Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah
berkata :
أَخْبَرَنَا قَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا
مُحَمَّدٌ، قَالَ: نا خَالِدُ بْنُ سَعْدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ فُطَيْسٍ، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَشْهَبَ،
يَقُولُ: سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ اخْتِلافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: " خَطَأٌ وَصَوَابٌ فَانْظُرْ فِي ذَلِكَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Qaasim bin
Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Khaalid bin Sa’d : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Futhais : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah
bin ‘Abdil-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Asyhab berkata : Maalik pernah
ditanya tentang perselisihan di kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab : “(Yang ada adalah) salah dan benar.
Maka telitilah dalam permasalahan tersebut” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 905
no. 1694, tahqiq : Abu Asybal Az-Zuhairiy, Daaru Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1414.
Pentahqiq menghukumi atsar ini shahih].
Maksud perkataan Al-Imaam Maalik rahimahullah
di atas adalah : perbedaan pendapat di kalangan shahabat yang sifatnya
kontradiktif, maka tidak mungkin semuanya benar. Ada pendapat yang benar, ada
pula pendapat yang salah. Kita diperintahkan untuk meneliti dua pendapat
tersebut dengan memegang pendapat yang lebih kuat menurut apa yang tampak pada
kita sesuai dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menyebutkan
riwayat lain :
وَذَكَرَ يَحْيَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
قَالَ: حَدَّثَنِي أَصْبَغُ، قَالَ: قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: سَمِعْتُ مَالِكًا،
وَاللَّيْثَ، يقولان في اختلاف أصحاب رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" لَيْسَ كَمَا قَالَ نَاسٌ فِيهِ تَوْسِعَةٌ، لَيْسَ كَذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ
خَطَأٌ وَصَوَابٌ "
Dan Yahyaa bin Ibraahiim menyebutkan, ia
berkata : Telah menceritakan kepadaku Ashbagh, ia berkata : Telah berkata
Ibnul-Qaasim : Aku mendengar Maalik dan Al-Laits (bin Sa’d) berkata tentang perselisihan
(ikhtilaaf) para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “Tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang bahwa padanya terdapat
kelonggaran. Bukan seperti itu. Yang ada hanyalah salah dan benar” [idem,
hal. 906 no. 1695].
Ismaa’iil Al-Qaadliy rahimahullah
menjelaskan perkataan Maalik tersebut di atas :
إِنَّمَا التَّوْسِعَةُ فِي اخْتِلافِ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوْسِعَةٌ فِي
اجْتِهَادِ الرَّأْيِ، فَأَمَّا أَنْ يَكُونَ تَوْسِعَةً لأَنْ يَقُولَ النَّاسُ
بِقَوْلٍ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُونَ الْحَقُّ عِنْدَهُ فِيهِ فَلا
وَلَكِنَّ اخْتِلافَهُمْ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمُ اجْتَهَدُوا فَاخْتَلَفُوا
“Keluasan dalam ikhtilaaf para
shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu hanyalah keluasan
dalam ijtihad ra’yu saja. Adapun keluasan yang disebabkan orang berpegang
dengan pendapat salah satu di antara mereka (shahabat) meskipun kebenaran tidak
bersamanya dalam hal tersebut, maka (keluasan seperti ini) tidak boleh. Akan
tetapi perselisihan mereka (para shahabat) menunjukkan bahwa mereka
berijtihaad (dalam satu permasalahan) lalu mereka berselisih pendapat
(padanya)”.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah mengomentari
perkataan Ismaa’iil di atas : “Perkataan Ismaa’iil ini sangat bagus” [idem,
hal. 906-907].
Bahkan perselisihan di kalangan shahabat
itu menunjukkan pemahaman mereka bahwa kebenaran itu hanyalah satu, tidak
berbilang. Al-Muzanniy rahimahullah berkata :
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَّأَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا وَنَظَرَ
بَعْضُهُمْ فِي أَقَاوِيلِ بَعْضٍ وَتَعَقَّبَهَا، وَلَوْ كَانَ قَوْلُهُمْ
كُلُّهُ صَوَابًا عِنْدَهُمْ لَمَا فَعَلُوا ذَلِكَ
“Para shahabat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah berselisih pendapat, lalu sebagian mereka
menyalahkan sebagian yang lainnya. Sebagian shahabat melihat pendapat-pendapat
sebagian yang lainnya dan mengomentarinya/mengkritiknya. Seandainya perkataan
mereka seluruhnya adalah benar menurut mereka, niscaya mereka tidak melakukan
hal itu (menyalahkan dan mengkritik pendapat sebagian yang lain)” [idem,
hal. 911 no. 1711].
Dalil yang menunjukkan kebenaran hanyalah
satu, tidak berbilang, antara lain :
1.
Dalil
dari firman Allah ta’ala :
وَلا
تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ
الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada
mereka” [QS. Aali ‘Imraan : 105].
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”
[QS. Aali ‘Imraan : 103].
Ibnul-Qayyim
rahimahullah berkata :
الآيات
الناهية عن الاختلاف في الدين المتضمنة لذمه، كلها شهادة صريحة بأن الحق عند الله
واحد، وما عداه فخطأ، ولو كانت تلك الأقوال كلها صوابا، لم ينه الله ورسوله عن
الصواب ولا ذمه
“Ayat-ayat
yang melarang dari perselsihan dalam agama mengandung celaan terhadap perbuatan
tersebut. Semuanya mempersaksikan secara jelas bahwa kebenaran di sisi Allah
adalah satu, dan selainnya adalah kekeliruan. Dan seandainya semua perkataan
yang ada adalah benar, Allah dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran
dan mencelanya” [Mukhtashar Ash-Shawaa’iq, 2/522].
وَدَاوُدَ
وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ
الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ * فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ
وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ
يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Daawud dan Sulaiman, di waktu
keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka
telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami lah yang melakukannya” [QS. Al-Anbiyaa’ : 78-79].
Allah
ta’ala telah menunjukkan bahwa Sulaimaan lebih benar keputusannya
dibandingkan Daawud ‘alaihimas-salaam. Seandainya keduanya benar, maka
pen-takhshiish-an Allah ta’ala kepada Sulaimaan dengan pemahaman
(fahm) tidak ada faedahnya.
Asy-Syinqithiy
rahimahullah berkata :
وفي
الآية قرينتان على أن حكمهما كان باجتهاد لا بوحي، وأن سليمان أصاب؛ فاستحق الثناء
باجتهاده وإصابته، وأن داود لم يصب؛ فاستحق الثناء باجتهاده، ولم يستوجب لوما ولا
ذما بعدم إصابته، كما أثنى على سليمان بالإصابة في قوله: (ففهمناها سليمان)، أثنى
عليهما في قوله: (وكلا آتينا حكما وعلما)......... فقوله: (إذ يحكمان) مع قوله:
(ففهمناها سليمان) قرينة على أن الحكم لم يكن بوحي بل باجتهاد، وأصاب فيه سليمان
دون داود، بتفهيم الله إياه ذلك
“Dalam
ayat ini terdapat dua keterangan bahwa hukum keduanya (Daawud dan Sulaimaan)
dilakukan berdasarkan ijtihaad, bukan dengan wahyu. Dan bahwasannya Sulaimaan
dalam penghukumannya tersebut benar sehingga ia berhak untuk dipuji dengan
ijtihadnya dan kebenarannya. Di sisi lain, Daawud tidak benar, namun ia tetap
dipuji dalam ijtihadnya tanpa mengharusnya adanya celaan akan ketidakbenaran
ijtihadnya tersebut. Sebagaimana Allah memuji Sulaimaan dengan kebenaran yang diputuskannya
: ‘Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang
lebih tepat)’. Dan Allah pun memuji keduanya dalam firman-Nya : ‘dan
kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu’. ........
Firman-Nya : ‘di waktu keduanya memberikan keputusan’ bersama firman-Nya
: ‘Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang
lebih tepat)’ merupakan keterangan hukum yang diberikan bukan berdasarkan
wahyu, akan tetapi berdasarkan ijtihad. Dan Sulaimaan benar dalam keputusannya,
sedangkan Daawud tidak; karena pemahaman Allah kepadanya (Sulaimaan) dalam
masalah tersebut” [Adlwaaul-Bayaan, 4/650].
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [QS. Al-An’aam : 153].
Terkait
dengan ayat di atas, ada riwayat sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ. ح وَحَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ
"، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ:
" هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy (ح).
Dan telah menceritakan kepada kami Yaziid : Telah mengkhabarkan kepada kami
Hammaad bin Zaid, dari ‘Aashim bin Abin-Nujuud, dari Abu Waail, dari ‘Abdullah
bin Mas’iid, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
menggambar untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda : “Ini
adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan
dan kiri garis tersebut, kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan
yang lain, dimana setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru pada jalan
tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-An’aam : 153)” [Diriwayatkan
oleh Ahmad, 1/435; sanadnya hasan].
2.
Dalil
dari As-Sunnah :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ
شُرَيْحٍ، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ، عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ
مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ Al-Makkiy : Telah
menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih : Telah menceritakan kepadaku
Yaziid bin ‘Abdillah bin Al-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim bin Al-Haarits,
dari Busr bin Sa’iid, dari Abu Qais maulaa ‘Amru bin Al-‘Aash, dari ‘Amru bin
Al-‘Aash, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu
berijtihad dan (ijtihadnya) benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia
menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan (ijtihadnya) salah, baginya satu
pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352].
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ijtihad seorang
hakim atau ulama adakalanya benar adakalanya salah, meskipun ijtihad itu
dilakukan oleh shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ بْنِ أَنْعَمُ الْأَفْرِيقِيِّ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي
مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ، حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ
مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ،
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
"
Telah
menceritakan kepada kami Mahmuud bin Ghailaan : Telah menceritakan kepada kami
Abu Daawud Al-Hafariy, dari Sufyaan Ats-tsauriy, dari ‘Abdurrahmaan bin Ziyaad
bin An’um Al-Ifriiqiy, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh
akan datang pada umatku apa yang pernah terjadi pada Bani Israaiil seperti
sandal dengan sandal, hingga kalau pun di kalangan mereka terjadi orang yang
menzinai ibunya sendiri, maka di kalangan umat ini pun akan terjadi. Dan
sesungguhnya Bani Israaiil telah terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya dalam neraka kecuai satu golongan”.
Para shahabat bertanya : "Siapakah golongan tersebut wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab : "Apa yang aku dan para shahabatku telah jalani"
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641; hasan[1]].
Asy-Syaathibiy
rahimahullah berkata :
إن
قوله عليه الصلاة والسلام: «إلا واحدة» قد أعطى بنصه أن الحق واحد لا يختلف، إذ لو
كان للحق فرق أيضا؛ لم يقل: «إلا واحدة»
“Sesungguhnya
sabda beliau ‘alaihis-shalaatu was-salaam : ‘kecuali satu (golongan)’,
telah menyatakan dengan nashnya bahwa kebenaran itu, tidak berselisih. Seandainya
kebenaran itu banyak, beliau tidak akan mengatakan : kecuali satu” [Al-I’tishaam,
2/249].
Jika kebenaran itu satu dalam perselisihan
yang sifatnya kontradiktif, lalu bagaimana dengan riwayat berikut :
وَذَكَرَ ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ نَافِعِ
بْنِ أَبِي نُعَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ،
أَنَّهُ قَالَ: لَقَدْ أَعْجَبَنِي قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: " مَا أُحِبُّ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا ؛ لأَنَّهُ لَوْ كَانُوا قَوْلا وَاحِدًا
كَانَ النَّاسُ فِي ضِيقٍ وَإِنَّهُمْ أَئِمَّةٌ يُقْتَدَى بِهِمْ وَلَوْ أَخَذَ
رَجُلٌ بِقَوْلِ أَحَدِهِمْ كَانَ فِي سَعَةٍ "
Dan Ibnu Wahb, dari Naafi’ bin Abi Nu’aim,
dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, ia berkata : “Sungguh telah
menakjubkanku perkataan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu :
“Aku tidak senang seandainya para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak berselisih pendapat. Karena seandainya mereka berada dalam
satu pendapat saja, maka manusia akan berada dalam kesempitan. Dan sesungguhnya
mereka adalah para imam yang diteladani. Seandainya seseorang mengambil
pendapat salah seorang di antara mereka, maka ia berada dalam kelonggaran”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Jaami’, hal. 901-902 no. 1689].
????.
Perkataan itu bisa kita jawab dari beberapa
sisi, di antaranya :
1.
Riwayat
tersebut mu’allaq, ada keterputusan antara Ibnu ‘Abdil-Barr dan Ibnu
Wahb rahimahumallah, sehingga kualitasnya lemah.
2.
Seandainya
riwayat ini shahih, maka banyak ulama salaf telah melemahkan dhahir makna
perkataannya. Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وهذا مذهب ضعيف عند جماعة من أهل العلم،
وقد رفضه أكثر الفقهاء وأهل النظر
“Ini
adalah madzhab yang lemah menurut sekelompok ulama. Dan kebanyakan fuqahaa
dan peneliti telah menolak perkataan ini” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 898 no.
1694].
فَهَذَا
مَذْهَبُ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَمَنْ تَابَعَهُ وَقَالَ بِهِ قَوْمٌ،
وَأَمَّا مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمَنْ سَلَكَ
سَبِيلَهُمَا مِنْ أَصْحَابِهِمَا، وَهُوَ قَوْلُ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ،
وَالأَوْزَاعِيِّ، وَأَبِي ثَوْرٍ وَجَمَاعَةِ أَهْلِ النَّظَرِ أَنَّ الاخْتِلافَ
إِذَا تَدَافَعَ فَهُوَ خَطَأٌ وَصَوَابٌ، وَالْوَاجِبُ عِنْدَ اخْتِلافِ
الْعُلَمَاءِ طَلَبُ الدَّلِيلِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاعِ
وَالْقِيَاسِ عَلَى الأُصُولِ عَلَى الصَّوَابِ مِنْهَا، وَذَلِكَ لا يُعْدَمُ
فَإِنِ اسْتَوَتِ الأَدِلَّةُ وَجَبَ الْمَيْلُ مَعَ الأَشْبَهِ بِمَا ذَكَرْنَا
بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِذَا لَمْ يَبِنْ ذَلِكَ وَجَبَ التَّوَقُّفُ
وَلَمْ يَجُزِ الْقَطْعُ إِلا بِيَقِينٍ، فَإِنِ اضْطُرَّ أَحَدٌ إِلَى
اسْتِعْمَالِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ جَازَ لَهُ مَا يَجُوزُ
لِلْعَامَّةِ مِنَ التَّقْلِيدِ وَاسْتَعْمَلَ عِنْدَ إِفْرَاطِ التَّشَابُهِ
وَالتَّشَاكُلِ وَقِيَامِ الأَدِلَّةِ عَلَى كُلِّ قَوْلٍ بِمَا يُعَضِّدُهُ
قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الصَّدْرِ فَدَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا
يَرِيبُكَ
“Ini
adalah madzhab Al-Qaasim bin Muhammad dan orang-rang yang mengikutinya. Dan
sekelompok orang juga berpendapat dengannya. Adapun Maalik dan Asy-Syaafi’iy radliyallaahu
‘anhumaa dan orang-orang yang menempuh jalan mereka berdua dari kalangan
murid-murid mereka, juga pendapat Al-Laits bin Sa’d, Al-Auzaa’iy, Abu Tsaur,
dan sekelompok peneliti berpendapat bahwa perselisihan yang sifatnya
kontradiktif, maka ada yang benar dan yang salah. Dan wajib dalam perselisihan
para ulama untuk mencari dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas
sebagai landasan dalam mencari kebenaran dari perselisihan tersebut. Hal itu
pastilah ada. Seandainya dalil-dalil telah tegak, maka kecenderungan wajib ada
pada yang lebih mendekati pada hal yang kami sebutkan dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Seandainya dalilnya belum jelas, maka wajib untuk bertawaquf dan
tidak boleh memutuskan kecuali dengan keyakinan. Seandainya seseorang terpaksa
untuk menggunakan sesuatu dari perselisihan tersebut (sementara ia belum
mendapatkan kejelasan dalil untuk menetapkan yang raajih di antara kedua
pendapat – Abul-Jauzaa’) untuk dirinya secara khusus, maka
diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan bagi orang awam untuk bertaqlid. Ia
menggunakan pendapat - bersamaan dengan banyaknya keserupaan, kemiripan,
dan tegaknya dalil masing-masing pendapat – dibantu dengan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Kebaikan adalah apa yang menentramkan jiwa dan dosa
adalah apa menggelisahkan dada. Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang
tidak meragukanmu ” [idem, hal. 903].
Dhahir
perkataan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah tersebut bertentangan
dengan dalil celaan terhadap adanya perselisihan. Allah ta’ala berfirman
:
وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” [QS. Huud : 118-119].
Berkaitan
dengan ayat di atas, berikut penjelasan beberapa ulama salaf :
عَنْ
ابْنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: "
إِلا أَهْلَ رَحْمَتِهِ، فَإِنَّهُمْ لا يَخْتَلِفُونَ، وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
"
Dari
Ibnu Taimiy, dari Ja’far, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman Allah
: ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119), ia berkata :
“Kecuali orang-orang yang dirahmati-Nya, karena mereka tidak berselisih. Oleh
karena itu Allah menciptakan mereka” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam At-Tafsiir
no. 1264; shahih].
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو، قَالَ: ثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثَنَا عِيسَى، عَنِ
ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ: " وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ،
قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: أَهْلُ الْحَقِّ
"
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Aashim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa,
dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid : “Firman Allah : ‘Akan tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat’ (QS. Huud : 118), yaitu ahlul-baathil.
‘Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu’ (QS. Huud : 119),
yaitu ahlul-haq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya,
15/532; shahih].
حَدَّثَنَا
بِشْرٌ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ:
" وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ
رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ
وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ
اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Yaziid (bin Zurai’), ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin
Abi ‘Aruubah), dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Akan tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119)’, ia berkata : “Orang-orang yang diberikan
rahmat adalah ahlul-jama’ah meskipun berpisah negeri-negeri mereka dan
badan-badan mereka. Orang-orang yang bermaksiat kepada Allah adalah ahlul-furqah
(orang yang berpecah-belah), meskipun berkumpul negeri-negeri mereka dan
badan-badan mereka” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya,
15/533; shahih].
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ
مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ:
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ قَالَ: "
النَّاسُ يَخْتَلِفُونَ عَلَى أَدْيَانٍ شَتَّى، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، وَمَنْ
رَحِمَ رَبُّكَ غَيْرُ مُخْتَلِفٍ "، قُلْتُ: وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ قَالَ:
" نَعَمْ، خَلَقَ هَؤُلاءِ لِلْجَنَّةِ، وَهَؤُلاءِ لِلنَّارِ، وَهَؤُلاءِ
لِرَحْمَتِهِ، وَخَلَقَ هَؤُلاءِ لِعَذَابِهِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada
kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, dari Manshuur bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Aku
bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashriy) tentang firman-Nya ‘azza wa jalla
: ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (QS. Huud : 118-119). Ia menjawab :
“Manusia berselisih pada agama yang beraneka-ragam. Kecuali yang dirahmati oleh
Rabbmu. Barangsiapa yang dirahmati oleh Rabbmu bukanlah orang yang berselisih”.
Aku berkata : “(Tentang firman-Nya) ‘Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka’
(QS. Huud : 119) ?”. Ia menjawab : “Ya. Allah menciptakan mereka untuk
menempati surga. Dan Allah menciptakan (sebagian) mereka untuk rahmat-Nya, dan
menciptakan (sebagian) mereka yang lain untuk ‘adzab-Nya” [Diriwayatkan oleh
Al-Firyaabiy dalam Al-Qadar no. 62; shahih].
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat tersebut :
فأخبر
أن أهل الرحمة لا يختلفون، وأهل الرحمة هم أتباع الأنبياء قولا وفعلا، وهم أهل
القرآن والحديث من هذه الأمة، فمن خالفهم في شيء؛ فاته من الرحمة بقدر ذلك
“Allah
ta’ala telah mengkhabarkan bahwa ahlur-rahmah (orang-orang yang
diberikan rahmat) tidak berselisih. Mereka itu adalah orang yang mengikuti para
Nabi dalam perkataan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul-Qur’aan
wal-hadiits dari umat ini. Barangsiapa yang menyelisihi mereka dalam
sesuatu hal, ia akan luput dari rahmat sesuai kadar penyelisihannya itu” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 4/25].
Para
shahabat radliyallaahu ‘anhu sendiri membenci perselisihan.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ ابْنِ
سِيرِينَ، عَنْ عُبَيْدَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "
اقْضُوا كَمَا كُنْتُمْ تَقْضُونَ فَإِنِّي أَكْرَهُ الِاخْتِلَافَ حَتَّى يَكُونَ
لِلنَّاسِ جَمَاعَةٌ أَوْ أَمُوتَ كَمَا مَاتَ أَصْحَابِي "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syu’bah, dari Ayyuub, dari Ibnu Siiriin, dari ‘Ubaidah, dari ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Putuskanlah sebagaimana kalian dulu telah putuskan. Sesungguhnya
aku membenci perselisihan hingga manusia berada dalam satu jama’ah atau aku
mati sebagaimana para shahabatku telah mati” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 3707].
Ibnu
Mas’uud radliyallaahu ‘anhu pernah berkata :
الْخِلَافُ
شَرٌّ
“Khilaaf
(perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1960, Abu ‘Awaanah
no. 3512, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 1641, dan yang lainnya; shahih].
Faedah
: Ini sebagai bantahan atas perkataan sebagian orang bahwa perselisihan itu
adalah rahmat.
3.
Seandainya
shahih, maka beberapa ulama membawa makna perkataan ini kelonggaran jalan untuk
berijtihad, bukan kelonggaran atas kebenaran masing-masing pendapat.
Setelah
membawakan riwayat ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz di atas, Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahumallah
berkata :
هذا
فيما كان طريقه الاجتهاد
“Perkataan
ini berlaku pada permasalahan yang jalannya ditempuh melalui ijtihad” [Jaami’ul-Bayaan,
hal. 902].
4.
Ada
riwayat lain dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah yang membenci
perselisihan.
أَخْبَرَنَا
يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قِرَاءَةً عَنِ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، وَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ عَبْدَكٍ، عَنِ الْمُقْرِئُ، ثنا
الْمَسْعُودِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، يَقُولُ هَذِهِ
الآيَةُ: وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ { 118 } إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ قَالَ: خَلَقَ أَهْلَ رَحْمَتِهِ أَلا يَخْتَلِفُوا
Telah
mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at, dari
Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Yaziid. Dan telah
mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin ‘Abdak, dari Al-Muqri’ : Telah menceritakan
kepada kami Al-Mas’uudiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz
berkata tentang ayat ini : ‘Akan tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka” (QS. Huud : 118-119), ia berkata : “Allah
menciptakan ahlur-rahmah (orang-orang yang diberikan rahmat) agar mereka
tidak berselisih pendapat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya
no. 11296; shahih].
Secara
tegas ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah mengatakan orang-orang yang
mendapatkan rahmat adalah orang-orang yang tidak suka perselisihan. Lantas
bagaimana ia bisa mencintai perselisihan pendapat yang di kalangan shahabat ?.
Berhujjah dengan Khilaaf/Perselisihan
Pendapat
(-) Lo,... itu kan masih diperselisihkan
para ulama. Anda jangan memaksakan diri begitu dong....
(+) Tidak memaksakan. Tapi bukankah Anda
tadi telah sepakat bahwa dalil-dalil yang ada bertentangan dengan pendapat yang
Anda pegang ?.
(-) Benar. Tapi sekali lagi, bukankah
ini adalah masalah yang diperselisihkan para ulama kita. Saya yakin para ulama
yang saya pegang pendapatnya pun punya dalil, meskipun saat ini tidak saya
ketahui.
(+) Permasalahannya adalah, dalil yang
Anda kemukakan tadi sudah saya jelaskan kelemahannya, sementara Anda sendiri mengakui
bahwa dalil yang saya bawakan itu shahih dan maknanya bertentangan dengan
pendapat Anda. Apakah Anda akan berdalil dengan sesuatu yang tidak Anda
ketahui ?.
(-) Kita saling menghargai saja.
Seandainya permasalahan yang kita bicarakan merupakan perkara yang qath’iy dan
disepakati, niscaya para ulama kita tidak berselisih pendapat.
(+) ???
Pernahkah Anda mengalami, membaca, atau mendengarkan
perbincangan seperti di atas ?. Sebagian orang berhujjah dengan khilaf untuk
membenarkan pendapat yang ia pegang, meskipun ia tahu pendapatnya lemah karena
bertentangan dengan dalil.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata
:
الاخْتِلافُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ عِنْدَ
أَحَدٍ عَلِمْتُهُ مِنْ فُقَهَاءِ الأُمَّةِ، إِلا مَنْ لا بَصَرَ لَهُ، وَلا
مَعْرِفَةَ عِنْدَهُ، وَلا حُجَّةَ فِي قَوْلِهِ
“Perbedaan pendapat (ikhtilaaf)
bukanlah hujjah menurut orang yang aku ketahui dari kalangan fuqahaa’ umat;
kecuali orang yang tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan serta orang yang tidak
ada hujjah dalam perkataannya” [Jaami’ul-Bayaan, hal. 922].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata
:
وليس
الاختلاف حجة، وبيان السنة حجة على المختلفين من الأولين والآخرين
“Perbedaan pendapat bukanlah hujjah.
Dan penjelasan sunnah itu merupakan hujjah bagi orang-orang yang
berselisih pendapat dari kalangan orang-orang terdahulu dan kemudian” [A’laamul-Hadiits,
3/2092].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata :
وليس لأحد
أن يحتج بقول أحد في مسائل النزاع، وإنما الحجة: النص، والإجماع، ودليل مستنبط من
ذلك تقرر مقدماته بالأدلة الشرعية، لا بأقوال بعض العلماء؛ فإن أقوال العلماء يحتج
لها بالأدلة الشرعية، لا يحتج بها على الأدلة الشرعية
Dan tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah
dengan pendapat seseorang dalam permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu
hanyalah nash, ijma’, dan dalil yang dihasilkan darinya yang ditetapkan muqaddimah-muqaddimah-nya
dengan dalil-dalil syar’iy, tidak dengan perkataan sebagian ulama. Karena
perkataan sebagian ulama dijadikan hujjah dengan (keberadaan) dalil-dalil syar’iy,
dan ia tidak dijadikan hujjah untuk menentang dalil-dalil syar’iy” [Majmu’
Al-Fataawaa, 26/202-203].
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata
:
فربما
وقع الإفتاء في المسألة بالمنع، فيقال: لم تمنع؛ والمسألة مختلف فيه؟!
فيجعل الخلاف حجة في الجواز لمجرد كونها مختلفاً فيها، لا لدليل عليه يدل على صحة
مذهب الجواز، ولا لتقليد من هو أولى بالتقليد من القائل بالمنع، وهو عين الخطأ على
الشريعة، حيث جعل ما ليس بمعتمد معتمداً، وما ليس بحجة حجة
“Dan kadangkala terjadi pemberian fatwa
dalam satu permasalahan dengan pelarangan, lalu dikatakan : ‘Mengapa engkau
melarang, padahal permasalahan itu adalah diperselisihkan ?’. Maka ia
menjadikan perselisihan pendapat (khilaaf) sebagai hujjah dalam
pembolehan dengan sebab sekedar keberadaan perselisihan padanya saja, bukan
karena dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat yang membolehkan, bukan pula
karena taqlid pada orang yang lebih pantas ditaqlidi pendapatnya dari orang yang
melarangnya. Hal itu merupakan kekeliruan dalam syari’at dimana ia menjadikan sesuatu
yang bukan sebagai sandaran sebagai sandaran, dan sesuatu yang bukan hujjah
sebagai hujjah” [Al-Muwaafaqaat, 4/141].
Pembesar salaf berpegang dan menuntut
keberadaan dalil ketika ada perselisihan.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ،
حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ
سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ
الشَّامِ وَهُوَ يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، عَنِ التَّمَتُّعِ
بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: هِيَ
حَلَالٌ، فَقَالَ الشَّامِيُّ: إِنَّ أَبَاكَ قَدْ نَهَى عَنْهَا، فَقَالَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ أَبِي نَهَى عَنْهَا وَصَنَعَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَمْرَ أَبِي يُتَّبَعُ أَمْ
أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الرَّجُلُ بَلْ
أَمْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَقَدْ
صَنَعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin
Humaid : Telah mengkhabarkan kepadaku Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d : Telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Shaalih bin Kaisaan, dari Ibnu Syihaab,
bahwasannya Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar telah menceritakan kepadanya,
bahwasannya ia mendengar seorang laki-laki dari penduduk Syaam bertanya
kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang masalah tamattu’ dengan
melaksanakan ‘umrah dahulu, baru kemudian haji. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar
berkata : “Hal itu halal”. Orang Syaam itu berkata : “Sesungguhnya ayahmu telah
melarangnya”. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Bagaimana pendapatmu seandainya
ayahku melarangnya, padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melakukannya. Apakah perkara ayahku yang mesti diikuti ataukah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”. Laki-laki itu menjawab : “Tentu saja perkara
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita ikuti”.
Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh, hal itu (haji tamattu’) telah
dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 824; shahih].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ،
حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ، أَنَّ أَبَا صَالِحٍ الزَّيَّاتَ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ
أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ،
وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، فَقُلْتُ لَهُ: فَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ لَا يَقُولُهُ،
فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَأَلْتُهُ، فَقُلْتُ: سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَجَدْتَهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ، ......
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah
: Telah menceritakan kepada kami Adl-Dlahhak bin Makhlad : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin
Diinaar, bahwasannya Abu Shaalih Az-Zayyaat telah mengkhabarkan kepadanya,
bahwa ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Dinar
dengan dinar, dan dirham dengan dirham”. Aku (Abu Shaalih) berkata : “Sesungguhnya
Ibnu ‘Abbaas tidak mengatakannya”. Abu Sa’iid berkata : “Aku telah bertanya
kepadanya, dan aku berkata : ‘Apakah engkau mendengar dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam atau engkau dapati dari Kitabullah ?....” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2179].
Beralasan Keluar dari Khilaf
Di atas telah dijelaskan bahwa beralasan
dengan khilaf itu adalah tidak benar. Namun seringkali kita membaca dan
mendengar sebagian orang beralasan keluar dari khilaf untuk menguatkan dan
memegang satu pendapat. Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan
permasalahan ini dengan perkataannya :
إن التعليل بالخلاف لا يصح، لأننا لو
قلنا به لكرهنا مسائل كثيرة في أبواب العلم، لكثرة الخلاف في المسائل العلمية!
وهذا لا يستقيم؛ فالتعليل بالخلاف ليس علة شرعية، ولا يقبل التعليل بقولك: خروجاً
من الخلاف؛ لأن التعليل بالخروج من الخلاف، هو التعليل بالخلاف، بل إن كان لهذا
الخلاف حظ من النظر، والأدلة تحتمله فنكرهه، لا لأن فيه خلافاً؛ ولكن لأن الأدلة
تحتمله، فيكون من باب: (دع ما يريبك إلى مالا يريبك). أما إذا كان الخلاف لا حظ له
من النظر، فلا يمكن أن نعلل به المسألة، ونأخذ منه حكماً. وليس كل خلاف جاء
معتبراً إلا خلافاً له حظ من النظر لأن الأحكام لا تثبت إلا بدليل، ومراعاة الخلاف
ليست دليلاً شرعياً تثبت به الأحكام، فيقال: هذا مكروه، أو: غير مكروه
“Sesungguhnya beralasan dengan khilaf (perselisihan
pendapat) tidaklah benar, karena seandainya kita berpendapat dengannya, maka
kita akan membenci banyak permasalahan dalam berbagai ilmu dikarenakan
banyaknya perselisihan dalam permasalahan ilmiah. Ini tidak benar. Beralasan
dengan khilaf bukanlah alasan yang syar’iy. Tidak diterima alasan
perkataanmu : ‘Keluar dari khilaf’, karena alasan keluar dari khilaaf
sama saja beralasan dengan khilaaf. Seandainya khilaaf ini
mempunyai sisi pandang yang dibenarkan dan dalil-dalil yang ada memberikan
kemungkinan, maka kita pun membencinya. Bukan dikarenakan keberadaan khilaaf
padanya, namun karena dalil-dalil yang ada memberikan kemungkinan demikian,
sehingga masuk dalam bab : ‘tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju
apa-apa yang tidak meragukanmu’. Adapun seandainya khilaaf tersebut
tidak mempunyai sisi pandang, maka tidak mungkin kita beralasan dalam masalah
tersebut (keluar dari khilaaf), dan kemudian kita mengambil darinya
hukum. Tidaklah setiap khilaf itu diakui, kecuali khilaf yang
mempunyai sisi pandang. Karena, hukum-hukum tidaklah ditetapkan kecuali
berdasarkan dalil. Sementara itu, memperhatikan khilaf bukanlah dalil
syar’iy yang dapat menetapkan hukum, yang dengan itu dikatakan : ini makruh,
atau tidak makruh” [Asy-Syarhul-Mumti’, 1/52].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada
manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, yogyakarta
– 15062012 - banyak mengambil faedah dari kitab Zajrul-Mutahaawin karya Hamd bin Ibraahiim Al-'Utsmaan, pernah dipublikasikan di www.sahab.net].
Comments
apakah point terakhir : ,
ini ditujukan kepada orang yang mengambil pendapat yang lebih "selamat" dibanding pendapat yang lainnya?
Misal, ikhtilaf ulama berkisar antara sunnah dan wajib, kemudian dia ambil pendapat yang wajib karena lebih "aman".
Begitu pula misal, ikhtilaf ulama berkisar antara makruh dan haram, kemudian dia ambil pendapat yang haram karena lebih "aman".
Saya pernah mendengar seorang da'i ketika menjawab pertanyaan, beliau menganjurkan kepada penanya dengan istilah beliau "keluar dari khilaf". Gambarannya seperti yang sudah saya contohkan.
Maksud point terakhir adalah bahwasannya mengambil satu pendapat dengan alasan semata-mata keluar dari khilaf adalah tidak boleh, karena hakekatnya yang seperti itu berhujjah dengan khilaf.
Ia boleh mengambil sikap keluar dari khilaf seandainya dua pendapat itu menurutnya sama-sama ditopang dalil yang kuat, sehingga dalam pentarjihan ia mengambil pendapat yang hati-hati sebagai pengamalan : tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju apa-apa yang tidak meragukanmu. Namun jika ia memandang satu pendapat mempunyai dalil yang lebih kuat dari yang lain, maka tidak boleh ia mengambil sikap 'keluar dari khilaf', karena sama saja ia meninggalkan dalil yang telah tampak baginya dan berhujjah dengan khilaf.
Wallaahu a'lam.
alhamdulillah, jelas tadz.
Syukran
Ustadz, apakah artikel ini bisa dijadikan sebagai penguat tentang tabdi' terhadap ihyaa' at turats??
afwan ustadz OOT
ana pernah melihat film tentang fauna di National Geographic ada singa yang mulutnya sobek setelah berkelahi dengan kuda nil. kondisi sobek mulutnya sangat parah. jangankan untuk makan, untuk minum air saja dia tidak bisa. akhirnya lama-lama dia mati.
pertanyaan saya, jika nanti saya ketemu dengan anjing atau kucing yang kondisinya seperti itu, bolehkah saya membunuhnya agar dia tidak menderita lagi?
Pernahkah Anda mengalami, membaca, atau mendengarkan perbincangan seperti di atas ?
MasyaAllah.. bahkan kata2nya persis : "kita saling menghargai saja" hahahaha.. ini artikel yang sangat mencerahkan ustadz.. alhamdulillah...
@Abul-'Abbaas,... artikel ini tidak membahas tentang Ihyaa' At-Turaats. Jadi saya kira, terlalu jauh menghubungkannya dengan permasalahan itu.
@Anonim (15 Juni 2012, 21:38),.... daripada membunuhnya, lebih baik merawatnya.
Bagaimana kalau khilaf tersebut terjadi antara dua orang yang sama-sama merasa berpegang teguh kepada Sunnah, misalnya antara Ibnu Taimiyyah dengan Syaikh Albani?
Dalam buku di bawah ini disebutkan beberapa khilaf antara kedua orang tersebut dalam masalah akidah:
http://wahabiya.net/data/uploads/12773062291.pdf
Bagaimana pula kalau kita masih belum memiliki perangkat untuk men-tarjih salah satu di antara dalil yang dipakai masing-masing pihak?
Anggap saja saya seorang pemula yang masih belajar agama dan belum mengetahui banyak hal tentang dalil. Bagaimana sikap saya seharusnya?
Terima kasih.
Khilaf di kalangan ulama itu tidak membuat pengecualian. Tetap mesti dikembalikan pada dalil - selain harus meneliti keotentikan khilafnya itu sendiri.
Bagi orang awam yang tidak bisa melakukan tarjih, maka kewajibannya adalah bertanya kepada ahli ilmu yang ia pandang mantap keilmuwannya sebagai pelaksanaan dari firman Allah ta'ala :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui".
NB : Tentang bukunya Hasan As-Saqqaaf Al-Mu'taziliy yang Anda link-an,.... ya memang begitulah tipikalnya orangnya. Ia sendiri sebenarnya telah mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Ia sendiri juga sudah membuat kedustaan atas nama beliau. Bagi yang belum tahu tentang As-Saqqaaf, bisa simak :
Inilah 'Aqidah Hasan As-Saqqaaf.
الكشف عن حقيقة حسن السقاف من كتبه.
الحجج اللطاف في الرد على الغماري والسقاف.
dan yang lainnya.
Kalau Anda sedikit kritis saja, Anda tentang akan tahu motifasi mengangkat 'khilaf Ibnu Taimiyyah dan Al-Albaniy' (?). Misal : masalah istiqrar. Ibnu Taimiyyah menetapkan makna istiqraar sedangkan Al-Albaaniy membantahnya. Kenapa tidak ditarik kepada yang lebih awal ?. Ibnu Qutaibah (w. 276 H) juga menetapkan makna istiqraar atas lafadh istiwaa'. Ibnu Taimiyyah (dan juga Ibnul-Qayyim) ketika menetapkan makna istiqraar juga menisbatkannya pada Ibnul-Mubaarak dan Qutaibiy. Memang gak menarik jadinya jika dikatakan khilaf antara Ibnu Qutaibah dan Al-Baihaqiy (karena Al-Baihaqiy menafikkan makna istiqrar dalam kitab Al-Asmaa' wash-Shifaat ketika membawakan atsar Ibnu 'Abbaas yang ia lemahkan). Atau kalau misal membawa nama Ibnu Taimiyyah, maka disandingkan dengan ulama yang relatif sejaman. Atau kalau membawa nama Al-Albaaniy, maka disandingkan dengan ulama sejaman seperti Ibnu 'Utsaimiin.
Dan yang lainnya..... Membahas As-Saqqaaf, mungkin membutuhkan lembar tersendiri, karena ia sudah terkenal permusuhannya dengan Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabiy, Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab, Al-Albaaniy, Ibnu Baaz, dan yang lainnya.
Saya suka jawaban anda yang ini: "Bagi orang awam yang tidak bisa melakukan tarjih, maka kewajibannya adalah bertanya kepada ahli ilmu yang ia pandang mantap keilmuwannya"
Saya rasa inilah ang selama ini dilakukan oleh kebanyakan (mayoritas) umat Islam. Mereka sudah sejak dahulu kala terbiasa bertanya kepada para ahli ilmu (baca: kiai, ustadz, syekh, mufti, dll) tentang berbagai masalah agama yang tidak mereka ketahui, lalu jawaban ahli ilmu itulah yang dijadikan dasar beragama mereka. Terutama di kalangan awam, bertanya tentang dalil masih sangat jarang dilakukan, bahkan banyak di antara mereka yang belum memahami istilah "dalil". Mereka hanya bertanya tentang suatu hukum lalu pergi membawa jawaban yang diberikan oleh ahli ilmu yang ditanya tersebut.
Berdasarkan jawaban anda di atas, tentu apa yang dilakukan oleh orang awam tersebut tidaklah salah, bahkan begitulah memang seharusnya meskipun jawaban (hukum) yang diberikan oleh ahli ilmu tersebut mungkin berbeda dengan jawaban anda. Yang salah adalah ketika seseorang belum sampai dejat mujtahid tapi sudah berani berijtihad sendiri tanpa memedulikan ijtihad yang sudah dilakukan oleh para ahli ilmu. Inilah yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang termakan 'kampanye' ijtihad yang didengungkan oleh sebagian orang tanpa memahami siapa sebenarnya yang boleh dan dituntut untuk berijtihad, sehingga tidak heran jika di negeri ini (dan bahkan di negeri lain) muncul para 'mujtahid' karbitan yang baru mengerti satu-dua dalil dari ayat maupun hadits shahih lalu berani menyalahkan para mujtahid setingkat Imam Empat dan lain-lain.
'Alaa kulli haal, terima kasih atas jawaban anda yang sangat bermanfaat buat para pemula seperti saya ini.
Mengenai buku As-Saqqaaf, saya tidak ingin berkomentar lebih jauh. Saya hanya ingin berbagi informasi bahwa ternyata khilaf juga terjadi antar tokoh yang dikenal sebagai "pembela sunnah" bahkan bukan hanya dalam masalah fikih saja, tapi juga masalah akidah yang selama ini dianggap oleh sebagian orang awam sebagai permasalahan final yang tidak mengenal khilaf, bahkan sebagian orang menyangka bahwa khilaf dalam masalah akidah selalu berakibat kufur, murtad dsb. Kalau memang seperti yang dianggap oleh orang awam, tentu sudah banyak para tokoh ahli ilmu yang kufur karena berbeda akidah dengan tokoh lainnya.
Satu pertanyaan lagi, seandainya ada dua orang yang sedang mentarjih dalam suatu permasalahan, lalu hasil tarjih masing-masing orang tersebut berbeda dan masing-masing yakin bahwa hasil tarjihnya paling benar. Apakah mereka harus berdebat untuk membuktikan tarjih siapa yang lebih unggul dan mendekati kebenaran, ataukah dibiarkan saja sesuai hasil tarjihnya? Mohon pencerahan.
Terima kasih.
Perkataan Anda ada yang benar, dan pula yang salah.
Kewajiban orang awam yang tidak paham dalil (karena itulah pertanyaan Anda) memang bertanya. Ia boleh taqlid dengan perkataan seorang ahli ilmu. Namun ingat, taqlid orang awam ini pada asalnya bukanlah ilmu. Taqlid bukanlah sikap yang semestinya diambil oleh penuntut ilmu.
Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah berkata :
العلم عند العلماء المتكلمين في هذا المعنى هو ما استيقنته وتبينته وكل من استقن شيئا وتبينه فقد علمه وعلى هذا من لم يستيقن الشيء وقال به تقليدا أفلم يعلمه والتقليد عند جماعة العلماء غير الاتباع لأن الاتباع هو ان تتبع القائل على ما بان لك من فضل قوله وصحة مذهبه والتقليد أن تقول بقوله وأنت لا تعرفه ولا وجه القول ولا معناه
“Definisi ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan kamu pahami, dan setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya maka sesungguhnya dia mengetahui. Atas dasar ini, maka orang yang tidak mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid, maka dia tidak mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba’ (mengikuti). Sebab ittiba’ adalah bila kamu mengikuti orang yang berpendapat tentang sesuatu yang telah kamu ketahui keshahihan (kebenaran) pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila kamu mengatakan pendapat seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat tersebut” [selesai].
وقال أبو عبد الله بن خويز منداد البصري المالكي التقليد معناه في الشرع الرجوع إلى قول لا حجة لقائله عليه وذلك ممنوع منه في الشريعة والاتباع ما ثبت عليه حجة وقال في موضع آخر من كتابه كل من ابتعت قوله من غير أن يجب عليك قوله لدليل يوجب ذلك فأنت مقلده والتقليد في دين الله غير صحيح وكل من أوجب عليك الدليل اتباع قوله فأنت متبعه والاتباع في الدين مسوغ والتقليد ممنوع
Dan berkata Abu ‘Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : “Makna taqlid dalam syari’at adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki hujjah, dan yang demikian itu adalah dilarang dalam syari’at. Sedangkan ittiba’ adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai hujjah (dalil)”. Dan beliau berkata di tempat yang lain : “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu, maka engkau adalah orang yang taqlid kepadanya. Sementara taqlid tidaklah dibenarkan dalam agama Allah. Setiap orang yang engkau ikuti karena adanya dalil yang mengharuskan engkau mengikuti pendapatnya, maka engkau dianggap ittiba’ (mengikutinya). Ittiba’ adalah hal yang diperkenankan dalam agama sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang” [selesai – lihat Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi 2/117].
Imam As-Suyuthi berkata : "Sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak dinamakan orang yang berilmu” [Dinukil As-Sindi dalam hasyiyah-nya/ terhadap Sunan Ibni Majah 1/7 dan dia menetapkannya].
Secara tersirat Anda mengatakan bahwa semua orang yang bukan mujtahid, maka ia muqallid. Ya ini keliru. Di antara keduanya ada yang namanya mutabbi'. Orang yang derajatnya bukan orang awam, namun bukan pula mujtahid. Ia juga bertanya kepada ulama. Namun selain bertanya, ia juga menganalisa dalilnya sesuai dengan kadar pengetahuannya. Jika kadar pengetahuan mujtahid itu berbeda-beda, maka demikian pula dengan muqallid (orang awam) dan mutabbi'.
Sungguh menyedihkan mindset sebagian orang yang mengharuskan mengikuti pendapat seseorang tertentu selain Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Selain tidak ada dalilnya, juga menyalahi dalil itu sendiri. Karena dalil hanya menyuruh mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adapun ulama, maka ia salah satu wasilah dalam memahami ilmu (Al-Qur'an dan As-Sunnah). Ulama bisa benar, bisa juga salah; sedangkan nash, pasti benar.
Kita diperintahkan menghargai ulama, karena mereka adalah pewaris Nabi. Tapi kita tidak diperintahkan menerima seluruh perkataan mereka. Seandainya perselisihan di kalangan shahabat yang sifatnya kontradiktif tidak mungkin dibenarkan semua, apalagi orang-orang yang di bawah mereka. Ada yang benar, ada pula yang salah. Ada pendapat yang rajih, ada pula pendapat yang marjuh. Cara mengetahuinya adalah dengan belajar. Contoh kecil saja.... coba Anda baca Buluughul-Maraam nya Ibnu Hajar. Ada beberapa penisbatan hadits Ibnu Hajar dalam kitab tersebut yang keliru. Ini mudah diketahui jika kita punya ilmu dan mau mengkross check ke buku-buku hadits. Apakah usaha semacam ini terlarang ?.
NB : Jika Anda nyaman dengan pilihan taqlid tanpa ada sikap kritis, maka silakan, ini pilihan Anda. Adapun saya, tidak.
Komentar Anda tentang As-Saqqaaf, silakan saja Anda berkata seperti itu. Jika Anda cermat, di atas sudah dinyatakan kasus yang 'lebih besar' dari itu, bahkan itu salah satu 'core-'-nya. Para shahabat pun sangat mungkin berselisih pendapat, apalagi orang-orang setelahnya.
Anyway,.... apa yang Anda kemukakan tentang perselisihan antara Ibnu Taimiyyah dan Al-Albaaniy, maka itu hanyalah masalah cabang saja, meskipun di antaranya masuk dalam ranah 'aqidah.
Dan yang terakhir,... jika pertanyaan Anda adalah : 'Apakah harus'; maka tergantung kondisinya. Ada kondisi yang kadang menuntut untuk melakukannya, ada pula yang tidak.
wallaahu a'lam.
To : Pemula @ 16 Juni 2012 16:34
Assalamu'alaykum
[quote]
Mereka sudah sejak dahulu kala terbiasa bertanya kepada para ahli ilmu (baca: kiai, ustadz, syekh, mufti, dll) tentang berbagai masalah agama yang tidak mereka ketahui, lalu jawaban ahli ilmu itulah yang dijadikan dasar beragama mereka. Terutama di kalangan awam, bertanya tentang dalil masih sangat jarang dilakukan, bahkan banyak di antara mereka yang belum memahami istilah "dalil". Mereka hanya bertanya tentang suatu hukum lalu pergi membawa jawaban yang diberikan oleh ahli ilmu yang ditanya tersebut.
Berdasarkan jawaban anda di atas, tentu apa yang dilakukan oleh orang awam tersebut tidaklah salah, bahkan begitulah memang seharusnya meskipun jawaban (hukum) yang diberikan oleh ahli ilmu tersebut mungkin berbeda dengan jawaban anda.
..
kalo begitu pemahamannya,
berarti tidak perlu lagi mengingatkan kesalahan-kesalahan pemahaman yang ada si tengah - tengah manusia ya ?
seperti misalnya,
si fulan bertanya kepada syaikh atau kyai yang di anggap mumpuni secara keilmuwan tentang masalah khatamun nabiyyin,
tetapi kebetulan sang kyai seorang ahmadiyyah,
lalu orang awam itu membawa pemahaman yang keliru itu kemana-mana,
sehingga banyak yang terpengaruh,
yang seperti ini apakah antum biarkan saja karena antum belum sampai pada derajat mujtahid ?
atau antum jelaskan kekeliruan pemahaman si fulan berdasarkan apa yang di pahami oleh antum dari syaikh/kyai antum ?
[quote]
Yang salah adalah ketika seseorang belum sampai dejat mujtahid tapi sudah berani berijtihad sendiri tanpa memedulikan ijtihad yang sudah dilakukan oleh para ahli ilmu. Inilah yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang termakan 'kampanye' ijtihad yang didengungkan oleh sebagian orang tanpa memahami siapa sebenarnya yang boleh dan dituntut untuk berijtihad, sehingga tidak heran jika di negeri ini (dan bahkan di negeri lain) muncul para 'mujtahid' karbitan yang baru mengerti satu-dua dalil dari ayat maupun hadits shahih lalu berani menyalahkan para mujtahid setingkat Imam Empat dan lain-lain.
..
jujur saja, saya ragu kalo di dunia ini ada kaum muslimin yang mempunyai attitude seperti yang antum sebutkan diatas,
Mujtahid Karbitan; belum punya kapasitas berijtihad, tapi berani menyalahkan para para mujtahid setingkat Imam Empat dan lain-lain.
mungkin bisa antum sebutkan contoh ijtihad dari mujtahid karbitan tersebut ?
contoh ijtihadnya saja, tidak perlu di sebutkan siapa mujtahidnya.
Barakallahu fiik
selama ini, yang saya pahami, sebagian kaum muslimin mengambil penjelasan dari ulama~ulama terdahulu, kemudian ternyata penjelasan tersebut menyelisihi pendapat Imam atau pendapat shahabat sekalipun.
belum pernah saya jumpai ada seorang muslim yang berkata di dalam masalah agama ;
Ini pendapat saya pribadi
atau ucapan yang semisal dengan itu.
Wallohu ta'alaa a'lam
..
misalnya,
saya meng~HARAM~kan mut'ah.
kemudian saya menjelaskan kepada masyarakat awam akan buruknya perkara tersebut
hal tersebut, yang saya lakukan, bukanlah berarti saya lebih faqih atau lebih alim dari Ibnu 'Abbas ~radliyallahu 'anhu~
(masyhur, bahwasanya pendapat Ibnu 'Abbas meng~HALAL~kan mut'ah)
bukan pula berarti saya seorang mujtahid yang mumpuni keilmuwannya,
yang saya lakukan semata-mata berpegang berdasarkan dalil yang ada, beserta penjelasan ulama terkait masalah tersebut,
kemudian mengingatkan manusia akan ke~HARAM~annya, agar mereka berhati-hati.
saya justeru heran, ketika ada yang berkata ;
"emg siapa nte di banding Imam Syafi'i?"
"emg udah hapal berapa hadits nte di banding Ibnu hajar ?"
'emg ente lebih alim dibandingkan Imam Nawawiy?"
dan perkataan yang semisal
tidak di pungkiri bahwa mereka (para Imam) orang yang alim dan faqih di bidangnya, akan tetapi mereka bukanlah seorang yang makshum, yang di taqlidi begitu saja tanpa mau menoleh penjelasan yang lain.
lagipula,
para Imam sudah berlepas diri dari kemungkinan taqlid kaum muslimin terhadap pendapat mereka, karena mereka menyadari betul, apa yang keluar dari lisan mereka bisa jadi benar, bisa jadi salah.
NB :
kalo cara mengambil pendapat adalah dengan banyak-banyakan hadits,
niscaya saya akan taqlid buta kepada pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ~rahimahullah~,
karena Beliau adalah Imam yang paling banyak menghapalkan hadits.
Wallohu ta'alaa a'lam
Wallohul Musta'an, Barakallahu fiik
Sekali lagi saya suka jawaban anda yang ini: "Kewajiban orang awam yang tidak paham dalil memang bertanya. Ia boleh taqlid dengan perkataan seorang ahli ilmu."
Mengenai jawaban terakhir: "..tergantung kondisinya. Ada kondisi yang kadang menuntut untuk melakukannya, ada pula yang tidak."
Bisakah dijelaskan lebih rinci kapan kondisi yang menuntut untuk dilakukan debat dan kapan yang tidak?
Seputar Beralasan Keluar dari Khilaf
Mengenai permasalahan keluar dari khilaf, kalau di atas Ibnul Utsaimin telah mengatakan bahwa "Tidak diterima alasan ‘Keluar dari khilaf’ karena alasan keluar dari khilaaf sama saja beralasan dengan khilaaf."
Maka saya menemukan pernyataan sebaliknya dari seorang ulama yang jauh lebih mumpuni dan diakui daripada Ibnul Utsaimin, yaitu Imam Nawawi rahimahullah. Beliau berkata:
قال الشافعي والاصحاب يستحب غسل النزعتين مع الوجه لان بعض العلماء جعلهما من الوجه فيستحب الخروج من الخلاف
"Telah berkata Imam Syafi'i dan para muridnya: dianjurkan membasuh kedua 'nonong' bersama dengan wajah, karena sebagian ulama menjadikan keduanya termasuk bagian dari wajah, maka dianjurkan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat)." (Al-Majmuu': 1/382)
ويتعهد ما يحتاج فيه إلى الاحتياط كالعقب وأن يخلل اللحية والعارض الكثيفين واطالة الغرة واطالة التحجيل ومسح كل الرأس ومسح الاذنين ومسح الصماخين وغسل النزعتين مع الوجه وكذا موضع التحذيف والصدغ إذا قلنا هما من الرأس للخروج من الخلاف
"Dan menjaga hal-hal yang memerlukan kehati-hatian... demi keluar dari khilaf." (idem: 1/465)
وهذا هو الاصح المختار فعلى هذا يستحب استئناف الوضوء كما نص عليه في كتاب ابن أبي ليلى وغيره ليخرج من الخلاف
"Inilah yang paling benar dan kami pilih. Oleh karena itu, dianjurkan mengulangi wudhu sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ibnu Abi Laila dan lain-lain, supaya keluar dari khilaf." (idem: 1/525)
السنة أن يستنجى قبل الوضوء ليخرج من الخلاف
"Sunnahnya adalah beristinjak (cebok) sebelum wudhu, supaya keluar dari khilaf." (idem: 1/110)
Dan masih banyak lagi pernyataan serupa, baik dari Imam Nawawi maupun para imam lain yang lebih mumpuni dari Ibnul 'Utsaimin.
Maka, salahkah kalau saya lebih tenteram mengikuti pendapat para imam tersebut dan meninggalkan pendapat Ibnul 'Utsaimin?
Terakhir, saya ingin sedikit memodifikasi dialog di atas, boleh kan?
Jadi seperti ini:
(-) Akhi, masalah itu masih diperselisihkan oleh para ulama. Silahkan pilih pendapat yang menurut anda paling benar dan tidak usah saling memaksakan.
(+) Tidak memaksakan. Tapi dalil-dalil yang ada bertentangan dengan pendapat yang Anda pegang?
(-) Bertentangan menurut anda. Tapi tidak bertentangan menurut kami dan para ulama kami. Para ulama kami telah membahasnya dan tidak ditemukan pertentangan itu.
(+) Dalil yang Anda kemukakan tadi sudah saya jelaskan kelemahannya.
(-) Menurut anda lemah, tapi menurut ulama kami kan kuat.
(+) ?!@#$%%^&*
Assalamu'alaykum..
Orang kafir saja kalo membaca tulisan akh "pemula" diatas pasti ketawa.. Sekarang ini jamannya BBDM (belajar berdasar dari masalah) kalo secara islaminya belajar dari dalil.. Ga jaman lagi ngikut2 akh.. Ini dikalangan kafir.. masa kita yang empunya tradisi "bicara dengan dalil" malah disuru ngekor??.. Jadi kita nyari kebenaran dan nyari kebenaran dari pendapat ulama.. bukan ngekor sama ulama.. karena ngekor buta itu ke Nabi aja 'alayhi sholatu was salam..
Lucunya banyak orang berdalih "jangan suka menyalahkan" dsb.. padahal mereka sendiri dari tulisan dan gaya bahasanya menyalah2kan pihak yang berseberangan,, Berdalih "jangan mengkafirkan" "jangan membid'ahkan" "jangan menyesatkan", tapi kenyataannya mereka jerit2 "Wahabi : Kafir aw Bid'ah aw sesat"
Saya kalo baca atsar dari imam malik.. Maka saya lebih percaya pada imam Malik karena beliau lebih mumpuni dan lebih "mangkul" ilmunya dari pada antum.. Dan saya langsung percaya saja kalo "Perselisihan itu jelek" dan "Pasti ada yang benar dan yang salah" serta "maka telitilah".. Jadi saya pribadi merajihkan pendapat Ibnu Utsaimin dibanding Imam Nawawi (kalo memang betul begitu yang dimaksud imam Nawawi) karena lebih dekat ke pendapat Atba'ut tabi'in tersebut.. wallahua'lam
Pak Ustadz pemula,
terkait dengan dialog yang antum tuliskan.
apakah yang demikian juga berlaku untuk kasus Khatamun Nabiyin-Ahmadiyah, Madzhab Syi'ah, Halal Nikah Mut'ah - Syi'ah, Qur'an adalah Makhluk - Mu'tazilah, Allah Tidak diatas Arsy - Jahmiyah?
Ahmadiyah punya Ulama, Syi'ah punya Ulama, Mu'tazilah punya Ulama, Jahmiyah juga punya Ulama.
Dalil-dalil yang mereka gunakan untuk mendukung kefahaman mereka adalah kuat menurut mereka.
Jadi, semestinya tidak perlu dipertentangkan apa yang menjadi kefahaman mereka para Ulama mereka telah membahasnya dan tidak ditemukan pertentangan itu.
Apakah artinya yang menolak Ahmadiyah, Syi'ah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah orang-orang yang memaksakan dalil?
Mohon penjelasannya
Jazakallah
NB: sebetulnya esensi tulisan saya cuma mengulang penjelasannya ID Orang Awam saja
@Pemula (MUSLIM - ganti MOSLEM), he..he..he.... saya menjadi semakin paham 'kesukaan' Anda, terutama yang menjurus ke ranah taqlid.
Kondisi yang menuntut dilakukan debat misalnya adalah ketika ada orang yang berusaha mengangkat khilaf lemah atau ghairu mu'tabar. Maka pada saat ini, bagi orang yang punya ilmu dan kemampuan wajib menjelaskannya sebagai perwujudan nasihat dan agar tidak terjadi fitnah.
Contoh : Dalam masalah sodomi/liwath. Ada dua orang. Yang satu mengatakan bahwa menyodomi istri boleh berdasarkan satu riwayat dari Ibnu 'Umar; dan yang lain mengatakan tidak boleh. Dalam hal ini, orang kedua - jika ia mempunyai ilmu dan sikon memungkinkan - punya kewajiban untuk menjelaskan kepada orang pertama akan kelemahan pendapat yang ia pegang. Hal itu dikarenakan pendapat yang membolehkan sodomi (meskipun ada beberapa ahli ilmu membolehkannya), termasuk pendapat yang lemah yang menyalahi nash yang cukup banyak. Ini bukan semata-mata untuk 'membuktikan' tarjih siapa yang lebih unggul.
Tentang masalah khuruuj minal-khilaaf, nampaknya (lagi-lagi) Anda kurang memahami substansi permasalahan. Kalau misal Anda mengetik kata kunci خروج من الخلاف di maktabah Syamilah atau di Google, niscaya Anda akan menemukan perkataan beberapa ahli ilmu tentang hal ini. Di antaranya adalah yang Anda tuliskan di atas. Tapi please deh,... pahami substansi. Yang dikatakan Ibnu 'Utsaimiin di atas terbangun dari sub bab sebelumnya tentang kekeliruan beralasan dengan khilaf ulama. Para ulama ahli ushul telah menerangkan hal ini. Khilaaf ulama itu bukan dalil. Jika ini telah kita sepakati, maka alasan memilih satu pendapat karena semata-mata keluar dari khilaaf, maka itu sama saja beralasan dari khilaf. Namun seandainya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil yang dapat diterima, maka dalam hal ini boleh memilih pendapat yang paling hati-hati dalam rangka keluar dari khilaf. Jadi sikapnya keluar dari khilaf tadi bukan karena semata-mata eksistensi khilafnya, namun dari dalil yang dibawakan oleh masing-masing pendapat. Coba Anda baca sekali lagi perkataan Ibnu 'Utsaimiin di atas. Oleh karena itu Ibnu 'Utsaimiin berkata :
لا لأن فيه خلافاً؛ ولكن لأن الأدلة تحتمله، فيكون من باب: (دع ما يريبك إلى مالا يريبك)
"....Bukan dikarenakan keberadaan khilaaf padanya, namun karena dalil-dalil yang ada memberikan kemungkinan demikian, sehingga masuk dalam bab : ‘tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju apa-apa yang tidak meragukanmu’ " [selesai].
Mengenai modifikasi tanya jawab Anda, silakan saja. Tidak ada larangan. Tapi core nya jadi berubah dari hal yang ingin saya angkat. Walhasil, Anda membicarakan sesuatu yang lain dari apa yang saya bicarakan.
To: Al-Ustaadz Al-Kabiir Abul Jauzaa'
Saya sering suka komentar anda, sekarang saya suka yang ini: "Kondisi yang menuntut dilakukan debat misalnya adalah ketika ada orang yang berusaha mengangkat khilaf lemah atau ghairu mu'tabar. Maka pada saat ini, bagi orang yang punya ilmu dan kemampuan wajib menjelaskannya sebagai perwujudan nasihat dan agar tidak terjadi fitnah."
Sekarang, bagaimana kriteria khilaf yang dianggap lemah itu menurut anda? Dan bagaimana pula khilaf yang kuat dan mu'tabar itu? Kemudian, bagaimana kalau yang diperdebatkan adalah khilaf yang tidak lemah (alias khilaf kuat dan mu'tabar)? Perlukah diperdebatkan untuk mewujudkan 'kebenaran hanya satu'? Bagaimana kalau satu pihak menganggap suatu khilaf lemah sehingga perlu diperdebatkan, sedangkan pihak lain menganggap khilaf itu kuat sehingga tidak perlu diperdebatkan?
Sengaja saya bertanya seperti itu karena saya melihat realita yang ada di masyarakat kurang-lebih seperti itu. Maka di sini saya memohon penjelasan.
Kutip:
"Kalau misal Anda mengetik kata kunci خروج من الخلاف di maktabah Syamilah atau di Google, niscaya Anda akan menemukan perkataan beberapa ahli ilmu tentang hal ini. Di antaranya adalah yang Anda tuliskan di atas."
Ya memang itulah yang saya lakukan karena saya sering membaca pernyataan-pernyataan ulama yang menganjurkan keluar dari khilaf. Nah, di sini kok saya menemukan sebaliknya. Makanya saya mencarinya kembali.
Tapi ada satu kalimat anda yang saya sukai, yaitu: "Namun seandainya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil yang dapat diterima, maka dalam hal ini boleh memilih pendapat yang paling hati-hati dalam rangka keluar dari khilaf."
Seandainya kalimat itu dimasukkan ke dalam inti artikel di atas supaya orang awam seperti saya ini tidak salah paham ketika membaca pernyataan Ibnul 'Utsaimin. Tapi ini hanya usulan saya saja. Kalau tidak ya tidak apa-apa. Saya sudah merasa bersyukur komen saya ini dimuat di blog 'bergengsi' seperti blog anda ini. :D
Adapun komen selanjutnya:
"Bukan dikarenakan keberadaan khilaaf padanya, namun karena dalil-dalil yang ada memberikan kemungkinan demikian."
Ini akan kembali ke permasalahan yang saya sebutkan sebelumnya mengenai dalil masing-masing pihak dan mengenai khilaf lemah dan kuat, mu'tabar aw ghairu mu'tabar.
'Alaa kulli haal, terima kasih atas kesediaan anda menjawab pertanyaan pemula seperti saya ini.
Wassalam.
Untuk ustadz pemula..
Tolong disebutkan aja deh contoh-contoh khilaf yang antum anggap perlu "ditoleransi".. jadi masalah bisa lebih fokus dan yang baca bisa mudenga sama apa yang ente maksud.. kesan yang ana dapet antum ky g mau kalah aja.. makannya yang praktikal aj jangan mbulet di teori.. toh antum seorang "pemula" dan ustadz abul jauzaa udah meladeni antum sejauh ini plus memberikan contoh.. studi kasus aja untuk menerapkan artikel ini.. apa pas ato ga pas..
@Pemula alias Muslim/Moslem.......
Kata Anda :
"Tapi ada satu kalimat anda yang saya sukai, yaitu: "Namun seandainya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil yang dapat diterima, maka dalam hal ini boleh memilih pendapat yang paling hati-hati dalam rangka keluar dari khilaf."
Seandainya kalimat itu dimasukkan ke dalam inti artikel di atas supaya orang awam seperti saya ini tidak salah paham ketika membaca pernyataan Ibnul 'Utsaimin. Tapi ini hanya usulan saya saja. Kalau tidak ya tidak apa-apa. Saya sudah merasa bersyukur komen saya ini dimuat di blog 'bergengsi' seperti blog anda ini. :D" [selesai].
Jika Anda paham substansi, tentu Anda tidak perlu berkomentar lebih. Dalil yang diterima adalah dalil yang diterima bagi orang yang bersangkutan, baik dalam keshahihannya ataupun dilalahnya.
Janganlah kita cuma hapal lafadh tanpa memahami makna dan esensinya.
Adapun tentang definisi khilaf mu'tabar dan ghairu mu'tabar, saya rasa saya sedang lelah meladeni retorika Anda. Anggaplah saya tidak tahu. Di atas telah sedikit saya contohkan tentang khilaf permasalahan sodomi.
Sebagaimana Anda biasa menggoogling, maka di sini pun Anda bisa mengetik kata kunci :
الخلاف المعتبر
Silakan dibaca. Saya lihat, banyak tulisan yang bisa menjawab pertanyaan Anda.
To ; pemula / Moslem / Muslim ganti Moslem / wateverlah
Assalamu'alaykum
antum kok sepertinya maksa banget yaa akhi,
..menyematkan gelar Al-Ustaadz kepada admin blog ini (^_^ )
coba deh, di baca dan di simak baik-baik Profile berikut
eniwei, ketidak puasan antum mungkin bisa juga di tanyakan secara komperhensip ke link asatidz seperti ;
Ustadz Firanda
Ustadz Sufyan Basweidan
Ustadz Aris Munandar
dan yang lainnya .. :)
atau link masyaikh wahabiy, seperti ;
Syaikh 'Alawiy bin Abdul Qadir as-Seggaf
Syaikh Habib Muhammad bin Abdillah Al-Maqdiy
ahl-bayt
dan yang lain .. ;)
semata-mata untuk menghindari stigma negatif ;
"Wahabiy paling benar sendiri"
"Wahabiy madzhab kelima"
"Wahabiy pemilik Surga"
dan perkataan yang semisal dengan itu.
Barakallahu fiik
Ah rame debat melulu masalah agama...udah lah orang yang memang cuma cari debat ga usah dilayani.
jadi...sibuk debat saja
Lebih baik kita diam daripada ikut berdebat tanpa ilmu :D
Ya bicara atau diam juga sama saja... sayang kalau ilmu agama cuma jadi objek perdebatan....seharusnya prosi pengamalannya aspek keagamaan jauh lebih besar dari sekedar membahas agama apalagi sibuk meladeni debat-debat agama.
Tidak setiap perdebatan itu tercela. Perdebatan yg tercela adalah debat kusir yang tidak ada juntrungannya dan sudah mengarah pada penghinaan2. Saran saya, spt kata akhi @keretaminiku.com, diam adalah solusi yang terbaik daripada ikut2an berdebat tp tanpa ilmu, instead of only "diam", ambillah faidah dari masing-masing pihak yang berdiskusi, baik itu dari ustadz Abul Jauzaa atau dari Pemula a.k.a Moslemz. Saya melihat diskusi diatas tdk sampai pada debat yang tercela karena masih dilandasi ilmu. Saya sendiri banyak memperoleh manfaat dari komen-komen yg ada di blognya Abul Jauzaa baik komen2 Abul Jauzaa sendiri atau komen2 pengunjung blog yg lain. Dan kurang tepat jg bila dibilang ilmu agama cuma jadi obyek perdebatan karena selama manusia masih punya keinginan mencari kebenaran (bukan pembenaran), maka diskusi2 spt ini masih akan terus ada tanpa mengesampingkan porsi pengamalan masing2 org karena itu sudah masuk ranah pribadi.
Allahu a'lam
--Tommi--
Bismillah, AkhsanaAllahu Ilaikum ya Ustadz.. Terkait perselisihan pendapat dalam masalah penilaian status rijal hadist, ada artikel yang menyusupkan keraguan di hati ana, dan artikel ini disebar luas di masjid2 di jakarta.. berikut link nya:
http://www.ummulqura.sch.id/berita-468-silahkan-dinilai.html
Mohon nasihat Antum ya Ustadz.. Jazakumullahu khoiron
Abu Abdillah..
Penilaian status rijaal hadits tidaklah didasarkan hanya perkataan satu orang saja. Sudah masyhur tentang hal itu. Satu perawi kadang dikatakan seorang ahli hadits sebagai seorang yang dla'iif, dan oleh ahli hadits yang lain dikatakan tsiqah. Dalam blog ini telah dibawakan banyak contohnya. Jadi,... yang seperti itu bukanlah hal yang luar biasa.
Ustadz Syarif Rahmat rahmat ini nampaknya sedang kebingungan dan menulis berdasarkan kebingungannya, sekaligus mengajak orang lain agar bingung bersamanya. Ia mengatakan :
"Selanjutnya ketahuilah bahwa Al Qur’an yang ada dan paling banyak dibaca di dunia Islam hari ini adalah berdasarkan riwayat Al Imam Hafsh yang mengambilnya dari Al Imam Ashim.Tetapi tahukah kita bahwa Imam ini – menurut para peneliti Hadis – merupakan orang orang yang tidak kredibel?" [selesai].
Para ulama itu ada pakarnya di bidang masing-masing. Al-Imaam Hafsh memang dilemahkan dalam periwayatan hadits, namun dikedepankan dalam ilmu qira'aat. Al-Imaam Ibnu Ishaaq sedikit dilemahkan dalam periwayatan hadits, namun imam tak tertandingi dalam hal sirah.
Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan :
فكم من امام في فن مقصر عن غيره كسيبويه مثلا امام في النحو ولا يدري ما الحديث ووكيع امام في الحديث ولا يعرف العربية وكأبي نواس راس في الشعر عري من غيره وعبد الرحمن بن مهدي امام في الحديث لا يدري ما الطب قط وكمحمد بن الحسن راس في الفقه ولا يدري ما القراءات وكحفص امام في القراءة تالف في الحديث وللحروب رجال يعرفون بها
”Berapa banyak ulama yang menjadi imam dalam bidang ilmu tertentu namun tidak pada yang lainnya. Seperti halnya Sibawaih, imam dalam ilmu nahwu, namun ia tidak mengerti apa itu hadits. Waki’, imam di bidang hadits, namun ia tidak mengetahui bahasa Arab. Abu Nawas, seorang yang lihai di bidang sya’ir, namun nihil di bidang lainnya. ’Abdurrahman bin Mahdi, seorang imam dalam ilmu hadits, namun tidak mengetahui ilmu kedokteran. Muhammad bin Al-Hasan, seorang imam dalam ilmu fiqh, namun tidak mengerti ilmu qira’at. Hafsh, seorang imam dalam ilmu qira’at, namun tidak memiliki andil dalam ilmu hadits. Intinya, masing-masing medan keilmuan memiliki tokoh-tokoh yang mengerti akan medan tersebut...” [selesai].
Dan nampaknya Ustadz Syarif Rahmat pun mengkais-kais sumber apapun yang ia dapat, tanpa memperdulikan seperti apa sumber yang ia baca. Masak seorang Ahlus-Sunnah mengambil referensi Musnad Zaid bin 'Aliy :
"(Lihat kata pengantar Musnad Al Imam Zaid bin Ali, halaman 15)" [selesai].
Saya tidak tahu apakah Ustadz Syarif ini tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa ini kitab adalah kitab haditsnya Syi'ah Zaidiyyah ?. mengenai informasi singkat kitab ini, silakan baca : Musnad Zaid bin 'Aliy.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
من تكلم بغير فنه أتى بالعجائب
"Barangsiapa yang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya, maka ia akan mendatangkan banyak keajaiban" [selesai].
Dan,.... banyak keajaiban yang ada dalam tulisan Ustadz Syarif Rahmat tersebut.
Assalamualaikum,
Ana hanya mau sharing tentang KH. Syarif Rahmat, semoga Alloh memberi hidayah padanya. Bahwa, beliau memang sering menyampaikan kajian atau bahkan ceramah yang mencela dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Waljamaah dan sangat mendukung Asyariyah dan Maturidiyah. pernah ana saksikan sendiri kalau beliau membagi ummat islam menjadi 3 kelompok : yaitu : AHLUS SUNNAH menurut beliau adalah Asyariyah dan maturidiyah, kemudian kelompok kedua adalah AHLUL BAIT didalamnya beliau masukan syiah yg sesat bahkan kafir seperti rafidhah didalamnya, dan yang paling menyedihkan adalah kelompok ketiga yaitu AHLUL BIDAH dan dengan sombongya beliau mengatakan kalau mereka ahlul bidah tsb. adalah BAZZIYAH dan ALBANIYAH. yaitu kelompok WAHABI yang mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Albani Rahimahumallah bi rahmatan wasian. dan beliau juga menyebarkan beberapa tulisan artikel di web nya sebagaiman link diatas dan juga makalah tulisan yang intinya membantah semua fatwa Syaikh Albani maupun Syaikh Ibnu Baz. Laa haula wa laa quwwata illa billah. jadi, bagi ikhwah sekalian yang lemah sebaiknya menjauhi beliau ini. karena dengan penampilan dan gaya berpakaian seperti SUNAN KALIJAGA, beliau sangat lihai membawa perkataan para Ulama Ahlus Sunnah yang mu'tabar sekalipun untuk dicocokan dengan hawa nafsunya. dan hal ini sangat menyedihkan kalau kita mendengar secara langsung celaan-celaan beliau kepada Ulama Ahlus Sunnah Salafiah dari Timur Tengah. Kalau menurut ana pemikiran beliau sejalan dengan IDAHRAM yang menulis buku trilogi DUSTA dan SESAT tentang Salafi dan Wahabi. demikian, semoga Alloh menjaga kita dari syubhat dari orang-orang semisal beliau tsb.
Wassalamu'alaikum.
Lantas bagaimana mengkompromikan permasalahan diatas
"hanya ada satu kebenaran (apakah ia benar, ataukah salah)"
dengan permasalahan:
"pada permasalahan khilaf mu'tabar, maka tidak sepantasnya memaksakan pendapat yang kita ikuti"
bukankah salah satu tugas kita ketika melihat orang yang "salah" (misalkan berbeda madzhab dengan yang kita ikuti) adalah membetulkan "kesalahan" tersebut?
sekalian mau tanya juga keshahiihan atsar berikut (ana dapatkan pas lagi browsing2)
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
"Jika kamu melihat seseorang itu beramal dengan amalan yang diperselisihkan ulama' mengenainya, sedangkan kamu mempunyai pendapat yang berbeza, janganlah kamu melarangnya"
(Al-Hilyah 6/368).
Al-Khatib Al-Baghdadi berkata:
"Apa yang diperselisihkan oleh para ulama' mengenainya, maka aku tidak melarang saudaraku untuk mengamalkan (apa yang diperselisihkan tersebut)"
(Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69 karangan Al-Khatib Al-Baghdadi)
mohon pencerahannya ustadz.. jazakallah khairan
Ustad, mohon dijelaskan tentang tafsir surat ini tafsir Surat Al baqoroh ayat 139
Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,(QS.2.Al baqoroh 139).
karena dijelaskn di link dibawah bahwa maksud dari surat ini adalah saling menghormati diantara perbedaan dalam ijtihad umat islam, yang bisa diartikan perbedaan adalah rahmat
http://herbudiarto.multiply.com/journal/item/85/Sikap-Terhadap-Saudara-Sesama-Muslim-Berbeda-Faham-berdasar-Agama
Posting Komentar