Pemberian Pertolongan kepada Orang Kafir yang Tidak Dihukumi Kafir


Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus” [QS. Al-Mumtahanah : 1].

Al-Bukhaariy rahimahullah meriwayatkan kisah Haathib bin Abi Balta’ah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ مَرَّتَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا والزُّبَيْرَ والْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ، قَالَ: " انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ، فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ، فَقُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا، فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا حَاطِبُ مَا هَذَا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar yang aku mendengar darinya dua kali, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abi Raafi’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusku, Az-Zubair, dan Al-Miqdaad. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berangkatlah kalian hingga mendatangi kebun Khaakh, karena di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya”. Maka kami pun pergi dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di kebun tersebut. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan. Kami berkata : “Keluarkan surat yang engkau bawa”. Wanita itu berkata : “Aku tidak membawa surat apapun”. Kami berkata : “Sungguh, engkau harus mengeluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu”. Lalu ia pun mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ternyata berasal dari Haathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrikin penduduk Makkah untuk mengkhabarkan sebagian urusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Haathib, apa maksudnya ini ?”. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 3007].
Kisah Haathib di atas merupakan sebab turunnya QS. Al-Mumtahanah ayat 1 di atas sebagaimana riwayat berikut :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي بَهَمْدَانَ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، ثنا وَرْقَاءُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ إِلَى قَوْلِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ " نَزَلَ فِي مُكَاتَبَةِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَمَنْ مَعَهُ إِلَى كُفَّارِ قُرَيْشٍ يُحَذِّرُونَهُمْ ......... هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Al-Hasan Al-Qaadliy Bahamdaan : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Husain : Telah menceritakan kepada kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang’.... hingga firman-Nya : ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan’ (QS. Al-Mumtahanah : 1-3), ayat tersebut turun mengenai surat-menyurat Haathib bin Abi Balta’ah dan orang-orang yang bersamanya dengan orang-orang kafir Quraisy untuk memperingatkan mereka (tentang rencana serangan kaum muslimin)....” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 2/485; dan ia berkata : “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 241].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أن شعب الإيمان قد تتلازم عند القوة،ولا تتلازم عند الضعف، فإذا قوى ما في القلب من التصديق والمعرفة والمحبة لله ورسوله،أوجب بغض أعداء الله، كما قال تعالى‏:‏ ‏{‏وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِالله والنَّبِيِّ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاء} ‏[‏المائدة‏:‏81‏]‏ ،وقال‏:‏‏{‏لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ‏}‏ ‏[‏المجادلة‏:‏22‏]‏‏.‏وقد تحصل للرجل موادتهم لرحم أو حاجة فتكون ذنبًا ينقص به إيمانه، ولا يكون به كافرًا، كما حصل من حاطب بن أبي بَلْتَعَة، لما كاتب المشركين ببعض أخبار النبي صلى الله عليه وسلم، وأنزل الله فيه‏:‏‏{‏يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ‏}‏ ‏[‏الممتحنة‏:‏1‏]‏‏.‏
“Sesungguhnya cabang-cabang keimanan, kadang-kadang saling berkaitan disaat iman kuat, dan kadang kala tidak saling berkaitan, di saat iman lemah. Dan bila pembenaran, pengertian, dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya telah menjadi kuat dalam hati (seseorang), maka iman yang demikian ini mendatangkan rasa kebencian kepada musuh-musuh Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan seandainya mereka beriman kepada Allah dan kepada Nabi, serta kepada wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak menjadikan orang-orang musyrikin sebagai penolong (wali-wali)’ (Al-Maaidah : 81). Dan Allah ta’ala berfirman : ‘Engkau tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling bekasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang tersebut adalah bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya (QS. Al-Mujaadilah : 22). Dan kadangkala bisa terjadi seseorang berkasih sayang dengan mereka, disebabkan adanya tali persaudaraan, atau keperluan, sehingga perbuatan ini merupakan dosa yang menjadikan imannya berkurang, dan tidak menjadikannya kafir, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Haathib bin Abi Balta’ah, ketika ia menuliskan surat kepada orang musyrikin, membocorkan sebagian rahasia (berita) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah turunkan firman-Nya : ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai (teman setia) penolong, yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang’ (QS. Al-Mumtahanah : 1)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/522-523].
Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah berkata :
من كثر تطلعه على عورات المسلمين ، وينبه عليهم ، ويعرف عدوهم بأخبارهم لم يكن بذلك كافرا إذا كان فعله لغرض دنيوي ، واعتقاده على ذلك سليم ، كما فعل حاطب بن أبي بلتعة حين قصد بذلك اتخاذ اليد ولم ينو الردة عن الدين
“Orang yang banyak membuka dan menceritakan aurat kaum muslimin, serta memberitahukan berita mereka kepada musuh-musuhnya, maka tidak dihukumi kafir apabila ia melakukannya karena tujuan dunia, bersamaan dengan selamatnya kondisi i’tiqad-nya atas hal itu. Sebagaimana yang dilakukan Haathib bin Abi Balta’ah ketika ia bermaksud memberikan pertolongan tanpa ada niat keluar (murtad) dari agama” [Ahkaamul-Qur’aan, 4/225].
Hal senada dengan Ibnul-‘Arabiy, diucapkan juga oleh Al-Qurthubiy rahimahumallah dalam Tafsir-nya [lihat : Tafsiir Al-Qurthubiy, 18/52].
An-Nawawiy rahimahullah berkata tentang hadits Haathib di atas :
وفيه أن الجاسوس وغيره من أصحاب الذنوب الكبائر لا يكفرون بذلك
“Dan padanya terdapat keterangan bahwasannya mata-mata dan selainnya termasuk orang-orang yang melakukan dosa besar namun tidak dikafirkan dengannya” [Syarh Shahih Muslim – lihat sini].
Dan merupakan madzhab jumhur ulama tidak menghukum bunuh mata-mata muslim yang memberikan keterangan kepada musuh, sebagaimana dikatakan An-Nawawiy rahimahullah :
وأما الجاسوس المسلم : فقال الشافعي والأوزاعي وأبو حنيفة وبعض المالكية وجماهير العلماء رحمهم الله تعالى يعزره الإمام بما يرى من ضرب وحبس ونحوهما ولا يجوز قتله
“Adapun mata-mata muslim, maka berkata Asy-Syaafi’iy, Al-Auzaa’iy, Abu Haniifah, sebagian ulama Maalikiyyah, dan jumhur ulama rahimahullahu ta’ala bahwa imam memberikan hukuman ta’zir yang menurutnya tepat berupa pemukulan, pemenjaraan, atau yang lainnya, dan tidak boleh dibunuh” [Syarh Shahih Muslim, 12/67].
Sisi pendalilan : Larangan untuk dibunuh merupakan petunjuk bahwa mata-mata muslim itu tidak dihukumi kafir menurut jumhur ulama.
Catatan : Maalik, Ahmad dalah satu riwayat, dan sebagian shahabat-shahabatnya mengatakan bahwa hukuman bagi mata-mata muslim adalah dibunuh [lihat : At-Tajassus fisy-Syarii’atil-Islaamiyyah oleh Muhammad Ad-Daghmiy, hal. 155].
Selain sebab yang disebutkan di atas (berupa kemaslahatan dunia), pemberian pertolongan kepada orang kafir juga kadang disebabkan karena adanya fanatisme kelompok dan kesukuan, bukan didasarkan ketundukan dan mengikuti agama/’aqidah mereka. Ini juga tidak dikafirkan. Hal ini sebagaimana sikap Sa’d bin ‘Ubaadah radliyallaahu ‘anhu ketika membela tokoh munafiq tulen, ‘Abdullah bin Ubaiy bin Saluul, karena fanatisme kesukuan (satu suku : Khazraj) saat terjadi penyebaran berita dusta tentang ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
فَقَامَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ الْأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا أَعْذِرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنْ الْأَوْسِ ضَرَبْتُ عُنُقَهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا أَمْرَكَ، قَالَتْ: فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ رَجُلًا صَالِحًا وَلَكِنْ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ، فَقَالَ لِسَعْدٍ: كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَا تَقْتُلُهُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى قَتْلِهِ، فَقَامَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَهُوَ ابْنُ عَمِّ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ، فَقَالَ لِسَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ: كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ، فَإِنَّكَ مُنَافِقٌ تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ، فَتَثَاوَرَ الْحَيَّانِ الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ حَتَّى هَمُّوا أَنْ يَقْتَتِلُوا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّضُهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ،
‘Aaisyah berkata : Maka berdirilah Sa’d bin Mu’aadz Al-Anshaariy dan berkata : “Wahai Rasulullah, aku memberikan pembelaan kepadamu dari orang tersebut. Seandainya ia dari suku Aus, aku sendiri yang akan menebas lehernya. Namun apabila ia berasal dari saudara kami suku Kazraj, maka perintahkanlah kami dan kami akan melaksanakannya (untuk membunuh orang tersebut)”. ‘Aaisyah berkata : Maka berdirilah Sa’d bin ‘Ubaadah - dan ia pemimpin suku Khazraj yang sebelum itu adalah orang yang shaalih, akan tetapi hari itu ia terbawa sikap fanatisme kesukuan – dan berkata : “Engkau dusta. Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan bisa membunuhnya”. Maka berdirilah Usaid bin Hudlair – paman Sa’d bin Mu’aadz – yang berkata kepada Sa’d bin ‘Ubaadah : “Engkau lah yang berdusta. Demi Allah, sungguh kami akan membunuhnya, karena engkau seorang munafiq yang berdebat untuk membela orang-orang munaafiq (yaitu kelompok ‘Abdullah bin Ubay)”. Suasana semakin memanas antara orang-orang dari suku Aus dan Khazraj hingga hampir saja mereka saling bunuh, padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih berdiri di atas mimbar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berusaha menenangkan mereka hingga mereka diam dan beliau pun diam....” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4750].
Lantas,..... bentuk pertolongan kepada orang kafir yang bagaimanakah yang menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekafiran ?.
Yaitu, pertolongan yang diikuti dengan kecintaan dan keridlaan kepada orang kafir secara lahir dan batin. Hal ini sebagaimana firman-Nya ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
ومن يتولهم منكم فإنه منهم"، ومن يتولَّ اليهود والنصارى دون المؤمنين، فإنه منهم. يقول: فإن من تولاهم ونصرَهم على المؤمنين، فهو من أهل دينهم وملتهم، فإنه لا يتولى متولً أحدًا إلا وهو به وبدينه وما هو عليه راضٍ. وإذا رضيه ورضي دينَه، فقد عادى ما خالفه وسَخِطه، وصار حكُمه حُكمَه
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka’; maknanya yaitu barangsiapa yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin selain dari orang-orang yang beriman, maka ia termasuk golongan mereka. Ia berkata : Karena barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menolong mereka untuk memerangi kaum mukminin, maka ia termasuk penganut agama mereka. Karena, tidaklah ada orang yang menjadikan seseorang sebagai pemimpin melainkan ia bersamanya dan bersama agamanya secara ridla (sukarela). Jika ia meridlainya dan meridlai agamanya, maka ia akan memusuhi apa-apa yang menyelisihinya dan sekaligus membencinya. Ia pun kemudian menjadikan hukum orang yang ia ikuti itu menjadi hukumnya juga” [Tafsir Ath-Thabariy, 10/400].
Ath-Thabariy rahimahullah telah menjadikan manaathul-hukm (tempat bergantungnya hukum) atas kekafiran dan kemurtadan dengan adanya keridlaan [Kaysful-Astaar oleh ‘Umar bin ‘Abdil-Hamiid Al-Bathuusy, hal. 120-121].
Haathib bin Abi Balta’ah radliyallaahu ‘anhu ketika memberikan pertolongan kepada kafir Quraisy tidak dikafirkan karena ia tidak cinta dan tidak ridlaa akan agama mereka.
Allah ta’ala berfirman :
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ 
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ’Imraan : 28].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
وأما عند الخوف والتقية، فيرخص في موالاتهم، بقدر المداراة التي يكتفي بها شرهم، ويشترط في ذلك سلامة الباطن من تلك الموالاة..... ويفهم من ظواهر هذه الآيات أن من تولى الكفار عمداً اختياراً، رغبة فيهم أنه كافر مثلهم.
”Adapun dalam keadaan khawatir dan takut, maka diberikan rukhshah dalam pemberian walaa’ kepada mereka sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat terhindar dari kejelekannya. Namun disyaratkan akan hal itu selamatnya bathin dari muwaalah tersebut..... Maka yang dipahami dari dhahir ayat ini, bahwa barangsiapa yang ber-wala’ kepada orang kafir secara sengaja tanpa ada paksaan karena rasa cinta kepada mereka (orang kafir), maka ia dihukumi kafir seperti mereka” [Adlwaaul-Bayaan, 1/413].
Catatan : Meskipun pemberian pertolongan kepada orang kafir tanpa disertai kecintaan dan keridlaan lahir dan batin bukan merupakan kekafiran, akan tetapi ia tetap bagian dari dosa-dosa besar yang wajib kita tinggalkan.
Semoga sedikit penjelasan ini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, bogor – 1432 H. Baca juga artiel : Al-Walaa wal-Baraa’ dalam Islam].

Comments

Anonim mengatakan...

afwan ust....

Farid Nu'man menulis beberapa Fatwa seputar pembelaan Ulama Saudi terhadap Sayyid Quthub & hasan Al Banna lalu Ust Abu Salma menulis juga tahdziran Ulama Saudi terhadap Sayyid Quthub & hasan Al Banna, pertanyaan sy, manakah yg Valid Ust...???

apakah ust tau link yg mengupas permasalahan ini scra adil.???

syukran,

Anonim mengatakan...

Apakah termasuk dalam dosa besar kalau mengambil mereka sebagai istri ? yang kita cintai .

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 25 Oktober 2011 11:55,.....

Sayyid Quthb mempunyai beberapa kekeliruan yang sangat fatal. Syaikh Raabi' adalah terdepan dalam penjelasan ini, dan buku-buku beliau lebih dari cukup untuk menjelaskan hakekat manhaj Sayyid Quthb. Memang benar sebagian ulama Saudi memberikan pujian kepada Sayyid Quthb. Akan tetapi, yang menjadi bahan kajian adalah tidak sekedar adanya pujian atau celaan. Namun, apa sebab mereka memuji dan mencelanya ?. Apakah tepat pujian dan celaan itu dialamatkan kepada Sayyid Quthb ?.

Ada orang yang berlebih-lebihan terhadap Sayyid Quthb. Ada yang berlebihan memujinya sehingga menutup mata beberapa kekeliruan fatal yang dilakukannya. Ada pula yang berlebihan dalam mencelanya sehingga mengkafirkannya. Dua sikap ini adalah keliru.

Sebagai bahan bacaan yang saya rasa perlu, silakan Anda baca penjelasan Syaikh Masyhuur Hasan Salmaan yang telah diterjemahkan oleh salah seorang rekan saya :

Antara Kedzaliman dan Pelurusan : Sayyid Qutb

***********

@Anonim 25 Oktober 2011 12:46.......

Tidak.

Boleh hukumnya mengambil istri dari kalangan Ahlul-Kitab.

Anonim mengatakan...

Melihat judul yg antum tulis ana jd timbul pertanyaan.."Bagaimana ada orang kafir yg tdk dihukumi kafir?" Menurut ana judul ini aneh!! Setelah ana baca rupanya kisah hatib yg dijadikan dalil (kalau bleh sy bilang)shg ada judul aneh tsb.
Kalau kejadian hatib terjadi pd kita apa ttp kedudukan kita spt hatib (yakni tdk kafir) sdg ayat telah jelas bhw tawalli pd orang kafir adalah kafir??
Karena dijaman skrg tdk ada wahyu yg akan mengabarkan hati kita dan manusia dihukumi berdsar dzahirnya..ini dpt dibuktikan dg perkataan umar ra yg akan menebas hatib disebabkan umar menghukumi berdsr dzahir, tp krn ada wahyu segalanya jd lain, jd judul diatas ana kira tdk tepat krn hukum dijatuhkan atas dzahir, jika dzahirnya kafir mk kafirlah dia..urusan hatinya hanya allah yg tahu..terbukti apa yg dihati hatib dibenarkan oleh allah lewat wahyu..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Keheranan anda akibat kekurangcermatan anda. Judulnya adalah :

"Pemberian Pertolongan Kepada Orang Kafir Yang Tidak Dihukumi Kafir".

Kurang jelas ya ?. Jadi, dari mana Anda menyimpulkan ada orang kafir yang tidak dihukumi kafir berdasarkan judul di atas ?. Aneh.

Dalam artikel di atas saya telah sebutkan tafshil (perincian) yang disebutkan ulama. Oleh karena itu, jika ingin memahami satu ayat, jangan lepaskan penjelasan para ulama tentangnya. Bukan dengan pemahaman sendiri. Selain itu, dengan mencermati sababun-nuzuul ayat, kita akan tahu maksud kandungan hukum yang termuat dalam ayat tersebut.

Anonim mengatakan...

berarti antum yg tdk cermat dlm membaca ungkapan ana.... ana kan bilang: Melihat judul....artinya dr judul yg telah ana baca tsb saya timbul pertanyaan yg sprti itu...

pertanyaan antum dr mana ana menyimpulkan kiranya tdk perlu ana jawab,tp ana yang tanya apa mungkin ada orng kafir yg tdk dihukumi kafir??
trs pertanyaan yg lain dr post diatas kiranya jg perlu antum jelaskan
jazakallahu khair

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Justru itulah yang saya heran, .... dari judulnya pun terang bahwa inti yang hendak dibahas adalah : Ada jenis pertolongan kepada orang kafir yang tdiak menyebabkan pelakunya kafir. Lha kok Anda bisa menyimpulkan ada orang kafir tidak dihukumi kafir ?. Logika absurd.

Kalau semisal Anda tidak tahu, melalui artikel di atas saya beritahukan kepada Anda. Dan saya pun telah menyertakan penjelasan ulama tentangnya.

Adapun kecintaan dan keridlaan (dalam hati), maka ia bisa dihukumi jika yang yang bersangkutan menyatakannya (dengan lisannya). Sama halnya dengan istihlaal, yang ia hanya bisa diketahui jika yang bersangkutan menyatakannnya. Kemudian, ditegakkan padanya hujjah. Jika memang telah tegak, maka barulah kafir ia.

Coba anda baca kitab-kitab fiqh yang membahas tentang hukum jasus (mata-mata).

Anonim mengatakan...

Mungkin kalimat yang bisa menengahi konflik judul artikel, adalah seperti ini :

"Pemberian Pertolongan Kepada Orang Kafir Yang [Pemberinya] Tidak Dihukumi Kafir".


Bukan orang kafirnya yang jadi objek hukum, tetapi orang yang memberikan pertolongan kepada orang kafir itulah yang menjadi objek hukum.

Allhu a'lam.

-ibnu ruhadi-

Anonim mengatakan...

pertanyaan lainnya blm dijawab< jd sekalian aja g perlu diulang....syukron

Anonim mengatakan...

apa perbuatan hatib jika dilakuakan pd masa skrg masih tidak dihukumi kafir???

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Anda dapat lihat istinbath para ulama yang saya kutip, bahwa mereka tidak mengkafirkannya.

Anonim mengatakan...

Assalamulaikum, jazakallah ala ma katabta..

kesimpulan yang saya tangkap dari artikel anda,tawalli tidak sampai kafir jika tidak disertai i'tikad, rasa cinta dan ridlo dengan kufur, lalu bagaimana dengan firman Allah;
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

قال البخاري : حدثنا عبد الله بن يزيد المقرئ، حدثنا حَيْوَة وغيره قالا حدثنا محمد بن عبد الرحمن أبو الأسود قال: قطع على (5) أهل المدينة بعْثٌ، فاكتتبت فيه، فلقيتُ عكرمة مولى ابن عباس فأخبرته، فنهاني عن ذلك أشد النهي، ثم قال: أخبرني ابن عباس أن ناسا من المسلمين كانوا مع المشركين، يكثرون سواد المشركين على رسول الله صلى الله عليه وسلم يأتي السهم فَيُرمى (6) به، فيصيب أحدهم فيقتله، أو يضرب عنقه فيقتل، فأنزل الله [عز وجل] (7) { إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ } رواه الليث عن أبي الأسود (8) .
وقال ابن أبي حاتم: حدثنا أحمد بن منصور الرَّمَادِي، حدثنا أبو أحمد -يعني الزبيري-حدثنا
محمد بن شَرِيك المكي، حدثنا عمرو بن دينار، عن عكرمة عن ابن عباس قال: كان قوم من أهل مكة أسلموا، وكانوا يستخفون بالإسلام، فأخرجهم المشركون يوم بدر معهم، فأصيب بعضهم بفعل بعض (1) قال المسلمون: كان أصحابنا هؤلاء مسلمين (2) وأكرهوا، فاستَغْفَروا لهم، فنزلت: { إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ [قَالُوا فِيمَ كُنْتُم } إلى آخر] (3) الآية، قال: فكتب إلى من بقي من المسلمين بهذه الآية: لا عذر لهم. قال: فخرجوا فلحقهم المشركون فأعطوهم الفتنة، فنزلت هذه (4) الآية: { وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ } الآية (5) [البقرة: 8] .
(ibnu katsir)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan juga beberapa kitab tafsir yang lain, para ulama berbeda pendapat tentang objek sebab turunnya ayat. Saya yakin Anda telah membacanya. Terkait dengan riwayat yang Anda sebutkan, maka pointnya ada di sini :

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri" [QS. An-Nisaa' : 97].

Apakah orang yang menganiaya diri sendiri dalam ayat tersebut disebut orang kafir (murtad) atau merupakan penegasan adanya dosa secara umum ?.

Ayat tersebut berkenaan dengan orang yang mampu untuk berhijrah namun tidak berhijrah dan tetap tinggal di Makkah. Kemudian orang-orang musyrik memaksa mereka untuk turut serta memerangi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan terbunuh.

Mereka tidak punya udzur di hadapan Allah karena sebenarnya mereka mampu berhijrah namun tidak berhijrah (sehingga mereka berdosa karenannya); akan tetapi mereka tidak dikafirkan, karena mereka dalam keadaan dipaksa dan diri mereka sebenarnya enggan; sebagaimana riwayat :

كَانَ نَاسٌ مِنْ أَهْل مَكَّةَ أَسْلَمُوا، وَكَانُوا مُسْتَخْفِينَ بِالإِسْلامِ، فَلَمَّا خَرَجَ الْمُشْرِكُونَ إِلَى بَدْرٍ أَخْرَجُوهُمْ مُكْرَهِينَ، فَأُصِيبَ بَعْضُهُمْ يَوْمَ بَدْرٍ مَعَ الْمُشْرِكِينَ، فَقَالَ الْمُسْلِمُونَ: أَصْحَابُنَا هَؤُلاءِ مُسْلِمُونَ أَخْرجُوهُمْ مُكْرِهِينَ، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُمْ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ

[Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 2204].

Allah ta'ala berfirman tentang keadaan orang yang terpaksa :

إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ

"Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)" [QS. An-Nahl : 106].

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [QS. Al-Baqarah : 173].

Tinggalnya mereka di Makkah tersebut menyebabkan adanya keterpaksaan tersebut, sehingga ia mendapat 'udzur di satu sisi, tidak di sisi lain.

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata saat menjelaskan QS. An-Nisaa' : 97 :

فهو متوعدون بالنار لأنهم أقاموا بين أظهر الكفار من دون عذر، وكان الواجب عليهم أن يهاجروا إلى بلاد الإسلام، إلى المدينة المنورة، فلما أجبروا على الخروج وأكرهوا صار ذلك ليس عذراً لهم، وكان عملهم سبباً لهذا الإكراه، وسبباً لهذا الخروج فجاء فيهم هذا الوعيد. لكونهم عصوا الله بإقامتهم مع القدرة على الهجرة، ولم يكفروا لأنهم مكرهون، أخرجوا إلى ساحة القتال ولم يقاتلوا لكن قتلوا، قتل من قتل منهم، أما لو قاتلوا مختارين راضين غير مكرهين لكانوا كفارا، لأن من ظاهر الكفار وساعدهم يكون كافراً مثلهم

[sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/9140].

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

hathib itu kalo tidak salah dia ahlu badar. dan sikap dia langsung dihukumi oleh rosululloh.

bagaimana kisah hatib disamakan dengan penguasa sekuler yg menjadikan kafir harby seperti amerika sbg sekutu dan teman dekat ?

tidakkah SBY berkata "Amerika is my second country" dan ketika obama dtg ke jakarta dia menyanjung obama dg panggilan "yang mulia" ?

dan bagaimana cara kita menilai hati manusia disaat rosulloh sudah wafat / bukankah ahlussunah (sepeninggal nabi) menilai dari yang dzahir ?

mohon penjelasannya ustad..syukran

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Kalau Anda cermat dan benar-benar memperhatikan kontent artikel di atas, niscaya akan paham.

Pertanyaan Anda itu mestinya perlu dihubungkan dengan istinbath para ulama akan hadits Haathib. Di atas sebenarnya sudah dijelaskan ya. Jadi sebenarnya adalah tugas Anda memahaminya dengan pemahaman ulama.

Cara mengetahui adanya kecintaan dalam hati sudah saya tuliskan di komentar saya tanggal 2 November 2011 06:57.

NB : Lain kali, baca artikel dan baca komentar sebelumnya.

hijab Fotografi mengatakan...

Jika Kasus di atas bahwa perbuatan Fisik membantu orang Kafir namun hatinya Iman menjadi hujjah dia tidak tergolong kafir, lantas bagaimana dengan kasus Abu Jahal atau Abu Thalib hatinya beriman namun perbuatan fisiknya, dan lisannya tidak mau beriman?
dalam kasus ini malah perbuatan fisik dan lisannya menjadi hujjah kekafirannya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Qiyas nya nggak benar.

Abu Jahl dan Abu Thaalib itu asalnya adalah orang kafir. Mereka berdua hanya akan dihukumi muslim dan masuk dalam lingkaran Islam apabila mengucapkan dua kalimat syahadat. Pertanyaannya : "Apakah mereka berdua mengucapkannya ?". Orang kafir yang belum pernah masuk Islam tetap saja dihukumi kafir, dan itu di luar konteks yang sedang dibicarakan.

Kekufuran Abu Thaalib adalah kufur 'inaad.

Al-Azhariy menukil dari Al-Laits, bahwasannya ia berkata :

وهو أن يعرف الشئ ويأبى أن يقبله؛ ككفر أبي طالب، كان كفره مُعاندة؛ لأنه عرف وأقرّ وأنف أن يقال: تبع ابن أخيه، فصار بذلك كافراً

“Mengetahui sesuatu sesuatu namun enggan untuk menerimanya, seperti kekufuran Abu Thaalib. Kekufurannya itu adalah kufur ‘inaad, karena ia mengetahui kebenaran dan mengakuinya. Ia enggan disebut (oleh orang-orang Qurasiy) : pengikut anak saudara laki-lakinya. Maka dengan hal itu ia menjadi kafir” [Tahdziibul-Lughah, 3/2589].

Al-Baghawiy rahimahullah berkata :

وكفر العناد هو: أن يعرف الله بقلبه ويعترف بلسانه ولا يدين به ككفر أبي طالب حيث يقول:
ولقد علمت بأن دين محمد ... من خير أديان البرية دينا
لولا الملامة أو حذار مسبة ... لوجدتني سمحا بذاك مبينا

“Dan kufur ‘inaad adalah mengetahui Allah dengan hatinya dan mengakuinya dengan lisannya, namun tidak beragama dengannya, seperti kekufuran Abu Thaalib ketika ia berkata :
Dan sungguh aku tahu bahwa agama Muhammad
adalah sebaik-baik agama manusia
Seandainya bukan karena celaan atau khawatir cacian
niscaya engkau akan dapati aku sukarela menerima agamamu” [Tafsiir Al-Baghawiy, 1/48].

Ibnul-Atsiir rahimahullah mendefiniskkannya sebagai berikut :

وهو أنْ يَعْتَرف بقَلْبه ويَعْتَرف بِلِسانه ولا يَدِين به حَسَداً وبَغْياً ككُفْر أبي جَهْل وأضْرَابه

“Mengakui (kebenaran) dengan hatinya, mengakuinya dengan lisannya, namun tidak beragama dengannya, baik karena hasad ataupun durhaka, seperti kufurnya Abu Jahl dan yang semisalnya” [An-Nihaayah, hal. 806].

Apa yang sedang dibahas di artikel adalah seorang muslim yang melakukan tindakan kemaksiatan membantu orang kafir. Mengeluarkannya dari lingkaran Islam tentu ada kondisi-kondisinya.

wallaahu a'lam bish-shawwaab.