Dua Imam Syi’ah Beda Pendapat : Mana yang Benar ?



Yaitu, beda pendapat tentang hukum mandi Jum’at, sunnah ataukah wajib. Dalam kitab Al-Istibshaar tulisan Abu Ja’far Ath-Thuusiy – seorang ulama kenamaan Raafidlah – menyebutkan riwayat sebagai berikut :
1333 أخبرني الشيخ رحمه الله عن أحمد بن محمد عن أبيه عن سعد بن عبدالله عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسن بن علي بن يقطين عن أخيه الحسين عن علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السلام عن الغسل في الجمعة والاضحى والفطر قال: سنة ليس بفريضة.
2334 وبهذا الاسناد عن سعد بن عبدالله عن يعقوب بن يزيد عن محمد بن أبي عمير عن عمر بن أذينة عن زرارة عن أبي عبدالله عليه السلام قال: سألته عن غسل الجمعة قال: سنة في السفر والحضر إلا أن يخاف المسافر على نفسه القر(1).
335 - 3 - وبهذا الاسناد عن سعد بن عبدالله عن أحمد بن محمد عن القاسم عن علي قال: سألت أبا عبدالله عليه السلام عن غسل العيدين أواجب هو؟ قال: هو سنة قلت: فالجمعة فقال: هو سنة.
1333. Telah mengkhabarkan kepadaku Asy-Syaikh rahimahullah, dari Ahmad bin Muhammad, dari ayahnya, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Al-Hasan bin ‘Aliy bin Yaqthiin, dari saudaranya (yaitu) Al-Husain, dari ‘Aliy bin Yaqthiin, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Hasan[1] ‘alaihis-salaam tentang (hukum) mandi pada hari Jum’at, ‘Iedul-Adlhaa, dan ‘Iedul-Fithri. Ia menjawab : “Sunnah, tidak wajib”.
2334. Dan dengan sanad ini, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ya’quub bin Yaziid, dari Muhammad bin Abi ‘Umair, dari ‘Umar bin Adziinah, dari Zuraarah, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam. Ia (Zuraarah) berkata : Aku pernah bertanya kepadanya (Abu ‘Abdillah) tentang (hukum) mandi Jum’at. Ia menjawab : “Sunnah ketika safar dan hadir, kecuali musafir mengkhawatirkan dirinya karena hawa dingin.
335 – 3 – Dan dengan sanad ini, dari Sa’d bin ‘Abdillah, dari Ahmad bin Muhammad, dari Al-Qaasim, dari ‘Aliy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang (hukum) mandi ‘Iedain, apakah diwajibkan ?, lalu ia menjawab : “Hukumnya sunnah”. Aku berkata : “Adapun mandi Jum’at ?”. Ia menjawab : “Hukumnya sunnah (juga)” [selesai].
Dua imam Syi’ah di atas (yaitu Muusaa Al-Kadhiim dan Abu ‘Abdillah) mengatakan hukum mandi Jum’at dan ‘Iedain adalah sunnah, bukan wajib. Clear ?. Lalu Ath-Thuusiy membawakan riwayat lain setelahnya :
4336 ما رواه محمد بن يعقوب عن علي بن ابراهيم عن أبيه عن عبدالله بن المغيرة عن أبي الحسن الرضا عليه السلام قال: سألته عن الغسل يوم الجمعة فقال: واجب على كل ذكر وانثى من عبد وحر.
5337 وبهذا الاسناد عن محمد بن يعقوب عن علي بن محمد عن سهل بن زياد عن أحمد بن محمد بن أبي نصر عن محمد بن عبدالله قال: سألت الرضا عليه السلام عن غسل يوم الجمعة فقال: واجب على كل ذكر وانثى من حر وعبد.
4336. Apa yang diriwayatkan Muhammad bin Ya’quub, dari ‘Aliy bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin Al-Mughiirah, dari Abul-Hasan Ar-Ridlaa ‘alaihis-salaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepadanya tentang mandi pada hari Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajib bagi setiap laki-laki dan wanita, hamba dan orang merdeka”.
5337. Dan dengan sanad ini dari Muhammad bin Ya’quub, dari ‘Aliy bin Muhammad, dari Sahl bin Ziyaad, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr, dari Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah bertany akepada Ar-Ridlaa ‘alaihis-salaam tentang mandi pada hari Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajib bagi setiap laki-laki dan wanita, orang merdeka dan hamba” [selesai].
Dua riwayat di atas menyebutkan ‘Aliy Ridlaa berpendapat wajib.
Jika para imam Syi’ah semuanya ma’shum, perkataan siapakah yang dipegang dalam hal ini ?. Tidak mungkin akan dikatakan dua versi yang bertolak belakang ini dibenarkan semua, boleh dikatakan wajib, boleh dikatakan tidak wajib. Atau mungkin benar yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah bahwa mereka (para imam) tidak ma’shum, karena perbedaan ijtihad itu menunjukkan batalnya teori kema'shuman.
Jika orang Syi’ah bingung, apalagi saya. Anda ?.[2]
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, cipaus, ciomas, bogor - 27051434/07042013 – 23:38].
Silakan diunduh kitab Al-Istibshaar versi word di sini atau untuk melihat yang versi online di sini.



[1]      Abul-Hasan di sini adalah Abul-Hasan Al-Awwal, yaitu Muusaa bin Ja’far Al-Kadhim rahimahullah. Adapun Abul-Hasan Ats-Tsaaniy adalah ‘Aliy bin Muusa atau yang dikenal dengan ‘Aliy Ar-Ridlaa rahimahullah.
[2]      Ath-Thuusiy mencoba mencari penyelesaian bahwa yang dimaksud dengan kata ‘wajib’ dalam riwayat di bagian kedua adalah penekanan akan pelaksanaannya saja, sehingga tetap hukumnya sunnah saja (tidak wajib). Tentu saja tidak bisa diterima begitu saja, karena jelas beda antara jawaban imam Syi’ah sunnah/tidak wajib dengan wajib. Selain itu, para ulama Syi’ah yang lain tetap berpegangan pada dhahir riwayat bagian kedua yang menyatakan mandi Jum’at adalah wajib.

Comments

K A B mengatakan...

bingung, garuk2 kepala. :)

Abul Hasan mengatakan...

Not so makshum ternyata ya ustadz :)

Anonim mengatakan...

Jadi menurut assunnah mana yg rujih ustadz,sunnah atau wajib?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau antum tanya ke saya jawaban dalam perspektif Syi'ah, tentu saya tidak bisa menjawabnya.

Adapun jika yang antum tanya jawaban dalam perspektif Ahlus-Sunnah, maka saya cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan sunnah (bukan wajib).

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

mantaaap

Anonim mengatakan...

Ustad, abu al jauzaa,. bagaimana dg tokoh ahlus sunah yg dianggap oleh orang syiah sebagai imam, spt, hasan bin ali, ali zainal abidin, jafar shodiq

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mereka berlepas diri dari kesesatan Syi'ah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada orang Syii’iy Naashibiy yang tergopoh-gopoh menjawab artikel di atas dengan jawaban penjamakan sebagaimana yang sudah saya isyaratkan. Penjamakan itu bisa dilakukan jika sumber perkataannya itu sama. Kalau sumber perkataannya berbeda, mana mungkin bisa dikatakan penjamakan. Yang benar, dua pemilik perkataan itu mempunyai pendapat yang berlainan. Atau tegasnya, kalau saya berpendapat A, lalu Anda berpendapat B, maka pendapat saya itu tidak bisa dijamak dengan pendapat Anda. Itulah kaedah ushuliyyah.

Itu pertama.

Kedua,... orang Syii’iy Naashibiy itu kemudian membawakan perkataan Al-Hilliy sebagai berikut :

ولا يعارض ذلك ما رواه ابن المغيرة ومحمد بن عبد الله عن الرضا عليه السلام قال سألته عن غسل الجمعة فقال: ” واجب على كل ذكر وأنثى من حر وعبد ” لأنا نقول المراد بذلك تأكيد الاستحباب ويدل على ذلك ما رواه علي بن يقطين عن أبي الحسن عليه السلام قال: ” الغسل في الجمعة والأضحى والفطر سنة وليس بفريضة

Dan tidak bertentangan dengan hal itu apa yang diriwayatkan Ibnu Mughiirah dan Muhammad bin ‘Abdullah dari Ar Ridha [‘alaihis salam] bahwa ia ditanya tentang mandi Jum’at dan Beliau menjawab “wajib bagi setiap laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak”. Kami katakan bahwa maksudnya adalah penekanan terhadap suatu anjuran /sunnah, dan dalil akan hal itu adalah riwayat Ali bin Yaqthiin dari Abu Hasan [‘alaihis salam] yang berkata mandi pada hari Jum’at Idul Adha dan idul Fitri adalah sunnah bukan fardhu [Al Mu’tabar Muhaqqiq Al Hilliy 1/353].

[maaf, Abul-Hasan di situ adalah Muusaa Al-Kaadhim, jadi nggak bisa dijamak dong ya... Beda orang].

Dan kemudian ia membawakan riwayat yang dimaksudkan sebagai berikut :

العلل: لمحمد بن علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن جده إبراهيم ابن هاشم، عن علي بن معبد، عن الحسين بن خالد قال: قلت للرضا عليه السلام: كيف صار غسل يوم الجمعة واجبا على كل حر وعبد، وذكر وأنثى؟ قال: فقال إن الله تبارك وتعالى تمم صلوات الفرائض بصلوات النوافل، وتمم صيام شهر رمضان بصيام النوافل، وتمم الحج بالعمرة، وتمم الزكاة بالصدقة، وتمم الوضوء بغسل يوم الجمعة

[Dari Kitab Al Ilal] : Muhammad bin Aliy bin Ibrahiim dari ayahnya dari kakeknya Ibrahim bin Haasyim dari Aliy bin Ma’bad dari Husain bin Khalid yang berkata aku bertanya kepada Ar Ridha [‘alaihis salam] “bagaimana bisa mandi pada hari Jum’at waib bagi setiap orang yang merdeka, budak, laki-laki dan wanita?. Beliau menjawab “Allah tabaraka wata’ala telah melengkapi shalat-shalat fardhu dengan shalat-shalat nawafiil, melengkapi puasa Ramadhan dengan puasa nawafiil, melengkapi Haji dengan Umrah, melengkapi zakat dengan shadaqah dan melengkapi wudhu’ dengan mandi pada hari Jum’at [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 78/129].

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya (Abul-Jauzaa’) katakan : Dalam artikel sudah saya katakan bahwa bahwa penjamakan itu gak tepat karena bertentangan dengan dhahir riwayat. Selain itu, riwayat yang ada dalam Bihaarul-Anwaar itu tidak menunjukkan bahwa mandi Jum’at itu sunnah. Salah alamat Anda membawakannya dengan taqlid pada Al-Hilliy. Kenapa ?. Justru riwayat itu menjelaskan sebab kenapa diwajibkan. Sesuai kaedah ushul, penetapan hukum dalam riwayat itu terletak pada perkataan 'wajib'-nya, sedangkan ‘illat hukum ada penjelasan setelahnya. Ringkasnya, mandi Jum’at itu diwajibkan karena ia merupakan pelengkap/penyempurna wudlu. Oleh karena itu, penyebutan shalat nawaafil, puasa nawaafil, dan ‘umrah itu tidak mesti satu kedudukan dengan mandi Jum’at, karena ‘illat wajibnya mandi Jum’at bukan terletak pada tiga hal tersebut, akan tetapi pada penyebutan : ‘sebagai penyempurna/pelengkap’ wudlu. Logika ushul fiqh Anda kacau, tidak bisa membedakan bahasan hukum dan ‘illat hukum. Makanya, Al-Kulainiy memasukkan riwayat di atas dalam bab :

وُجُوبِ الْغُسْلِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Wajibnya mandi Jum’at”.

[silakan lihat Al-Kaafiy, 3/41-42].

Adapun pembahasannya dari sisi pandang kaum muslimin (Ahlus-Sunnah), maka itu sudah benar, karena penjamakan itu berlaku pada riwayat-riwayat yang berasal dari sumber yang sama (yaitu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

Sedangkan pokok bahasan riwayat Syi’ah adalah, imam A berpendapat sunnah, dan imam B berpendapat wajib. Kan gitu ?

Anyway, riwayat-riwayat yang berasal dari imam-imam Syi’ah dalam kitab-kitab Syi’ah ini berbeda-beda, ada yang mengatakan sunnah, ada pula yang mengatakan wajib. Para ulama Syi’ah berpikir keras mengkompromikannya. Tapi kalau kita clear membaca riwayat tersebut, sebenarnya jelas bahwa para imam Syi’ah itu memang berbeda ijtihad akan hukum mandi Jum’at.

Anonim mengatakan...

Sebenarnya kalau mo dilacak sumber penyakitnya, maka yang menjadi sumber penyakit dari orang2 Syi'ah itu cuman satu....yakni bahwa para imam itu ma'shum itu dan tidak boleh salah.
So, kalau ada 2 orang diantara imam itu beda pendapat, maka mereka akan melakukan ta'wil sedapat mungkin meski dengan cara yang paling bathil,paling lucu atau cara yang paling ajaib sekalipun.
Padahal, hal2 seperti itu (yakni beda pendapat) sebenarnya merupakan hal2 yang lumrah dalam kajian2 Fiqih.


Ssssst....tapi masalahnya, kalau orang2 Syi'ah yang jahil itu mengakui adanya beda pendapat pada diri imam2 ma'shum mereka, nisacaya secara tidak langsung nantinya itu akan menghancurkan pokok 'Aqidah rusak mereka, yaitu satu konsekuensi bahwa para imam itu sebenarnya tidaklah ma'shum.

Dasar Syi'ah payah...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Cuma menambahkan saja,.... bahwa antar imam ma'shum itu memang beda ijtihad dalam beberapa permasalahan. Contoh lain adalah dalam masalah batas penyusuan yang menyebabkan kemahraman.

وَ عَنْهُ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّضَاعِ أَدْنَى مَا يُحَرِّمُ مِنْهُ قَالَ مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَ الدَّمَ ثُمَّ قَالَ تَرَى وَاحِدَةً تُنْبِتُهُ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ أَصْلَحَكَ اللَّهُ اثْنَتَانِ فَقَالَ لَا وَ لَمْ أَزَلْ أَعُدُّ عَلَيْهِ حَتَّى بَلَغَ عَشْرَ رَضَعَاتٍ

[Al-Kaafiy, 5/438].

Kata Al-Majlisiy, riwayat di atas muwatstsaq [Mir'atul-'Uquul, 20/206].

Menurut riwayat di atas, Imam Abu 'Abdillah mengatakan bahwa batas penyusuan itu 10 kali penyusuan.

Ternyata, Imam Abul-Hasan berpendapat lain :

أَبُو عَلِيٍّ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ جَمِيعاً عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَحْيَى قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّضَاعِ مَا يُحَرِّمُ مِنْهُ فَقَالَ سَأَلَ رَجُلٌ أَبِي ( عليه السلام ) عَنْهُ فَقَالَ وَاحِدَةٌ لَيْسَ بِهَا بَأْسٌ وَ ثِنْتَانِ حَتَّى بَلَغَ خَمْسَ رَضَعَاتٍ قُلْتُ مُتَوَالِيَاتٍ أَوْ مَصَّةً بَعْدَ مَصَّةٍ فَقَالَ هَكَذَا قَالَ لَهُ وَ سَأَلَهُ آخَرُ عَنْهُ فَانْتَهَى بِهِ إِلَى تِسْعٍ وَ قَالَ مَا أَكْثَرَ مَا أُسْأَلُ عَنِ الرَّضَاعِ فَقُلْتُ جُعِلْتُ فِدَاكَ أَخْبِرْنِي عَنْ قَوْلِكَ أَنْتَ فِي هَذَا عِنْدَكَ فِيهِ حَدٌّ أَكْثَرُ مِنْ هَذَا فَقَالَ قَدْ أَخْبَرْتُكَ بِالَّذِي أَجَابَ فِيهِ أَبِي قُلْتُ قَدْ عَلِمْتُ الَّذِي أَجَابَ أَبُوكَ فِيهِ وَ لَكِنِّي قُلْتُ لَعَلَّهُ يَكُونُ فِيهِ حَدٌّ لَمْ يُخْبِرْ بِهِ فَتُخْبِرَنِي بِهِ أَنْتَ فَقَالَ هَكَذَا قَالَ أَبِي قُلْتُ فَأَرْضَعَتْ أُمِّي جَارِيَةً بِلَبَنِي فَقَالَ هِيَ أُخْتُكَ مِنَ الرَّضَاعَةِ قُلْتُ فَتَحِلُّ لِأَخٍ لِي مِنْ أُمِّي لَمْ تُرْضِعْهَا أُمِّي بِلَبَنِهِ قَالَ فَالْفَحْلُ وَاحِدٌ قُلْتُ نَعَمْ هُوَ أَخِي لِأَبِي وَ أُمِّي قَالَ اللَّبَنُ لِلْفَحْلِ صَارَ أَبُوكَ أَبَاهَا وَ أُمُّكَ أُمَّهَا

[Al-Kaafiy, 5/439].

Kata Al-Majlisiy riwayat di atas shahih.

Menurut Imam Abul-Hasan, batas penyusuan adalah 5 atau 9.

Yang satu batasnya 10 dan yang lain 5 atau 9. Mana yang benar ?. Apakah bilangan 5, 9, dan 10 dapat dijamak ?

Anonim mengatakan...

Bukan hanya Ulama Sunni saja yang bebeda pendapat, misalnya perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU, tetapi juga Ulama Syiah juga sering beda pendapat.

Pendapat Ulama Syiah yang sudah wafat tidak bisa dijadikan rujukan oleh Kaum Syiah, karena Ulama Syiah yang sudah wafat tidak bisa dijadikan anutan

AlQuran dan hadith yang wajib dijadikan anutan dan rujukan oleh Kaum Syiah, Ulama hanya membantu Kaum Syiah mengerti AlQuran dan hadith

Haji Muhammad Abdullah