةُ، عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: أَوْصَى
إِلِيَّ رَجُلٌ بِمَالِهِ أَنْ أَجْعَلَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَسَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ،
فَقَالَ: " إِنَّ الْحَجَّ مِنْ سَبِيلِ اللَّهِ، فَاجْعَلْهُ فِيهِ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Fath Al-‘Umariy
Asy-Syariif Al-Imaam : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Syuraih
: Telah menceritakan kepada kami Abul-Qaasim Al-Baghawiy : Telah menceritakan
kepada kami ‘Aliy bin Al-Ja’d : Telah memberitakan kepada kami Syu’bah, dari
Anas bin Siiriin, ia berkata : Seorang laki-laki berwasiat hartanya kepadaku agar
aku mengalokasikannya di jalan Allah (fii sabiilillah). Maka aku
bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu ia menjawab : “Haji termasuk fii
sabiilillah. Pergunakanlah ia padanya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy
6/275; shahih].
Sangat jelas dalam riwayat-riwayat di atas bahwa
zakat bisa dialokasikan pada orang-orang yang hendak melaksanakan haji yang
tidak punya bekal, karena ia termasuk fii sabiilillah.
3. Makna
fii sabiilillah itu luas hingga
meliputi pembangunan masjid, rumah sakit, sekolah, perbaikan jalan, dan yang
lainnya.[7]
Dalil mereka adalah keumuman fii sabiilillah,
yaitu semua jalan-jalan kebaikan.
Sebagian ulama menukilkan
adanya ijmaa’ larangan mengalokasikan zakat pada amal-amal kebaikan
secara umum.
Abu
‘Ubaid bin Sallaam rahimahullah berkata :
فَأَمَّا
قَضَاءُ الدَّيْنِ عَنِ الْمَيِّتِ، وَالْعَطِيَّةُ فِي كَفَنِهِ، وَبُنْيَانُ
الْمَسَاجِدِ، وَاحْتِفَاءُ الأَنْهَارِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ
الْبِرِّ، فَإِنَّ سُفْيَانَ، وَأَهْلَ الْعِرَاقِ، وَغَيْرَهُمْ مِنَ
الْعُلَمَاءِ يُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لا يُجْزِي مِنْ زَكَاةٍ، لأَنَّهُ
لَيْسَ مِنَ الأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ
“Adapun
untuk membayar hutang mayit dan membelikan kain kafannya, pembangunan
masjid-masjid, mengarahkan sungai-sungai, dan yang semisalnya dari macam-macam
kebaikan; maka Sufyaan, penduduk ‘Iraaq, dan yang lainnya dari kalangan ulama
telah bersepakat bahwa pengalokasian tersebut itu tidak dapat memenuhi
kewajiban zakat karena bukan termasuk delapan golongan (yang disebutkan dalam
QS. At-Taubah : 60)” [Al-Amwaal, hal. 723 no. 1981].
Akan
tetapi ijmaa’ ini perlu ditinjau kembali karena telah shahih dari
sebagian salaf yang membolehkan pengalokasian zakat pada amal-amal kebaikan
secara umum.
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، وَالْحَسَنِ، قَالا: " مَا أَعْطَيْتَ فِي الْجُسُورِ،
وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ "، قَالَ إِسْمَاعِيلُ: يَعْنِي
أَنَّهَا تُجْزِي مِنَ الزَّكَاةِ
Telah
menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin
Shuhaib, dari Anas bin Maalik dan Al-Hasan (Al-Bashriy), mereka berdua berkata
: “Apa saja yang telah aku berikan untuk (pembangunan) jembatan dan
jalan-jalan, maka itu termasuk shadaqah yang telah berlalu (sah)”.
Ismaa’iil berkata : “Maksudnya, hal itu mencukupi dalam penunaian zakat”
[Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 1821;
shahih].
Mana
yang raajih ?
Pendapat
yang raajih adalah pendapat pertama dan kedua karena didukung dalil. Adapun
pendapat ketiga, maka itu lemah. Seandainya fii sabiilillah itu dimaknai
semua jalan kebaikan, maka tidak ada faedahnya QS. At-Taubah ayat 60 terdapat
pembatasan (hasr) dengan penyebutan delapan golongan penerima zakat. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengalokasikan harta zakat untuk
pembangunan masjid, jalan, pasar, dan sejenisnya dari jalan-jalan kebaikan
secara umum, padahal tidak ada halangan bagi beliau untuk melaksanakannya. Hal
ini menandakan pengalokasian tersebut memang tidak disyariatkan. Selain
bertentangan dengan nash, ijtihad Anas bin Maalik dan Al-Hasan tersebut
juga bertentangan dengan pendapat mayoritas salaf.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan
ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 1111434/17092013 – 00:15].
[1]
Mukhtashar
Ath-Thahawiy hal. 52, Al-Ikhtiyaar
1/119, dan Fathul-Qadiir 2/264.
[2]
Al-Kaafiy
hal. 114 dan Bulghatus-Saalik 1/232.
[3]
Al-Haawiy
Al-Kubraa 8/511 dan Al-Muhadzdzab
1/233.
[4]
Al-Mughniy
6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-424.
[5]
Al-Ikhtiyaar
1/119 dan Fathul-Qadiir 2/264.
[6]
Al-Mughniy
6/437 dan Al-Mubdi’ 2/424-425.
[7]
Al-Mughniy
2/667 dan Infaaquz-Zakaat
fil-Mashaalihil-‘Aammah hal. 84.
Comments
Wah... ini yang saya cari. sip. semoga barokah
Posting Komentar