Para ulama – dulu dan sekarang
– berbeda pendapat dalam permasalahan menyentuh mushhaf Al-Quran dalam
keadaan tidak suci. Pendapat mereka terbagi menjadi dua kelompok besar :
melarangnya dan membolehkannya. Berikut akan dibahas secara ringkas permasalahan
tersebut.
1.
Pendapat yang melarangnya.
Mereka berdalil dengan firman Allah
ta’ala:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
Juga dengan riwayat :
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، قَالَ: فِي كِتَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: " لا يُمَسُّ الْقُرْآنُ
إِلا عَلَى طُهْرٍ "
Dari Abu Bakr bin
Hazm, ia berkata : “Dalam kitab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
dituliskan untuk ‘Amru bin Hazm : ‘Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali dalam
keadaan suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 1/341-342 no. 1328, Al-Faakihiy
dalam Akhbaar Makkah no. 2923, dan Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan
2/239 no. 918].
Juga beberapa riwayat yang ternukil dari salaf :
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، قَالَ: نَا عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَمَسُّ
الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, ia berkata
: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Umar : Bahwasannya ia tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaaan suci
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7506; shahih].
Dalam riwayat
Ibnul-Mundzir disebutkan dengan lafadh :
لا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلا مُتَوَضِّئٌ
“Tidaklah menyentuh
mushhaf kecuali orang yang berwudlu” [Al-Ausath no. 629].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نا الْحَسَّانِيُّ،
نا وَكِيعٌ، نا الأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
يَزِيدَ، قَالَ: كُنَّا مَعَ
سَلْمَانَ فَخَرَجَ فَقَضَى
حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، لَوْ تَوَضَّأْتَ
لَعَلَّنَا أَنْ نَسْأَلَكَ عَنْ آيَاتٍ، فَقَالَ: إِنِّي لَسْتُ أَمَسُّهُ
إِنَّمَا لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، فَقَرَأَ عَلَيْنَا مَا شئنا ".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad :
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami
Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari
‘Abdurrahmaan bin Yaziid, ia berkata : Kami pernah bersama
Salmaan (Al-Faarisiy). Lalu ia keluar untuk menunaikan hajatnya. Tidak lama
kemudian ia kembali. Aku berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, seandainya engkau
berwudlu, karena barangkali kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa ayat
Al-Quran”. Ia menjawab : “Sesungguhnya aku tidak menyentuhnya, karena tidaklah
menyentuh Al-Qur’an kecuali hamba-hamba yang disucikan”. Lalu ia membacakan
kepada kami (beberapa ayat) sesuai yang kami inginkan [Diriwayatkan oleh
Ad-Daaruquthniy no. 443;
shahih].
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدِ بْنِ
أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّهُ قَالَ:
كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ،
فَقَالَ سَعْدٌ: " لَعَلَّكَ مَسَسْتَ ذَكَرَكَ "، قَالَ: فَقُلْتُ:
نَعَمْ. فَقَالَ: " قُمْ فَتَوَضَّأْ "، فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ
رَجَعْتُ
Dari Ismaa’iil bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqaash, dari
Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqaash, ia berkata : Aku pernah
memegang mushhaf di hadapan Sa’d bin Abi Waqqaash, lalu aku
menggaruk-garuk (badanku). Sa’d berkata : “Barangkali engkau telah menggaruk
kemaluanmu ?”. Aku berkata : “Benar”. Ia berkata : “Berdiri dan ambillah
wudlu”. Aku pun berdiri, setelah itu aku kembali kepadanya [Diriwayatkan oleh
Maalik 1/297-298 no. 59, dan darinya Al-Mundziriy dalam Al-Ausath no. 86
dan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 635 no. 733; shahih].
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: قَالَ وَكِيعٌ: كَانَ سُفْيَانُ يَكْرَهُ
أَنْ يَمَسَّ الْمُصْحَفَ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ "
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan
‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah berkata
Wakii’ : “Sufyaan (Ats-Tsauriy) membenci menyentuh mushhaf tanpa
berwudlu” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal
639 no. 740; shahih].
Bahkan dihikayatkan ijmaa’ tentang larangan
ini.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وَلَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا طَاهِرٌ يَعْنِي
طَاهِرًا مِنْ الْحَدَثَيْنِ جَمِيعًا .
رُوِيَ هَذَا عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَالْحَسَنِ وَعَطَاءٍ
وَطَاوُسٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ
وَالشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ ، وَلَا نَعْلَمُ مُخَالِفًا لَهُمْ إلَّا
دَاوُد فَإِنَّهُ أَبَاحَ مَسَّهُ
“Tidak boleh menyentuh mushhaf kecuali orang
yang suci, yaitu suci dari dua macam hadats secara bersamaan (hadats kecil
dan besar). Telah diriwayatkan hal itu dari Ibnu ‘Umar, Al-Hasan, ‘Athaa’,
Thaawuus, Asy-Sya’biy, dan Al-Qaasim bin Muhammad. Pendapat itulah yang
dipegang oleh Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan ashhaabur-ra’yi. Kami tidak
mengetahui orang yang menyelisihi mereka kecuali Daawud (Adh-Dhaaahiriy),
karena ia membolehkan menyentuhnya (meski berhadats)” [Al-Mughniy,
1/256].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وأصل هَذهِ المسألة : منع المحدث مِن مس المصحف ، وسواء
كانَ حدثه حدثاً أكبر ، وَهوَ مِن يجب عليهِ الغسل ، أو أصغر ، وَهوَ مِن يجب
عليهِ الوضوء .
هَذا قول جماهير العلماء ، وروي ذَلِكَ عَن علي وسعد
وابن عمر وسلمان ، ولا يعرف لَهُم مخالف مِن الصحابة ، وفيه أحاديث عَن النبي -
صلى الله عليه وسلم - متصلة ومرسلة .وخالف في ذَلِكَ أهل الظاهر
“Pokok permasalahan ini adalah : Larangan bagi orang
yang berhadats menyentuh mushhaf, sama saja apakah hadats-nya
adalah hadats besar yang diwajibkan padanya mandi, ataukah hadats kecil
yang hanya diwajibkan padanya wudlu. Ini adalah perkataan jumhur ulama. Dan
diriwayatkan tentangnya dari ‘Aliy, Sa’d, Ibnu ‘Umar, dan Salmaan. Tidak
diketahui bagi mereka adanya orang yang menyelisihi dari kalangan shahabat.
Terdapat hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang muttashil
dan mursal tentang hal tersebut. Dan kalangan Dhahiriyyah
menyelisihi mereka dalam masalah tersebut” [Fathul-Baariy, 2/81].
2.
Membolehkannya.
Dalil mereka adalah
kaedah al-baraa’atul-ashliyyah, karena tidak didapatkan dalil yang
shahih lagi shariih larangan menyentuh mushhaf bagi orang yang
tidak suci dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Terdapat beberapa riwayat dari salaf yang
membolehkannya, antara lain :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا
يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو الْوَرْقَاءِ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ
خَرَجَ مِنْ غَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَمَسَحَ بِهِ وَجْهَهُ
وَذِرَاعَيْهِ وَأَخَذَ الْمُصْحَفَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada
kami Abul-Warqaa’, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair keluar dari
buang air besar atau buang air kecil. Ia meminta air, lalu ia mengusap muka dan
kedua hastanya, dan ia memegang mushhaf” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Daawud dalam Al-Mashaahif hal. 645-646 no. 760; shahih].
Sa’iid bin Jubair adalah salah seorang ulama taabi’iin
generasi yang tsiqah, tsabt, lagi faqiih. Wafat tahun
95 H.
Ibnu Abi Daawud memasukkan riwayat di atas dalam Bab : Diberikan
Keringanan Menyentuh Mushhaf
dalam Keadaan Tidak Suci.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زَكَرِيَّا، حَدَّثَنَا أَبُو
رَجَاءٍ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي الْهُذَيْلِ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا
رَزِينٍ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ فِي الْمُصْحَفِ وَقَدْ بُلْتُ فَأَبَيْتُ،
فَلَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَحْسَنْتَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Zakariyyaa
: Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’ : Telah menceritakan kepada kami
Israaiil, dari Abu Hudzail, ia berkata : Aku pernah mendatangi Abu Raziin, lalu
ia menyuruhku membaca mushhaf, padahal aku telah kencing
(dan belum berwudlu), sehingga aku
menolaknya. Lalu aku menemui Ibraahiim dan aku katakan kepadanya perihal
tersebut. Ia berkata : “Bagus” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif
hal.
639-640 no. 741].
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ
صَالِحٍ، عَنْ غَالِبٍ أَبِي الْهُذَيْلِ، قَالَ: أَمَرَنِي أَبُو رُزَيْنٍ أَنْ
أَفْتَحَ الْمُصْحَفَ، وَأَنَا عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، قَالَ: فَسَأَلْتُ
إِبْرَاهِيمَ، فَكَرِهَهُ
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan
‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah
menceritakan kepada kami Wakii, dari ‘Aliy bin Shaalih, dari Ghaalib
Abul-Hudzail, ia berkata : “Abu Raziin menyuruhku membuka mushhaf padahal aku tidak dalam keadaan mempunyai wudlu. Lalu aku
bertanya kepada Ibraahiim (An-Nakhaa’iy) (tentang masalah tersebut), dan ia
membencinya” [Diriwayatkan Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal.
640 no. 742; shahih.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7505].
Abu Raziin namanya adalah : Mas’uud bin Maalik, Abu
Raziin Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mempunyai
keutamaan. Termasuk thabaqah ke-2 (kibaarut-taabi’iin), dan wafat
tahun 85 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 936 no. 6656].
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ
مُحَمَّدٍ: " أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَرَى بَأْسًا أَنْ يَحولَ الرَّجُلُ
الْمُصْحَفَ، وَهُوَ غَيْرُ طَاهِرٍ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari
Hisyaam, dari Muhammad (bin Siiriin) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa
bagi seorang laki-laki memindahkan mushhaf dalam keadaan tidak suci
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/138) no. 7504; shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ
أَشْعَثَ، عَنِ الْحَسَنِ: " أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِهِ بَأْسًا "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy,
dari Asy’ats, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak
mengapa memegang mushhaf dalam keadaan tidak suci [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah no. 7499; shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam
dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 922].
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ،
عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَتَّخِذَ مُصْحَفًا،
قَالَ: فَأَعْطَاهُ نَصْرَانِيًّا فَكَتَبَهُ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj, dari Syu’bah,
dari Manshuur, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah : Bahwasanya ia ingin membuat mushhaf.
Maka ia mengupah seorang Nashraaniy, lalu ia menuliskan untuknya [Diriwayatkan
oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 332 & 925;
shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Daawud hal. 502 no. 388].
‘Alqamah bin Qais An-Nakhaa’iy; seorang
yang tsiqah, tsabat, faqiih , lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-2 (kibaarut-taabi’iin),
wafat tahun 60 H/70 H di Kuufah.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 689 no. 4715].
Tarjih
Setelah melihat dalil dan
pendapat yang ada, saya lebih condong pada pendapat kedua yang membolehkannya
dengan alasan :
1.
Tentang ayat :
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 79].
maka, tidak ada pendalilan dalam ayat ini untuk larangan
menyentuh mushhaf (Al-Qur’an) bagi yang tidak suci (dari hadats).
Konteks pendalilan mereka tidak tepat karena Al-Qur’an yang dimaksudkan adalah
Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul-Mahfuudh, sedangkan hamba-hamba yang
disucikan itu maksudnya adalah malaikat. Itu terlihat jelas dari ayat
sebelumnya :
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ * لا
يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan
yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (LauhMahfuudh), tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 77-79].
Juga dalam ayat :
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ * فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ
“Bahkan
yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuudh” [QS. Al-Buruuj : 21-22].
حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا
شَرِيكٌ، عَنْ حَكِيمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، لا يَمَسُّهُ
إِلا الْمُطَهَّرُونَ: " الْكِتَابُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ
Telah menceritakan
kepadaku Ismaa’iil bin Muusaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syariik, dari Hakiim, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya : ‘Tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan’ (QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata :
“(Yaitu)
Kitaab yang ada di langit” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya
23/149].
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ الْفَرَجِ، قَالَ: حَدَّثَنَا
يُوسُفُ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ عَاصِمٍ
الْأَحْوَلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ: لا
يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، قَالَ " الْمَلَائِكَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Rauh bin Al-Faraj, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Yuusuf bin ‘Adiy, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari ‘Aashim bin Al-Ahwal, dari Anas bin
Maalik tentang firman-Nya : ‘Tidak menyentuhnya kecuali
hamba-hamba yang disucikan’
(QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata : “(Maksudnya) ia adalah para malaikat”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Ahkaamul-Qur’aan 1/117
no. 140; shahih].
Ath-Thahawiy rahimahullah menguatkan penafsiran Ibnu
‘Abbaas dan Anas radliyallaahu ‘anhum atas ayat tersebut, karena ayat
tersebut merupakan pengkhabaran (dengan bentuk : laa yamassuhu – dengan rafa’)
dari Allah ta’ala [Ahkaamul-Qur’aan, 1/118].
حَدَّثَنَا بِشْرٌ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا
سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ: "
ذَاكُمْ عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأَمَّا عِنْدَكُمْ فَيَمَسُّهُ الْمُشْرِكُ
النَّجِسُ، وَالْمُنَافِقُ الرِّجِسُ "
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya ta’ala : ‘Tidak
menyentuhnya (Al-Qur’an)
kecuali hamba-hamba yang disucikan” (QS. Al-Waaqi’ah : 79), ia berkata : “Itu yang ada di sisi Rabbul-‘Aalamiin.
Adapun yang ada di sisi kalian (di dunia), maka ia disentuh oleh orang musyrik
yang najis
dan orang munafiq
yang kotor”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 23/152; shahih].
2.
Tentang hadits :
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، قَالَ: فِي كِتَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: " لا
يُمَسُّ الْقُرْآنُ إِلا عَلَى طُهْرٍ "
Dari Abu Bakr bin
Hazm, ia berkata : “Dalam kitab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
dituliskan untuk ‘Amru bin Hazm : ‘Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali dalam
keadaan suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 1/341-342 no. 1328, Al-Faakihiy
dalam Akhbaar Makkah no. 2923, dan Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan
2/239 no. 918].
maka, yang ia
adalah lemah karena mursal. Adapun yang muttashil hingga pada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak shahih sanadnya [Sanal-Adlwaa' fii Hukmi Massil-Mushhaf, hal. 57-58].
Kalaupun dianggap
shahih, maka musykil dipahami dari hadits tersebut larangan menyentuh mushhaf
Al-Qur’an, karena di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Al-Qur’an belum dibukukan/dikumpulkan dalam satu mushhaf.
3.
Tentang klaim ijmaa’,
maka itu tidak benar karena sebagaimana yang Pembaca lihat, salaf telah berbeda
pendapat dalam masalah ini.
Bahkan Asy-Sya’biy rahimahullah
(ulama besar dari kalangan taabi’iin) membatasi larangan tersebut hanya
pada orang yang berhadats besar.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، وَعَلِيُّ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي الْخَصِيبِ، قَالا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ
صَالِحٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: " مَسَّ الْمُصْحَفَ مَا لَمْ
تَكُنْ جُنُبًا "
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq dan
‘Aliy bin Muhammad bin Abil-Khashiib, mereka berdua berkata : Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-Hasan bin Shaalih, dari Mutharrif,
dari ‘Aamir, ia berkata : “Diperbolehkan menyentuh mushhaf selama tidak
junub” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif hal.
646 no. 761; shahih].
‘Aamir Asy-Sya’biy hanya mengecualikan larangan
menyentuh mushhaf bagi orang yang berhadats besar (junub) saja. Riwayat
Asy-Sya’biy ini berkesesuaian dengan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ جَابِرٍ،
قَالَ: " سَأَلْتُ عَامِرًا عَنْ مَسِّ الْمُصْحَفِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ؟
فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Israaill,
dari Jaabir, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aamir tentang menyentuh mushhaf
tanpa berwudlu, lalu ia menjawab : “Tidak mengapa dengannya” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 2/361 (5/139) no. 7508; sanadnya dla’iif karena Jaabir Al-Ju’fiy].
Adapun beberapa
perkataan shahabat, maka masih ada kemungkinan perkataan itu hanyalah merupakan
ta’dhiim (pengagungan) terhadap Al-Qur’an, bukan larangan. Oleh karena
itu, suci merupakan anjuran saja. Dan diketahui bahwa sebagian salaf sangat
menyukai kesucian dalam berbagai keadaan, di antaranya sebagaimana riwayat :
عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ لا
يَقْرَأُ الْقُرْآنَ إِلا طَاهِرًا
Dari Maalik, dari
Naafi’, ia berkata : “Ibnu ‘Umar tidak membaca Al-Qur’an kecuali dalam keadaan
suci” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 1314; shahih].
أَخْبَرَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ،
أَنَّهُ لَمْ يَرَ ابْنَ عُمَرَ قَطُّ جَالِسًا إِلا طَاهِرًا
Telah mengkhabarkan
kepada kami Usaamah bin Zaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’
: Bahwasannya ia tidak pernah sedikitpun melihat Ibnu ‘Umar duduk kecuali dalam
keadaan suci [Diriwayatkan Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 291;
sanadnya hasan].
وَأَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ قَاسِمِ بْنِ عِيسَى الْمُقْرِئُ،
ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُبَابَةَ الْبَغْدَادِيُّ، بِبَغْدَادَ،
ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، ثنا
شُعْبَةُ، قَالَ: " كَانَ قَتَادَةُ لا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ "
Telah mengkhabarkan
kepada kami Ahmad bin Qaasim bin ‘Iisaa Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada
kami ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Hubaabah Al-Baghdaadiy : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami
‘Aliy bin Al-Ja’d : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : “Qataadah
tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali
ia dalam keadaan suci” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’
Bayaanil-‘Ilmi wa Fadllihi no. 2393; shahih].
Dan yang lainnya.
4.
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengutus Dihyah Al-Kalbiy untuk menyampaikan surat
beliau kepada Heraklius yang isinya (di antaranya memuat ayat Al-Qur’an) :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ
عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ، سَلَامٌ عَلَى مَنِ
اتَّبَعَ الْهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ
أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ
فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ، وَيَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا
إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ، أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ
وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا، وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ، فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا: اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muhammad seorang hamba Allah dan utusan-Nya, kepada Heraklius penguasa
negeri Romawi. Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.
Masuklah Islam, niscaya engkau akan selamat, dan Allah akan memberikan pahala
kepadamu dua kali. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa kaum
Arisiyyiin. (("Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) – QS. Aali
‘Imraan : 64))" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7].
Hiraklus yang
notabene kafir (yang tentunya tidak pernah bersuci) boleh menyentuh surat yang
diantara isinya adalah ayat Al-Qur’an, maka orang muslim yang mempunyai hadats
lebih boleh lagi.
Jika ada yang
berkata :
“Yang diharamkan
adalah menyentuh mushhaf Al-Qur’an, bukan menyentuh kertas yang berisi
sebagian ayat saja”.
Dijawab :
Tidak ada beda
antara yang ini dan yang itu jika ‘illat larangannya adalah adanya hadats.
Satu bendel kertas kosong tidak mempunyai hukum apa-apa, kecuali setelah di
dalamnya ditulisi ayat Al-Qur’an. Jika ditulis semua ayat Al-Qur’an, maka satu
bendel kertas tadi dinamakan mushhaf Al-Qur’an. Kalaulah seandainya satu
bendel kertas semuanya telah selesai ditulis, kecuali dua ayat terakhir, apakah
mereka berpendapat orang yang berhadats menjadi boleh menyentuh/memegangnya ?.
Bagaimana halnya jika sepertiga atau separuh belum selesai, apakah setengah
atau duapertiga Al-Qur’an yang telah selesai ditulis tersebut boleh disentuh/dipegang
oleh orang yang berhadats ?. Lantas, bagaimana memegang kertas yang berisi satu
juz dari ayat Al-Qur’an atau hanya satu surat ?.[1]
Bagaimana jika mushhaf tersebut
tercampuri tulisan-tulisan selain ayat Al-Qur’an ?. Sedikit ? Banyak ? atau
separuhnya ? atau separuh lebih sedikit ?.
5.
Anak kecil boleh
memegang mushhaf meski mempunyai hadats tanpa adanya pengingkaran
dari mereka. Hal ini menunjukkan larangan menyentuh mushhaf Al-Qur’an
bukan karena keberadaan hadats.
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 11091434/20072013 – 00:23 WIB
[1] Para ulama yang melarang menyentuh/memegang
mushhaf Al-Qur’an bagi orang yang berhadats/tidak suci telah berselisih
pendapat tentang hukum menyentuh sebagian juz Al-Qur’an (tidak satu mushhaf penuh).
Madzhab Maalikiyyah membolehkan menyentuh sebagian juz Al-Qur’an dalam rangka
pengajaran [lihat : http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=60065].
Comments
Assalamu'laykum ustadz
Alhamdulillahi wa shalatu wa salam ala rasulillah. Kami mencoba untuk mengkritisi pendpat ustadz di bawah ini :
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” [QS. Al-Waaqi’ah : 79].maka, tidak ada pendalilan dalam ayat ini untuk larangan menyentuh mushhaf (Al-Qur’an) bagi yang tidak suci (dari hadats). Konteks pendalilan mereka tidak tepat karena Al-Qur’an yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an yang ada di Al-Lauhul-Mahfuudh, sedangkan hamba-hamba yang disucikan itu maksudnya adalah malaikat. Itu terlihat jelas dari ayat sebelumnya :
Ustadz yang dimaksud ayat tersebut adalah Al-Quran yang diturunkan coba ustadz baca ayat selanjutnya: "Diturunkan dari Rabbul 'alamin"
Jadi Ustadz yang dimaksud itu adalah yang telah dirunkan bukan yang di laul mahfudz.
Ustadz kalau ustadz mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalah MALAIKAT, berarti ada MALAIKAT yang tidak suci ya ustadz ?
Ustadz memang benar bahwa 4 Imam Madzhab bersepakat bahwa Haram menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci, sebaiknya ustadz baca lagi.
Kalau ustadz mengatakan bahwa Nabi SAW mengirim surat kepada Heraklius yang berisi ayat Al-Quran. Ustadz di dalam madzab Ima Syafii dijelaskan kalalulah lebih banyak tulisan bukan Al-Quran di dalam kertas/buku dibandingkan Al-Quran, seperti tafsir Al-Quran maka hal itu tidak apa-apa.
Wallahu 'alam
Wasalamu'alaykum
Wa'alaikumus-salaam.
Artikel di atas sudah cukup menjawab apa yang antum komentari.
Justru semakin memperkuat hujjah ya ustadz, karena yg diturunkan itu kalamullah bukan mushhaf
Posting Komentar