Jimat
bahasa ‘Arabnya adalah tamiimah (التَّمِيْمَةُ), yaitu sesuatu yang digantungkan pada orang sakit, anak-anak,
atau hewan ternak untuk menolak ‘ain[1],
atau penyakit-penyakit lainnya, dengan segala macam hal [An-Nihaayah oleh
Ibnul-Atsiir 1/197, Tafsiir Al-Qurthubiy 10/319, dan Taisiirul-‘Aziizil-Hamiid
hal. 136 & 137].
Hukum
menggantungkan jimat – jika bukan berasal dari Al-Qur’an atau dzikir-dzikir ma’tsuur – adalah
haram, bahkan termasuk di antara macam-macam kesyirikan. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa
yang menggantungkan jimat (tamiimah) sungguh ia telah berbuat syirik”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/156, Al-Haakim 4/219, Ibnu Hibbaan 13/450 no. 6086,
Al-Haakim 4/216, Al-Baihaqiy 9/350, dan yang lainnya dari ‘Uqbah bin ‘Aamir radliyallaahu
‘anhu; shahih].
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
mantera-mantera, jimat, dan tiwalah[2]
adalah kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/381, Abu Daawud no. 3883,
Ibnu Maajah no. 3530, Ibnu Hiibbaan no. 6090, dan yang lainnya dari ‘Abdullah
bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu; shahih].
Adapun
jimat yang berasal dari Al-Qur’an dan dzikir-dzikir ma’tsur, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan, dan sebagian yang lain melarang.
1.
Membolehkan.
Ini adalah pendapat
sebagian salaf dan jumhur fuqahaa’ dari kalangan Hanafiyyah[3],
Maalikiyyah[4],
Syaafi’iyyah[5],
dan Hanaabilah[6].
Dalil yang mereka
pakai adalah :
a.
Firman Allah ta’ala
:
وَنُنَزِّلُ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan
Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman” [QS. Al-Israa’ : 82].
b.
Perkataan ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa :
لَيْسَ التَّمِيمَةُ مَا
يُعَلَّقُ قَبْلَ الْبَلاءِ، إِنَّمَا التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ بَعْدَ
الْبَلاءِ لِيُدْفَعَ بِهِ الْمَقَادِيرُ
“Bukan
termasuk jimat (yang diharamkan) sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana
tiba. Yang termasuk jimat itu hanyalah sesuatu yang digantungkan setelah musibah/bencana
untuk menolak ketentuan/taqdir” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 9/350 (9/589)
no. 19606].[7]
c.
Perbuatan ‘Abdullah
bin ‘Amru yang menuliskan dan menggantungkan doa pada anak-anaknya yang belum
baligh :
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ
الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku
berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya,
kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan syaithaan serta
kedatangannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3893, At-Tirmidziy no.
3528, dan yang lainnya[8]].
d.
Atsar sebagian
salaf (taabi’iin).
أَخْبَرَنَا أَبُو
زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَسَنِ، قَالا: ثنا
أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ،
أَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ، " أَنَّهُ سَأَلَ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ
عَنِ الرُّقَى وَتَعْلِيقِ الْكُتُبِ، فَقَالَ: كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ
يَأْمُرُ بِتَعْلِيقِ الْقُرْآنِ، وَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa bin Abi Ishaaq dan Abu Bakr bin
Al-Hasan, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Al-Ashamm : Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’ bin Yaziid :
Bahwasannya ia pernah bertanya kepada Yahyaa bin Sa’iid tentang ruqyah dan
menggantungkan tulisan. Ia menjawab : “Dulu Sa’iid bin Al-Musayyib
memerintahkan untuk menggantungkan Al-Qur’an, dan ia berkata : ‘Tidak mengapa
dengannya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy (9/590) no. 19612; sanadnya shahih].
2.
Melarang.
Ini adalah pendapat
jumhur shahabat dan taabi’iin, Ahmad dalam satu riwayat[9],
Ibnul-‘Arabiy[10] dari
madzhab Maalikiyyah, dan sebagian ulama Hanaabilah.
Dalil yang mereka
pakai adalah :
a.
Sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
لَا يَبْقَيَنَّ فِي
رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
“Jangan
sampai ada lagi tali busur panah atau tali apapun di leher onta, kecuali mesti
diputuskan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3005, Muslim no. 2115, Abu
Daawud no. 2552, dan yang lainnya dari Ruwaifi’ bin Tsaabit radliyallaahu
‘anhu].
عَنْ عِيسَى، قَالَ: دَخَلْتُ
عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ أَبِي مَعْبَدِ الْجُهَنِيِّ أَعُودُهُ وَبِهِ
حُمْرَةٌ، فَقُلْنَا: أَلَا تُعَلِّقُ شَيْئًا، قَالَ: الْمَوْتُ أَقْرَبُ مِنْ ذَلِكَ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا
وُكِلَ إِلَيْهِ
Dari
‘Iisaa, ia berkata : Aku pernah datang menengok ‘Abdullah bin ‘Ukaim Abu Ma’bad
Al-Juhhaniy yang sedang sakit humrah. Kami berkata : “Tidakkah engkau
menggantung sesuatu ?”. Ia berkata : “Kematian lebih dekat dari hal itu. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Barangsiapa yang menggantungkan
sesuatu, maka ia akan senantiasa tergantung kepadanya” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2072, Ahmad 3/411, Ibnu Abi Syaibah 7/371 (12/39-4) no. 23923,
Al-Haakim 4/216, dan yang lainnya; hasan lighairihi].
Larangan
menggantungkan jimat dalam dua hadits di atas umum, tidak membedakan antara yang
berasal dari Al-Qur’an ataupun tidak.
b.
Madzhab yang
berlaku pada jumhur shahabat radliyallaahu ‘anhum dan taabi’iin.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ،
قَالَ: كَانُوا يَكْرَهُونَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا، مِنَ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ
الْقُرْآنِ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Mughiirah, dari Ibraahiim
(An-Nakhaa’iy), ia berkata : “Mereka (yaitu : para shahabat dan taabi’iin)
membenci semua jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’aan maupun selain
Al-Qur’aan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23933. Diriwayatkan
juga oleh Al-Qaasim bin Salaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 860; sanadnya
shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ،
أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ، قَالَ: سَأَلْتُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ رَجُلٍ كَانَ
بِالْكُوفَةِ يَكْتُبُ مِنَ الْفَزَعِ آيَاتٍ، فَيَسْقِي الْمَرِيضَ، فَكَرِهَ
ذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun,
ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ibraahiim tentang seseorang di Kuufah
yang menulis ayat-ayat untuk perlindungan dari rasa takut, lalu memberikan
minum kepada orang yang sakit; maka ia membenci hal tersebut “ [Diriwayatkan
oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Fadlaailul-Qur’aan no. 862; sanadnya
shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ،
قَالَ : أَخْبَرَنَا يُونُسُ ، عَنِ الْحَسَنِ ؛ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ ذَلِكَ
Telah
menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya ia membenci hal tersebut (yaitu : semua
jimat, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun selainnya)” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah 7/374 (12/42) no. 23934; sanadnya shahih].
c.
Mengikuti kaedah saddudz-dzarii’ah.
Haafidh
bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :
ولا شك أن منع ذلك أسد
لذريعة الاعتقاد المحظور ، لا سيما في زماننا هذا ، فإنه إذا كرهه أكثر الصحابة
والتابعين في تلك العصور الشريفة المقدسة والإيمان في قلوبهم أكبر من الجبال ،
فلأن يكره في وقتنا هذا وقت الفتن والمحن أولى وأجدر بذلك ، كيف وهم قد توصلوا
بهذه الرخص إلى محض المحرمات وجعلوها حيلة ووسيلة إليها ، فمن ذلك أنهم يكتبون في
التعاويذ آية أو سورة أو بسملة أو نحو ذلك ثم يضعون تحتها من الطلاسم الشيطانية ما
لا يعرفه إلا من اطلع على كتبهم......
“Dan tidak diragukan bahwa pelarangan
hal tersebut dapat lebih mencegah sarana timbulnya keyakinan yang terlarang,
khususnya pada jaman kita ini. Sesungguhnya jika perbuatan itu dibenci oleh
kebanyakan shahabat dan taabi’iin pada waktu yang mulia lagi diberkahi,
padahal keimanan yang ada pada hati-hati mereka lebih besar dibandingkan
gunung, maka kebencian pada waktu kita sekarang – yaitu waktu yang penuh dengan
fitnah dan cobaan – lebih layak dan pantas. Bagaimana tidak, (jika perbuatan
itu diperbolehkan), maka mereka akan mempergunakan rukhshah (keringanan)
ini pada hal-hal yang murni diharamkan. Mereka pun menjadikannya sebagai tipu
daya dan sarana untuk menujunya (sesuatu yang diharamkan). Diantaranya, mereka
menuliskan ayat, surat, atau basmalah, lalu meletakkan di atasnya
mantera-mantera syaithaniyyah yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang
menelaah kitab-kitab mereka......” [Ma’aarijul-Qabuul, 1/382].
Memperbolehkan menuliskan ayat atau
dzikir-dzikir ma’tsuur dalam jimat yang selalu dibawa manusia akan
menyebabkan terbawa ke tempat-tempat yang tidak layak.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ كَانَ
يَكْرَهُ الْمَعَاذَةَ لِلصِّبْيَانِ، وَيَقُولُ: إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ بِهِ
الْخَلاءَ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Wakii’, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim : Bahwasannya ia membenci menuliskan doa
perlindungan untuk anak-anak. Ia berkata : “Sesungguhnya mereka masuk ke kakus
dengan tulisan doa tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 23823;
sanadnya shahih].
Tarjih
Pendapat
yang kuat adalah pendapat yang melarangnya. Dalil QS. Al-Israa’ : 82 adalah
umum, dan ia mesti dibawa pada semua hal yang diperbolehkan oleh syari’at
melalui nash. Menggantungkan jimat dari Al-Qur’an, doa, atau dzikir sama
sekali tidak ternukil dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
para shahabatnya. Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkannya, niscaya beliau akan
menjelaskannya sebagaimana beliau mengecualikan larangan ruqyah jika tidak
mengandung kesyirikan.[11]
Atsar 'Abdullah bin 'Amru adalah lemah sehingga tidak bisa dipakai dalam pendalilan. Adapun atsar ‘Aaisyah, maka yang mahfudh adalah dengan lafadh :
التَّمَائِمُ: مَا عُلِّقَ قَبْلَ نُزُولِ الْبَلاءِ،
وَمَا عُلِّقَ بَعْدَهُ، فَلَيْسَ بِتَمِيمَةٍ
“Jimat
adalah sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana. Sedangkan sesuatu
yang digantungkan setelahnya bukan termasuk jimat (yang diharamkan)”.
Atsar
ini dapat dibawa pada pemahaman untuk pengobatan ruqyah, karena ia ada setelah
adanya musibah (sakit atau semisalnya). Yaitu, ayat, doa, atau dzikir tersebut
ditulis kemudian dibaca sebagaimana orang yang meruqyah (syar’iyyah).[12]
Apa
yang dikhawatirkan ulama memang benar-benar terjadi bahwa banyak orang ‘memanfaatkan’ pendapat jumhur fuqahaa’ yang memperbolehkannya
untuk melakukan praktek-praktek bid’ah dan kesyirikan. Ayat Al-Qur’an, doa,
atau dzikir yang ma’tsuur hanyalah dipakai sebagai kedok, yang penulisannya
dicampurkan dengan simbol, huruf, atau kalimat yang tidak dimengerti. Yang
terakhir inilah yang membuat jimat berfungsi sebagai alat sihir para dukun
(meski di antara mereka ada yang mengaku ustadz, kiyai, atau habib). Contohnya sebagai
berikut :
Barang-barang
inilah yang membonceng fatwa ulama madzhab. Banyak orang yang tertipu oleh para
penipu karena keberadaan huruf atau kalimat Arabnya. Adakah orang yang bisa
membaca dan memahami tulisan dan simbol dalam jimat-jimat di atas ?. Ya, ada,
yaitu si dukun sendiri. Jimat-jimat yang seperti ini dibuat dan dipergunakan
bukan seperti yang dijelaskan para fuqahaa’ Ahlus-Sunnah, akan tetapi
dipergunakan untuk sarana bid’ah dan kesyirikan (ilmu kebal, pelet, anti
tenung, tenaga dalam, dan lain-lain).[13]
Wallaahul-musta’aan.
Semoga
artikel singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 02071434/12052013
– 01:52].
[2] Sejenis sihir.
[3] Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin,
6/363-364.
[4] At-Tamhiid, 17/161.
[5] Al-Majmuu’, 9/74.
[6] Al-Aadaabusy-Syar’iyyah, 2/440.
[7] Dhahir sanad yang dibawakan oleh
Al-Baihaqiy adalah shahih :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو
الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا هَارُونُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ
طَلْحَةَ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الأَشَجِّ،
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ:
" لَيْسَ التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ قَبْلَ الْبَلاءِ، إِنَّمَا
التَّمِيمَةُ مَا يُعَلَّقُ بَعْدَ الْبَلاءِ لِيُدْفَعَ بِهِ الْمَقَادِيرُ
"
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi
‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas
Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Sulaimaan :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari ‘Abdullah bin
Al-Mubaarak, dari Thalhah bin Abi Sa’iid, dari Bukair bin ‘Abdillah bin
Al-Asyajj, dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa,
ia berkata : “Bukan termasuk jimat sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana
tiba. Yang termasuk jimat itu hanyalah sesuatu yang digantungkan setelah musibah/bencana
untuk menolak ketentuan/taqdir”.
Akan
tetapi ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy diselisihi oleh ‘Abdaan [tsiqah - Al-Haakim
4/418, Al-Baihaqiy 9/350 (9/589) no. 19607], ‘Amru bin Raafi’ Al-Bajaliy [tsiqah
lagi tsabat – Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbhaan 1/137], dan
Hanaad bin As-Sariy [tsiqah -
dalam Az-Zuhd no. 447] yang menyebutkan lafadh kebalikan dari riwayat di
atas :
التَّمَائِمُ: مَا
عُلِّقَ قَبْلَ نُزُولِ الْبَلاءِ، وَمَا عُلِّقَ بَعْدَهُ، فَلَيْسَ بِتَمِيمَةٍ
“Jimat
adalah sesuatu yang digantungkan sebelum musibah/bencana. Sedangkan sesuatu
yang digantungkan setelahnya bukan termasuk jimat (yang diharamkan)”.
Thalhah
bin Abi Sa’iid dalam riwayat yang kedua
di atas mempunyai mutaba’ah dari ‘Amru bin Al-Haarits (tsiqah lagi
haafidh) sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/350
(9/589) no. 19608 :
أَخْبَرَنَا أَبُو
زَكَرِيَّا، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَسَنِ قَالا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ
الأَصَمُّ، ثنا بَحْرُ بْنُ نَصْرٍ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ
الْحَارِثِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ،
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا
قَالَتْ: " لَيْسَتْ بِتَمِيمَةٍ مَا عُلِّقَ بَعْدَ أَنْ يَقَعَ الْبَلاءُ
"
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Zakariyyaa dan Abu Bakr bin Al-Hasan, mereka
berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Ashamm : Telah
menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin
‘Abdillah, dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Bukan termasuk jimat sesuatu yang
digantungkan setelah terjadinya musibah/bencana”.
Sanad
riwayat ini shahih.
Al-Baihaqiy
menguatkan riwayat kedua dan ketiga ini dibandingkan riwayat pertama. Inilah
yang mahfuudh. Wallaahu a’lam.
[8] Abu Daawud berkata :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ مِنَ
الْفَزَعِ كَلِمَاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ
وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
" وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرٍو
يُعَلِّمُهُنَّ مَنْ عَقَلَ مِنْ بَنِيهِ وَمَنْ لَمْ يَعْقِلْ كَتَبَهُ
فَأَعْلَقَهُ عَلَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami
Hammaad, dari Muhammad bin Ishaaq, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada mereka doa untuk berlindung dari rasa takut
: a’uudzu
bikalimaatillaahit-taammati min ghadlabihi wa syarri ‘ibaadihi wa min
hamazaatisy-syaithaani wa an-yahdluruun (Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari
kemarahan-Nya, siksa-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan
syaithaan serta kedatangannya). Dan
dulu ‘Abdullah bin ‘Amru mengajarkan doa tersebut kepada anak-anaknya yang
berakal/baligh; sedangkan anak-anaknya yang belum berakal/baligh, ia
menuliskannya dan menggantungkannya pada anak tersebut (di lehernya) [As-Sunan
no. 3893].
Kalimat
yang berwarna biru adalah kalimat yang dihukumi marfuu’, sedangkan yang
berwarna merah adalah mauquuf.
Hadits
dengan lafadh lengkap marfuu’ dan mauquuf itu diriwayatkan juga
oleh At-Tirmidziy 5/500 no. 3528, Ahmad 2/181, Ibnu Abid-Dun-yaa dalam Al-‘Iyaal
hal. 861 no. 656, Al-Haakim 1/548, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat 1/476 no. 407 dan dalam Ad-Da’aawaat Al-Kubraa 2/140 no.
378 & 2/316 no. 530 dan dalam Al-Aadaab hal. 282 no. 853, Abu Bakr
Al-Ismaa’iiliy dalam Mu’jam-nya hal. 462 no. 116, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy
dalam Al-Fawaaid no. 608, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 24/109-110,
Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 348-349 no. 748, Abu
Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 2728 no. 6509, dan Ibnu ‘Asaakir
dalam Taariikh Dimasyq 71/291; semuanya dari jalan Muhammad bin Ishaaq,
dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
Sanad
riwayat ini lemah karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaaq, sedangkan ia
seorang mudallis [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis, hal. 132 no. 125].
Namun
riwayat yang marfuu’ (kalimat berwarna biru) dikuatkan oleh Khaalid bin
Al-Waliid dan Al-Waliid bin Waliid., sehingga statusnya naik ke hasan. Tersisalah
lafadh mauquuf tanpa penguat, sehingga ia tetap dalam kedla’ifannya. Wallaahu
a’lam.
[9] Al-Aadaabusy-Syar’iyyah, 2/443.
[10] Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan An-Nasaa’iy,
5/421.
[11] Maksudnya, jika menggantungkan jimat itu ada
yang diperbolehkan, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan
menjelaskan keadaannya, yaitu jika diambil dari Al-Qur’aan, doa, atau
dzikir-dzikir yang disyari’atkan. Hal itu sebagaimana pembolehan ruqyah
dari keumuman nash larangan, jika ruqyah itu tidak mengandung kesyirikan. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
mantera-mantera, jimat, dan tiwalah[11]
adalah kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/381, Abu Daawud no. 3883,
Ibnu Maajah no. 3530, Ibnu Hiibbaan no. 6090, dan yang lainnya dari ‘Abdullah
bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu; shahih].
اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
“Tunjukkan
ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung
kesyirikan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2200].
[12] Realitas ini sangat bertolak belakang dari para
produsen dan konsumen jimat, dimana mereka memproduksi dan mempergunakan jimat setiap
saat untuk menolak gangguan. Bahkan, kegunaan jimat mereka lebih dari itu,
yaitu untuk ilmu kebal, pengasihan/pelet, pelaris dagangan, dan yang semisalnya.
[13] Sudah bid’ah dan syirik, fenomena jimat
banyak dilakukan para pelaku kejahatan :
Comments
jazakumullohu Khoiron Jaza' Ustadz.. telah terang dan jelas tentang keharaman semua bentuk tamiimah dan jimat..
Barokallohu fiikum
ust adakah sahabat nabi yg bernama Hujr Ibn Adi??
http://thephatar.blogspot.com/2013/05/makam-sahabat-nabi-dibongkar-dan.html
Itu adalah salah satu produk dusta Syi'ah yang kemudian dipromosikan saudara misan mereka yang bernama 'ASWAJA'. ASWAJA ini bukan Ahlus-Sunnah walau mereka mengklaim itu singkatan dari Ahlus-Sunnahw al-Jama'ah.
Silakan baca :
http://jaser-leonheart.blogspot.com/2013/05/dusta-syiah-atas-nama-shahabat-hujr-bin.html.
بارك الله فيك وتقبل منك
أحسنت لا فوض فوك
Posting Komentar