Seakan-akan
kita sudah jenuh akan stempel ‘Wahabiy’. Stempel ini terlalu murah diketok pada
objek yang menyelisihi pemahaman, kebiasaan, dan amalan kelompok/sekte
tertentu. Tempo hari, acara Khazanah Trans7 dituding terkontaminsasi paham
Wahabi gara-gara membahas masalah syirik, sehingga mereka perlu
berepot-repot protes ke KPI. Gak mau tahlilan, dibilang Wahabi. Gak mau
maulidan, dibilang Wahabi. Gak mau haulan kematian, dibilang Wahabi. Gak
mau dzikir berjama’ah, dibilang Wahabi. Gak mau pake jimat
dan ilmu kebal hasil rekayasa pak kiyai, dibilang Wahabi. Gak mau minum
air sisa pak Habib, dibilang Wahabi. Gak mau mbikin bangunan di
makam, dibilang Wahabi. Gak mau tawasulan via mayat di dalam
kubur, dibilang Wahabi. Gak mau banyak-banyak pake metode ta’wil
(baca : tahrif) ayat sifat, dibilang Wahabi. Miara jenggot,
dibilang Wahabi. Pake celana ngatung, dibilang Wahabi. Pake cadar,
dibilang Wahabi(yyah). Tarawihan 11/13 raka’at, dibilang Wahabi. Mbahas bid’ah
dan kesyirikan, dibilang Wahabi. Dan lainnya, sangat banyak. Lantas, apa yang
tersisa agar tidak dibilang Wahabi ?. Barangkali jawabannya adalah : jadi
preman atau masuk ke dalam kelompok/sekte yang obral stempel Wahabi tadi.
Standar
stempel Wahabi menjadi tak jelas, tak ada batasannya. Banyak ulama mu’tabar menjadi
berpemahaman Wahabi berdasarkan indikator ‘pen-stempel-an’ Wahabi tersebut di
atas. Bahkan mereka yang hidup jauh sebelum dilahirkannya ‘pencetus’ gerakan
Wahabi : Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab At-Tamiimiy rahimahullah.
Diantara ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah,
mujaddid abad kedua hijriyah. Tak percaya ?. Berikut buktinya :
1.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy mengimani ayat sifat sebagaimana dhahirnya yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya, dan tidak menta’wil (mentahriif)-nya.
Beliau rahimahullah
berkata :
آمنت
بالله وبما جاء عن الله، على مراد الله. وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله،
على مراد رسول الله
“Aku beriman kepada
Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan yang diinginkan Allah.
Dan aku beriman kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
sesuai dengan yang diinginkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”
[Syarh Lum’atul-I’tiqaad lil-Fauzaan, hal. 56].
لا
يقال: لم للاصل، ولا كيف
“Tidak boleh
dikatakan mengapa dan bagaimana dalam masalah ushuuluddiin” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/20].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وقد
روي عن الربيع وغير واحد من رأوس أصحابه ما يدل على أنّه كان يمرّ بآيات الصفات وأحاديثها
كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل ولا تحريف على طريقة السلف
“Dan telah
diriwayatkan dari Ar-Rabii’ dan lebih dari seorang dari kalangan pembesar
shahabatnya (Asy-Syaafi’iy), keterangan yang menunjukkan bahwa beliau
(Asy-Syaafi’iy) memperlakukan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat (Allah)
sebagaimana datangnya, tanpa takyiif, tasybiih, ta’thiil,
dan tahriif sesuai dengan jalan yang ditempu oleh salaf” [Al-Bidaayah
wan-Nihaayah, 10/265].
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy rahimahullah memahami nash-nash sifat sebagaimana
dhahirnya dan menetapkannya. Beliau
berkata :
لله
تَبَارَكَ وَتَعَالَى أسماء وصفات، جاء بها كتابه، وأخبر بها نبيه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أمته، ......، أتانا أنه سميع، وأن له يدين، بقوله: بَلْ يَدَاهُ
مَبْسُوطَتَانِ وأن له يمينا بقوله: وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ وأن
له وجها بقوله: كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ وقوله: وَيَبْقَى وَجْهُ
رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ وأن له قدما بقول النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " حتى يضع الرب فيها قدمه " يعني: جهنم
“Allah tabaaraka
wa ta’ala mempunyai nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana yang terdapat
dalam Kitab-Nya dan yang dikhabarkan oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam…… Telah sampai kepada
kita bahwasannya Allah mendengar, mempunyai dua tangan berdasarkan firman-Nya :
‘tetapi
kedua-dua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah :
64). Allah mempunyai tangan kanan, berdasarkan firman-Nya : ‘dan
langit digulung dengan tangan kanan-Nya’ (QS. Az-Zumar : 67). Allah mempunyai wajah
berdasarkan firman-Nya : ‘Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
wajah Allah’ (QS. Al-Qashshash : 88) dan firman-Nya : ‘Dan
tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan Allah mempunyai kaki
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Hingga Rabb
(Allah) meletakkan kaki-Nya padanya’ – yaitu Jahannam….” [Thabaqaatul-Hanaabilah
oleh
Abu Ya’laa Al-Hanbaliy,
1/263;
sanadnya shahih[1]].
NB : Seandainya
kita mengatakan apa yang dikatakan oleh beliau rahimahullah, niscaya
kita akan dituduh Mujassimah atau Musyabbihah.[2]
2.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy mendakwahkan ketauhidan.
Adz-Dzahabiy rahimahullah
berkata :
وقال
أبو عبد الرحمن السلمي: سمعت عبدالرحمن بن محمد بن حامد السلمي، سمعت محمد بن عقيل
بن الازهر يقول: جاء رجل إلى المزني يسأله عن شئ من الكلام، فقال: إني أكره هذا،
بل أنهى عنه كما نهى عنه الشافعي، لقد سمعت الشافعي يقول: سئل مالك عن الكلام
والتوحيد، فقال: محال أن نظن بالنبي صلى الله عليه وسلم أنه علم أمته الاستنجاء،
ولم يعلمهم التوحيد، والتوحيد ما قاله النبي صلى الله عليه وسلم: " أمرت أن
أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله " ، فما عصم به الدم والمال حقيقة
التوحيد.
Dan telah berkata
Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin
Haamid As-Sulamiy (berkata) : Aku mendengar Muhammad ‘Uqail bin Al-Azhar
berkata : Datang seorang laki-laki kepada Al-Muzanniy untuk bertanya tentang
ilmu kalaam. Ia (Al-Muzanniy) menjawab : “Sesungguhnya aku membencinya, bahkan
aku melarangnya sebagaimana Asy-Syaafi’iy melarangnya. Aku pernah mendengar
Asy-Syaafi’iy berkata : “Maalik pernah ditanya tentang ilmu kalaam dan tauhid.
Ia menjawab : ‘Mustahil kita menyangka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkan umatnya tentang istinjaa’, namun tidak mengajarkan
ketauhidan. Tauhid itu adalah yang disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan Laa ilaha illallaah’. Segala sesuatu yang dengannya darah dan
harta seseorang dapat terjaga, maka itulah hakekat tauhid” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/26].
3.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy membenci bid’ah dalam agama dan ahlul-bid’ah.
Diantaranya adalah kebencian
beliau rahimahullah terhadap bid’ah ilmu kalam dan ahli kalam :
وما
شيء أبغض إلي من الكلام وأهله
“Tidak ada sesuatu
yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahli-kalam” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
10-19-20].
حكمي
في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد، ويحملوا على الابل، ويطاف بهم في العشائر، ينادى
عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة، وأقبل على الكلام
“Hukumanku bagi
ahli kalam adalah mereka dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan di atas onta,
dan dibawa keliling ke tengah-tengah orang banyak, lalu diserukan atas mereka :
‘Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan Al-Kitaab dan As-Sunnah, dan
malah memilih ilmu kalam” [idem, 10/29].
NB : Ilmu kalam ini
banyak dianut oleh kalangan Asyaa’irah, dan dipelajari di beberapa pesantren
tradisional tanah air.
4.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy anti ilmu kebal,
jimat, dan praktek debus.
Hal itu dikarenakan termasuk perbuatan/praktek sihir,
sebagaimana riwayat berikut :
عَنْ
أَبِي عُثْمَانَ النَّهْرِيِّ، " أَنَّ سَاحِرًا كَانَ يَلْعَبُ عِنْدَ
الْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ، فَكَانَ يَأْخُذُ السَّيْفَ فَيَذْبَحُ نَفْسَهُ،
وَيَعْمَلُ كَذَا، وَلا يَضُرُّهُ، فَقَامَ جُنْدُبُ إِلَى السَّيْفِ فَأَخَذَهُ،
فَضَرَبَ عُنُقَهُ، ثُمَّ قَرَأَ: أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
"
Dari Abu ‘Utsmaan An-Nahriy : Bahwasannya ada seorang
penyihir yang sedang bermain-main di sisi Al-Waliid bin ‘Uqbah. Penyihir itu
memegang sebilah pedang, lalu menyembelih dirinya sendiri, namun sama sekali
tidak melukainya. Berdirilah Jundab mengambil pedang, lalu memukulkan ke
lehernya. Kemudian ia membaca ayat : ‘Maka, apakah kamu menerima sihir itu,
padahal kamu menyaksikannya ?’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 3)” [Diriwayatkan
oleh Abu Nu’aim 1/471-472 no. 1594 dengan sanad shahih lemah karena
Khaalid tidak pernah mendengar riwayat dari Abu 'Utsmaan An-Nahdiy sebagaimana
dikatakan oleh Ahmad. Akan tetapi ia shahih karena adanya penguat dari jalan
Al-Hasan Al-Bashriy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 4/361 dan Haaritsah bin
Mudlarrib sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 29458].
Berkaitan dengan itu, Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata :
فَيُقَالُ
لِلسَّاحِرِ: صِفِ السِّحْرَ الَّذِي تَسْحَرُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ
بِهِ كَلَامَ كُفْرٍ صَرِيحٍ اسْتُتِيبَ مِنْهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ،
وَأُخِذَ مَالُهُ فَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامًا لَا يَكُونُ
كُفْرًا، وَكَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ، وَلَمْ يَضُرَّ بِهِ أَحَدًا نُهِيَ عَنْهُ،
فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَضُرُّ بِهِ أَحَدًا مِنْ
غَيْرِ قَتْلٍ، فَعَمَدَ أَنْ يَعْمَلَهُ عُزِّرَ
“Dan dikatakan kepada pelaku sihir : ‘Sifatkan sihir
yang engkau menyihir dengannya’. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir
berupa perkataan kufur yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia
bertaubat, taubatnya diterima; dan jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya
sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir
berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran, tidak ma’ruuf,
dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang darinya. Jika ia
mengulangi, ia dihukum ta’zir. Jika ia mengetahui bahwasannya sihir
itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja
melakukannya, maka ia dihukum ta’zir” [Al-Umm, 1/293].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: " الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ،
وَأَكْلُ الرِّبَا،
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ "
Dari Abu Hurairah :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”.
Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik
kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak,
memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan
menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 89].
5.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy tidak mau membuat bangunan dan/atau masjid di atas kubur berikut
shalat di dalamnya.
Beliau rahimahullah
berkata :
وأحب
أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم
أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى
فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen,
karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah
tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah
melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah
melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di
Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut”
[Al-Umm, 1/316].
وأكره
أن يبنى على القبر مسجد وأن يسوى أو يصلى عليه وهو غير مسوى أو يصلى إليه (قال)
وإن صلى إليه أجزأه وقد أساء، أخبرنا مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
" قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد لا يبقى دينان بأرض
العرب "
“Dan aku membenci
kubur dibangun masjid di atasnya, diratakan,[4]
atau dipakai shalat di atasnya. Padahal, kubur tidaklah diratakan atau tidak
boleh shalat menghadap kepadanya. Dan apabila ada yang shalat menghadapnya,
shalatnya sah namun perbuatan itu buruk. Telah mengkhabarkan kepada kami
Maalik, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah menjadikan
kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Tidak boleh ada dua agama di negeri
‘Arab” [idem, 1/317].
Selain
berkesesuaian pendapat dengan Wahabiy, pendapat beliau memang didasarkan oleh hadits
:
عَنْ
جَابِرٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Dari Jaabir, ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, dan lainnya[5]].
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
Dari Abu Sa’iid
Al-Khudriy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat)
kecuali kuburan dan WC” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83, Ibnu Maajah no. 745, Abu Ya'laa no. 1350, dan yang lainnya; shahih. Takhrij selengkapnya bisa lihat sini].
عَنْ
عَائِشَةَ، وَعَبْد اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ، قَالَا: لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً لَهُ عَلَى
وَجْهِهِ، فَإِذَا اغْتَمَّ بِهَا كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: "
وَهُوَ كَذَلِكَ، لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا "
Dari ‘Aisyah dan
Ibnu ‘Abbas, mereka berdua berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kesehatannya menurun pada saat-saat akhir hidupnya,
beliau menutupkan kain khamishah-nya (selimut wolnya) pada wajahnya,
namun beliau melepas kain tersebut dari wajahnya ketika napasnya semakin
terganggu seraya bersabda : “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi
dan Nashara yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah
berkata : “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka
lakukan”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 435 & 436, Muslim no. 531, Ibnu
Hibban no. 6619, Abu ‘Awaanah 1/399, An-Nasa’i 1/115; dan yang lainnya].
6.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy tidak mau kendurian mayit.
Beliau rahimahullah
berkata :
وَأَكْرَهُ
النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ
عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ
الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ
الْمُؤْنَةَ، ....
“Dan aku membenci
perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah
kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit
secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang
diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’. Dan
aku juga membenci[6] berkumpul-kumpul
di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal
tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi
keluarga si mayit)...” [Al-Umm, 1/318].
Apa yang beliau
katakan tersebut sesuai dengan madzhab para shahabat radliyallaahu ‘anhum
:
عَنْ
جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: " كُنَّا نَرَى
الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
"
Dari Jariir bin
‘Abdillah Al-Bajaliy, ia berkata : “Kami (para shahabat) menganggap menganggap
berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi
mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir
2/307-308 no. 2279; shahih dengan keseluruhan jalannya[7]].
7.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy tidak kirim pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayyit.
Beliau rahimahullah
berkata :
يلحق
الميت من فعل غيره وعمله ثلاث حج يؤدى عنه ومال يتصدق به عنه أو يقضى ودعاء فأما
ما سوى ذلك من صلاة أو صيام فهو لفاعله دون الميت
“Sampainya pahala
kepada mayit dari perbuatan orang lain ada tiga, yaitu : haji yang dilakukan
untuknya, harta yang dishadaqahkan untuknya, dan doa. Adapun selain dari hal
itu dari amalan shalat atau puasa, maka pahala hanyalah untuk yang
mengerjakannya saja, tidak untuk si mayit....” [Al-Umm, 4/126].
Al-Imaam An-Nawawiy
menuturkan madzhab Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahumallah dalam masalah
ini :
وأما
قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل
الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.
وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة
جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
”Adapun bacaan
Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam
madzhab Asy-Syaafi’iy adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai
pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Asy-Syaafi’iy dan para
pengikutnya (yang menyepakatinya) adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang
ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia,
maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [Lihat : Syarh Shahih
Muslim oleh An-Nawawi 1/90].
An-Nawawiy
mengatakan bahwa Asy-Syaafi’iy berpendapat bahwa bacaan Al-Qur’an tidak sampai
ke mayit dengan dasar QS. An-Najm ayat 39 dan hadits terputusnya amal anak
Adam. Sama seperti Wahabiy. Oleh karena itu, tidak pernah ternukil dari beliau
mengirim pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayit, karena menurut beliau amal itu tidak
sampai kepadanya.
8.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy tidak men-jahr-kan dzikir/doanya, kecuali jika tujuannya
untuk pengajaran.
Beliau rahimahullah berkata :
وأختار
للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن
يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ ،
فإن الله عز وجل يقول : { ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها } [ الإسراء : 110 ] يعني
- والله تعالى أعلم - الدعاء ، ولا تجهر : ترفع .
ولا تخافت : حتى لا تسمع نفسك
“Dan aku memilih
bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat,
dan melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin
mengajarkan kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga
makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus
melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : ‘Dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan jangan pula merendahkannya.
Carilah jalan tengah di antara keduanya’ (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang
dimaksud dengan ayat ini adalah doa” [Al-Umm, 1/241].
Apa yang ditegaskan
oleh Asy-Syafi’i mencocoki firman Allah ta’ala:
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ
وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan
berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [QS. Al-A’raaf : 205].
Jika menjahrkan (mengeraskan) dzikir saja beliau tidak
lakukan, apalagi dzikir berjama’ah ?.[8]
9.
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy memelihara jenggotnya.
Al-Haafidh Al-’Iraaqiy rahimahullah berkata :
واستدل الجمهور على أن الأولى ترك اللحية على
حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat
pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya
sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya”
[Tharhut-Tatsrib, 2/83].
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i
berkata :
قال ابن الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام
الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ
والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة
على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah
Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Al-Imaam Asy-Syaafi’iy telah menegaskan
dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitupula
yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyiy dan Al-Hulaimi
dalam kitab Syu’abul-Iimaan, dan gurunya
(yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas
keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh
’Ali Al-Halaby hal. 31].
Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy rahimahullah memelihara jenggot dan membolehkan memotong
jenggot selebih dari genggaman ketika haji atau ‘umrah :
وأحب
إلي لو أخذ من لحيته وشاربيه حتى يضع من شعره شيئا لله وإن لم يفعل فلا شئ عليه
لان النسك إنما هو في الرأس لا في اللحية
“Aku menyukai jika
ia (orang yang bertahallul) memotong sebagian jenggot dan kumisnya, hingga ia
meletakkan sebagian dari rambutnya karena Allah. Jika ia tidak melakukannya,
maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah
(memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/232].
(قال الشافعي)
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، كَانَ إذَا أَفْطَرَ مِنْ
رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ الْحَجَّ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ رَأْسِهِ وَلَا مِنْ
لِحْيَتِهِ شَيْئًا حَتَّى يَحُجَّ.
(Asy-Syaafi’iy
berkata) : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar
: Apabila datang bulan Ramadlan, dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia
tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar
melaksanakan haji [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm
7/267-268].
عَنْ
مَرْوَان يَعْنِي ابْنَ سَالِمٍ الْمُقَفَّعَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ
يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ.....
Dari Marwaan bin
Saalim Al-Muqaffa’, ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar menggenggam
jenggotnya dan memotong selebih dari genggaman tangan….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2357; hasan].
10.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy tidak isbal pakaiannya.
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وَأَنَّهُ
لَا يَجُوز إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ
كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا
بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ ،
وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق كَمَا ذَكَرْنَا
“Dan bahwasannya isbal (menjulurkan pakaian)
hingga di bawah kedua mata kaki apabila motifnya karena kesombongan. Namun
apabila isbal dilakukan tanpa kesombongan, maka makruh (dibenci).
Dhahir hadits men-taqyid-nya dengan kesombongan menunjukkan pengharaman
tersebut khusus karena kesombongan. Begitulah yang dikatakan Asy-Syaafi’iy
tentang perbedaan tersebut sebagaimana telah kami sebutkan” [Syarh Shahiih
Muslim, 7/168].
Seandainya beliau rahimahullah memandang isbal
tanpa kesombongan hanya makruh – bukan haram - , apakah dipahami beliau
melakukan isbaal pada pakaiannya ?. Apakah beliau
melakukan sesuatu yang ia benci ?.
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ "، قَالَ:
فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلَاثَ مِرَارًا،
قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا، وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
" الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
"
Dari Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu dari
Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam beliau
bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah
di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan, serta baginya adzab
yang sangat pedih”. Abu
Dzarr berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya
: “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”.
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) musbil (orang yang
melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah
diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 106, Abu Dawud no. 4087, At-Tirmidziy no. 1211, dan yang lainnya].
11.
Al-Imaam Asy-Syaafi’iy mengatakan bahwa cadar termasuk
pakaian bagi muslimah.
Beliau rahimahullah berkata saat menyebutkan
‘aurat ketika shalat :
وكل
المرأة عورة إلا كفيها ووجهها
“Dan seluruh tubuh wanita adalah ‘aurat
kecuali kedua telapan tangan dan
wajahnya” [Al-Umm, 1/109].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وَقَالَ
مَالِكٌ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ ، وَالشَّافِعِيُّ : جَمِيعُ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ
إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي
الصَّلَاةِ
“Telah berkata
Maalik, Al-Auzaa’iy, dan Asy-Syaafi’iy : seluruh tubuh wanita adalah ‘aurat
kecuali wajah dan kedua telapan tangannya, dan selain dari itu, wajib untuk
ditutup ketika shalat” [Al-Mughniy, 3/53].
Yang dapat dipahami dari perkataan di atas bahwa
selain waktu shalat, maka disyari’atkan untuk menutup wajah (dengan cadar) dan
dua telapak tangan.
12.
Dan yang lainnya.
Seandainya
Anda, Pembaca tercinta, membaca perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi’iy di atas lalu
membandingkan dengan perkataan sekte yang gemar obral stempel ‘Wahabiy’ itu;
niscaya Anda akan menyangka beliau adalah ulama Wahabiy.....
Dan
patut disyukuri, ternyata paham ‘Wahabiy’ ini didukung oleh pihak Kepolisian
Republik Indonesia. Pihak Polda Metro Jaya memasang link alamat Radio Rodja –
salah satu radio ‘Wahhabiy’ yang banyak digembosi oleh banyak pihak – di website
resmi mereka :
Sekarang
bandingkan dengan black campaign sekte itu untuk menggembosi Radio Rodja
:
Seandainya
dakwah ‘Wahhabiy’ ini serius membahayakan umat dan negara sebagaimana dikatakan
oleh para penganut sekte itu, niscaya Polda Metro Jaya tidak memasang link/banner
di website resmi mereka, dan segera memberangusnya sebagaimana yang telah
dilakukan pada kelompok-kelompok teroris. Atau justru, dakwah sekte tersebut
yang membahayakan umat ?. Pembaca tercinta tentu dapat menjawabnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 27061434/07052013 – 00:01].
[1] Berikut sanadnya :
قرأت عَلَى المبارك: قلت له: أخبرك مُحَمَّد
بْن عَلِيِّ بْنِ الفتح، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيّ بْن مردك، قَالَ: أَخْبَرَنَا
عَبْد الرَّحْمَنِ بْن أبي حاتم، قَالَ: حَدَّثَنَا يُونُس بْن عبد الأعلى المصري،
قَالَ: سمعت أبا عَبْد اللَّه مُحَمَّد بْن إِدْرِيسَ الشافعي.....
Aku
membacakan riwayat kepada Al-Mubaarak. Aku katakan kepadanya : Telah
mengkhabarkan kepadamu Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Fath, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami ‘Aliy bin Mudrik, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Yuunus bin ‘Abdil-A’laa Al-Mishriy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy :.....
Keterangan
para perawinya :
a.
Mubaarak,
namanya adalah : Al-Mubaarak
bin ‘Abdil-Jabbaar bin Ahmad bin Al-Qaasim bin Ahmad bin ‘Abdillah
Al-Baghdaadiy, Abul-Hasan Ibnith-Thayyuuriy; seorang
yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-20, lahir
tahun 411 H, dan wafat tahun 500 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 19/213-216
no. 132].
b. Muhammad
bin ‘Aliy bin Al-Fath bin Muhammad bin ‘Aliy, Abu Thaalib Al-Harbiy – dikenal
dengan nama : Ibnul-‘Usyaar; seorang yang tsiqah lagi shaalih.
Termasuk thabaqah ke-18, lahir tahun 366, dan wafat tahun 451 H [Taariikh
Baghdaad, 4/179 no. 1372].
c.
‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz
bin Madrak bin Ahmad bin Sandawaih bin Mihraan bin Ahmad, Abul-Hasan
Al-Bardza’iy Al-Bazzaaz; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-16,
dan wafat tahun 387 H [Taariikh Baghdaad, 13/482 no. 6350].
d.
‘Abdurrahmaan bin Muhammad
bin Idriis Al-Raaziy, shaahibu Al-Jarh wat-Ta’diil; seorang yang tsiqah
lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-14, lahir tahun 240 H, dan
wafat tahun 327 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/263-269 no. 129].
e.
Yuunus bin ‘Abdil-A’laa
bin Maisarah bin Hafsh bin Hayyaan Ash-Shadafiy, Abu Muusaa Al-Mishriy, seorang
yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-10, lahir tahun 170 H, dan wafat tahun 264 H. Dipakai oleh Muslim,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1098 no. 7964].
f. Muhammad
bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy,
Abu ‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy; seorang imam yang tidak perlu
dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 204 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy secara mua’llaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 823-824 no.
5754].
[2] Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah
berkata :
سمعت [الأستاذ] أبا
منصور محمد بن عبد الله ابن حمشاد العالم
الزاهد [رحمه الله] يقول ، سمعت أبا
القاسم جعفر بن أحمد المقرى الرازي يقول : قرئ على عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي
وأنا أسمع : سمعت أبي يقول – عنى به الإمام في بلده أبا حاتم محمد بن إدريس
الحنظلي الرازي – يقول : ( علامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الزنادقة
: تسميتهم أهل الأثر حشوية ، يريدون بذلك إبطال الآثار . وعلامة القدرية : تسميتهم أهل السنة مجبرة . وعلامة الجهمية : تسميتهم أهل السنة مشبهة . وعلامة الرافضة : تسميتهم أهل الأثر نابتة
وناصبة .
Aku (Abu ‘Utsman
Ash-Shaabuniy) mendengar [Al-Ustadz] Abu Manshuur Muhammad bin ‘Abdillah bin
Himsyaad Al-’Aalim Az-Zaahid [rahimahullah]
berkata : Aku mendengar Abul-Qaasim Ja’far bin Ahmad Al-Muqriy Ar-Raaziy
berkata : Pernah dibacakan kepada ‘Abdurrahman bin Abi Haatim Ar-Raaziy, dan
waktu itu aku mendengarkannya : Aku mendengar ayahku berkata – yang dimaksudkan
adalah penghulu ulama di negerinya,
yaitu Abu Haatim Muhammad bin Idriis Al-Handhaliy Ar-Raaziy berkata - :
“Tanda-tanda Ahli Bid’ah adalah mencela Ahlul-Atsar.
Tanda-tanda Zanaadiqah adalah penamaan mereka terhadap Ahlul-Atsar dengan Hasyawiyyah.
Mereka memaksudkan hal itu untuk membatalkan/menolak atsar. Tanda-tanda
Qadariyyah adalah penamaan mereka terhadap Ahlus-Sunnah dengan Mujabbirah (=Jabriyyah, golongan yang hanya bergantung kepada taqdir).
Tanda-tanda Jahmiyyah adalah penamaan mereka kepada Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah. Dan tanda-tanda Raafidlah
adalah penamaan mereka kepada Ahlul-Atsar
dengan Naabitah serta Naashibah” [‘Aqiidatus-Salaf wa
Ashhaabil-Hadiits, tahqiq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy, hal. 110.
Diriwayatkan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no.
321; sanadnya shahih].
[4] Maksudnya diratakan sejajar tanah. Beliau rahimahullah
membencinya karena yang disunnahkan menurut beliau adalah meninggikan
sejengkal.
[5] Sebagai suplemen, silakan baca artikel : Membangun
Kubur adalah Larangan Nabi, Bukan Larangan Wahabi.
[6] Makna ‘makruh’ dalam perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahullah di
sini adalah tahriim (pengharaman), karena sebelumnya ia juga
mengatakan tentang makruhnya perbuatan niyaahah (meratap).
Perkataan itu satu rangkaian. Meratap sendiri sudah jelas hukumnya, yaitu haram,
berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
اثْنَتَانِ
فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى
الْمَيِّتِ
“Dua
perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan
niyaahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 67].
Ummu ‘Athiyyah berkata :
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ
النِّيَاحَةِ "
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melarang kami dari perbuatan niyaahah”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3127; shahih].
[7] Takhrij riwayat ada dalam artikel : Atsar
Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut.
[8] Asas dzikir
berjama’ah itu berawal dari dikeraskannya dzikir. Atau dengan kata lain,
tidak ada dzikir berjama’ah kecuali dzikir itu dilakukan secara keras (jahr).
Comments
Alhamdulillah Ustadz.
Selama dakwah Tauhid disampaikan dengan Ilmu dan hujjah yg jelas, Istiqomah, dan dengan Akhlak terpuji Insya Allah mereka akan mengkritisi kebiasaan mereka selama ini.
saya tidak suka wahaby karena :
- sekarang sudah mulai jarang ada yang mengundang saya memimpin yasinan ,tahlilan maupun mauludan .
- dulu saya kalau ketemu orang selalu berebut mencium tangan saya , namun sejak ajaran wahabi ada - sudah hampir tidak ada lagi yang berebut mencium tangan saya.
- saya tidak suka berjenggot karena itu berarti menyaingi wali songo kami yang terhormat , mereka semua berjenggot.
- saya tidak suka celana cingkrang , nggak bois , aku lebih suka kalau anak muda ya mengikuti modislah semisal amerika atau eropa.
- saya suka dzikir berjamaah apalagi kalau sampai nangis-nangis - syahdu sekali , bukankah di agama nasrani dan yahudi juga ada dzikir berjamaah dan tidak di pertentangkan ?
- saya nggak suka bicara bidah dan syirik , yang penting rukun dan punya masa yang banyak .
Loh kok yg anti-wahaby tumbenan nggak ada yg komentar nih... Oh... lagi pada maulidan kali ya...
aduhh...pandai lelucuan loh kalian..huu..sindiran pedas amat..truskn prjuangan kalian..amin.
ilmu2 rumah tangga ya akhii..sip..
Posting Komentar