Allah ta’ala berfirman :
بِالْبَيّنَاتِ وَالزّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذّكْرَ لِتُبَيّنَ لِلنّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلّهُمْ يَتَفَكّرُونَ
”Keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”[QS. An-Nahl : 44].
Penjelasan
Lafadh
1.
بِالْبَيّنَاتِ,
yaitu بالحجج
والدلائل = dengan hujjah-hujjah dan
dalil-dalil.
2.
وَالزّبُرِmerupakan jamak dari زبور, yaitu الكتب = kitab-kitab (sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas, Mujaahid, Adl-Dlahhaak, dan selain mereka –
lihat Tafsir Ibni Katsir). Hal ini sebagaimana
perkataan orang Arab :
زبرت الكتاب إذا
كتبته
“Aku telah menyusun kitab
apabila aku telah selesai menulisnya”. Dan juga sebagaimana firman Allah ta’ala
: وكل شيء فعلوه في
الزبر”Dan segala sesuatu yang telah
mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan” [QS. Al-Qamar : 52].
Nomor 1 dan 2 di atas
merupakan penjelas dari ayat sebelumnya yaitu :
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن
قَبْلِكَ إِلاّ رِجَالاً نّوحِيَ إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذّكْرِ إِن
كُنْتُم لاَ تَعْلَمُونَ
”Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”.
Yaitu Allah mengutus
seorang laki-laki dari kalangan Nabi dan Rasul dengan hujjah-hujjah dan kitab-kitab.
3.
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذّكْرَ, yaitu القرآن(Al-Qur’an).
4.
لِتُبَيّنَ
لِلنّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِمْyaitu : من ربهم لعلمك بمعنى
ما أنزل الله وحرصك عليه واتباعك له, ولعلمنا بأنك أفضل الخلائق وسيد ولد آدم,
فتفصل لهم ما أجمل وتبين لهم ما أشكل
= “dari Rabb mereka karena pengetahuanmu (Muhammad) dengan arti apa yang telah
Allah turunkan kepadamu, karena pemeliharaanmu terhadapnya, karena kamu
mengikutinya, dan karena pengetahuan Kami bahwa sesungguhnya kamu adalah
orang yang paling mulia diantara para makhluk dan pemimpin anak Adam. Maka dari
itu engkau (Muhammad) harus merinci untuk untuk mereka apa yang mujmal (global)
dan menerangkan apa yang sulit bagi mereka”.
5.
وَلَعَلّهُمْ
يَتَفَكّرُونَ yaitu ينظرون لأنفسهم
فيهتدون فيفوزون بالنجاة في الدارين
= ”supaya mereka melihat diri mereka sendiri agar mendapat petunjuk dan
beruntung dengan keselamatan dunia dan akhirat”.
Sebagian
Pelajaran dari Ayat
Ayat di atas menjelaskan
kepada kita salah satu tugas pokok dan fungsi Rasulullahshallallaahu ‘alaihi
wa sallam adalah menjelaskan kepada umat manusia
tentang apa yang diturunkan kepada mereka berupa Al-Qur’an. Allah telah
menjadikan diri beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam sebagai objek implementasi/praktek dari
kandungan Al-Qur’an,
sehingga beliau
dijadikan patokan dan contoh bagi umat manusia. Allah ta’ala telah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
”Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu),
bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab : 21].
Hal itu juga senada dengan
apa yang diriwayatkan oleh Ummul-Mukminin ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa ketika ada orang yang
bertanya tentang akhlaq Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka ia
menjawab :
فَإِنَّ خُلُقَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ
“Sesungguhnya akhlaq
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1342, An-Nasaa’iy no. 1601, Ibnu
Maajah no. 2333, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an
dan dipraktekkan dalam seluruh kehidupan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seringkali kita mendapati
riwayat pertanyaan para shahabat tentang maksud suatu ayat kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Contohnya
adalah ketika diturunkan ayat :
الّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُوَاْ
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
”Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedhaliman” [QS. Al-An’am : 82].
Hal itu membuat para
shahabat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam merasa berat. Mereka berkata : “Mana
diantara kita yang tidak mendhalimi dirinya sendiri ?”. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَيْسَ بِذَلِكَ أَلا تَسْمَعُوْنَ إِلَى
قَوْلِ لُقْمَانَ { إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ }
”Sesungguhnya
makna ayat tersebut tidak seperti yang kalian pahami. Apakah kalian pernah
mendengar perkataan Luqman : “Sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah)
adalah benar-benar kedhaliman yang besar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6918].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada para shahabat bahwa
makna dhulm pada QS. Al-An’am : 82
adalah kesyirikan. Sebab, dalam pengertian para shahabat semula, makna dhulm itu sangat luas sehingga sangat
sulit sekali manusia untuk bisa selamat dari hal tersebut.
Contoh lain adalah firman
Allah ta’ala :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
ialah duabelas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram” [QS. At-Taubah : 36].
Dalam Al-Qur’an tidak
dijelaskan bulan apa saja yang termasuk bulan haram. Akan tetapi Sunnah
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam –lah yang merincinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan empat bulan haram adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab;
sebagaimana sabda beliau yang mulia :
إِنَّ الزَّمَانَ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ متَوَالِيَاتٌ
ذُو اْلقَعْدَةِ وَذُو اْلحِجَّةِ وَاْلمُحَرَّم وَرَجَبُ مضر الَّذِيْ بَيْنَ
جُمَادَىْ وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya jaman telah
berputar seperti keadaannya saat Allah menciptakan langit dan bumi. Tahun itu
terdiri dari dua belas bulan dan empat bulan diantaranya adalah bulan haram.
Tiga dari keempatnya adalah bulan-bulan yang berturutan, yaitu Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan Rajab diapit antara Jumadil-Akhir dan
Sya’ban” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.4662 & 5550 dan Muslim no. 1679 dari shahabat Abi Bakrah radliyallaahu ‘anhu].
Ingin melihat praktek
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam mengimplementasikan ayat
Al-Qur’an ? Contoh yang tepat adalah bagaimana beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimplementasikan ayat :
وَالسّارِقُ وَالسّارِقَةُ فَاقْطَعُوَاْ
أَيْدِيَهُمَا
”Pencuri
laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka….” [QS. Al-Maaidah : 38].
Sebelum melangkah lebih
jauh, apabila kita perhatikan ayat ini (tanpa melihat praktek Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam), tentu pengertian kita
minimal tidak jauh dari :
1.
Setiap bentuk pencurian harus dipotong tangannya, tidak
ada pengecualian anak-anak, orang tua, mencuri sedikit, mencuri banyak, dan
yang lainnya.
2.
Pemotongan dilakukan dari ujung jari sampai dengan
pangkal lengan, alias tangan secara keseluruhan.
3.
Setiap orang yang mendapatkan orang lain mencuri, maka ia
boleh memotong tangannya.
Tapi apakah praktek
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam seperti itu ? Ternyata tidak. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam ternyata memberikan batasan-batasan
tertentu terhadap implementasi ayat di atas. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan nishab pencurian sebesar
seperempat dinar dengan sabdanya :
تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ، فَصَاعِدًا
“Dipotong
tangan (seorang pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6789].
لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ
دِينَارٍ فَصَاعِدًا
“Tidaklah
dipotong tangan seorang pencuri kecuali (jika ia telah mencuri sesuatu) senilai
seperempat dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1684].
Jika pencurian kurang dari itu tidak dihukum dengan
potong tangan. Juga, pencurian tersebut dilakukan dengan sengaja, tanpa ada
paksaan, dan dilakukan oleh orang baligh lagi berakal. Praktek potong tangan
yang beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam lakukan bagi pencuri juga tidak
dilakukan pada seluruh tangannya. Akan tetapi pemotongan itu dilakukan pada
batas pergelangan tangan. Beliau juga mencontohkan bahwa tidak setiap orang
berhak melakukan potong tangan terhadap pencuri. Hanya ulil-amri saja yang berhak melaksanakan ini.
Itu semua dapat kita
ketahui dari Sunnah beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam. Contoh lain adalah sangat banyak.
Allaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’ – dari
catatan lama tanggal 15-10-2006].
Comments
Afwan Ustadz, mau koreksi:
"Contoh lain adalah firman Allah ta’ala :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah duabelas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram” [QS. At-Taubah : 36]."
Sepertinya ayat Al-Qur'an sama terjemahannya tidak nyambung.
Abu Abdissalam
Betul, salah copy paste nya. Sudah saya perbaiki. Terima kasih kritikannya, jazaakallaahu khairan.
Posting Komentar