Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
أَبُو الْمُغِيرَةِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَرِيزٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَيْسَرَةَ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْمِقْدَامَ بْنَ
مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيَّ، قَالَ: " أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيِهْ وَسَلَّمَ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ
غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ
مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا
وَبَاطِنِهِمَا، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Hariiz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Maisarah
Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib Al-Kindiy,
ia berkata : Didatangkan air wudlu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu beliau berwudlu dengan mencuci dua telapak tangannya tiga kali,
kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci dua hastanya tiga kali
tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristinsyaaq tiga kali, dan mengusap
kepalanya dan telinganya bagian luar dan dalam, dan mencuci dua kakinya tiga
kali” [Al-Musnad, 4/132 (28/425) no. 17188].
1.
‘Abdul-Qudduus
bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang
perawi tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal.
618 no. 4173; dan Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal.
158 no. 1347].
2.
Hariiz bin ‘Utsmaan bin
Jabr bin Ahmar bin As’ad Ar-Rahabiy Al-Masyriqiy, Abu ‘Utsmaan/Abu ‘Aun
Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat,
namun dituduh berpemahaman Nashibiy. Termasuk thabaqah ke-5,
lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 163 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 231 no.
1194 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat
Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh
Adz-Dzahabiy, hal. 82 no. 27].
3.
‘Abdurrahmaan bin Maisarah
Al-Hadlramiy, Abu Salamah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang dikatakan Ibnu
Hajar : ‘maqbuul’. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu
Daawud dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 601 no. 4048].
Berikut
perincian perkataan para ulama tentangnya :
‘Aliy bin
Al-Madiiniy berkata : “Majhuul, tidak ada yang meriwayatkan darinya
selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Al-‘Ijliy berkata : “Taabi’iy, tsiqah”.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Daawud berkata :
“Guru-guru dari Hariiz semuanya tsiqaat”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy
berkata : “Majhuul al-haal, tidak diketahui ada orang yang meriwayatkan
darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”.
Al-Albaaniy berkata : “Haditsnya hasan”.
Perkataan
Ibnul-Madiiniy di atas tidaklah benar, karena yang meriwayatkan dari
‘Abdurrahmaan bin Maisarah selain Hariiz, adalah : Tsaur bin Yaziid (tsiqah)
dan Shafwaan bin ‘Amru (tsiqah) sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy
dalam Tahdziibul-Kamaal. Juga telah meriwayatkan darinya Mu’aawiyyah bin
Shaalih. Tautsiq Abu Daawud
meskipun sifatnya umum, maka itu tetap dapat dipertimbangkan. Tautsiq ini
bersamaan dengan tautsiq Ibnu Hibbaan dan Al-‘Ijliy, beserta periwayatan
beberapa orang perawi tsiqaat darinya, mengangkat jahalah
‘Abdurrahmaan.
Oleh karena
itu, statusnya adalah shaduuq, hasanul-hadiits, wallaahu a’lam.
[Tahdziibul-Kamaal
17/450-451 no. 3973, Tahdziibut-Tahdziib 6/284 no. 556, Bayaanul-Wahm
wal-Iihaam 4/109 no. 1547, Al-Kaasyif 1/646 no. 3327, Mu’jamu
Asamiyyir-Ruwaat 2/504-505, Tahriirut-Taqriib 2/351 no. 4022, Kasyful-Iihaam
hal. 456 no. 364, dan Natsnun-Nabaal hal. 779 no. 1788].
4.
Al-Miqdaam
bin Ma’diy Karib bin ‘Amru Al-Kindiy, Abu Kariimah/Abu Yahyaa; salah seorang
shahabat yang masyhuur. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun
87 H di Syaam dalam usia 91 tahun. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 969 no. 6919].
Ahmad
dalam periwayatan dari Abul-Mughiirah mempunyai mutaba’ah dari Abu Zaid
Al-Hauthiy dan Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab bin Najdah sebagaimana diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 1076 dan dalam Al-Kabiir
20/276-277 no. 654.
Abu
Daawud [no. 121] membawakan dari jalan Ahmad dengan lafadh berkumur dan istinsyaaq
sebelum mencuci wajah, namun yang mahfuudh dari jalan Al-Miqdaam
adalah sebagaimana tersebut di atas.
Riwayat
lain, Abu Daawud rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ابْنِ عَفْرَاءَ،
قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ يَأْتِينَا،
فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْكُبِي لِي وَضُوءًا، فَذَكَرَتْ وُضُوءَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ قَالَتْ فِيهِ: " فَغَسَلَ
كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، وَوَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ
مَرَّةً، وَوَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ
بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا
ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا، وَوَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin
‘Aqiil, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mendatangi kami”. Lalu ia (Rubayyi’) menceritakan
kepada kami bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Tuangkanlah air wudlu untukku". Lalu ia (Ar-Rubayyi') menyebutkan
sifat wudlu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata perihal
sifat wudlu beliau tersebut : “Beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali,
membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh kedua
tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, di bagian akhir
kepalanya kemudian bagian depannya, dan dua telinganya, bagian luar dan
dalamnya, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali” [As-Sunan no.
126 – dan darinya (Abu Daawud), Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam Ma’rifatus-Sunan
wal-Aatsaar no. 195].
Musaddad
mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Yahyaa Ar-Rammaaniy [Al-Baihaqiy dalam
Al-Kubraa 1/64 (1/105) no. 300], Mu’aadz bin Al-Mutsannaa [Ath-Thabaraaniy
dalam Al-Kabiir 24/270-271 no. 686], dan ‘Aashim bin ‘Aliy Al-Waasithiy [Al-Qaasim
bin Sallaam dalam Ath-Thahuur no. 106].
Hadits
Rubayyi’ mempunyai lafadh yang berlainan, ada yang ringkas, ada yang panjang
yang kesemuanya berporos pada ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil.
Ia
adalah : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun dalam
haditsnya terdapat kelemahan – dan dikatakan berubah hapalannya di akhir
usianya. Termasuk thaqabah ke-4 dan wafat setelah tahun 140 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3617].
Selain
itu, Bisyr bin Al-Mufadldlal (tsiqah lagi
tsabat) diselisihi oleh Ibnu ‘Uyainah (tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah), Ats-Tsauriy (tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah),
Ma’mar bin Raasyid (tsiqah, tsabat, lagi mempunyai keutamaan), Sa’iid bin
Abi ‘Aruubah (tsiqah lagi haafidh), Rauh bin Al-Qaasim (tsiqah lagi tsabat), Al-Hasan bin Shaalih
bin Hay (tsiqah lagi ‘aabid),
Zuhair bin Muhammad (tsiqah), ‘Ubaidullah bin ‘Amru (tsiqah, faqiih, namun kadang ragu), dan Fulaih bin Sulaimaan (shaduuq, namun mempunyai banyak kekeliruan) yang menyebutkan tahapan berkumur
dan istinsyaaq sebelum membasuh wajah.
Oleh
karena itu hadits Rubayyi’ dengan lafadh di atas tidaklah mahfuudh.
Riwayat
Al-Miqdaam di atas menunjukkan bahwa tartib dalam wudlu bukanlah
merupakan kewajiban, namun hanya sunnah saja. Al-Miqdaam bin Ma’di Kaarib radliyallaahu
‘anhu telah mengkhabarkan apa yang tidak dikhabarkan oleh shahabat lainnya,
sehingga berlakulah kaedah : orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi
orang yang tidak mengetahui, dan orang yang hapal menjadi hujjah bagi orang
yang tidak hapal.
Oleh
karena itu ayat :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki” [QS. Al-Maaiadah :6]
dan
juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّهَا لَا تَتِمُّ
صَلَاةٌ لِأَحَدٍ، حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى، يَغْسِلُ
وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى
الْكَعْبَيْنِ
“Sesungguhnya
tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah ta’ala. Ia mencuci wajah dan kedua tangannya hingga
siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) kedua kakinya hingga mata kaki”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1136, Ibnu Maajah no. 460, dan yang lainnya;
shahih]
tidak
menunjukkan (wajibnya) tartib (urutan) yang dimulai dari membasuh muka,
tangan, menyapu kepala, lalu membasuh kaki. Hal itu dikarenakan jenis-jenis
pekerjaan tadi dihubungkan dengan wawu ‘athaf yang jika ditinjau dari
ilmu bahasa (nahwu) tidak menunjukkan tartib.
Diqiyaskan
juga dengan tayammum yang notabene pengganti wudlu. Allah ta’ala berfirman
:
وَإِنْ كُنْتُمْ
مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu” [QS. Al-Maaidah : 6].
Pada
ayat di atas, kegiatan menyapu muka dan tangan dihubungkan wawu ‘athaf,
sama seperti ayat wudlu sebelumnya. Seandainya ayat ini dipahami sebagai
tartib, maka telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau pernah mendahulukan menyapu tangan sebelum muka. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda :
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ
أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا،
ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ
مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sesungguhnya
cukuplah engkau melakukannya seperti ini”.
Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu
meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan
tangan kirinya atau mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan
tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 347].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
فيه أنّ الترتيب
غير مشترط في التيمّم
“Dalam
hadits tersebut terdapat dalil bahwa tartib tidak dipersyaratkan dalam
tayammum” [Fathul-Baariy, 1/457].
Ada
beberapa atsar yang ternukil dari sebagian salaf yang mendukungnya,
antara lain :
Diriwayatkan
juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 353-354 no.
325-326.
حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ
بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ، قَالَ:
قَالَ عَلِيٌّ: " مَا أُبَالِي إِذَا أَتْمَمْتُ وُضُوئِي بِأَيِّ أَعْضَائِي
بَدَأْتُ "
Telah
menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ‘Auf, dari ‘Abdullah bin ‘Amru
bin Hind, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy : “Aku tidak peduli apabila aku
menyempurnakan wudluku dengan anggota tubuh manapun aku memulainya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/39 (1/370) no. 421; mursal, karena
‘Abdullah bin ‘Amru tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Aliy].
ثنا هُشَيْمٌ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، كَانَ
يَبْدَأُ بِمَيَامِنِهِ فِي الْوُضُوءِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ
السَّلامُ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ "،
ثنا هُشَيْمٌ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ زِيَادٍ، مَوْلَى بَنِي
مَخْزُومٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَبِي هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ibraahiim : Bahwasannya Abu Hurairah memulai wudlu dengan anggota badan sebelah
kanan. Maka sampailah hal itu pada ‘Aliy ‘alaihis-salaam, maka ia
memulainya dengan sebelah kiri.
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Ziyaad maulaa Bani Makhzuum, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam
dam Abu Hurairah riwayat semisalnya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam
dalam Ath-Thahuur hal. 352-353 no. 322-323; hasan].
نا أَحْمَدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ الْوَكِيلُ، نا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نا هُشَيْمٌ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْمَسْعُودِيِّ، حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ، عَنْ أَبِي
الْعُبَيْدَيْنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ
تَوَضَّأَ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ.
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah Al-Wakiil : Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari
‘Abdurrahmaan Al-Mas’uudiy : Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Kuhail,
dari Abul-‘Ubaidain, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya ia pernah ditanya
tentang seseorang yang berwudlu, lalu ia mendahulukan sebelah kiri. Maka ia
menjawab : “Tidak mengapa” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 297; shahih].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ:
ثنا مَنْصُورٌ، عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا فِيمَنْ قَدَّمَ وَضُوءَهُ
شَيْئًا قَبْلَ شَيْءٍ
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Manshuur, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa orang yang mendahulukan anggota tubuh
satu sebelum yang lain dalam wudlunya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam
dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 327; shahih].
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " مَا أَصَابَ الْمَاءَ مِنْ
مَوَاضِعِ الطَّهُورِ فَقَدْ طَهُرَ "
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Al-‘Awwaam, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apa saja yang terkena
air dari tempat-tempat-tempat yang mesti dibasuh ketika bersuci/wudlu, sungguh
ia menjadi suci” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur
hal 354 no. 328; shahih].
Pendapat
inilah yang raajih, yang dipegang oleh Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya
[Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 1/55 dan Badaai’ush-Shanaai’ oleh
Al-Kaasaaniy 1/21], masyhur dalam madzhab Maalikiyyah [Al-Muqaddimaat oleh
Ibnu Rusyd Al-Jadd 1/16, Al-Bidaayah oleh Ibnu Rusyd 1/75, dan Tahdziibul-Masaalik
oleh Al-Fandalaawiy 1/68], An-Nawawiy [Al-Majmuu’ 1/433], dan yang
lainnya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
- perumahan ciomas permai,
ciapus, ciomas, bogor –
16091434/26072013 – 00:12].
Comments
Ustadz dalam salah satu riwayat diatas 'ali didoakan dengan 'alayhis salaam... apakah memang salafush shaalih mendoakan beliau dengan doa yang demikian ustadz?
jazakallahu khairan
Assalamualaikum. Ada PDF kitab tahdzibul kamal?
apa boleh mengucapkan ‘Aliy ‘alaihis-salaam? bukankah ini kebiasaan orang syiah?
Boleh, dan meski Syi'ah juga mengatakannya. Karena dalam tasyahud kita mengucapkan :
au Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” [HR. Ahmad no. 23221; shahih].
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Alloohumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiim, innaka hamiidum-majiid. Alloohumma baarik alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa Ibroohiima wa ‘alaa aali Ibroohiima innaka hamiidum-majiid
“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahiim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahiim. Sesunggunya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3190 dan Muslim no. 406].
'Aliy, termasuk aali Muhammad (ahlul-bait) disamping istri-istri beliau dan anak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam.
wallaahu a'lam.
Imam syafi'i rahimahullah berkata, "kalau berselawat kpd aali muhammad itu dilabeli rafidlah, maka saksikanlah bahwa aku rafidlah..."
By : Mas Yudith
Assalamu `alaikum
Afwan ana mau tanya kan dalam hadits di atas disebutkan semuanya 3 kali seperti membasuh wajah dan lainnya termasuk mencuci kakinya,nah kok dalam redaksi hadits di atas menyebutkan mengusap kepala dan telinga tapi kok tidak disebutkan 3 kali pertanyaan saya adalah apakah kita mengusap kepala dan telinga itu cukup satu kali atau sampai tiga kali ?
ustadz, pernah terbaca (kalau nggak salah di sifat wudhu nabi) cara penjamakannya bahwa tertib itu untuk anggota wudhu yang disebutkan dalam al-qur'an. Apakah bentuk penjamakan ini keliru bisa diterima, ustadz?
Irfan
@Mas Yudith,... frekwensi mengusap kepala adalah sekali. Para ulama sepakat tentang ini. Namun mereka berbeda pendapat jika mengusap lebih dari itu hingga tiga kali. Namun yang raajih, yang lebih sesuai dengan sunnah adalah sekali, tidak lebih.
=====
@Irfan..... Justru jika yang dimaksud tertib itu yang ada di dalam ayat Al-Qur'an, maka itu tidak benar, karena ayatnya sendiri tidak menunjukkan kewajiban tertib. Sudah disinggung di artikel di atas.
wallaahu a'lam.
Posting Komentar