Asy-Syaikh Dr. ‘Aliy Jumu’ah[1] – semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan beliau – pernah mengatakan bahwa penolakan secara mutlak hadits dla’iif merupakan bid’ah yang diada-adakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah, yang tidak pernah dilakukan oleh seorang imam dari kalangan imam kaum muslimin[2]. Tidak diragukan bahwa perkataan beliau ini mengandung kekeliruan yang amat fatal. Seandainya beliau mengatakan bahwa jumhur ulama menerima dan mengamalkan hadits dla’iif (dalam masalah fadlaailul-a’maal serta targhiib dan tarhiib) – tanpa mengisyaratkan adanya ijmaa’ - , tentu lebih selamat. Berikut akan dibawakan beberapa bukti ketidakvalidan tuduhan Asy-Syaikh ‘Aliy Jumu’ah tersebut.
Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata :
وإنما ألزموا أنفسهم الكشف عن معايب رواة الحديث ، وناقلي الأخبار ، وأفتوا بذلك حين سئلوا لما فيه من عظيم الخطر ، إذ الأخبار في أمر الدين إنما تأتي بتحليل أو تحريم أو أمر أو نهي أو ترغيب أو ترهيب
“Mereka (para ulama) hanyalah menetapkan pada diri mereka untuk menyingkap aib-aib para perawi hadits dan periwayat khabar, serta berfatwa dengan hal tersebut ketika mereka ditanya, karena besarnya bahaya yang ada padanya. Dikarenakan khabar termasuk perkara agama, maka ia datang dengan penghalalan, pengharaman, perintah, larangan, targhiib, dan tarhiib” [Muqaddimah Shahiih Muslim, hal. 31].
Madzhab Muslim sangat terlihat jelas dalam muqaddimah kitab Shahiih-nya bahwasannya ia mencela para perawi dla’iif sekaligus menolak penggunaan hadits dla’iif secara mutlak. Oleh karena itu, Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وظاهر ما ذكره مسلم في مقدمة كتابه يقتضي أنه لا يروي أحاديث الترغيب والترهيب إلا عمن تروى عنه الأحكام
“Dan yang nampak dari yang disebutkan Muslim dalam muqaddimah kitab-nya menunjukkan bahwa ia tidak meriwayatkan hadits-hadits targhiib dan tarhiib, kecuali dari orang yang diriwayatkan darinya hadits-hadits ahkaam” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 1/373].
Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy rahimahullah atau yang lebih terkenal dengan nama Adz-Dzuhliy[3], berkata :
وَلا يَجُوزُ الاحْتِجَاجُ إِلا بِالْحَدِيثِ الْمُوصَلِ غَيْرِ الْمُنْقَطِعِ، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ رَجُلٌ مَجْهُولٌ وَلا رَجُلٌ مَجْرُوحٌ
“Dan tidak boleh berhujjah kecuali dengan hadits maushul (bersambung) yang bukan munqathi’ (terputus), serta tidak terdapat padanya perawi majhuul dan perawi majruuh” [Al-Kifaayah, hal. 56].
لا يُكْتَبُ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يَرْوِيَهُ ثِقَةٌ عَنْ ثِقَةٍ، حَتَّى يَتَنَاهَى الْخَبَرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، وَلا يَكُونُ فِيهِمْ رَجُلٌ مَجْهُولٌ، وَلا رَجُلٌ مَجْرُوحٌ، فَإِذَا ثَبَتَ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، وَجَبَ قَبُولُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ وَتَرْكُ مُخَالَفَتِهِ.
“Tidak boleh ditulis khabar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga diriwayatkan oleh perawi tsiqah dari perawi tsiqah hingga berakhir pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat ini. Tidak boleh ada dalam sanad khabar itu perawi majhuul dan perawi majruuh. Apabila telah tetap khabar dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat ini, wajib untuk menerima dan mengamalkannya serta meninggalkan yang bertentangan dengannya” [idem].
Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata :
سَمِعْتُ أَبِي، وَأَبَا زُرْعَةَ، يَقُولَانِ: " لَا يُحْتَجُّ بِالْمَرَاسِيلِ وَلَا تَقُومُ الْحُجَّةُ إِلَّا بِالْأَسَانِيدِ الْصِّحَاحِ الْمُتَّصِلَةِ "، وَكَذَا أَقُولُ أَنَا
“Aku mendengar ayahku (Abu Haatim Ar-Raaziy) dan Abu Zur’ah berkata : ‘Tidak boleh berhujjah dengan hadits-hadits mursal, dan tidaklah tegak hujjah kecuali dengan hadits dengan sanad yang shahih lagi muttashil (bersambung)’. Dan demikian juga yang aku (Ibnu Abi Haatim) katakan” [Al-Maraasiil no. 15].
Ibnu Hibbaan rahimahullah setelah menyebutkan beberapa hadits tentang larang berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[4], berkata :
فكل شاك فيما يروي أنه صحيح أو غير صحيح داخل في ظاهر خطاب هذه الخبر
“Dan setiap orang yang ragu atas hadits yang ia riwayatkan apakah shahih atau tidak shahih, masuk dalam dhahir khithaab hadits ini” [Al-Majruuhiin, 1/17].
Dan setelah menyebutkan hadits : ‘cukuplah seseorang berdosa apabila ia menceritakan semua yang ia dengar’, Ibnu Hibbaan rahimahullah berkata :
في هذا الخبر زجر للمرء أن يحدث بكل ما يسمع حتى يعلم على اليقين صحته، ثم يحدث به دون لا يصح
“Dalam hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk menceritakan segala yang ia dengar hingga ia mengetahui secara yakin akan keshahihannya, kemudian ia menceritakannya – tanpa menceritakan yang tidak shahih” [idem].
Saya cukupkan dengan sebagian ulama mutaqaddimiin di atas yang membatalkan tuduhan Asy-Syaikh ‘Aliy Jumu’ah.
Pendapat para imam di atas sangatlah kuat, karena hadits dla’iif hanyalah menghasilkan adh-dhannul-marjuuh (persangkaan yang lemah), sedangkan dhann semacam ini telah dinafikkan oleh Allah ta’ala sebagai jalan untuk mencapai kebenaran :
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran” [QS. Yuunus : 36].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka” [QS. Al-An’aam : 116].
Begitu juga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mengikuti dhann seperti ini sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jauhilah persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dusta perkataan….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6064].
Selain itu, para ulama hadits sendiri telah mengklasifikasikan hadits dla’iif dalam hadits marduud. Sungguh aneh jika telah masuk klasifikasi hadits marduud masih dapat untuk diamalkan.
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah terkait hukum pengamalan hadits dla’iif :
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, yk – 04052012].
[1] Beliau sangat dikenal permusuhannya terhadap dakwah ‘Wahabiy’.
[2] Berikut rekaman perkataan beliau :
[3] Muhammad bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Khaalid bin Faaris bin Dzuaib Adz-Dzuhliy, Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy (محمد بن يحيى بن عبد الله بن خالد بن فارس بن ذؤيب الذهلي ، أبو عبد الله النيسابوري الإمام الحافظ); seorang yang tsiqah, haafidh, lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 172 H, dan wafat tahun 258 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 907 no. 6427].
[4] Yaitu hadits :
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ اْلكَذِبَيْنِ
“Barangsiapa yang menceritakan dariku suatu hadits, padahal ia tahu hadits itu dusta; maka ia termasuk salah seorang di antara dua pendusta”.
Comments
ane heran aja ustadz? saya lihat gelar doktor di depannya, tapi kenapa bisa ngomong kaya gini? orang awam dalam ilmu hadits aja taulah tentang pengamalan hadits dhoif ini, lah beliau? di sandarkan kepada syaikh Al Albani lagi? ada apa ya?
semoga Alloh Ta'ala menetapkan kita semua di atas hidayah...kecuali orang awam banget ustadz... ane pernah menasehati tentang hadits dhoif ini... kah dia bilangnya... doip doip juga huadis lho, emang ente aja apa yang puaham husadis... ya... wajar sih... orang awam banget, nah ini... subhaanalloh...
banyak yang mencerca , banyak yang mencinta.
ada yang menngambil ilmunya , tidak sedikit pula yang pilu hatinya.
semakin tinggi pohon , semakin keras hempasannya.
Syaikh al albani rahimahullah telah tiada , namun insya Allah akan ada penerus beliau , pembela beliau ...
Biasanya syaikh2 yg ga suka dengan penolakan pengalaman hadits2 dha'if secara mutlak adalah mereka yg fanatik mazhab. Mau dikasih hadits se-shahih apapun kalo memang bertentangan dengan mazhabnya ya ga bakal mau terima. Apalagi dengan statusnya sebagai Grand Mufti Mesir.
--Tommi--
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
قد ثبت عن الإمام أحمد وغيره من الأئمة أنهم قالوا إذا روينا في الحلال والحرام شددنا وإذا روينا في الفضائل ونحوها تساهلنا
"Telah tsabit dari Imam Ahmad bin Hanbal dan juga dari selain beliau, bahwa mereka berkata: Apabila kami meriwayatkan tentang masalah Halal dan Haram kami memperketat, dan apabila kami meriwayatkan tentang masalah fadhoil (keutamaan) dan sejenisnya kami mempermudah." (Al-Qaulul Musaddad halaman 11)
Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu' (3/226)
وقد قدمنا اتفاق العلماء على العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال دون الحلال والحرام
"Telah kami paparkan kesepakatan para ulama mengenai(bolehnya) beramal dengan hadits dha'if dalam Fadha'il A'mal (keutamaan amalan), bukan halal dan haram."
Dalam Mawahib Al-Jalil (1/17) disebutkan:
فقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال
“Para ulama telah bersepakat mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha’if dalam hal Fadha’il A’mal.”
Mulla Ali Al-Qari berkata dalam Al-Hazh Al-Aufar sebagaimana dalam Al-Ajwibah Al-Fadhilah karangan Al-Laknawi hal. 36:
الحديث الضعيف معتبر في فضائل الأعمال عند جميع العلماء من أرباب الكمال
“Hadits dha’if itu dijadikan I’tibar dalam Fadha’il A’mal menurut seluruh ulama…”
Ia juga berkata:
الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال اتفاقا
"(Hadits) dhaif diamalkan dalam hal fadhoil (keutamaan) amal secara ittifaq (kesepakatan ulama)."
Ibnu Hajar Al Haitami berkata:
قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف فى فضائل الأعمال؛ لأنه إن كان صحيحا فى نفس الأمر، فقد أعطى حقه من العمل به، وإلا لم يترتب على العمل به مفسدةُ تحليل ولا تحريم ولا ضياع حق للغير
“Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal keutamaan amal, karena seaindainya hadits itu ternyata shahih, maka ia telah memberikan haknya yaitu berupa amal, dan jika tidak, maka beramal dengannya tidak berdampak penghalalan atau pengharaman atau hilangnya hak orang lain.”
Ia juga berkata:
وقد تقرر أن الحديث الضعيف والمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا
“Telah tetap bahwa hadits dhaif, mursal, munqathi’, mu’dhol dan mauquf diamalkan dalam hal keutamaan amal secara ijma’.”
Ia juga berkata:
فإن قلت هذا الحديث المذكور سنده ضعيف فكيف يحتج به ؟ قلت : الذي أطبق عليه أئمتنا الفقهاء والأصوليون والحفاظ أن الحديث الضعيف حجة في المناقب كما أنه بإجماع من يعتد به حجة في فضائل الأعمال، وإذا ثبت أنه حجة في ذلك لم تبق شبهة لمعاند ومطعن لحاسد بل وجب على كل من فيه أهلية أن يقر هذا الحق في نصابه
“Jika anda bertanya: hadits tersebut sanadnya dhoif, bagaimana dijadikan hujjah? Maka saya jawab: Yang menjadi ketetapan para imam kita baik dari kalangan Fuqoha, Ushuliyin dan Huffazh yaitu hadits dhoif hujjah dalam hal manaqib (biografi) sebagaimana ia juga hujjah dalam hal keutamaan amal menurut ijma para ulama. Jika telah tetap bahwa ia hujjah dalam hal itu, tidak tersisa lagi syubhat bagi orang yang menentang atau hujatan bagi orang yang hasad. Bahkan wajib bagi setiap orang yang memiliki keahlian agar meletakkan kebenaran ini pada tempatnya.”
Hadits-Hadits Dha’if yang Terdapat dalam Kitab At-Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/hadits-hadits-dlaif-yang-terdapat-dalam.html
Sebagaimana sudah nyata dalam fakta artikel di atas, klaim ijma' itu sama sekali tidak benar. Al-Haitamiy sepertinya hanya mengikuti perkataan An-Nawawiy dalam klaim ijma' ini. Begitu pula Mulla 'Aliy Al-Qaariy.
Ibnu Muflih Al-Hanbaliyah berkata dalam "Al-Adab Asy-Syar'iyyah":
والذي قطع به غير واحد ممن صنف في علوم الحديث حكاية عن العلماء أنه يعمل بالحديث الضعيف في ما ليس فيه تحليل ولا تحريم كالفضائل، وعن الإمام أحمد ما يوافق هذا. ا.هـ
"Sesuatu yang telah dipastikan oleh lebih dari satu penulis dalam Ilmu Hadits adalah hikayat dari para ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits dha'if dalam masalah yang bukan wilayah halal dan haram, misalnya fadhoil (keutamaan). Riwayat dari Imam Ahmad juga sesuai dengan itu."
Syihabuddin Ar-Ramli berkata dalam Fatawinya:
قال الحاكم: سمعت أبا زكريا العنبري يقول الخبر إذا ورد لم يحرم حلالاً ولم يحلل حراماً ولم يوجب حكماً، وكان فيه ترغيب أو ترهيب، أغمض عنه وتسهل في روايته ...إلخ اهـ
"Al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Zakaria Al-Anbari berkata: sebuah kabar apabila telah datang tanpa mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan tidak mewajibkan suatu hukum, sedangkan di dalamnya terdapat anjuran dan ancaman, maka dibiarkan dan dimudahkan saja periwayatannya...dst."
Ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawanya:
ما عليه العلماء من العمل بالحديث الضعيف ليس معناه إثبات الاستحباب بالحديث الذي لا يحتج به، فإن الاستحباب حكم شرعي فلا يثبت إلا بدليل شرعي، ومن أخبر عن الله أنه يحب عملاً من الأعمال من غير دليل شرعي فقد شرع من الدين ما لم يأذن به الله، كما لو أثبت الإيجاب والتحريم...... وإنما مرادهم بذلك: أن يكون العمل مما قد ثبت أنه مما يحبه الله أو مما يكرهه بنص أو إجماع، كتلاوة القرآن والتسبيح والدعاء والصدقة والعتق والإحسان إلى الناس وكراهة الكذب والخيانة ونحو ذلك.
فإذا روي حديث في فضل بعض الأعمال المستحبة وثوابها وكراهة بعض الأعمال وعقابها فمقادير الثواب والعقاب وأنواعه إذا روي فيها حديث لا نعلم أنه موضوع جازت روايته والعمل به، بمعنى أن النفس ترجو ذلك الثواب أو تخاف ذلك العقاب، ...
"Apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits dhoif maksudnya bukan penetapan anjuran dengan hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, karena anjuran juga termasuk hukum syar'i maka tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dalil syar'i. Maka barangsiapa mengabarkan dari Allah bahwa Dia menyukai amalan tertentu tanpa dalil syar'i maka ia telah membuat syariat dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah sebagaimana seandainya ia menetapkan kewajiban atau keharaman."
"Maksud mereka sebenarnya adalah: beramal dengan apa-apa yang telah tetap bahwa amalan itu disukai atau dibenci oleh Allah, baik melalui nash maupun ijma' seperti tilawatul Quran, Tasbih, Doa, sedekah, membebaskan budak, berbuat baik kepada orang, tercelanya berdusta, khianat dan sebagainya."
"Maka apabila diriwayatkan tentang keutamaan sebagian amalan yang disunnahkan beserta pahalanya atau tercelanya sebagian amalan beserta hukumannya, maka ukuran pahala dan hukuman beserta macamnya itu apabila diriwayatkan melalui hadits yang tidak maudhu', maka BOLEH meriwayatkannya dan mengamalkannya. Dengan artian, bahwa hati ini berharap pahala tersebut atau takut dari hukuman tersebut."
Gimana ? masih mau nambah ?. Apa gak sekalian saja ? Atau mau saya bantu tambahkan ?. Saya bisa bawakan penjelasan pendapat Abu Haniifah, Maalik, Asy-Syaafi'iy, yang mendukung pendapat yang antum tuliskan.
But anyway, di atas pun telah saya tuliskan bahwa bolehnya beramal dengan hadits dla'if pada fadlaailul-a'maal serta targhib dan tarhiib adalah pendapat jumhur ulama.
Justru yang lebih bermanfaat lagi jika antum mau munaqasyah perajihan antara dua pendapat tadi.
Tidak, terima kasih. Saya tidak mau munaqasyah. Saya hanya mau menyumbang tulisan yang sedikit ini saja di blog antum. Silahkan kalau mau ditambahi.
Al-Khallal berkata:
مَذْهَبُهُ - يَعْنِي: الإِمَامَ أَحْمَدَ - أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مُعَارِضٌ قَالَ بِهِ
"Mazhab beliau (yaitu Imam Ahmad) adalah bahwa hadits dhaif apabila tidak ditemukan penentangnya, maka beliau akan mengambilnya."
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga berkata:
اشتهر أن أهل العلم يتسامحون في إيراد الأحاديث في الفضائل وإن كان فيها ضعف، ما لم تكن موضوعة
"Telah populer bahwa Ahli Ilmu (ulama) saling mentolerir penyebutan hadits-hadits tentang fadhoil meskipun di dalamnya ada kelemahan selama tidak sampai maudhu'." (Tabyiinul 'Ajab bima Warada fi Fadhli Rajab)
harap dibahas yang rajihnya ustadz :)
abu 'aisyah
Assalamu'alaykum
Aneh dan ajaib sekali, kalau pendapat bolehnya menggunakan hadits dhaif di gunakan sebagai dasar untuk melakukan amalan muhdats di dalam agama
karena jelas bertentangan dengan khabar yang shahih lagi sharih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam
kullu bid'atin dhalallah, wa kullu dhalallatin fii naar
Wallohul Musta'an
lagipula Syaikh Albani -rahimahullah- memegang salah satu pendapat (kalo tidak salah ada 3 pendapat) tentang boleh tidaknya pengamalan hadits dhaif
jadi beliau tidak berbuat bid'ah, karena beliau mengikuti pendapat ulama terdahulu
justeru menjadi aneh kalo ada yang membid'ahkan pendapat Syaikh Albani -rahimahullah-
karena saya yakin, Syaikh Albani pasti mengetahui pendapat yang lain.
Hanya saja beliau memegang pendapat yang melarang, karena sesungguhnya hadits-hadits shahih sudah cukup bagi kita, sudah cukup menyibukan kita di dalam pengamalannya.
Wallohul Musta'an
Saya sangat berharap Ust. Abul Jauzaa menindaklanjuti tawarannya, "mau saya bantu tambahkan ? Saya bisa bawakan penjelasan pendapat Abu Haniifah, Maalik, Asy-Syaafi'iy, yang mendukung pendapat yang antum tuliskan."
Kami tunggu dalam artikel berikutnya.
Ustadz Abul Jauzaa
daripada ustadz nanggepi permintaan al akh MOSLEM yang hanya untuk memuaskan hawa nafsunya, lebih baik tanggapi aja permintaan al akh Abu 'Aisyah yang berkeinginan untuk belajar
By the way.. para duaat di barat sudah meninggalakan westernisasi istilah2 islam, khususnya MOSLEM.. mereka bilang itu adalah "slip of tongue" dari kata mudhlim (orang dhalim).. tinggalkan moslem dll akh.. cukupkan dirimu dgn yg telah diturunkan.. Muslim dll.. ok.. sudah saatnya kita tinggalkan "inferiority complexes".. barakallahu fiik
Ana pernah baca artikel dr ust abdul hakim amir abdat, disitu dia memaparkan tujuh ato delapan syarat yg di berikan para ulama dalam mengamalkan hadis sahih.. mungkin bisa dibahas lebih dalam dalam area tsb ustadz.. jazakallahu khairan
Abu hasan
disitu dia memaparkan tujuh ato delapan syarat yg di berikan para ulama dalam mengamalkan hadis sahih
Maksutnye hadis dhaif.. barakallahu fikk
Abu hasan
وقال ابن عبد البر المالكي في التمهيد : أما حديث علي فإنه يدور على دينار أبي عمرو عن ابن الحنفية وليس دينار ممن يحتج به وحديث عمرو بن شعيب ليس دون عمرو من يحتج به فيه ثم قال: وأحاديث الفضائل لا يحتاج فيها إلى من يحتج به . "التمهيد" 6/39
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid: "... Hadits-hadits fadhoil itu tidak butuh orang-orang yang bisa dijadikan hujjah (dhoif)." (At-Tamhid 6/39).
قال ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني " فِي صَلاةِ التَّسْبِيحِ: "الْفَضَائِلُ لا يُشْتَرَطُ لَهَا صِحَّةُ الْخَبَرِ" (المغني 2/ 98)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi juga pernah berkata tentang shalat tasbih: "Masalah fadhoil itu tidak disyaratkan beritanya harus shahih." (Al-Mughni 2/98).
قال ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني : "النوافل والفضائل لا يشترط صحة الحديث لها". المغني 1/437-438
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: "(Ibadah-ibadah yang bersifat) nafilah dan fadhoil (keutamaan) tidak disyaratkan haditsnya harus shahih." (Al-Mughni: 437-438)
@MUSLIM (ganti MOSLEM)
bisa kah dikasih contoh hadits-hadits dho'if yang bisa langsung diamalkan?
supaya lebih jelas bagi kami
@akh muslim
Mohon dijelaskan lebih lanjut pendapat ibn abdil barr dan ibnu qudamah al maqdisi.. kok kayanya kalimat tersebut kurang kata "tetapi...."(ana kira siapapun yg baca pasti setuju) .. karena kalo berenti sampe situ, yakni tidak mensyaratkan harus sahih berarti bisa dhoif, sangat dhoif, maudhu', bahkan siapapun bisa mengambil hadis dari hatinya (seperti beberapa orang pentolan sufi pd era kita ini) dan diamalkan serta menyuruh orang lain mengamalkan dengan dalih fadhoil amal dll..
Assalamu'alaykum ..
Hadits model gini paling
لما اقترف آدم الخطيئة قال: يا رب أسألك بحق محمد لما غفرت لي، فقال الله: يا آدم وكيف عرفت محمداً ولم أخلقه؟! قال: يا رب لأنك لما خلقتني بيدك، ونفخت في من روحك، رفعت رأسي، فرأيت على قوائم العرش مكتوباً لا إله إلا الله محمد رسول الله، فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك...... الحديث.
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=21990
ya ..hadits tentang tawassul, :)
jangankan yang dhaif ..yang palsu saja terkadang di amalkan oleh sebagian orang .. ;)
dan apes-nya, tidak ada salaf dari generasi terbaik ummat yang mengamalkan hadits macem itu
kalo sanad hadits tersebut di koreksi dengan ilmiyyah
sebagian mereka berkata :
[Quote Anonim 4 Mei 2012 13:23]
"doip doip juga huadis lho, emang ente aja apa yang puaham husadis"
"hadits diatas di-shahih-kan oleh Imam Hakim low ..emang pinter mana nte ama Imam Hakim"
dan koment semacemnya
Wallohul Musta'an
dan yang lebih aneh lagi
(mungkin keanehan yang paling aneh di jaman yang aneh ini)
Khabar yang jelas-jelas SHAHIH seperti hadits lalat,
di tolak mentah-mentah
ataw
Hadits tentang kebolehan memakai sandal di masjid,
juga di tentang habis-habisan
http://salafytobat.wordpress.com/2012/04/22/kesesatan-mahrus-ali-wahabi-mantan-kyai-nu-palsu-1-shalat-pakai-sandal-dan-sepatu-shalat-jumat-dirumah/
tidak mau menoleh penjelasan yang terdapat di dalam riwayat lain yang berhubungan dengan sandal
Wallohul Musta'an
kenapa komen2nya jadi ga nyambung dengan tema ya...?
Sebenarnya komentar pak Muslim atau pak Moslem, jelas2 kurang tepat sasaran. sehingga sangat wajar jika Ustadz Abul Jauzaa tidak perlu menanggapi. Artikel diatas berbicara mengenai kesalahan tuduhan Dr Ali Jum'ah kepada Syaikh al Albany bahwa beliau adalah mubtadi' dalam hal pelarangan pengamalan hadits2 dhoif baik dalam masalah ahkam maupun targhib wa tarhib. Aly jum'ah menyandarkan perkataannya kepada ijma ( kesepakatan ) kebolehan pengamalan hadits2 dhoif oleh para ulama'. padahal ijma' itu tidak ada....buktinya ya yang ditulis Ustadz Abul Jauzaa ini. Ijma' akan terjadi jika tidak ada penentangan dari seorang ulama'pun. Tetapi dalam hal ini seorang imam besar dalam hadits yakni Imam Muslim mengingkari pemakaian hadits2 dhoif dalam ahkam, fadloil dll. walaupun pak Muslim membawakan seratus ucapan ulama lagi, hal itu tidak akan berarti.Karena dengan adanya pengingkaran dari sebagian ulama maka batallah ijma'. Wallahu A'lam.
akhukum,
Abu Nida
Abu Nida, mana bukti bahwa Imam Muslim mengingkari pemakaian hadits2 dhoif dalam fadloil?
Ijma' yang dinukil oleh Imam Nawawi jelas lebih dapat dipercaya daripada analisa Abul Jauzaa' yang menolaknya karena pernyataan-pernyataan yang dinukil oleh Abul Jauzaa' itu masih tidak shorih menyatakan penolakan terhadap hadits dhoif untuk masalah fadhoil, sedangkan ijma' sudah sangat shorih dan disetujui oleh para ulama.
Abul Jauzaa' menukil pernyataan sebagian imam dalam Syarah Ilal Tirmidzi, namun mengabaikan pernyataan2 sebelumnya:
وأما ما ذكره الترمذي أن الحديث إذا انفرد به من هو متهم بالكذب ، أو [ من ] هو ضعيف في الحديث لغفلته وكثرة خطئه ولم يعرف ذلك الحديث إلا من حديثه فإنه لا يحتج به : فمراده أنه لا يحتج به في الأحكام الشرعية ، والأمور العلمية ، وإن كان قد يروي حديث بعض هؤلاء في الرقائق والترغيب والترهيب ، فقد رخص كثير من الأئمة في رواية الأحاديث الرقاق ونحوها عن الضعفاء . منهم ابن مهدي وأحمد بن حنبل
"...banyak imam yang mentolerir periwayatan hadits-hadits tentang muhasabah dan semacamnya dari para perawi dhaif, di antaranya adalah Imam Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hanbal."
وقال رواد بن الجراح سمعت سفيان الثوري يقول : (( لا تأخذوا هذا العلم في الحلال والحرام إلا من الرؤساء المشهورين بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان ، ولا بأس بما سوى ذلك من المشايخ .
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, "Jangan kalian ambil ilmu (agama) ini dalam masalah halal dan haram kecuali dari para tokoh yang populer ilmunya... Tidak apa-apa untuk selain masalah itu (halal dan haram) dari orang-orang biasa."
Dan masih banyak lagi...
قال ابن أبي حاتم ثنا أبي عبدة قال : قيل لابن المبارك - وروى عن رجل حديثاً - فقيل : هذا رجل ضعيف ! فقال : يحتمل أن يروي عنه هذا القدر أو مثل هذه الأشياء .
قلت لعبدة : مثل أي شئ كان ؟ قال : في أدب في موعظة في زهد .
وقال ابن معين في موسى بن عيينة يكتب من حديثه الرقاق )) .
وقال ابن عيينة : (( لا تسمعوا من بقية ما كان في سنة ، واسمعوا منه ما كان في ثواب وغيره )) .
وقال أحمد في ابن إسحاق : (( يكتب عنه المغازي وشبهها )) .
وقال ابن معين في زيادٍ البكائي : (( لا بأس في المغازي ، وأما في غيرها فلا ))
وإنما يروي في الترغيب والترهيب والزهد والآداب أحاديث أهل الغفلة الذين لا يتهمون بالكذب ، فأما أهل التهمة فيطرح حديثهم ، كذا قال ابن أبي حاتم وغيره .
Kemudian baru Ibnu Rajab mengatakan:
وظاهر ما ذكره مسلم في مقدمة كتابه يقتضي أنه لا يروي أحاديث الترغيب والترهيب إلا عمن تروى عنه الأحكام
“Dan yang nampak dari yang disebutkan Muslim dalam muqaddimah kitab-nya menunjukkan bahwa ia tidak meriwayatkan hadits-hadits targhiib dan tarhiib, kecuali dari orang yang diriwayatkan darinya hadits-hadits ahkaam” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 1/373].
Sedangkan pernyataan Imam Muslim dalam Mukaddimah Shahih-nya:
إذ الأخبار في أمر الدين إنما تأتي بتحليل أو تحريم أو أمر أو نهي أو ترغيب أو ترهيب
"Mengingat berita dalam masalah agama mengandung penghalalan, pengharaman, perintah, larangan, targhiib, dan tarhiib” [Muqaddimah Shahiih Muslim, hal. 31].
Pernyataan di atas tidak shorih menunjukkan penolakan hadits dhoif dalam masalah Fadhoil.
Pernyataan Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy Adz-Dzuhliy:
وَلا يَجُوزُ الاحْتِجَاجُ إِلا بِالْحَدِيثِ الْمُوصَلِ غَيْرِ الْمُنْقَطِعِ، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ رَجُلٌ مَجْهُولٌ وَلا رَجُلٌ مَجْرُوحٌ
“Dan tidak boleh berhujjah kecuali dengan hadits maushul (bersambung) yang bukan munqathi’ (terputus), serta tidak terdapat padanya perawi majhuul dan perawi majruuh” [Al-Kifaayah, hal. 56].
juga sama, tidak ada bukti sama sekali yang menunjukkan penolakan hadits dhoif masalah Fadhoil.
Jadi, kesimpulan Abul Jauzaa' mengenai adanya beberapa imam yang menolak semua hadits dhoif dalam Fadhoil masih bersifat zhonn (dugaan) berdasarkan analisa terhadap pernyataan para imam yang masih tidak shorih. Sedangkan nukilan ijma' itu sudah shorih sekali dan disetujui oleh para imam.
Maka, pilihan ada di tangan kita. Mengikuti nukilan ijma' Imam Nawawi dan para imam lainnya yang shorih, atau mengikuti kesimpulan Abul Jauzaa' yang masih mengandung banyak kemungkinan.
Cara berpikir mas Muslim (Moslem) ini adalah cara berpikir yang lucu. Perkataan yang mutlak itu tetap dalam kemutlakannya hingga datang dalil yang mentaqidnya.
Semua orang paham kok - insya Allah - jika membaca muqaddimah Shahiih Muslim bagamana manhaj beliau dalam periwayatan yang hanya mengambil riwayat shahih saja. Bagaimana pula celaan beliau terhadap para perawi dla'iif. Dan ingat, dalam Shahih Muslim itu memuat banyak perkara, termasuk perkara fadlaail serta targhiib dan tarhiib.
Jika Al-Imaam Muslim telah menegaskan bahwa ia tidak menggunakan hadits dla'iif sama sekali, kok bisa-bisanya ya ada orang yang mengatakan : "Mana buktinya Imam Muslim tidak menggunakan hadits dla'iif dalam fadlaail ?". Anehnya lagi, orang lain suruh membuktikan. Justru yang harus dilakukan oleh yang bersangkutan adalah membuktikan bahwa Imam Muslim menggunakan hadits dla'iif dalam fadlaail a'mal.
Yang aneh lagi adalah cara berpikir bahwa perkataan Al-Imaam Muslim yang tidak menggunakan hadits dla'iif dalam periwayatan itu ditaqyiid oleh klaim ijmaa' yang ditegaskan oleh orang lain (An-Nawawiy, Al-Haitamiy, dan yang lainnya). Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Landasan ushul apa yang dipakai ya....
Sama halnya dengan Adz-Dzuhliy, Abu Haatim, Abu Zur'ah, Ibnu Abi Haatim, Ibnu Hibbaan dan yang lainnya. Mereka ini semua sama manhajnya dengan Muslim bin Hajjaaj rahimahumullah.
Jika mas Muslim alias Moslem menganggap bahwa penyelisihan klaim ijmaa' dari para imam di atas masih bersifat dhanniy, justru perkataan mas Muslim inilah yang lebih pantas disebut dhanniy, karena gak menampilkan bukti apapun selain dari dhann nya sendiri. Adapun para imam yang saya sebut dalam artikel yang menolak penggunaan hadits dla'iif secara mutlak, maka bukti perkataan mereka yang sharih telah ditampilkan.
wallaahul-musta'aan.
Assalamu'alaykum
@ Muslim a.k.a Moslem
Sekaliyan contoh hadits dhoiph-nya mas..
hadits dhoip macem apa yang kira_kira bisa di amalkan pake "ijma" ulama yang membolehkan
syukron katsieer wa hadakallahu
*penasaran_mode ON
Mas Muslim, jika saya ditanya darimana kesimpulan bahwa Imam Muslim menolak hadits dhoif untuk fadhoil, maka jawaban saya adalah dari perkataan Imam Muslim yang menolak hadits dhoif dalam masalah targhib. sepanjang pengetahuan saya, hadits2 fadhoil memiliki esensi dan tujuan yang sama dengan hadits2 targhib yakni sebagai penyemangat manusia untuk beribadah. Sehingga akan kita dapati hadits2 tentang fadhoil amal akan memiliki kesamaan bahkan memang sama dengan hadits2 targhib. itu kesimpulan saya. mungkin kesimpulan saya tidak benar dan kesimpulan antum yang benar yaitu Imam Muslim melarang memakai hadits dhoif untuk masalah targhib dan membolehkannya untuk masalah fadhoil.
kalau demikian adanya, maka antum harus membuktikan hal itu, bukan saya. Jika didalam kitab shohih Muslim terdapat hadits ttg fadhoil dan ternyata hadits itu dhoif, maka benarlah klaim antum dan saya akan rujuk.
wallahu a'lam
Abu Nida
@orang awam:
Hadits dhoif yang boleh diamalkan untuk fadhoil amal banyak sekali contohnya.
Pertama:
من حفظ على أمتي أربعين حديثاً كُتب فقيهاً
"Barangsiapa menghafal atas umatku 40 hadits, ia termasuk orang fakih."
Maka, diperbolehkan menghafal 40 hadits nabawi berdasarkan hadits dhoif di atas.
Kedua:
"Barangsiapa membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridoan Allah, ia akan diampuni (dosanya)."
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam "Shahih"nya, Ibnus Sunni dalam "Amalul Yaumi wal Lailah", Al Baihaqi dalam "Syuabul Iman" dan lain-lain.
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya tentang hadits ini, "Sanadnya bagus."
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya "Nataijul Afkar fi Takhriji Ahaditsil Adzkar" berkata tentang hadits tersebut, "Ini adalah hadits hasan."
Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, tapi mereka membolehkan mengamalkannya, yaitu membaca Yasin pada malam hari dengan mengharap ridho Allah.
Ketiga:
"Bacakanlah surat Yasin atas orang yang hampir mati di antara kamu." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Meskipun sebagian ulama mendhoifkannya, tapi diperbolehkan mengamalkan hadits tersebut.
Imam Syaukani berkata dalam "Al-Fathur Rabbani" tentang hadits tersebut:
والتنصيص على هذه السورة إنما هو لمزيد فضلها وشرفها
"Disebutkannya nama surat tersebut hanya dikarenakan oleh adanya keutamaan dan kemuliaan yang lebih padanya."
Dalam At-Taysiir, Al-Munawi berkata:
وفي رواية ذكرها ابن القيم عند ( موتاكم ) أي من حضره الموت من المسلمين لأنّ الميت لا يقرأ عليه
"..dalam riwayat yang disebutkan Ibnul Qayyim: yang dimaksud "mautakum" adalah muslim yang akan meninggal dunia, karena mayyit tidak perlu lagi dibacakan."
Kemudian beliau mengatakan:
أو المراد اقرؤها عليه بعد موته والأولى الجمع
"Atau bisa juga maksudnya adalah bacakanlah setelah kematiannya. Yang paling utama adalah digabungkan."
Berarti dibaca sebelum dan setelah meninggal. Wallahu a'lam.
قال ابن القيم وخص يس لما فيها من التوحيد والمعاد والبشرى بالجنة لأهل التوحيد وغبطة من مات عليه لقوله يا ليت قومي يعلمون
Ibnul Qayyim mengatakan, "Dikhususkannya Yasin karena di dalamnya terkandung ajaran tauhid, tempat kembali, berita gembira tentang surga untuk ahli tauhid dan kegembiraan orang yang meninggal di atas tauhid karena firman-Nya, "Seandainya kaumku mengetahui..." (At-Taysiir 1/390)
Dan masih banyak lagi contohnya...
Wallahu a'lam bish showab.
Penjelasan mas Muslim di atas adalah rancu, abdsurd, dan tidak jelas.
PERTAMA, tentang hadits keutamaan menghapal 40 hadits, maka sanad riwayat itu adalah tidak sah dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ad-Daaruquthniy mengatakan bahwa tidak ada satu pun hadits tentang arba'uun tadi yang shahih. Bahkan An-Nawawiy menghikayatkan ijma' akan kedla'ifannya :
وَاتَّفَقَ الْحُفَّاظُ عَلَى أَنَّهُ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ، وَإِنْ كَثُرَتْ طُرُقُهُ
"Para huffaadh bersepakat bahwa hadits tersebut berkualitas lemah meskipun banyak jalannya".
Oleh karena itu, menyandarkan perkataan itu kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam merupakan satu kekeliruan. Adapun menghapal 40 hadits, 50 hadits, 100 hadits, atau satu kitab hadits (misal Shahiih Muslim) merupakan satu keutamaan. Semakin banyak yang dihapal semakin baik, tanpa memberi batasan 40 hadits. Makanya itu, Ibnu Rajab Al-Hanbaliy menambahkan al-arba'uun nya An-Nawawiy menjadi 50 hadits dalam Jami'ul-'Ulum wal-Hikam.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
"Semoga Allah memberikan kebahagiaan kepada seseorang yang mendengar dari kami satu hadits, lalu dia menghafalnya, hingga dia menyampaikan kepada yang lainnya. Boleh jadi orang yang membawa fiqih menyampaikan kepada yang lebih faqih darinya, dan boleh jadi orang yang membawa fiqih tersebut tidak faqih".
Kalau ini jelas hadits shahih.
Hadits ini menjadi pokok dalam hal keutamaan menghapal hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Adapun hadits yang Anda sebut, maka saya belum tahu ada hadits dengan lafadh persis seperti itu (koreksi bila saya salah). But anyway, menyebutkan lafadh hadits pun harus dirinci dan diteliti mas. Misal, jika Anda menyebut hadits itu dari Abu Hurairah dengan lafadh :
مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهَا، يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقِيهًا عَالِمًا
"Barangsiapa dari kalangan umatku yang menghapal 40 hadits dalam perkara agamanya, maka ia akan dibangkitkan kelak di hari kiamat sebagai orang yang faqih lagi 'alim".
Hadits dengan lafadh ini dari Abu Hurairah, sangat lemah, terutama karena faktor Ziyaad bin Abi Ziyaad Al-Bashriy, perawi yang sangat lemah dan disepakati akan kelemahannya [Miizaanul-I'tidaal, 2/89].
Jika Anda membawakan - misalnya - hadits dengan lafadh di atas, maka itu pun akan ditolak, bahkan oleh ulama yang membolehkan untuk beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadlaail dan targhib wa tarhib. Bukankah Anda tahu persyaratannya ?.
Intinya,... kita harus hati-hati. Apalagi bagi orang yang punya ilmu untuk menelaah dan mengakses kitab-kitab ulama, bukan sekedar taqlid semata.
Bagaimana dengan para ulama - semisal An-Nawawiy - yang mengamalkan sehingga menghimpun 40 hadts dalam kitab Al-Arba'iin ?. Beberapa ulama menjelaskan bahwa dengan banyaknya jalur periwayatan tadi bisa saling menguatkan sehingga kelemahan hadits itu adalah kelemahan yang ringan dan bisa masuk dalam baab Fadlaailul-A'maal.
Sebagai info saja,... beberapa muhaqqiq mengatakan bahwa hadits itu dengan keseluruhan jalannya adalah sangat lemah dan tidak bisa menguatkan satu dengan yang lainnya. Karena dalam beberapa jalur riwayat ini ada perawi pemalsu hadits, pendusta, matruk, waahin, lemah, majhul, dan yang lainnya.
Ada hal lain yang ingin saya utarakan kepada mas Muslim dalam perkara hadits arba'iin ini...
Para ulama yang membolehkan pengamalan hadits dla'if dalam perkara fadlaailul-a'mal memberikan beberapa syarat, di antaranya hadits itu kelemahannya ringan dan tidak terkait perkara 'aqidah serta halal-dan haram.
Nah,... saya mau tanya ni sama mas Muslim yang seperti mendukung pengamalan hadits dla'iif,... bagaimana kita memisahkan perkara 'aqidah dan fadlaail dalam perkara keutamaan mengahapal hadits arba'iin - misalnya - ?. Soalnya banyak lafadh haditsnya kan menjanjikan tentang keadaan orang itu di hari kiamat, di hari kebangkitan, dan seterusnya. Contoh aja lafadh hadits yang saya bawakan di atas. Bukankah di aitu ada perkataan :
"akan bangkit kelak di hari kiamat sebagai orang yang faqih lagi 'alim".
Kalimat ini menyangkut 'aqidah tidak mas ?. Kalau tidak, bagaimana membedakannya ?. Barangkali mas Muslim dapat memberikan faedah kepada saya....
KEDUA,.... tentang hadits keutamaan membaca surat Yaasiin di malam hari. Bukankah Anda menyebutkan Ibnu Hajar dan Ibnu Katsiir yang menshahihkan/menghasankan hadits itu ?. Kok kemudian Anda berkata :
"Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, tapi mereka membolehkan mengamalkannya, yaitu membaca Yasin pada malam hari dengan mengharap ridho Allah" [selesai]
???
Mereka (yang saya bold) ini siapa ?. Kalimat Anda ini menurut saya ambigu.
Adalah hal yang sangat aneh bahwa Anda selalu membawa semangat klaim ijma' bolehnya mengamalkan hadits dla'iif dalam fadlaail a'maal. Padahal Anda pun 'sadar' meski Anda berusaha mengingkarinya. Di atas Anda memberikan penakwilan yang luar biasa, namun sayangnya gak akurat. Beluam cukup akurat untuk menafikkan realitas keberadaan ulama yang tidak mengamalkan hadits dla'iif secara mutlak dalam perkara agama. You just say : 'Pokoknya' itu sudah ijma'. Titik. That's the end of your research in this matter.
Sebagai info saja,.... hadits yang Anda sebutkan tadi tidak shahih. Sanadnya mudltharib. Porosnya ada pada Al-Hasan Al-Bashriy, dimana ia kadang meriwayatkan dari Abu Hurairah, kadang dari Jundab, kadang dari 'Athaa' secara mursal. Kalau Anda hanya akan berkomentar : Hadits itu telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar, An-Nawawiy, dan Ibnu Katsir - tanpa membahas secara ilmiah - , sebaiknya Anda urungkan niat Anda, karena di atas Anda telah mengatakannya dengan cukup baik. Tidak perlu diulang.
Menurut saya, perkataan yang lebih adil dalam perkara ini adalah Anda mengatakan :
"Meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini, tapi sebagian ulama membolehkan mengamalkannya, yaitu membaca Yasin pada malam hari dengan mengharap ridho Allah" [selesai].
Terasa gak bedanya dengan yang Anda katakan sebelumnya ?.
KETIGA,... tentang pembacaan surat Yaasiin untuk orang yang meninggal. Anda menyebutkan di sini Ibnul-Qayyim secara khusus. Mungkin ini terkait bahwa beliau adalah ulama yang sering menjadi panutan orang-orang Wahabiy (you know what I mean).
Kalau Anda jujur,... seharusnya Anda menyertakan pandangan Ibnul-Qayyim tentang keshahihan hadits itu. Kalau beliau mengatakan shahih atau minimal hasan, maka membawakan perkataan beliau dalam perkara ini tidak tepat. Karena yang Anda tuju itu kan bolehnya beramal dengan hadits dla'iif. Ya kan ?.
Anyway,.... perkataan Ibnul-Qayyim yang Anda nukil di atas berasal dari kitab Ar-Ruuh dimana para muhaqqiq berselisih tajam akan kebenaran penisbatan kitab itu pada beliau.
=======================
NB :
1. Dan nampaknya Anda kurang dalam memfokuskan kebolehan mengamalkan hadits dla'iif dalam masalah fadlaail a'maal. Hadits tentang membaca surat Yaasiin kepada orang mati yang Anda sebut (no. 3) itu hadits tentang amal atau fadlaail a'maal ya ?.
2. Sekalipun benar bahwa sebagian ulama membolehkan penggunaan hadits dla'iif dalam fadlaail a'mal, namun itu ada syarat-syaratnya. Dan syarat-syarat ini kebanyakan tidak dipraktekkan oleh orang-orang yang bertaqlid pada para ulama tersebut. Misal :
a. Kedla'ifannya ringan. Persyaratan ini merupakan kesepakatan ulama sebagaimana dikatakan As-Sakhawiy.
Praktek sebagian muqallid : hadits sangat lemah dan palsu pun dianggap dalam klasifikasi hadits dla'iif yang diamalkan.
b. Tidak diyakini hal itu sah berasal dari Nabi dan kemudian dinisbatkan kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Praktek sebagian muqallid : Menyikapi hadits dla'iif itu seperti hadits shahih yang kemudian dinisbatkan kebenarannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Contoh : Sebagian muqallid bermudah-mudah dalam menyebutkan hadits dla'iif dan berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi w asallam begini dan begitu. Atau yang semisalnya".
c. Tidak bertentang dengan hadits yang shahih.
Praktek sebagian muqallid : Meskipun ada hadits yang bertolak belakang, mereka tetap mengamalkan hadits dla'if dengan alasan bahwa itu boleh menurut jumhur ulama. Sikap ini sebenarnya lahir dari kefanatikan pada madzhab atau person-person tertentu.
dan yang lainnya.
3. Saya pingin pertimbangan dan pandangan Anda,... kalau misalnya ada orang yang kita tahu hapalannya bermasalah atau tidak bagus menyampaikan satu kabar kepada kita bahwa terjadi kecelakaan di Monas antara truk dan bus 3 tahun yang lalu, sikap kita bagaimana ?. Dhann kita membenarkan kabar itu atau tidak membenarkan ?.
==============================
# Kalau saya sih,... selagi ada hadits shahih, ngapain kita mengamalkan hadits dla'if ?
Assalamu'alaykum
@ MUSLIM (ganti MOSLEM :) on 14 Mei 2012 09:35
terima kasih atas penjelasannya,
-jazakallahu khayr-
tapi jujur saja,
saya masih bingung bin mumetz
especially menyangkut permasalahan
"dhoip yang kayak apa sich yang bissa di amalkan ?"
apa sembarang hadits asal dhoip bissa di amalkan ?
walopun dhoip-nya jiddann ?
atau bahkan palsu ?
saya kawatier,
soalnya kan enggak semua orang (termasuk saya)tahu status hadits,
terutama perowinya ,
kalo ada yang kebablasan gimana mas ?
niat beribadah, sembarang ngamalin hadits,
tapi enggak ada keterangannya
( biasanya cuma di tulis "al-Hadits" )
eh, gak taunya yang di amalin dhoipp bangett, bahakan palsu
antum pasti know lah, jaman sekarang, , ,
jangankan hadits dhoip ataw palsu,
terkadang amalan yang hadir lewat mimpi saja di jadikan "sunnah"
di ajarkan, di ijazahkan ke khalayak ramai.
[Quote Habib Munzir:]
"saya ijazahkan pada anda shalawat yg paling saya cintai, yg diajarkan langsung oleh Rasul saw pada saya dalam mimpi, yaitu : ALLAHUMMA SHALLI ALAA SAYYIDINA MUHAMMAD, WA AALIHI WA SHAHBIHI WASALLIM
anda boleh membacanya kapan saja dan berapa saja tanpa batas waktu dan jumlah."
http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&id=27397&catid=9
Nah lho . . . gimana itu mas ?
'Allohul Musta'an
@__@
@ MUSLIM (ganti MOSLEM :)
owya, ada yang kelupaan . .
di tempat saya bekerja (daerah kalimantan selatan) , kalo pas malem nishfu sya'ban kebanyakan orang melakukan sholat nishfu sya'ban secara berjama'ah.
waktunya setelah shalat maghrib,
bahkan mungkin karena saking banyaknya dzikir sampai kelupaan adzan isya'.
karena memang dzikirnya lumayan panjang,
salah satunya membaca yassin
[quote :]
"para ulama kita menyarankan membaca surat Yaasiin 3X, itu pula haram seseorang mengingkarinya, kenapa dilarang?, apa dalilnya seseorang membaca surat Alqur'an?,
melarangnya adalah haram secara mutlak,"
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=7&id=6596
nah ..
padahal dalil yang spesifik atau secara khusus menunjukkan amalan sholat nishfu sya'ban kan derajatnya dhoip mas,
bahkan Imam Nawawiy -rahimahullah- menyebut sholat khusus yang di lakukan di malem nishfu sya'ban sebagai bid'ah dan munkar
padahal Imam Nawawiy -rahimahullah- termasuk ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dhoip.
tambah bingung saya mas, , ,
kata Imam Nawawiy boleh beramal pake hadits dhoip,
lha kok pas mau sholat nishfu sya'ban malah bid'ah, mungkar lagi
mohon penjelasannya,
syukron wa hadakallahu
sepertinya kenal nih dengan mas muslim a.k.a moslemz
kalo di FB selalu koar2 tentang ijma' para ulama membolehkan beramal dengan hadits dha'if dan hobi membawakan perkataan An Nawawi rahimahullah.
hobi membawakan perkataan Imam Nawawi memang boleh. yang tidak boleh adalah :
1. memalingkan makna perkataan Imam Nawawi dari dhohirnya (mungkin karena bagi mereka Al Qur'an dan As Sunnah saja tidak boleh dimaknai secara dhohir, maka perkataan ulama pun lebih tidak boleh lagi)
2. menganggap perkataan Imam Nawawi pasti benar dan mengabaikan pendapat ulama lain yang berseberangan tanpa melakukan tarjih.
Anonim 15 Mei 2012 06:33, yang anda maksud ini : http://www.facebook.com/danang.kuncoro.wicaksono ?.
afwan akhi sekalian ana gak sengaja dapet situs ini...kayaknya ini situs sama dengan situs s*****tobat .
hujatannya gak enak banget.tolong akhi sekalian bantu ana ini situsnya;
http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/
jazzakallah khoir
Ustadz, teman saya berkomentar bahwa hadits dhoif itu lebih baik daripada fatwa untuk diamalkan ketika saya menyampaikan bahwa hadits dhoif tidak bisa dijadikan hujjah. Bagaimana pemahaman yang benar mengenai hal ini?
Terima kasih.
Herry Setiawan - Bogor.
Hadits dla'if untuk mengandung adh-dhannul-marjuh (persangkaan lemah) atas penisbatannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Jika kita telah mengetahui ini, maka kita tidak direkomendasikan untuk berdalil dengan hadits lemah karena takut dan terjerumus berdusta atas nama Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Adapun fatwa, maka ia merupakan kesimpulan hukum seorang ulama atas satu nash. Apabila fatwa itu dihasilkan dari nash yang shahih serta kaedah-kaedah istidlal dan istinbath yang benar, maka fatwa tersebut sangat layak untuk diamalkan.
wallaahu a'lam.
Assalamualaikum ana mau ikutan nih begini aja habisnya jangan makan yg ntum tak boleh makan tanyalah ustad yg tau hadist antum itu semua kayak anak kecil .tuntutlah ilmu.sampai engkau bisa..jangan bingungkan diri dengan sesuatu yg engkau tak biasa.atum semua masih belajar.sebagai ustad wajib mempunyai ilmu.kalau tidak antum tau ganjarannya kalau antum .semua salah.kita semua masih keras belum lunak lagi seperti hatinya nabi muhammad saw.mari kita belajar bersama sebelum guru antum tiada.jikalau antum tidak mengerti bertanyalah pada ahlinya secara nyata bukan dari media supaya antum paham sedetail detailnya.antum terima atau tak terima itu hak antum.antum masih merdeka.
Antum belajarlah dulu dengar pada ahlinya.belajar betul betul .tanya diri antum.barulah antum tau atum semua masih dasar.kalu tak bisa tanya dgn nyata pada ahli hadist.begitu juga para sahabat.kalau tak biasa mereka bertanya langsung kepada nabi muhammad langsung.bukan dari media begini.bukan media yang bodoh tapi antum yg bodoh.contohnya tonton tv dgn film.atau berita.itu bukan tvnya.yg salah antunya yg salah kenapa beli.begitu juga antum semua jangan saling menyalahi antara satu dgn yg lain.antum kan ingin menegakkankan sunnah.bukan begini caranya.mari kita belajar kepada ahlinya di depannya supaya antum paham bukan duduk dirumah .dgn pendapat antum sendiri.sekarang kan ustad kita ahli hadists ustad hakim amir abdad masih ada sukur alhamdulilah .antum bertanya kepadanya dihadapannya.supaya antum lega dan paham.bukan dgn otak keras atau hati yg keras.insyallah seratus persen antum paham.semoga kita di berikan hidayah oleh allah dgan cinta kepada ilmu.amin sukran????
akhii...
apkah syaikh Al-Albani Rahimahullah telah menjelaskan mengapa beliau menyimpulkan bid'ah mengamalkan hadits dho'if ???
mungkin ada sebab2 yang kita tidak ketahui atau perkara2 amal yg membuat beliau menjadikan hal itu sebuah bid'ah.
mohon infonya : syukron jzakallah khoir..
dasar ente semua pengamal bid'ah,, termasuk penulisnya juga,,
gk ada hadits dr rasulullah yg menjelaskan pembagian hadits menjadi shohih, hasan dan dhoif,,
gt masih aja pada ngotot-ngotot satu sama lain, damai aja kalee. masalah khilafiyah aja masih diperdebatkan. gak zaman kale broo. mending direnungi aja, udh seberapa jauh ente ente ngamalin hadits2 itu . bukan malah menggunakan hadits utk menyalahkan sesama muslim. beda pendapat boleh, tp ttap jaga ukhuwah. itu fithroh, perbedaan itu rahmat. yg mau ngamalin hadits itu ya amalin aja. yg gk mau ngamalin, ya udh gk usah ngamalin tp ya gk ussah nyalahin juga. ingat, kebenaran hnya milik allah. kebenaran dr makhluuk mah kebenaran relatif. so, stop saling menyalahkan. GITU AJA KOK REPOT.. REPOT AJA GAK GITU,,
Anonim 24 November 2013 00.03
ya begitulah kalo orang bodoh bicara tanpa ilmu. pasti yang kelihatan lucunya.
jika kita tidak bisa berkata benar atau kita berkata menuruti dorongan hawa nafsu ingin menjatuhkan maka diam lebih selamat. kita tidak membutuhkan perdebatan seperti ini karena tidak berguna bagi agama kita. ingatlah kematian ! saat kehebatan berargumen tidak bermanfaat, saat keinginan untuk dipuji membawa penyesalan, janganlah kita tertipu dengan tipu daya syetan. masalah diatas sudah selesai dimasa lalu. cukuplah kita menyadari ini bagian dari perbedaan furu'. tidak perlu diperpanjang dan menambah dosa.
Imam Al Bukhari
Penyandaraan pendapat mengenai penolakan hadits dhaif dalam fadha’il al a’mal kepada Imam Al Bukhari adalah kurang tepat, karena Imam Al Bukhari sendiri juga menjadikan hadits dhaif untuk hujjah. Ini bisa dilihat dari kitab beliau Al Adab Al Mufrad, yang bercampur antara hadits shahih dan dhaif. Dan beliau berhujjah dengan hadits itu, mengenai disyariatkannya amalan-amalan. Ini bisa dilihat dari judul bab yang beliau tulis.
Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah berpendapat bahwa Imam Al Bukhari dalam Adab Al Mufrad mencantumkan hadits-hadits yang sanadnya dhaif sebagaimana dihukumi oleh Syeikh Fadhlullah Al Haidar Al Abadi dalam Fadhullah Ash Shamad fi Taudhih Al Adab Al Mufrad dan Imam Al Bukhari menggunakannya sebagai hujjah. (lihat, komentar Syeikh Abdul Fattah Dhafar Al Amani, karya Imam Al Laknawi, hal. 182-186)
Tidak hanya dalam Al Adab Al Mufrad, dalam Shahihnya pun kasus hampir serupa terjadi. Saat Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul hadits”, Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut dan semuanya dalam masalah riqaq (hadits akhlak dan motifasi), dan ini tergolong gharaib dalam Shahih Al Bukhari, hingga Ibnu Hajar mengatakan,”Sepertinya Bukhari tidak memperketat, karena termasuk hadits targhib wa tarhib”. (lihat, Hadyu As Sari, 2/162)
Imam Muslim
Adapun perkataan Imam Muslim dalam muqadimah As Shahih, tidak bisa diartikan sebagai larangan mutlak atas penggunaan hadits dhaif dalam fadhail. Muslim mengatakan dalam muqadimah Shahih beliau,” Dan ketahuilah-wafaqakallah-bahwa wajib bagi siapa saja untuk membedakan antara shahih riwayat dan saqimnya, serta orang-orang tsiqah yang menukilnya daripada mereka yang tertuduh (memalsukan). Tidak meriwayatkan darinya (periwayatan), kecuali yang diketahui keshahihan outputnya dan yang terjaga para periwatnya, serta berhati-hati terhadap periwayatan mereka yang tertuduh, dan para ahli bid’ah yang fanatik.” (Muslim dengan Syarh An Nawawi (1/96)
Dari pernyataan itu, tidak bisa dihukumi bahwa Imam Muslim menolak hadits dhaif secara mutlak, dimana Imam Muslim sendiri memasukkan memasukkan perawi dhaif dan mutruk, yang menurut Muslim tergolong jenis khabar kelompok ketiga, ke dalam Shahih Muslim untuk mutaba’ah dan syawahid. Dengan demikian, pernyataan Muslim di atas tidak berlaku mutlak.
Imam An Nawawi sendiri amat memahami Imam Muslim dan Shahih Muslim, karena Imam An Nawawi telah berkhidmat terhadap kitab tersebut dengan mensyarah-nya. Namun Imam An Nawawi tetap berpendapat adanya ijma’ ulama mengenai kebolehan menggunakan hadits dhaif selain akidah dan ahkam. Ini menunjukkan bahwa Imam Muslim di pandangan Imam An Nawawi tidak melarang penggunaan hadits dhaif dalam hal tersebut. Kalaulah Imam Muslim berpendapat seperti itu, tentu Imam An Nawawi tidak berani menyatakan bahwa hal itu merupakan ijma’.
Tentang Bukhaariy, antum mengomentari bagian yang mana dari artikel di atas ?. Kitab Al-Adabul-Mufrad memang tidak mensyaratkan keshahihan semua haditsnya. Tentang kitab Shahih-nya, antum keliru. Dari judulnya saja jelas disebutkan Al-Jaami'ush-Shahiih. Ini pertama. Kedua, antum tidak bisa membedakan antara hadits dalam ushul dan mutabi'nya dalam Shahih Al-Bukhaariy. Juga antara hadits shahih dengan keberadaan perawi dla'if. Ini saja sudah merupakan cacat ilmiah dalam komentar antum.
Tentang Muslim,... sama seperti di atas.
benarkah atas pernyataan artiker diatas bahwa ada perawi dhaif di dalam shahih bukhari
"Muhammad bin Abdurrahman At Tufawi, yang oleh Abu Zur’ah dikatakan “mungkarul hadits”, Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam Shahih Al Bukhari ada 3 hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut"
mohon penjelasannya.
Posting Komentar