Tulisan kali ini akan
sedikit membahas tanggapan seorang mukhaalif atas artikel yang ditulis
Ustadz Firanda hafidhahullah di : http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs.
Sayang sekali, harapan saya mendapatkan faedah dari tulisan mukhaalif
tersebut sia-sia karena apa yang ditulisnya hanyalah daur ulang perkataan ngawur
kawan-kawannya terdahulu, yang ia kemas dengan bungkus baru. But,…the
content remains the same. Nothing’s new….
Strike to the point,
berikut ulasannya :
1.
Qutaibah
bin Sa’iid
Ustadz Firanda hafidhahullah berkata :
Beliau[1] berkata :
هذا قول
الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما
قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى
“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah,
dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas
‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas
‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103
no 434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang
merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan
ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para
ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan
pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103).
Mukhaalif berkata
:
Qutaibah bin Said syeikh
Khurosan tidak diragukan ke-imamannya, hanya saja riwayat ini diriwayatkan oleh
Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist. Llihat
Lisanul Mizan juz 5 hal 149, an-Naqosy juga disebutkan dalam al-Kasyf
al-Hatsist tentang rawi-rawi yang tertuduh dengan pemalsuan dengan nomer 643,
meninggal tahun 351 hijriyah. Sementara Abu Ahmad al-Hakim
meninggal tahun 398 hijriyah terpaut waktu 39 tahun, sehingga tidaklah benar
jika dia meriwayatkan dari Abul abbas as-siraj, karena as-siraj lahir pada
tahun 218 h meninggal tahun 313 sebagaimana disebutkan dalam Tarikh baghdad juz
1 hal 248. Artinya ketika as-siraj meninggal al-hakim baru berusia 7
tahun bagaimana bisa shahih riwayatnya? Jelas ucapan ini adalah Dusta yang
dibuat an-naqosy, terlebih an-naqosy terkenal sebagai pemalsu !
Saya jadi heran kenapa Ustadz Firanda
sebagai salah satu tokoh Salafi (wahabi) Indonesia kok ber-Hujah dengan yang
dusta alias Palsu? Dengan demikian Status Hujjah ini: gugur!
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Atsar Al-Imaam Qutaibah
bin Sa’iid rahimahullah tersebut shahih. Yang disebutkan oleh
Adz-Dzahabiy merupakan bagian dari perkataan beliau yang panjang mengenai
ketetapan-ketetapan ‘aqiidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Atsar tersebut
diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim rahimahullah sebagai berikut (saya
ringkas matannya) :
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ
بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ،
قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ:
الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، .........وَيَعْرِفَ اللَّهَ فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ
عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ
وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia
berkata : Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Ini adalah
perkataan para imam yang diambil dalam Islam dan Sunnah : ‘Ridlaa terhadap
ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya,
sebagaimana firman Allah : ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy beristiwa’. Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan
semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha : 5)…..” [Syi’aar
Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17, tahqiq : As-Sayyid Shubhiy
As-Saamiraa’iy, Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H; sanadnya shahih].
Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia adalah Abul-‘Abbaas
As-Sarraaj; seorang yang haafidh, tsiqah, lagi mutqin. Lahir
tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun [lihat : Zawaaid Rijaal
Shahiih Ibni Hibbaan oleh Yahyaa bin ‘Abdillah Asy-Syahriy, hal. 1117-1124
no. 520, desertasi Univ. Ummul-Qurra’].
Catatan penting : Abu Ahmad Al-Haakim, lahir tahun 285 H, dan wafat tahun 378 H. Abul-'Abbaas As-Sarraaj sendiri merupakan syaikh dari Al-Haakim [lihat muqaddimah kitab Syi'aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 11]. Oleh karena itu, tidak benar klaim mukhaalif bahwa Abu Ahmad Al-Haakim tidak meriwayatkan dari As-Sarraaj. Apalagi jelas, Al-Haakim menyampaikan riwayat dengan perkataan : 'sami'tu' (aku mendengar) dari As-Sarraaj.
Adapun Qutaibah bin Sa’iid, maka telah mencukupi apa
yang disebutkan di atas. Beliau lahir tahun 150 H, dan wafat tahun 240 H [At-Taqriib,
hal. 799 no. 5557, tahqiq : Abu Asybal Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah].
Konsekuensinya - bagi mukhaalif - perkataan ‘syaikh
Khurasaan yang tidak diragukan keimamannya’ ini harus Anda ambil, karena
atsar tersebut shahih dan dikatakan oleh orang yang Anda akui keimamannya.
2.
Abu
‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy.
Ustadz Firanda hafidhahullah berkata :
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits
berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas
‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya
Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus
Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih,
ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi
di zamannya" (Al-'Uluw 2/1317)
Mukhaalif berkata
:
Yang shahih dari Ucapan Imam
As-shobuni hanya : “Para Ahli Hadits berkeyakinan
dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya
sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para
pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana? Silahkan
rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni,
pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma’
tentang keberadaan Allah di langit sebagaimana yang di Klaim oleh
Ustadz firanda. Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak
oleh Salafi Wahabi. Status Hujjah salah alamat!
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Nampaknya Anda setengah sadar dalam melakukan bantahan.
Kalimat :
وعلماء الأمة وأعيان الأئمة من السلف - رحمه الله
- لَم يختلفوا في أن الله على عرشه، وعرشه فوق سمواته،......
“Para
ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di
atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya…..”
adalah kalimat asli Ash-Shaabuuniy dalam kitabnya yang
berjudul ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, bukan tambahan
Adz-Dzahabiy rahimahullah. Perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah yang
dinukil hanyalah berkaitan dengan informasi singkat biografi Abu ‘Utsmaan
Ash-Shaabuuniy. Tidakkah Anda membaca scan kitabnya yang dinukil Ustadz
Firanda[2]
? Atau,… Anda memang tidak pernah membaca kitab ‘Aqiidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadiits-nya Ash-Shaabuuniy ?.
Saya tambahkan versi cetakan dari lain penerbit dan muhaqqiq
:
[Terbitan : Maktabah Al-Imaam Al-Waadi’iy, Cet. 1/1428,
tahqiq : Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdul-Majiid Asy-Syamiiriy, hal. 22-23].
Bantahan dan tanggapan mukhaalif itulah yang
salah alamat, tidak akurat, dan mengada-ada. Adakah sumber penukilan perkataan seseorang yang lebih valid daripada penukilan kitab tulisannya sendiri ?. Sebagaimana komentar saya
sebelumnya, kali ini Anda juga harus membesarkan jiwa Anda menerima kenyataan
perkataan Ash-Shaabuuniy yang – mungkin tidak Anda inginkan – bertentangan dengan
apa yang Anda yakini saat ini.
3.
Abu
Zur’ah Ar-Raaziy dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumallaah.
Ustadz Firanda hafidhahullah berkata :
Berkata Ibnu Abi Hatim :
"Aku bertanya pada bapakku (Abu
Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara
ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa
yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami
dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman
berkeyakinan bahwa:
Iman itu berupa perkataan dan amalan,
bertambah dan berkurang...
Allah ‘azza wa jalla di atas
‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya
sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui
lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya,
Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis
Sunnah wal Jamaa'ah karya Al-Laalikaai 1/198)
Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,
“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli
bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka
menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar,
ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri
rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah
wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201
Mukhaalif berkata
:
Riwayat ini tidak sah dinisbatkan
kepada Abu Zur’ah begitu juga jika dinisbatkan kepada Abu hatim. Riwayat ini diriwayatkan dari tiga jalur sebagaimana
disebutkan oleh Adz-Dzahzbi dalam Al-Uluw. Dua jalur pertama terdapat dua Rawi
yang majhul, keduanya yaitu : Ali ibn Ibrohim meriwayatkan dari Ibn Jami’ ,
rawi majhul yang satunya Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada
bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil
yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul. Sebagaimana riwayatnya terdapat
dalam sarh Sunnah Al-Lalikai juz 1 hal 176 , jalur ketiga atsar ini diriwayatkan
oleh Ibn Murdik jarak kematiannya dengan Abu Hatim 60 tahun sebagaimana
disebutkan dalam Tarikh Baghdad juz 12 hal 30.
Seperti diketahui secara luas oleh ahli bahwa Abu
Zur’ah dan Abu Hatim tidak dikenal berbicara dalam masalah seperti ini sebagaimana
keduanya juga dikenal tidak mempunyai karya tulis dalam Bab Aqidah persis
seperti teman keduanya yaitu Imam Ahmad Ibn Hambal yang juga
mengatakan: “Tidak ada yang melewati jembatan Baghdad orang yang lebih Hafidz
dari Abu Zur’ah, beliau adalah termasuk salah satu Wali Abdal yang
dengannya Bumi terjaga.”
Saya Ahmad Syahid katakan: Andai
pernyataan sepert itu Muncul dari golongan Asy’ariyah atau Sufiyah Pasti kaum
wahabiyyin akan menuduh Kafir, Musyrik, dan Ahli Bid’ah!
Status Hujjah gugur , karena rawi-rawinya
Majhul.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Katanya, riwayat perkataan dua imam tersebut lemah (dla’iif)
dengan sebab adanya para perawi majhuul. Mari kita lihat sanad riwayat
yang dibawakan oleh Al-Imaam Al-Laalikaa’iy rahimahullah :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي
حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ
فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ،
وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ
حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ:......
Telah mengkhabarkan
kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata
: Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi
Haatim,
ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan
Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka
temui dari para ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini
tentang hal itu, maka mereka berdua berkata : ”Kami telah bertemu dengan para
ulama di seluruh pelosok negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman,
maka yang termasuk madzhab mereka adalah : ..... (kemudian beliau menyebutkan macam-macam 'aqiidah, sebagaimana telah dituliskan Ustadz Firanda di atas) [Syarh Ushuulil-I'tiqaad, 1/176].
Keterangan perawi :
a. Muhammad bin Al-Mudhaffar bin ’Aliy bin Harb,
Abu Bakr Al-Muqri’ Ad-Diinawariy; seorang syaikh yang shaalih, mempunyai
keutamaan, lagi shaduuq. Wafat 415 H [Taariikh Baghdaad, 4/430
no. 1624, tahqiq : Dr. Basyaar ’Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb, Cet. 1/1422 H].
b. Al-Husain bin
Muhammad bin Habsy, Abu ’Aliy Ad-Diinawariy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi
ma’muun [lihat : Taariikh Islaamiy oleh Adz-Dzahabiy, 26/538-539,
tahqiq : Dr. ’Umar bin ’Abdis-Salaam At-Tadmuriy; Daarul-Kitaab Al-’Arabiy, Cet.
1/1409 H].
c. Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim; ia adalah anak dari Abu Haatim
Ar-Raaziy, seorang imam yang tidak perlu ditanyakan lagi.
Kesimpulan : Sanad
riwayat ini shahih. Tidak ada rawi majhuul sebagaimana klaim mukhaalif.
Konsekuensinya, Anda (mukhaalif)
juga harus menerima dan membuang jauh-jauh perkataan Anda di atas. Apapun
dalihnya. Abu Zur’ah dan Abu Haatim adalah imam yang terpercaya menurut Anda.
Itulah perkataan empat orang ulama yang disepakati keimamannya antara ’Wahabiy’ dan mukhaalif.
Sengaja saya hanya batasi bahasannya untuk empat imam saja. Saya tidak membahas tuduhan
ngawur mukhaalif terhadap Ibnu Qutaibah, Ibnu Khuzaimah[3], Ad-Daarimiy, dan Abu ’Umar
Ath-Thalamankiy rahimahumullah sebagai mujassim. Begitu juga tuduhan
ngawur lainnya terhadap Ibnu Baththah rahimahullah sebagai
pemalsu hadits. Begitu juga ulasan ngawur-nya terhadap aqwaal para
imam. Mungkin bisa dilakukan lain waktu, lain orang, bahkan – mungkin – oleh Ustadz
Firanda sendiri.[4]
Akhirnya,...
sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya, tidaklah ditinggalkan semuanya. Semoga
yang sedikit ini dapat memberikan manfaat bagi saya dan rekan-rekan.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yk – next, job from boss must be done tonite].
[1] Maksudnya, Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah.
[2] Kitab yang beliau nukil adalah terbitan
Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H, dengan tahqiq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy.
[3] Telah ada artikel yang menyebutkan biografi
Ibnu Khuzaimah rahimahullah : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/biografi-ibnu-khuzaimah.html
[4] Sebenarnya, Ustadz Firanda lah yang berhak
menjawab apa yang dituliskan dan disebarkan mukhaalif tersebut. Dan saya
yakin, tidaklah terlampau sukar bagi beliau untuk menjelaskan kekeliruan
argumentasi susunan mukhaalif tersebut.
Namun,
ada perkataan mukhaalif tersebut yang benar tentang atsar Al-Auza’iy rahimahullah, ia adalah atsar lemah
(dilemahkan oleh muhaqqiq kitab Al-Asmaa’ wash-Shifaat : ‘Abdullah
Al-Haasyidiy, 2/304 dengan sebab Muhammad bin Katsiir). Namun harus juga dikatakan,
apa yang dijelaskan Ustadz Firanda dalam artikelnya sudah lebih dari cukup bagi
orang yang fair dan bisa berpikir jernih, tanpa dikotori nafsu ’asal
bantah’ sebagaimana dilakukan mukhaalif.
Comments
Alhamdulillah...jazakalloh khoir ustadz. Semoga Allah Ta'ala membalas amal baikmu untuk membantah mereka demi menjelaskan yg benar pd kaum muslimin.
Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan setiap langkah dan urusan antum. Amin.
Kebenaran selalu akan tampak, jazk.. ustaz
Tulisan Firanda udah di bantah oleh ustadz Achmad Syahid, ini linknya :
http://ummatipress.com/2011/10/10/firanda-pendusta-murokkab-berhujjah-dengan-hujjah-dusta-dan-palsu/comment-page-12/#comment-16249
mukhalif itu siapa? dimana blognya?
@Anonim 19 Oktober 2011 10:56,.... saya sudah baca. Maaf, bantahan tidak berbobot. Di atas adalah sedikit ulasan mengenai bantahannya itu.
loh kok banthannya dibilang tidak berbobot?
bukannya ulasan firanda yang tidak berbobot... saya sudah baca ulasan firanda, ternyata sama sekali tidak berbobot.
Maaf... kalau menurut saya para ulama wahabi tidak ada yang berbobot, apalagi para pengikutnya.
hanya bantahan ke dua agak nyambung, tapi tetap aja menunjukkan perkataan tafwidh, bantahan lainnya tidak nyambung....
1.Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist..... mana bantahannya?
3. Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul.... kok malah menggunakan Taariikh Islaamiy oleh Adz-Dzahabiy, justru Adz Zahabi yang menganggap kuat al muqri inilah inilah yang dibantah oleh AhmadSyahid dari keterangannya diatas.
Seandainya saja anda memperhatikan apa yang tertulis di atas, niscaya anda akan tahu betapa cerobohnya Ustadz Ahmad Syahid, bahkan pada hal-hal yang amat sepele sekalipun. Bantahannya pun terkesan emosional sehingga melahirkan bantahan 'asal bantah'. Tidak ilmiah.
Contoh lain bagaimana penilaiannya terhadap ulama, yaitu bagaimana ia (Ustadz Ahmad Syaahid) menjustifikasi rahimahullah Ibnu Baththah rahimahullah. Perhatikan :
Ibnu Hajar berkata : الفقيه إمام لكنه ذو أوهام "(Ibnu Baththah seorang faqih lagi imam, namun mempunyai beberapa keraguan (wahm)".
Kemudian ia melanjutkan : ومع قلة إتقان ابن بطة في الرواية كان إماما في السنة إماما في الفقه صاحب أحوال (bersamaan dengan sedikitnya keitqanan Ibnu Baththah dalam riwayat, namun ia seorang imam dalam sunnah, fiqh, orang yang mengetahui keadaan manusia....).
Baru kemudian Ibnu Hajar berkata : وقفت لابن بطة على أمر استعظمته واقشعر جلدي منه (Aku memikirkan Ibnu Baththah atas sebuah perkara yang aku anggap besar yang membuat kulitku merinding darinya).
Perkataan Ibnu Hajar sampai di sini saja. Sedangkan Ustadz Ahmad Syahid menambahkan terjemahan berikut :
"Kemudian aku tetapkan bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist (wadho’) , dan dia mempunyai kebiasaan mencungkil nama-nama para imam ahli hadist".
Saya tidak tahu, dari mana ia nemu kalimat ini ?. Mungkin Ustadz Ahmad Syahid memang tidak membuka kitab Lisaanul-Miizaan nya Ibnu Hajar.
Ada bahasan mengenai Ibnu Baththah ini, beserta bantahan orang yang menuduh beliau sebagai pemalsu :
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=214043.
Semoga yang sedikit ini dapat mencerahkan Anda....
@Anonim 19 Oktober 2011 17:35,....
Anda lucu ya,.. padahal saya yakin Anda bukan pelawak.
1. Adz-Dzahabiy berkata dalam kitab Al-'Ulluw :
"Telah berkata Abu Muhammad Al-Haakim dan Abu Bakr An-Naqqaasy Al-Mufassir, dan ini adalah lafadhnya (Abu Bakr An-Naqqaasy) : Telah menceritakan kepada kami Abul-'Abbaas As-Sarraaj, ia berkata : Aku mendengar Qutaibah bin Sa'iid berkata : ".....(matan atsar)...".
Perhatikan baik-baik. Adz-Dzahabiy membawakan dua jalur periwayatan atas perkataan Qutaibah bin Sa'iid ini. Pertama jalur Abu Muhammad Al-Haakim, dan kedua jalur Abu Bakr An-Naqqaasy.
Perlu untuk diperhatikan bahwa Adz-Dzahabiy dalam perkataannya ini mengalami wahm, karena yang benar periwayatan tersebut (di satu jalurnya) adalah periwayatan dari Abu Ahmad Al-Haakim, bukan dari Abu Muhammad Al-Haakim.
Dan inilah yang shahih. Mengapa Ustadz Ahmad Syaahid tidak melakukan penelitian akurasi periwayatan sebagaimana yang saya katakan ?. Entahlah, silakan tanya kepada beliau. Seandainya saya ketemu Ustadz Ahmad Syaahid dan ia meminta saya kopiannya, insya Allah saya kopiakan kitab Syi'aar Ashhaabil-Hadiits nya Abu Ahmad Al-Haakim.
Berangkat dari sinilah kekliruan analisanya.
2. Kata Ustadz Ahmad Syahiid :
Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul.
Mungkin saja penilaian majhul ini karena ia (Ustadz Ahmad Syahid) mencari orang dengan nama di atas (perhatikan yang saya bold). Karena yang benar namanya adalah Al-Husain, bukan Al-Hasan.
Kitab Taariikh Islaamiy nya Adz-Dzahabiy ini adalah salah satu referensi dalam penilaian rawi. Makanya, perkataan Ustadz Ahmad Syahid yang mengatakan Al-Husain bin Muhammad bin Habsy ini majhul dan tidak ada ulama jarh wa ta'dil yang mentsiqahkannya adalah omong kosong.
Saya paham, pembelaan membabi-buta Anda pada Ahmad Syahid itu karena memang Anda tidak tahu kedudukan permasalahannya. Ya wajar Anda berkata begitu....
jika tidak memberatkan, mohon Ustadz Abul Jauzaa untuk mengulas secara ringkas biografi Al Imam Ibnu Baththoh beserta pujian para ulama yang disepakati sebagai ahlus sunnah antara salafi dengan asy'ari.
masya Alloh, memang benar kalau hati orang wahabi seperti anda telah tertutup oleh hijab kesombongan.......maaf.
Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani.
Cetakan: Maktab Islami.
halaman : 71.
Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :
إذا أحطت علما بكل ما سبق استطعت بإذن الله تعالى أن تفهم بيسر من الآيات القرآنية والأحاديث النبوية والآثار السلفية التي ساقها المؤلف رحمه الله في هذا الكتاب الذي بين يديك ( مختصره ) أن المراد منها إنما هو معنى معروف ثابت لائق به تعالى ألا وهو علوه سبحانه على خلقه واستواؤه على عرشه على ما يليق بعظمته وأنه مع ذلك ليس في جهة ولا مكان
“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”.
Read more: http://aswaja.webnode.com/news/akhirnya-albani-dan-taubatdan-akui-aqidah-allah-wujud-tanpa-tempat-dan-arah/
Apakah hal ini benar Pak Ustadz sesuai teks di situs tersebut ?
Jazakallah khoiron.
Ya benar, itu memang merupakan sebagian dari perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Al-'Ulluw. Tapi sayangnya, sebagaimana kebiasaan buruk mukhaalif, mereka memotong penjelasan beliau yang menjelaskan kalimat yang dinukil. Beliau (Asy-Syaikh Al-Albaaniy) menolak pemutlakan arah dan tempat bagi Allah, sebagaimana beliau juga menolak penafikannya secara mutlak.
Maksudnya, Allah tidak boleh disifati dengan arah dan tempat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan lafadh arah dan tempat. Namun kita akan juga tidak boleh menafikkan secara mutlak jika hal itu mengkonsekuensikan penafikkan terhadap sifat Al-'Ulluw bagi Allah ta'ala.
Ini jawaban ringkasnya.
Tanggapan mukhaalif, tafaddhol yaa ustadz:
Sampah sekalipun ketika didaur ulang dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat , sayang abu jauza tidak dapat mengambil faidah dari tulisan yang konon menurutnya adalah daur ulang dari perkataan ngawur , tanpa mampu menunjukkan perkataan siapa yang didaur ulang ……? Lalu dimana letak ngawurnya …..? atau malah tulisan abul jauza yang daur ulang dan ngawur…..? mari kita lihat.
[1. Qutaibah bin Sa’iid ... dst]
Tanggapan saya ( ahmad Syahid ) : 1. bukankah riwayat yang dibawakan abul jauza ini adalah daur ulang dari riwayat yang oleh dibawakan ustadz firanda ……? Yang dinukil dari kitab al-uluw ……?
2. abu jauza menghukumi riwayat ini shahih , tanpa mampu menunjukkan jika an-naqosy yang tertuduh sebagai pemalsu hadist adalah tsiqoh yang dapat diambil riwayatnya , abu jauza malah menampilkan bioghrafi rawi yang sama sekali tidak tertuduh , sementara rawi yang tertuduh ” an-naqosy ” tidak dia tampilkan sama sekali.
3. abu jauza mengatakan : ” Konsekuensinya – bagi mukhaalif – perkataan ‘syaikh Khurasaan yang tidak diragukan keimamannya’ ini harus Anda ambil, karena atsar tersebut shahih dan dikatakan oleh orang yang Anda akui keimamannya ” ,
inilah perkeliruan dan ngawurnya abul jauza , sebab jangankan perkataan Ulama , sabda Nabi pun jika dalam sanad riwayatnya terdapat Rawi yang tertuduh, maka hokum dari riwayat perkataan Nabi tadi menjadi dhaif bahkan maudhu` jika dalam sanadnya terdapat seorang pemalsu seperti an-Naqqosy , atau abu jauza tidak mengerti syarat shahihnya sebuah sanad……?
[2. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy. .... dst]
Tanggapan saya (ahmad Syahid ) : andai abu jauza membaca utuh tulisan ash-shobuni , nisacaya abu jauza akan malu sebab sesungguhnya Ash-shobuni adalah seorang Mufawwidh , tolong abu jauza perhatikan dengan seksama scan kitab yang dibawakannya sendiri diatas , pada baris ketiga dari bawah , dalam scan tersebut terdapat pernyataan ash-shobuni yang sangat jelas menunjukkan jika beliau adalah seorang Mufawwidh
ويمرو نه علي ظا هره ؤيكلو ن علمه الي الله الخ ,,,,,,,,,
Pernyataan ash-shobuni ini luput dari perhatian abu jauza , lihatlah jika ash-shobuni mewakilkan imunya ( maknanya) kepada Allah , inilah Tafwidh yang shorih dari sang Imam , yang sangat berbeda dengan metodologi kaum wahabiyyin dimana mereka (wahabiyyin termasuk abu jauza ) menolak Tafwidh karena menurut dia dan golongannya , bahwa Tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) adalah penyimpangan, bid`ah dan Ilhad .
Saya (ahmad Syahid) ucapkan : kali ini Anda juga harus membesarkan jiwa Anda menerima kenyataan perkataan Ash-Shaabuuniy yang – mungkin tidak Anda inginkan – bertentangan dengan apa yang Anda yakini saat ini.
[3. Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumallaah. ... dst]
Tanggapan saya ( ahmad syahid ) : tiga orang rawi majhul yang saya maksud adalah : 1. ali bin Ibrahim , 2. al-hasan bin muhammad bin hubaisy al-muqri , 3 . ibn murdik .
Sangat disayangkan bighrafi yang didatangkan oleh abu jauza adalah : 1. Muhammad bin Al-Mudhaffar bin ’Aliy bin Harb, Abu Bakr Al-Muqri’ Ad-Diinawariy; 2. Al-Husain bin Muhammad bin Habsy, Abu ’Aliy Ad-Diinawariy Al-Muqri, 3. Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim.
Sangat tidak nyambung , ( yang saya sebut majhul yang mana……? yang dibawakan abu jauza yang mana …..? ) upaya abu jauza hanyalah pemaksaan kehendak yang tidak akan tercapai , sebab syeikh kontradiktif pun (al-albani) mengakui dalam mukhtasor ala-uluw halaman 205 , jika dalam sanad- sanad ini ( riwayat dari abu hatim dan abu zur`ah) ada beberapa orang yang tidak dia ketahui alias majhul , kecuali jika abu jauza merasa lebih hebat dari syaikhnya yang kontradiktif itu.
Catatan abu jauza :[1][2][3][4]
Tanggapan saya : 1. riwayat dari al-auza`I bukanlah atsar , 2. riwayat qoul al-auza`I adalah Madhu` bukan hanya dhaif. 3. entah siapa yang lebih layak menyandang : ” orang yang fair dan bisa berpikir jernih, tanpa dikotori nafsu ’asal bantah’ sebagaimana dituduhkan abu jauza.
Demikian tanggapan atas catatan abu jauza.
@Anonim 19 Oktober 2011 20:22
Justru yang saya lihat si Ahmad Syahid dkk yang telah tertutup mata hatinya dengan membantah membabi buta dengan penuh kesombongan tanpa disertai ilmu yang cukup.. Masya Allah kenapa mereka tidak bisa melihat kebenaran yang begitu nyata hanya karena kebencian yang menghujam di hati mereka kepada suatu kaum...
Jujurlah... jika memang kalian tidak punya ilmu yang cukup ga usah memaksakan diri lah, yang ada hanya bantahan penuh nafsu tetapi kosong isinya... sebagai seorang muslim, malu saya membacanya...
komentar-komentar provokatif seperti anonym diatas tidak perlu ditampilkan ustadz, sama sekali tidak ada faidah ilmiyyahnya, yang hanyalah mendatangkan kebencian dalam hati.
@Abu Maya, terima kasih atas penyampaiannya......
Hanya itukah tanggapan Anda wahai mukhaalif ?. Sungguh, jika memang hanya itu yang engkau tanggapi, semakin menunjukkan kualitas dirimu. Berikut tanggapan balik saya :
1. Riwayat Qutaibah bin Sa'iid.
Lihat, bagaimana 'ngotot'-nya mukhaalif ini yang memaksa bahwa riwayat tersebut harus melewati An-Naqasiy. Kasihan wahai dirimu Ahmad Syahiid.... Tidakkah Anda memahami makna perkataan Adz-Dzahabiy itu bahwa riwayat itu berasal dari dua jalur, yaitu An-Naqasyiy dan Abu Ahmad Al-Haakim, yang kemudian keduanya meriwayatkan dari As-Sarraaj ?.
Jika jalan An-Naqqasyiy itu lemah, maka tidak demikian halnya jalan Abu Ahmad Al-Haakim. Oleh karena itu, jalan yang dipakai adalah jalan Abu Ahmad Al-Haakim, bukan An-Naqasyiy. Tidakkah Anda paham ilmu periwayatan yang seperti ini ?. Atau,.... memang Anda tidak pernah mempelajarinya ?.
2. Riwayat Abu 'Utsmaan Ash-Shaabuuniy.
Rupanya Anda malu mengakui kecerobohan Anda dalam penisbatan perkataan Adz-Dzahabiy tanpa mau mengakui. Begitu ya.....
Sekarang Anda hendak berbicara atas perkataan Ash-Shaabuuniy yang kata Anda merupakan tambahan dari Adz-Dzahabiy........ Saya sudah membaca dengan secara utuh berulang-kali. Apa yang Anda katakan itu hanyalah apologi Anda untuk menutupi kesalahan Anda. jelas sekali kok apa yang dimaksudkan oleh Ash-Shaabuuniy : Memperlakukan sebagaimana dhahirnya dan menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala.
Apa maksud menyerahkan ilmu-Nya di sini ?. Kalau menurut Anda itu tafwidl, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah ta'ala. Sekali lagi, itu menurut Anda. Adapun menurut Ash-Shaabuuniy sendiri adalah menyerahkan ilmu kaifiyatnya. Sebab, sebelumnya ia telah mengatakan untuk memperlakukan sebagaimana dhahirnya. Apa itu dhahirnya ?. Yaitu, Allah berada di atas 'Arsy-Nya dan 'Arsy-Nya berada di atas langit-langit-Nya (Annallaaha ta'ala 'alaa 'arsyihi wa 'arsyihi fauqa samaawaatihi).
3. Riwayat Abu Zur'ah dan Abu Haatim rahimahumallaah.
Apologi Anda terlalu konyol wahai Ahmad Syahiid. Bukankah yang Anda komentari adalah tulisan Ustadz Firanda ?. Bukankah Ustadz Firanda menukil riwayat Abu Zur'ah dan Abu Haatim itu dari Syarh Ushuulil-I'tiqaad ?. Oleh karena itu jangan bermimpi wahai Ustadz Ahmad Syahiid, dan tidak usah malu mengakui bahwa Anda itu memang keliru.
Atau, Anda tidak punya kitab Syarh Ushuulil-I'tiqaad sehingga tidak ada bahan untuk berkomentar ?. Walaupun acuan kitab saya dengan kitab Ustadz Firanda beda cetakan, namun saya dapat mencarinya riwayat yang dimaksudkan. Di atas telah saya sebutkan sanad riwayat yang dimaksudkan dalam kitab Syarh Ushuulil-I'tiqaad.
Saya ulang, ini sanadnya :
"Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah.....".
Sudah lihat ?. Silakan dikomentari.... Namun komentarnya yang bermutu ya....
4. Riwayat Al-Auza'iy.
Anda terlalu berlebihan wahai Ahmad Syahiid. Anda menghukumi riwayat ini sebagai riwayat palsu dengan sebab Ibraahiim bin Al-Haitsam dan Muhammad bin Katsiir. Saran saya, lain kali kalau buka kitab biografi yang bener, lihat perkataan semua ulama, kemudian simpulkan. Jangan ambil yang 'menguntungkan' saja.
Ibraahiim bin Al-Haitsam itu perawi tsiqah. Ibnu 'Adiy mengatakan : 'Hadits-haditsnya lurus". Dan kemudian beliau mengatakan tidak menemukan hadits-haditsnya yang munkar kecuali satu saja. Al-Kahthiib berkata : "Tsiqah lagi tsabat". Ad-Daaruquthniy mengatakan tsiqah. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabiy mengatakan : "Shaadiq". Hanya Ibnu Ma'iin yang mengatakan : "Riwayat-riwayatnya diingkari". Namun perkataan ini tidaklah menjatuhkan kredibilitas Ibraahiim secara keseluruhan.
Tentang Muhammad bin Katsiir, maka biografinya ada dalam Tahdziibul-Kamaal dan Tahdziibut-Tahdziib. Anda bisa menengoknya. Oleh karena itu, Ibnu Hajar merangkum beberapa komentar tentang diri Muhammad bin katsiir dengan perkataan : "Shaduuq katsiirul-ghalath". Adz-Dzahabiy pun menyimpulkan : "Shaduuq, namun mengalami ikhtilaath (percampuran hapalan) di akhir usianya".
Jika melihat hal itu, maka riwayat Al-Auza'iy itu hanyalah lemah saja. Bahkan jika dianggap sangat lemah, maka itu juga tidak harus palsu.
Atau,.... jangan-jangan Anda tidak tahu apa itu riwayat palsu dan kapan satu riwayat dihukumi palsu ?. Tentu saja ini menurut standar ilmu hadits, bukan menurut standar Ahmad Syahiid....
Afwan Ustadz... sedikit menambah faedah dari cara membantah: terkait point [2. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy. .... dst] TOPIK :tambahan (para pemuka dst….)...
--Ahmad Syahid berkata:...…. kata-kata setelah ini (para pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana? Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni,.....
--Abul Jauza membantah:...
Kalimat :
وعلماء الأمة وأعيان الأئمة من السلف - رحمه الله - لَم يختلفوا في أن الله على عرشه، وعرشه فوق سمواته،......
“Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya…..”
adalah kalimat asli Ash-Shaabuuniy dalam kitabnya yang berjudul ‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, bukan tambahan Adz-Dzahabiy rahimahullah. Perkataan Adz-Dzahabiy rahimahullah yang dinukil hanyalah berkaitan dengan informasi singkat biografi Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy.....
---BANTAHANNYA NYAMBUNG>>>SETUJU??? dan berarti ARGUMEN Ahmad Syahid TERBANTAHKAN mengenai tambahan tersebut Syahih????
---Kemuadian Ahmad Syahid mebantah lagi:...andai abu jauza membaca utuh tulisan ash-shobuni , nisacaya abu jauza akan malu sebab sesungguhnya Ash-shobuni adalah seorang Mufawwidh...INI SUDAH BEDA TOPIK lagi mas tentang "Ash-shobuni adalah seorang Mufawwidh" bukan tentang tambahan tersebut lagi.... JADI BANTAHANNYA ndak nyambung alias salah alamat....
Wallahu A'lam, Semoga Allah meberi hidayah dan petunjuk bagi kita semua....Yang JELAS dan HAQ telah terlihat TERANG BENDERANG.......
afwan ust. komen2 yg sangat menonjol diUmmatipress adalah seorg yg bernama 'Diant' bisakah ust. memberi tanggapan2 atas komen2x...
saya belum sempat meneliti tantang riwayat hadist, tetapi yang perlu saya tanyakan.... sejak kapan :
jelas sekali kok apa yang dimaksudkan oleh Ash-Shaabuuniy : Memperlakukan sebagaimana dhahirnya dan menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala.
itu jadi dimaknai :
Adapun menurut Ash-Shaabuuniy sendiri adalah menyerahkan ilmu kaifiyatnya. Sebab, sebelumnya ia telah mengatakan untuk memperlakukan sebagaimana dhahirnya. Apa itu dhahirnya ?. Yaitu, Allah berada di atas 'Arsy-Nya dan 'Arsy-Nya berada di atas langit-langit-Nya (Annallaaha ta'ala 'alaa 'arsyihi wa 'arsyihi fauqa samaawaatihi).
Sejak kapan Ash-Shaabuuniy menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah namun memaknainya sesuai dengan makna zhahir?
Sejak kapan Ulama salaf dan pengikutnya menetapkan kaifiyat bagi Allah?
Coba merangkum biar enak dibaca
[1. Qutaibah bin Sa’iid]
Ust. Ahmad Syahid (UAS):
Tanggapan saya ( ahmad Syahid ) : 1. bukankah riwayat yang dibawakan abul jauza ini adalah daur ulang dari riwayat yang oleh dibawakan ustadz firanda ……? Yang dinukil dari kitab al-uluw ……?
2. abu jauza menghukumi riwayat ini shahih , tanpa mampu menunjukkan jika an-naqosy yang tertuduh sebagai pemalsu hadist adalah tsiqoh yang dapat diambil riwayatnya , abu jauza malah menampilkan bioghrafi rawi yang sama sekali tidak tertuduh , sementara rawi yang tertuduh ” an-naqosy ” tidak dia tampilkan sama sekali.
3. abu jauza mengatakan : ” Konsekuensinya – bagi mukhaalif – perkataan ‘syaikh Khurasaan yang tidak diragukan keimamannya’ ini harus Anda ambil, karena atsar tersebut shahih dan dikatakan oleh orang yang Anda akui keimamannya ” ,
inilah perkeliruan dan ngawurnya abul jauza , sebab jangankan perkataan Ulama , sabda Nabi pun jika dalam sanad riwayatnya terdapat Rawi yang tertuduh, maka hokum dari riwayat perkataan Nabi tadi menjadi dhaif bahkan maudhu` jika dalam sanadnya terdapat seorang pemalsu seperti an-Naqqosy , atau abu jauza tidak mengerti syarat shahihnya sebuah sanad……?
Ust.Abul Jauza (UAJ):
Lihat, bagaimana 'ngotot'-nya mukhaalif ini yang memaksa bahwa riwayat tersebut harus melewati An-Naqasiy. Kasihan wahai dirimu Ahmad Syahiid.... Tidakkah Anda memahami makna perkataan Adz-Dzahabiy itu bahwa riwayat itu berasal dari dua jalur, yaitu An-Naqasyiy dan Abu Ahmad Al-Haakim, yang kemudian keduanya meriwayatkan dari As-Sarraaj ?.
Jika jalan An-Naqqasyiy itu lemah, maka tidak demikian halnya jalan Abu Ahmad Al-Haakim. Oleh karena itu, jalan yang dipakai adalah jalan Abu Ahmad Al-Haakim, bukan An-Naqasyiy. Tidakkah Anda paham ilmu periwayatan yang seperti ini ?. Atau,.... memang Anda tidak pernah mempelajarinya ?.
Komentar: UAS mempersoalkan jalur An-Naqosiy, sedangkan UAJ memakai jalur lain yang SHAHIH yang tidak ada An-Naqosiy.
Jadi kalau UAS mau bantah, bantah lah jalur yang dianggap SHAHIH oleh UAJ.
[2. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy]
UAS:
Tanggapan saya (ahmad Syahid ) : andai abu jauza membaca utuh tulisan ash-shobuni , nisacaya abu jauza akan malu sebab sesungguhnya Ash-shobuni adalah seorang Mufawwidh , tolong abu jauza perhatikan dengan seksama scan kitab yang dibawakannya sendiri diatas , pada baris ketiga dari bawah , dalam scan tersebut terdapat pernyataan ash-shobuni yang sangat jelas menunjukkan jika beliau adalah seorang Mufawwidh
ويمرو نه علي ظا هره ؤيكلو ن علمه الي الله الخ ,,,,,,,,,
Pernyataan ash-shobuni ini luput dari perhatian abu jauza , lihatlah jika ash-shobuni mewakilkan imunya ( maknanya) kepada Allah , inilah Tafwidh yang shorih dari sang Imam , yang sangat berbeda dengan metodologi kaum wahabiyyin dimana mereka (wahabiyyin termasuk abu jauza ) menolak Tafwidh karena menurut dia dan golongannya , bahwa Tafwidh (menyerahkan makna kepada Allah) adalah penyimpangan, bid`ah dan Ilhad .
Saya (ahmad Syahid) ucapkan : kali ini Anda juga harus membesarkan jiwa Anda menerima kenyataan perkataan Ash-Shaabuuniy yang – mungkin tidak Anda inginkan – bertentangan dengan apa yang Anda yakini saat ini.
UAJ:
Rupanya Anda malu mengakui kecerobohan Anda dalam penisbatan perkataan Adz-Dzahabiy tanpa mau mengakui. Begitu ya.....
Sekarang Anda hendak berbicara atas perkataan Ash-Shaabuuniy yang kata Anda merupakan tambahan dari Adz-Dzahabiy........ Saya sudah membaca dengan secara utuh berulang-kali. Apa yang Anda katakan itu hanyalah apologi Anda untuk menutupi kesalahan Anda. jelas sekali kok apa yang dimaksudkan oleh Ash-Shaabuuniy : Memperlakukan sebagaimana dhahirnya dan menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala.
Apa maksud menyerahkan ilmu-Nya di sini ?. Kalau menurut Anda itu tafwidl, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah ta'ala. Sekali lagi, itu menurut Anda. Adapun menurut Ash-Shaabuuniy sendiri adalah menyerahkan ilmu kaifiyatnya. Sebab, sebelumnya ia telah mengatakan untuk memperlakukan sebagaimana dhahirnya. Apa itu dhahirnya ?. Yaitu, Allah berada di atas 'Arsy-Nya dan 'Arsy-Nya berada di atas langit-langit-Nya (Annallaaha ta'ala 'alaa 'arsyihi wa 'arsyihi fauqa samaawaatihi).
Komentar: Sebelumnya UAS mempersoalkan "..darimana Adz-Dzhahabi menukil pernyataan Ash-Shabuni"...seraya menganggap Ash-Shobuni melakukan Tafwidh Ma'na, setelah dijelaskan oleh UAJ bahwa nukilan Adz-Dzhahabi berasal dari Kitab ‘Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, UAS belum mengklarifikasi apakah benar nukilan tersebut ada dalam Kitab 'Aqidatus-Salaf tetapi UAS loncat bahas Tafwidh.
Beda versi tafwidh, Tafwidh UAS = Hanya susunan kata-kata saja tanpa arti (walau nantinya dijelaskan begini begitu tetap aja ujungnya adalah KIASAN/MAJAZ/PERUMPAMAAN sedangkan Tafwidh UAJ = Yang diserahkan adalah Kaifiyatnya, misalnya Bagaimana cara Allah Istiwa', seperti apa Allah Istiwa dll, adapun sifat tersebut adalah HAKIKI/HAKIKAT/Benar-benar bukan cuma perumpamaan.
[3. Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumallaah]
UAS:
Tanggapan saya ( ahmad syahid ) : tiga orang rawi majhul yang saya maksud adalah : 1. ali bin Ibrahim , 2. al-hasan bin muhammad bin hubaisy al-muqri , 3 . ibn murdik .
Sangat disayangkan bighrafi yang didatangkan oleh abu jauza adalah : 1. Muhammad bin Al-Mudhaffar bin ’Aliy bin Harb, Abu Bakr Al-Muqri’ Ad-Diinawariy; 2. Al-Husain bin Muhammad bin Habsy, Abu ’Aliy Ad-Diinawariy Al-Muqri, 3. Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim.
Sangat tidak nyambung , ( yang saya sebut majhul yang mana……? yang dibawakan abu jauza yang mana …..? ) upaya abu jauza hanyalah pemaksaan kehendak yang tidak akan tercapai , sebab syeikh kontradiktif pun (al-albani) mengakui dalam mukhtasor ala-uluw halaman 205 , jika dalam sanad- sanad ini ( riwayat dari abu hatim dan abu zur`ah) ada beberapa orang yang tidak dia ketahui alias majhul , kecuali jika abu jauza merasa lebih hebat dari syaikhnya yang kontradiktif itu.
UAJ:
Apologi Anda terlalu konyol wahai Ahmad Syahiid. Bukankah yang Anda komentari adalah tulisan Ustadz Firanda ?. Bukankah Ustadz Firanda menukil riwayat Abu Zur'ah dan Abu Haatim itu dari Syarh Ushuulil-I'tiqaad ?. Oleh karena itu jangan bermimpi wahai Ustadz Ahmad Syahiid, dan tidak usah malu mengakui bahwa Anda itu memang keliru.
Atau, Anda tidak punya kitab Syarh Ushuulil-I'tiqaad sehingga tidak ada bahan untuk berkomentar ?. Walaupun acuan kitab saya dengan kitab Ustadz Firanda beda cetakan, namun saya dapat mencarinya riwayat yang dimaksudkan. Di atas telah saya sebutkan sanad riwayat yang dimaksudkan dalam kitab Syarh Ushuulil-I'tiqaad.
Saya ulang, ini sanadnya :
"Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah.....".
Sudah lihat ?. Silakan dikomentari.... Namun komentarnya yang bermutu ya....
Komentar: UAS menganggap perawi dalam riwayat ini majhul tanpa mengutip dari kitab Syarh Ushuulil-I’tiqaad (mengenai perawi nya), UAJ berikan nama-nama perawi riwayat tersebut,...
Tunggu saja komentar UAS hasil cek kitab Syarh Ushuulil-I’tiqaad, apakah benar perawi nya majhul atau perawinya tidak majhul.
Semoga Allah memberi kesempatan pada UAS untuk menjelaskannya...amin
[4. Al-Auza'iy]
UAS:
Tanggapan saya : 1. riwayat dari al-auza`I bukanlah atsar , 2. riwayat qoul al-auza`I adalah Madhu` bukan hanya dhaif. 3. entah siapa yang lebih layak menyandang : ” orang yang fair dan bisa berpikir jernih, tanpa dikotori nafsu ’asal bantah’ sebagaimana dituduhkan abu jauza.
UAJ:
Anda terlalu berlebihan wahai Ahmad Syahiid. Anda menghukumi riwayat ini sebagai riwayat palsu dengan sebab Ibraahiim bin Al-Haitsam dan Muhammad bin Katsiir. Saran saya, lain kali kalau buka kitab biografi yang bener, lihat perkataan semua ulama, kemudian simpulkan. Jangan ambil yang 'menguntungkan' saja.
Ibraahiim bin Al-Haitsam itu perawi tsiqah. Ibnu 'Adiy mengatakan : 'Hadits-haditsnya lurus". Dan kemudian beliau mengatakan tidak menemukan hadits-haditsnya yang munkar kecuali satu saja. Al-Kahthiib berkata : "Tsiqah lagi tsabat". Ad-Daaruquthniy mengatakan tsiqah. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabiy mengatakan : "Shaadiq". Hanya Ibnu Ma'iin yang mengatakan : "Riwayat-riwayatnya diingkari". Namun perkataan ini tidaklah menjatuhkan kredibilitas Ibraahiim secara keseluruhan.
Tentang Muhammad bin Katsiir, maka biografinya ada dalam Tahdziibul-Kamaal dan Tahdziibut-Tahdziib. Anda bisa menengoknya. Oleh karena itu, Ibnu Hajar merangkum beberapa komentar tentang diri Muhammad bin katsiir dengan perkataan : "Shaduuq katsiirul-ghalath". Adz-Dzahabiy pun menyimpulkan : "Shaduuq, namun mengalami ikhtilaath (percampuran hapalan) di akhir usianya".
Jika melihat hal itu, maka riwayat Al-Auza'iy itu hanyalah lemah saja. Bahkan jika dianggap sangat lemah, maka itu juga tidak harus palsu.
Atau,.... jangan-jangan Anda tidak tahu apa itu riwayat palsu dan kapan satu riwayat dihukumi palsu ?. Tentu saja ini menurut standar ilmu hadits, bukan menurut standar Ahmad Syahiid....
Komentar: UAS tidak memberikan penjelasan mengenai perawi dari riwayat Al-Awza'i dan langsung berkomentar bahwa riwayat tersebut Palsu, UAJ jelaskan penilaian Ulama mengenai riwayat tersebut dan kesimpulannya hanya Dha'if/Lemah bukan Palsu.
Kita tunggu penilaian perawi versi UAS, mungkin beliau memiliki jalan lain yang menjelaskan kepalsuan riwayat Al-Awza'i tersebut
Semoga Allah memudahkan UAS dalam menjelaskannya, Amin
@Kesejatian,.....
Abu 'Utsmaan Ash-Shaabuuniy itu tidak mengenal tafwidl, seperti tafwidl yang dianut sebagian Asyaa'irah. Yang diserahkan ilmu-Nya kepada Allah adalah tentang kaifiyatnya. Inilah yang tidak diketahui. Oleh karena itu, Ash-Shaabuuniy membawakan beberapa jalan atsar Al-Imaam Maalik ketika ia ditanya oleh seseorang : "Bagaimana Allah ber-istiwaa' ?". Kemudian beliau marah karena pertanyaan ini.
NB : Pesan saya, tolong, kalau membaca tulisan, dibaca dengan cermat sehingga tidak salah merespon - seperti Ustadz Ahmad Syahiid. Ini seperti tercermin dalam perkataan Anda di atas :
Sejak kapan Ulama salaf dan pengikutnya menetapkan kaifiyat bagi Allah?.
Adakah saya mengatakan ulama salaf menetapkan kaifiyat bagi Allah ?. Atau, adakah Anda pernah mendengar Wahabiy menetapkan kaifiyyah atas sifat Allah ?.
kalau bisa abu al jauza kalau menjawab komentar seperti anonim diatas jadi saya faham satu persatu atau seperti blonya aslibumiayu. pembaca bisa mengerti. maaf ya ustd yang bodoh ini ingin belajar jadi seefisienn mungkin agar dpt dimengerti oleh yang baru belajar islam ini
Al ust. kapan wanita mulai shalat jumat, apakah pas saat selesai adzan jumat ataukah menunggu dulu sampe selesai shalat Jumat..??, barakallahu fiikum
wanita yang ikut shalat jum'at di masjid, ya tentu saja pelaksanaannya bersama imam.
kata anda : Abu 'Utsmaan Ash-Shaabuuniy itu tidak mengenal tafwidl, seperti tafwidl yang dianut sebagian Asyaa'irah. Yang diserahkan ilmu-Nya kepada Allah adalah tentang kaifiyatnya. Inilah yang tidak diketahui. Oleh karena itu, Ash-Shaabuuniy membawakan beberapa jalan atsar Al-Imaam Maalik ketika ia ditanya oleh seseorang : "Bagaimana Allah ber-istiwaa' ?". Kemudian beliau marah karena pertanyaan ini.
kata dianth : Siapa bilang ulama salaf dan penerusnya tidak mengenal tafwidh? justru yang masyur itu adalah tafwidh makna (takwil ijmali) sedangkan tafwidh kaifiyah itu dari mana asalnya?
Beberapa asart dari Riwayat Imam Malik itu justru menunjukkan Imam Malik tafwidh, karena Ada banyak riwayat dari Imam Malik tentang ketika ditanya tentang makna dari istawaa Allah. Salah satunya menyatakan bahwa ia berkata, “Al-Kayf marfuu”, dan yang lain lagi “Al-Kayf ghayr maquul.” Pernyataan-pernyataan ini berarti bahwa kayf adalah mustahil, yaitu istawaa tidak memiliki kaifiyah/cara, karena asifat-sifat Allah yang tidak memiliki kaifiyah. Riwayat-riwayat ini lebih kuat daripada riwayat yang mengatakan “kayf tidak diketahui,” dan sesuai dengan perkataan terkenal dari Salaf “bilaa kayf,” yang berarti “tanpa bagaimana,” yaitu tanpa suatu cara/kaifiyah/bentuk.
Kata anda : NB : Pesan saya, tolong, kalau membaca tulisan, dibaca dengan cermat sehingga tidak salah merespon - seperti Ustadz Ahmad Syahiid. Ini seperti tercermin dalam perkataan Anda di atas :
Sejak kapan Ulama salaf dan pengikutnya menetapkan kaifiyat bagi Allah?.
Adakah saya mengatakan ulama salaf menetapkan kaifiyat bagi Allah ?. Atau, adakah Anda pernah mendengar Wahabiy menetapkan kaifiyyah atas sifat Allah ?.
Kata dianth : andalah yang tidak cermat dalam menanggapi pertanyaan saya... atau anda mau menipu ? bukankah anda meyakini kaifiyah nya ? hanya saja anda tidak mengetahuinya... tetapi anda telah menetapkan ada kaifiyahnya, karena anda telah memberikan makna zhahirnya.... dan makna zhahir diatas langit dan istiwa di atas arsy itu adalah kaifiyah bagi Allah.
Jadi coba anda pikirkan lagi akidah anda yang absurd itu dan jawab saja pertanyaan saya kalau anda belum mengerti maksudnya, saya perjelas lagi : Dari mana anda dapatkan bahwa ayat-ayat sifat seperti diaats langit, istiwa, tangan, wajah itu dimaknai secara hakikat namun kaifiyahnya (berarti ada kaifiyah)diserahkan kepada Allah. Dari mana asal tafwidh tajsim ini ?
Lain kali, sebelum mencoba 'membantah', pahami dan pelajari dulu apa yang dikatakan oleh lawan bicara Anda. Jangan seperti Ahmad Syahid yang bersikap 'asal bicara' kalau tidak mau dikatakan asbun.
Anda telah menghakimi seseorang berdasarkan angan-angan Anda. Saya tidak pernah mengatakan menetapkan kaifiyat. Begitu juga ulama-ulama Wahabi lain yang sangat Anda benci itu. Kalau memang Anda bersikukuh saya menetapkan kaifiyat dan Anda menyebut saya hendak menipu, tolong bawakan di sini satu kalimat saja perkataan saya yang menetapkan kaifiyat bagi Allah.
[NB : Jangan-jangan, pikiran pendek Anda salah paham dengan apa yang hendak saya bahas di bawah].
Saya sebenarnya memaklumi ini karena nampaknya Anda memang mengalami kesulitan memahami perkataan orang. Perkataan saya :
Abu 'Utsmaan Ash-Shaabuuniy itu tidak mengenal tafwidl, seperti tafwidl yang dianut sebagian Asyaa'irah.....
Anda respon dengan :
Siapa bilang ulama salaf dan penerusnya tidak mengenal tafwidh? justru yang masyur itu adalah tafwidh makna (takwil ijmali) sedangkan tafwidh kaifiyah itu dari mana asalnya?.
Ini dalam logika bahasa, tidak nyambung. Tidak nyambung antara sebab dan akibatnya. Seharusnya Anda mengomentari sisi Ash-Shaabuuniy-nya, bukan dengan kalimat luas seperti di atas.
But nevermind,.....
Saya harap saya sekarang berbicara dengan orang yang paham bahasa. Perhatikan...
أخبرنا أبو محمد المخلدي العدل ، ثنا أبو بكر عبد الله بن محمد بن مسلم الإسفراييني، ثنا أبو الحسين علي بن الحسن، ثنا سلمة بن شبيب،ثنا مهدي بن جعفر بن ميمون الرملي ، عن جعفر بن عبد الله قال: جاء رجل إلى مالك بن أنس يعني يسأله عن قوله : الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كيف استوى؟ قال فما رأيته وجد من شيء كوجده من مقالته ، وعلاه الرحضاء ، وأطرق القوم ؛ فجعلوا ينتظرون الأمر به فيه ، ثم سُرِّي عن مالك فقال: ( الكيف غير معقول، والاستواء غير مجهول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة ، وإني لأخاف أن تكون ضالاً ) ثم أمر به فأخرج
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu MuhammadAl-Mukhalladiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Muslim Al-Isfiraayiiniy : Telah menceritakan kepada kami Abul-Husain ‘Ali bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far bin Maimun Ar-Ramliy, dari Ja’far bin ‘Abdillah ia berkata : “Datang seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas, yaitu menanyakan kepada beliau tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’ ; bagaimana istiwaa’-nya Allah itu ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang akan terjadi. Kemudian setelah keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal. 38-39, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Adlwaaus-Salaf, Cet. 2/1415].
Jawaban dari Imam Maalik sangat terkait dengan pertanyaan yang disampaikan. Ringkasnya, jawaban Imam Maalik : al-kaifu ghairu ma'quulin itu muncul karena pertanya : kaifa istawaa ?.
Jadi, yang dinafikkan di sini adalah takyiif, karena tidak ada nash yang menjelaskannya. Namun bukan berarti istiwaa' itu tidak diketahui maknanya, karena selanjutnya Imaam Maalik berkata al-istiwaa'u ghairu majhuul (istiwaa' itu bukanlah hal yang tidak diketahui). Artinya, istiwaa' itu dapat dipahami oleh Imaam Maalik sesuai dengan bahasa Arab-nya, hanya saja tidak diketahui kaifiyatnya. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat lain dari Maalik sebagai berikut :
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dlam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76.
Riwayat ini menggugurkan 'aqidah tafwidl (karena Maalik memang tidak kenal dengan tafwidl-nya Asyaa'irah). Perhatikan uslub bahasa yang digunakan Maalik. Ketika ia mengatakan Allah ada di langit (Allahu fis-samaa'), maka bersamaan itu ia mengatakan : dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya (wa 'ilmuhu fii kulli makaan laa yakhlu minhu syai').
Maalik menekankan bahwa ilmu-Nya yang ada di setiap tempat untuk mencegah kesalahan pemahaman pendengar atas kalimat sebelumnya. Atau dengan kata lain, Allah itu benar-benar ada di langit secara hakiki.
Silakan Anda baca artikel :
Dimanakah Allah ? – Ini Jawaban Al-Imaam Maalik Bin Anas Rahimahullah.
Pemalsuan Perkataan Al-Imam Malik Rahimahullah.
At-Tafwidl Dan Makna Hakiki - di sini saya jelaskan penafikan tafwidl-nya Asyaa'irah dengan dalil-dalil.
'afwan, jadi ringkasnya:
-orang yang bertanya kepada Imam Maalik itu menanyakan BAGAIMANA Allah istiwaa' (pertanyaan yang membuat marah Imam Maalik),
-dia tidak menanyakan APA ITU istiwaa'.
Karena istiwaa' itu sudah diketahui maknanya oleh orang arab.
Sebagaimana ditegaskan Imam Maalik:
al-istiwaa'u ghairu majhuul (istiwaa' itu bukanlah hal yang tidak diketahui).
Benar,... ya karena memang pertanyaan : Bagaimana Allah beristiwaa' ?.
Orang itu tidak menanyakan : Apa makna istiwaa' ? atau : Apa arti istiwaa' ?. Tentu saja orang itu (yang notabene orang Arab) tidak akan menanyakan makna istiwaa', karena dia telah paham. Ia bertanya karena ingin tahu seperti apa istiwaa' nya Allah itu.
kata anda : tolong bawakan di sini satu kalimat saja perkataan saya yang menetapkan kaifiyat bagi Allah.
Kata Dianth : Apakah anda tidak pernah memikirka perkataan anda, atau anda ini asbun ?
bukankah anda menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah ?
Sekarang kaifiyahnya ada atau tidak ? kalau tidak... apa yang anda serahkan kepada Allah ? kalau iya, berarti anda telah menetapkan ada kaifiyahnya bagi Allah, walaupun anda tidak mengetahuinya... paham atau tidak ???
Dan apapun kaifiyahnya itu pasti berhubungan dengan makna zhahir ayat, karena kan anda yang meyakini dengan makna hakiki/zhahirnya. Betul tidak ?
jadi anda jangan mimpi mau melarikan diri dari kenyataan perkataan anda.
kata anda :
Ash-Shaabuuniy : Memperlakukan sebagaimana dhahirnya dan menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala.
Apa maksud menyerahkan ilmu-Nya di sini ?. Kalau menurut Anda itu tafwidl, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah ta'ala. Sekali lagi, itu menurut Anda. Adapun menurut Ash-Shaabuuniy sendiri adalah menyerahkan ilmu kaifiyatnya. Sebab, sebelumnya ia telah mengatakan untuk memperlakukan sebagaimana dhahirnya. Apa itu dhahirnya ?. Yaitu, Allah berada di atas 'Arsy-Nya dan 'Arsy-Nya berada di atas langit-langit-Nya (Annallaaha ta'ala 'alaa 'arsyihi wa 'arsyihi fauqa samaawaatihi)
Kata Dianth : sejak kapan perkataan "menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala". menjadi "menyerahkan ilmu kaifiyatnya" bahkan anda mengatakan "menurut Ash-Shaabuuniy sendiri". benar-benar pelawak.
"Memperlakukan sebagaimana dhahirnya" itu mau anda tafsirkan bahwa maknanya adalah sebagaimana makna zhahirnya. Apakah anda tidak memperhatikan bahwa Allah mengatakan : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
itulah maksud Ashabuuniy, beriman dengan ayat sebagaimana datangnya yaitu , yaitu lafaznya, artinya tidak melakukan tha'til terhadap bahasa yang sudah ada dari Al Quran.
Adapun maksud Ash-Shabuuniy menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala itu apakah anda tidak membaca firman Allah : padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.
Itu artinya Imam Ash-Shabuniy menyerahkan takwilnya kepada Allah.... inilah Tafwidh atau takwil ijmali.
Imam Ash-Shabuuniy itu tentu paham bagaimana berinteraksi dengan ayat mutasyabihat. Dan sebagaimana yang diperintahkan Allah, sikap kita adalah sebagaimana perintah Allah. ini adalah dalil yang sangat jelas.
Lalu dari mana anda berani manfasirkan : menyerahkan ilmu kaifiyatnya. Mana dalilnya?
Kata anda : Jawaban dari Imam Maalik sangat terkait dengan pertanyaan yang disampaikan. Ringkasnya, jawaban Imam Maalik : al-kaifu ghairu ma'quulin itu muncul karena pertanya : kaifa istawaa ?.
Jadi, yang dinafikkan di sini adalah takyiif, karena tidak ada nash yang menjelaskannya. Namun bukan berarti istiwaa' itu tidak diketahui maknanya, karena selanjutnya Imaam Maalik berkata al-istiwaa'u ghairu majhuul (istiwaa' itu bukanlah hal yang tidak diketahui). Artinya, istiwaa' itu dapat dipahami oleh Imaam Maalik sesuai dengan bahasa Arab-nya, hanya saja tidak diketahui kaifiyatnya
Kata Dianth : Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam kesesatan””, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna bersemayam secara zhahir yang berarti juga menetap atau bertempat bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna bersemayam yang Kayfiyah bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan anda yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. anda memaknainya dengan makna zhahir, Hanya saja, Kayfiyah-Nya tidak diketahui. A'udzu Billah.
Dalam Hadist lain Imam Malik menilai orang tersebut adalah ahli bid'ah, mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Lihat juga :
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﺍﻓﻲ:ﻭﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻝ ﻣﺎﻟﻚ
ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﺃﻥ ﻋﻘﻮﻟﻨﺎ
ﺩﻟﺘﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ
ﻭﺟﻼﻟﻪ ﻭﻋﻈﻤﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﺍﻻﺳﺘﻴﻼﺀ
ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ
ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ.ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ
ﻣﻌﻘﻮﻝ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻥ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ
ﺗﻮﺻﻒ ﺑﻤﺎ ﻭﺿﻌﺖ ﻟﻪ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻟﻔﻆ
ﻛﻴﻒ,ﻭﻫﻮ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻤﺘﻨﻘﻠﺔ
ﻭﺍﻟﻬﻴﺌﺎﺕ ﺍﻟﺠﺴﻤﻴﺔ..ﻓﻼ ﻳﻌﻘﻞ ﺫﻟﻚ
ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﻻﺳﺘﺤﺎﻟﺘﻪ ﻓﻲ ﺟﻬﺔ
ﺍﻟﺮﺑﻮﺑﻴﺔ(.13ﺝ/ﺹ0,242 .(
: Al-Qaraafiyy, salah satu ulama besar dalam sejarah, dan ahli MADHAB Imam Maalik berkata:"Makna UCAPAN IMAM Maalik " istiwaa 'di ketahui "adalah bahwa pikiran kita
menuntun kita untuk istiwaa 'yang layak BAGI Allah Yang Mulia dan DAN LAYAK DGN kebesaranNYA, YAKNI istiilaa' (kontrol:MENGUASAI ), dan BUKAN MAKNA duduk atau sejenisnya yang tidak bisa
KECUALI untuk JISIM: BENDA. Adapun IMAM Malik mengatakan "kayf tidak mungkin," artiNYA bahwa Allah
sendiri tidak dikaitkan dengan
apa yang DI GUNAKAN OLEH orang-orang Arab DENGAN kata "kayf", YAITU PERTANYAAN UNTUK SIFAT YANG BERUBAH (sementara)
dan UNTUK KONDISI JISIM/ tubuh, dan ini tidak mungkin, karena MUSTAHIL Allah dikaitkan dengan arti tersebut (Dħakħiirah, 13/243).
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Saya juga mau bertanya kepada anda : anda meyakini zat Allah diatas arsy, tapi ilmunya ditiap tempat (ini beda maknanya dengan Allah mengetahui segala sesuatu). Apakah IlmuNya berpisah dengan diriNya?
saya juga berikan anda riwayat tentang perkataan "Allah diatas arsyNya dan Arsynya di atas langit-langitNya" dan penjelasan Sulaiman Al-khitabi :
komentar Sulaiman Al-khitabi atas hadist abu dawud yang sanadnya dari Jabir bin Muhammad bin Jubair bin Math’am dari ayahnya dari kakeknya bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah kemudian berkata : “wahai Rasulullah, jika telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan keluarga-keluarga telah tiada”. Rasulullah bersabda : “celakalah kamu, apakah kamu tahu siapa Allah itu?”.
Orang itu berkata dengan jarinya seperti mununjuk ke langit “arsyNya di atas langit-langitNya”.
Ibnu Bisyar menambahkan “Allah di atas arsyNya di atas langit-langitNya”. Hadist itu disebutkan oleh Bukhari dalam ath Tarikh.
Al-Khitabi berkata dalam sebuah komentarnya tentang kalimat “sesungguhnya Allah di atas arsyNya”. :
“Perkataan ini jika sesuai dengan zhahir nya, maka merupakan bentuk kaifiyah, kaiyifiyah kepada Allah dan sifat-sifatNya yang muntafiyah, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah pembenaran sifat ini dan tidak menetapkan/mendefinisikan seperti keadaan ini. Akan tetapi, hanya merupakan kalam-kalam pendekatan kata-kata yang dimaksudkan sebagai bentuk penetapan akan keagungan Allah. Dan yang dimaksudkan hanya sebagai upaya pemahaman kepada penanya dari sudut yang ia pahami. Jika orang Arab tersebut tidak punya pengetahuan dengan makna dari kalam itu, ada kata yang dihilangkan dari kata dhamir, maka makna ucapannya ‘apakah kamu tahu siapakah Allah itu?’ berarti ‘tahukah kamu apa keagungan Allah?”
Saya kutip dari buku DR Said Ramadhan Al-Buthi ‘Salafi sebuah fase sejarah, bukan Mazhab’. Beliau mengutipnya dari Ma'alimus Sunan ala sunan Abu Daud.
Ingat saya tidak ingin bicarakan Al Buthi yang anda benci, tapi Sulaiman Al-Khitabi yang hidup di zaman yang dekat dengan zaman salaf.
lihat perkatannya :
- “Perkataan ini jika sesuai dengan zhahir nya, maka merupakan bentuk kaifiyah, kaiyifiyah kepada Allah dan sifat-sifatNya yang muntafiyah,
- pembenaran sifat ini dan tidak menetapkan/mendefinisikan seperti keadaan ini.
- kata-kata yang dimaksudkan sebagai bentuk penetapan akan keagungan Allah.
Dan ingat takwil ijmali (tafwidh) ini ada dasarnya dalam Al Quran : padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Al Imran : 7)
Lalu apa dasarnya anda menetapkan ada kaifiyah bagi Allah dan menyerahkan ilmu atau pengetahuan kaifiyahNya itu kepada Allah?
Tidakkah anda perhatikan kata "tidak ada yang mengetahui ta'wilnya" lihat takwilnya... bukan zhahirnya.
tobat bang....
@Dianth,..... ternyata memang benar dugaan saya, bahwa Anda memang tidak paham bahasa orang dan salah paham terhadap penjelasan sebagaimana saya utarakan di atas.
Pesan saya, kalau mau tahu 'aqiidah Ash-Shaabuuniy, ya baca kitabnya yang berjudul 'Aqqidatrus-Salaf wa Ashhhaabil-Hadiits. Ngaku saja ya, Anda belum pernah baca. Saya tidak akan mengulang apa yang telah saya tuliskan. Jelas sekali kok Ash-Shaabuuniy berkata :
وعلماء الأمة وأعيان الأئمة من السلف - رحمه الله - لَم يختلفوا في أن الله على عرشه، وعرشه فوق سمواته،......
“Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya…..”
Bukankah ini yang mati-matian Anda tolak.
The case is clossed.
*****
Tentang perkataan Imaam Maalik, saya pun tidak akan mengulang. Anda itu tidak bisa bahasa Arab ya ?. Pertanyaan Kaifa istawaa itu maksudnya : Bagaimana istiwaa'-Nya Allah ?. Anda tidak perlu beretorika dengan sesuatu yang malah tidak masuk akal menurut bahasa orang yang berperadaban.
Mas,... riwayat perkataan Imam Maalik ada yang shahih, ada pula yang dla'if. Kalau menyebutkan sesuatu itu jangan tanggung-tanggung. Bawakan riwayat lengkapnya. Atau Anda hanya kopi paste saja ?.
Simak perkataan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya :
قال مالك رحمه الله: الاستواء معلوم - يعني في اللغة – والكيف مجهول، والسؤال عن هذا بدعة. وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها
“Telah berkata Malik rahimahullah : ‘Al-Istiwaa’ adalah diketahui (ma’luum) – yaitu (diketahui) dalam bahasa (‘Arab) – , kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), bertanya tentang hal ini adalah bid’ah’. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa” [Tafsir Al-Qurthubi (Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan), 7/219-220, tahqiq : Hisyaam Samiir Al-Bukhariy; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423, Riyadl – atau 9/239, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bn ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1427, Beirut].
Al-Istiwaa' ghairu ma'quulin itu dipahami oleh Al-Qurthubiy dengan al-istiwaa ma'luum (istiwaa' itu diketahui), yaitu dalam bahasa Arab. Jika dikatakan sesuatu ma'luum secara bahasa, maka itu ma'luum dalam maknanya (sehingga tidak perlu ditanyakan lagi). Hanya saja kemudian dikatakan wal-kaifu ghairu ma'quulin (kaifiyyahnya tidak dapat dinalar). Maksudnya, kaifiyyahnya adalah majhuul (tidak diketahui). Sesuatu yang majhuul dalam bahasa Arab itu bukan berarti tidak ada. Ada, tapi tidak diketahui. Seperti halnya perkataan imam hadits tentang seorang perawi : Huwa majhuul. Maksudnya, ia tidak diketahui namanya (tapi ada).
Dan ini perkataan mufassir madzhab Maalikiyyah mutaqaddimiin, Abu Bakr Ibnul-'Arabiy rahimahullah :
وقال مالك أنه لم يتأول. ومذهب مالك رحمه الله أن كل حديث منها معلوم المعنى ولذلك قال للذي سأله : الاستواء معلوم والكيفية مجهولة
“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab Malik rahimahullah mengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-Istiwaa’ diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].
Paham ?.
Makanya itu, saya memperbandingkan dengan perkataan Imam Maalik yang lain yang diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ahmad, Abu Daawud, dan lainnya sebagaimana di atas (yaitu riwayat tentang keberadaan Allah). Dalam riwayat ini sama sekali tidak tergambar tafwidl ma'na dari Imaam Maalik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Imaam Maalik itu tidak kenal dengan tafwidl makna seperti tafwidlnya Asyaa'irah.
Paham ?.
Saya telah tunjukkan link dalil yang menolak paham, tafwidl. Sudah baca belum ?. Kalau Anda malas, ini saya copas kan satu riwayat saja :
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. An-Nisaa’ : 58].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
أي: سميعا لأقوالكم، بصيرا بأفعالكم، كما قال ابن أبي حاتم:حدثنا أبو زُرْعَة، حدثنا يحيى بن عبد الله بن بكير، حدثني عبد الله بن لهيعة، عن يزيد بن أبي حبيب، عن أبي الخير، عن عقبة بن عامر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يقرئ هذه الآية { سَمِيعًا بَصِيرًا } يقول: بكل شيء بصير.
وقد قال ابن أبي حاتم: أخبرنا يحيى بن عبدك القزويني، أنبأنا المقرئ -يعني أبا عبد الرحمن- عبد الله بن يزيد، حدثنا حرملة -يعني ابن عمران التجيبي المصري-حدثنا أبو يونس، سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا } إلى قوله: { إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا } ويضع إبهامه على أذنه والتي تليها على عينه ويقول: هكذا سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع أصبعيه. قال أبو زكريا: وصفه لنا المقري، ووضع أبو زكريا إبهامه اليمنى على عينه اليمنى، والتي تليها على الأذن اليمنى، وأرانا فقال: هكذا وهكذا.
رواه أبو داود، وابن حبان في صحيحه، والحاكم في مستدركه، وابن مردويه في تفسيره، من حديث أبي عبد الرحمن المقري بإسناده -نحوه وأبو يونس هذا مولى أبي هريرة، واسمه سُلَيْم بن جُبَير.
“Yaitu : Allah Maha Mendengar terhadap perkataan-perkataan kalian dan Maha Melihat terhadap perbuatan-perbuatan kalian. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Abu Haatim : Telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah : telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdillah bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abul-Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini : ‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’, beliau bersabda : ‘(Allah) Maha Melihat segala sesuatu”.[1]
Ibnu Abi Haatim berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdak Al-Qazwiiniy : Telah memberitakan kepada kami Al-Muqri’ – yaitu Abu ‘Abdirrahman – ‘Abdullah bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Harmalah – yaitu Ibnu ‘Imraan At-Tajiibiy Al-Mishriy - : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuunus : Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat : ‘‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” hingga pada ayat : ‘Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58), lalu ia (Abu Hurairah) meletakkan ibu jari tangannya ke telinganya, dan yang lain (telunjuk) ke matanya, lalu berkata : “Demikianlah aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membacanya dimana beliau juga meletakkan dua jarinya”. Abu Zakariyya berkata : “Al-Muqri’ menyifatkan/memperagakan hal itu kepada kami”. Lalu Abu Zakariyya meletakkan ibu jari tangan kanannya ke mata kanannya dan jari yang lain ke telinga kanannya, dan kami melihatnya, lalu Al-Muqri’ berkata : “Demikianlah, demikianlah”.[2]
Diriwayatkan pula oleh Abu Daawud, Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya, Al-Haakim dalam Mustadrak-nya, dan Ibnu Mardawaih dalam Tafsir-nya, dari Abu ‘Abdirrahman Al-Muqri’ dengan sanad semisal. Abu Yuunus ini adalah maula Abu Hurairah, namanya Sulaim bin Jubair” [selesai – Tafsir Ibni Katsiir, 2/341-342, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Riwayat di atas shahih.
Dapat kita lihat dari ayat, hadits, amalan shahabat, dan juga ulama setelahnya; mereka semua memahami sifat mendengar (as-sam’u) dan mendengar (al-bashar) dengan makna hakekatnya. As-sam’u dinisbatkan untuk sifat Maha Medengar (As-Samii’) terhadap semua perkataan makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi; sedangkan Al-bashar dinisbatkan untuk sifat Maha Melihat (Al-Bashiir) terdapat semua perbuatan makhluk-Nya, baik yang nampak ataupun tersembunyi. Pengisyaratan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang kemudian diikuti oleh Abu Hurairah dan Ibnu Muqri’) terhadap telinga dan mata bukan untuk menyamakan (tasybiih) sifat Allah dengan makhluk, namun sebagai penjelas bahwa yang dimaksud adalah makna hakiki (dhahir) yang jika sifat itu dinisbatkan kepada manusia, maka itu merujuk pada telinga dan mata mereka. Allah ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Allah ta’ala telah menetapkan sifat mendengar dan melihat, dan bersamaan dengan itu Dia menafikkan penyamaan dua sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Allah Maha Tinggi dengan segala kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
[selesai].
Paham ?.
NB : Makna istiwaa' dengan istilaa' itu, dulu, tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan yang mempopulerkan makna istiwaa' dengan istilaa' itu yang para Asyaa'irah. Abul-Hasan Al-Asy'ariy sendiri menolak pemahaman itu mas !. Kalau saya ambilkan dari kitab Al-Ibaanah, pasti Anda akan berdalih bahwa kitab itu telah dipalsu oleh Wahabiy. Sekarang saya ambilkan dari kitab beliau yang lain yang berjudul Maqaalatul-Islaamiyyiin :
وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami” [hal. 218].
Paham ?.
'afwan ana jd terkekeh dan heran dengan komentar diatas, terutama ketika membaca bagian ini:
kata anda : tolong bawakan di sini satu kalimat saja perkataan saya yang menetapkan kaifiyat bagi Allah.
Kata Dianth : Apakah anda tidak pernah memikirka perkataan anda, atau anda ini asbun ?
bukankah anda menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah ?
Lihatlah dia sudah tahu bahwa abul jauzaa menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah, pada saat yg sama dia menuduh abul jauzaa telah menetapkan kaifiyat.
Jadi yang dipahami saudara kita ini apanya sih yang diserahkan abul jauzaa kepada Allah?
Mungkin harus dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan Kaifiyat ya ustadz. 'afwan ana lancang duluan menanggapi.
Apakah ini yang dimaksud ulama beginilah jadinya kalo ilmu kalam sudah ikut campur, bikin masalah yang mudah jadi runyam.
Abu 'Aisyah
Assalamu'alaykum..
@ kesejatian / dianth ::
mungkin link ini bisa membantu antum..
http://badaronline.com/
saama sekali tidak bermaksud menyinggung antum, karena saya-pun masih perlu belajar lebih tekun lagi
barakallah
perlu saya katakan kepada anda bahwa anda sepertinya memang belum paham dengan akidah asy ariyah.
“Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya…..”
ana katakan : Bukankah ini yang mati-matian Anda tolak.
lihatlah lawakan anda, yang kami tolak itu bukan perkataan zhahirnya, tetapi makna zhahirnya. Karena ini adalah ayat-ayat mutasyabihat yang mempunyai takwil. Paham ?
makanya lihat komentar Sulaiman Al Khitabi : komentar Sulaiman Al-khitabi atas hadist abu dawud yang sanadnya dari Jabir bin Muhammad bin Jubair bin Math’am dari ayahnya dari kakeknya bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah kemudian berkata : “wahai Rasulullah, jika telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan keluarga-keluarga telah tiada”. Rasulullah bersabda : “celakalah kamu, apakah kamu tahu siapa Allah itu?”.
Orang itu berkata dengan jarinya seperti mununjuk ke langit “arsyNya di atas langit-langitNya”.
Ibnu Bisyar menambahkan “Allah di atas arsyNya di atas langit-langitNya”. Hadist itu disebutkan oleh Bukhari dalam ath Tarikh.
Al-Khitabi berkata dalam sebuah komentarnya tentang kalimat “sesungguhnya Allah di atas arsyNya”. :
“Perkataan ini jika sesuai dengan zhahir nya, maka merupakan bentuk kaifiyah, kaiyifiyah kepada Allah dan sifat-sifatNya yang muntafiyah, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah pembenaran sifat ini dan tidak menetapkan/mendefinisikan seperti keadaan ini. Akan tetapi, hanya merupakan kalam-kalam pendekatan kata-kata yang dimaksudkan sebagai bentuk penetapan akan keagungan Allah. Dan yang dimaksudkan hanya sebagai upaya pemahaman kepada penanya dari sudut yang ia pahami. Jika orang Arab tersebut tidak punya pengetahuan dengan makna dari kalam itu, ada kata yang dihilangkan dari kata dhamir, maka makna ucapannya ‘apakah kamu tahu siapakah Allah itu?’ berarti ‘tahukah kamu apa keagungan Allah?”
memaknai istiwa dengan zhahirnya itu berarti menetapkan kaifiyah bagi Allah. Kalau anda mau katakan
"Pertanyaan Kaifa istawaa itu maksudnya : Bagaimana istiwaa'-Nya Allah ?." anda yang tidak paham atau mau menipu lagi ? maka biar jelas saya katakan bahwa apapun kaifiyah nya pasti berhubungan dengan maknanya... bila anda telah menetapkan zhahirnya maka anda telah menetapkan kaifiyahnya sesuai dengan makna zhahirnya, karena kaifiyah disini pasti berhubungan dengan makna. Paham ? dan makna zhahir istiwa, bersemayam yang berarti menetap atau berada disuatu arah dan tempat adalah tidak layak bagi Allah. Paham ? Anda tidak perlu beretorika dengan sesuatu yang malah tidak masuk akal menurut bahasa orang yang berperadaban.
Anda membawa riwayat Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya, tetapi menafsirkannya sendiri.... emangnya anda layak menafsirkan perkataan Imam ? mengapa anda tidak sekalian tampilkan tafsir Imam terhadap makna istiwa ? apakah karena tidak sesuai dengan keyakinan anda? anda mau menipu lagi.
kata anda : Jika dikatakan sesuatu ma'luum secara bahasa, maka itu ma'luum dalam maknanya (sehingga tidak perlu ditanyakan lagi)
kata dianth : Dalam kasus ayat mutasyabihat, ma'luum secara bahasa itu bila disandarkan kepada Allah tidak mesti ma'luum pada maknanya, karena bila kita ma'luum dalam maknanya sesuai ma'luum pada bahasanya, itu artinya kita telah menetapkan sifat mahluk pada Allah. Paham ?
maksud wal-kaifu ghairu ma'quulin (kaifiyyahnya tidak dapat dinalar)
itu artinya tidak mungkin Allah mempunyai kaifiyah sesuai makna zhahirnya. Paham ?
kata anda : Sesuatu yang majhuul dalam bahasa Arab itu bukan berarti tidak ada. Ada, tapi tidak diketahui. Seperti halnya perkataan imam hadits tentang seorang perawi : Huwa majhuul. Maksudnya, ia tidak diketahui namanya (tapi ada).
Kata Dianth : oleh karena itulah saya katakan bahwa anda telah menetapkan kaifiyah bagi Allah. Adapum masalah Sesuatu yang majhuul dalam bahasa Arab itu bukan berarti tidak ada, maka dalam hal ini anda mesti mengikuti perkataan Imam Malik :
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya…“.
artinya bagaimana dalam istiwa itu tidak ada, kaifiyahnya sesuai makna zhahir istiwa itu tidak ada, karena memang makna zhahirnya tidak layak bagi keagungan dan kebesaranNya.
anehnya anda malah mengatakan : Perkataan di atas adalah untuk menetapkan sifat istiwaa’ sebagaimana makna dhahir nash yang datang tanpa ta’wil, yaitu : sesuai dengan yang Allah sifatkan bagi diri-Nya.
dan anda memakai riwayat yang diperselisihkan untuk mendukungnya. Adapun riwayat penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah – murid Ibnu ‘Abbas – mengenai firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy” [HR. Al-Bukhari].
maka anda perlu mendapat penjelasan lebih jauh : Al-Baihaqi mengutip pernyataan salah satu pengikut Asy’ariah, Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad ibn Mahdi al-Tabari dalam bukunya Ta'wil al-Ahadith al-Mushkalat al-Waridat fi al-Sifat ("Penafsiran atas Riwayat yang Sulit mengenai Sifat (Allah), dimana telah dinyatakan :
“Allah di atas segala sesuatu dan menetap di atas Arsy dalam arti bahwa Dia Ditinggikan atasnya, arti dari istiwa’ adalah Pengangakatan-Diri (i`tila')."(al-Bayhaqi, al-Asma' wa al-Sifat jilid 2 hal:308)
Ini adalah interpretasi yang paling diterima di kalangan Salaf; Al-Baghawi mengatakan bahwa ayat, “Ar-Rahman alal arsy istawa” (20:5) menurut Ibn Abbas dan kebanyakan mufasir Quran adalah “Dia mengangkat Diri-Nya Sendiri” " (irtafa`a) (Ibn Hajar dalam Fath al-Bari jilid 13 hal:409)
Ini adalah penafsiran yang dikutip dari al-Bukhari dalam Sahih dari Tabi’in Rufay` ibn Mahran Abu al-`Aliya (w. 90H). Al-Bukhari juga mengutip dari Mujahid (w. 102H) penafsiran "menaikan" atau "mengangkat Diri-Sendiri ke atas" (`ala). Ibn Battal menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah sikap dan perkataan yang benar dari Ahlu Sunah, karena Allah menyatakan Diri-Nya Sendiri sebagai Al-‘Ali,Yang Maha Ditinggikan” (2:255), dan berfirman: “maka Maha Tinggilah Dia (Ta’ala) dari apa yang mereka persekutukan. (QS. 23:92)” (Ibn Hajar dalam Fath al-Bari jilid 13 hal 446).
dan akidah Ibnu Hajar yang dianggap menyimpang oleh wahabi : Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W. 852 H) dalam Fath al Bari Syarh Shahih alBukhari mengatakan :
“Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat”.
Jadi tinggi diatas arsy adalah ketinggian maknawi bukan indrawi, dan tidak bisa anda pakai memaknai istiwa secara zhahir.
Selanjutnya anda berusaha menolak tafwidh berdasarkan kesimpulan anda. Padahal yang jelas dari riwayat Imam Malik itu adalah :
1. Istiwa diketahui secara bahasa (maa'lum dalam bahasa)
> Maka Ahlussunah beriman dengan firmanNya, dan tidak tha'til pada bahasanya dan menetapkan istiwa Allah diatas arsy.
2. Kaifiyahnya tidak bisa dinalar, tidak diketahui dan dalam riwayat lain bagaimana itu diangkat dariNya.
> Artinya kaifiyah yang sesuai makna zhahir istiwa tidak bisa diterima dan ditanyakan dan tidak bisa ditetapkan kepada Allah, maka istiwa tidak bisa dimaknai dengan makna zhahirnya. Harus di takwil, baik ijmali maupun tafsili. sebagaimana firmanNya : “... adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Al Imran : 7)
kalau anda memakai riwayat mufassir madzhab Maalikiyyah mutaqaddimiin, Abu Bakr Ibnul-'Arabiy rahimahullah :
“Dan telah Malik bahwasannya ia tidak men-ta’wil-kannya. Madzhab Malik rahimahullah mengatakan bahwa semua hadits tentang sifat adalah diketahuinya maknanya. Oleh karena itu beliau berkata kepada orang yang bertanya kepadanya : ‘Al-Istiwaa’ diketahui (ma’luum), kaifiyyah-nya tidak diketahui (majhuul)” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 3/166; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun].
Maka saya berikan keterangan dari muridnya Imam Malik : Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan: “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13)
Semoga anda paham.
Adapun selanjutnya anda menolak tafwidh dengan menjelaskan sifat Allah melihat dan mendengar, maka saya katakan :
bahwa Sifat melihat dan mendengar itu adalah sifat maknawi/ruhani tang tidak berhubungan dengan batasan, ukuran dan bentuk fisik/jisim.
Sehingga sifat ini sesuai dengan kesucianNya dari sifat-sifat kekurangan.
Adapun sifat-sifat jisim seperti mata, telinga, wajah, tangan dsbnya tidak bisa ditetapkan makna sesuai zhahirnya hanya bisa ditetapkan lafaz sesuai zhahirNya.
Karena sifat-sifat yang berhubungan fisik/jisim itu berhubungan dengan batasan, ukuran dan bentuk tubuh yang merupakan sifat mahluk.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11]
ayat ini menjelaskan sifat mahluk/sesuatu itu tidak serupa dengan sifatNya, dan Allah telah memisahkan sifatNya mendengar dan melihat (sifat maknawi/ruhani)dari keserupaan dengan sifat mahluk.
Al-Ra'd/13:8 : “Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”
“Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)” (QS al-Qamar, 54: 49)
sifat sesuatu itu mempunyai ukuran dan ditetapkan oleh takdir Allah, artinya sifat mahluk itu mempunyai ukuran, bentuk dan terbatas baik zat maupun sifatnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan selalu tergantung dengan kehendak Allah.
Adapun Allah sifat Allah itu tidak mempunyai batas, mutlak sempurna dan tidak ada yang memberi ukuran padaNya, tidak ada yang membatasiNya.
Jadi pahami sekali lagi, bahwa segala sifat yang maknanya berhubungan dengan ukuran, batasan dan bentuk, maka makna sifat seperti itu tidak layak diberikan kepada Allah.
Paham ?
Kata anda :
NB : Makna istiwaa' dengan istilaa' itu, dulu, tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan yang mempopulerkan makna istiwaa' dengan istilaa' itu yang para Asyaa'irah. Abul-Hasan Al-Asy'ariy sendiri menolak pemahaman itu mas !. Kalau saya ambilkan dari kitab Al-Ibaanah, pasti Anda akan berdalih bahwa kitab itu telah dipalsu oleh Wahabiy. Sekarang saya ambilkan dari kitab beliau yang lain yang berjudul Maqaalatul-Islaamiyyiin :
وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami” [hal. 218].
Kata Dianth :
Ini memang saya copas :
Penafsiran asyariyah yang mempunyai kemiripan dengan istila' dan qahr, yang sama juga ditafsirkan oleh kaum Mu'tazilah. Tetapi, dikarenakan kaum Mu’tazilah mengklaim bahwa Sifat Ketuhanan itu berawal dalam waktu daripada memilih tanpa ciptaan dan tanpa awal, maka penafsiran mereka atas hal tersebut ditolak oleh ulama ahli Sunah. Ibn Battal mengatakan:” Posisi Mu’tazilah adalah hampa dan ditolak, karena Allah itu qahir, ghalib, dan mustawli tanpa awal." (Fath al-Bari jilid 3 hal:409)
Ibn Battal kemudian merujuk kepada pendapat Asy’ari di mana Sifat Perbuatan Allah seperti mencipta, meski berhubungan dengan makhluk, adalah tanpa awal sehubungan dengan Allah. Kepada mereka yang keberatan dengan istawla dengan dasar bahwa hal itu sebelaumnya dianggap bertentangan, Ibn Hajar mencatat bahwa asumsi itu ditolak oleh ayat: “Allah dahulu adalah (kana) Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” yang tafsirkan oleh ulama dengan arti, “Dia selalu Maha Tahu dan Maha Bijaksana” (Ibn Khafif dalam Al`Aqida hal:15-19)
Ahli Bahasa dari Ash`ariah al-Raghib al-Asfahani (w. 402H) mengatakan bahwa istawa `ala memiliki arti istawla `ala ("Dia menguasai") dan dia mengutip ayat istiwa (20:5) sebagai sebuah contoh dari makna ini: “Hal ini berarti bahwa segala sesuatu sama dalam hubungannya dengan Dia, dalam arti bahwa tidak ada hal yang lebih dekat dengan Dia disbanding dengan yang lain, karena Dia tidak seperti badan yang berada secara tertentu di suatu tempat dan bukan di tempat lain” (al-Zabidi hal : 132)
Dalam arti ini, baik pendapat Mu’tazilah tentang awal dari Sifat dan arti literalnya mendudukkan-setelah-bertarung telah tertolak, dan istawla dapat dengan aman diterima di kalangan Ahl Sunah. Sebagaimana Ibn Battal mengatakan, “ pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21). Al-Raghib, berkata:” itu berarti bahwa segala sesuatu adalah seperti itu dalam hubungannya dengan Dia” dan dia tidak mengatakan, “menjadi seperti”.
Ibn Al-Jauzi menyebutkan alasan lain untuk membolehkan tafsiran ini: “Siapa saja yang mengartikan “Dan Dia beserta kamu” (57:4) dalam arti “Dia beserta kamu dalam pengetahuan”, semestinya membolehkan lawannya untuk menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai. (Shubah al-Tashbih hal:23)
Adapun maksudnya sudah jelas, Imam Asy ari menolak pemahaman muktazilah yang menolak sifat-sifat Allah. Adapun ahlussunah menetapkan sifat Allah sebagaimana zhahirnya : Allah istiwa di atas arsy, namun memaknainya dengan makna yang layak baginya, yaitu dengan jalan takwil ijmali maupun tafsili.
Dan Imam Asy ari memilih jalan tafwidh/takwil ijmali, sedangkan para muridnya belakangan melalui jalan takwil tafsili.
alhamdulillah, walaupun ustadz berbicara dengan saudara dianth, kami yang menyimakpun mendapatkan tambahan ilmu yang bermanfaat dan pemahaman.
Semoga Allah ta'ala menunjuki saudara saudara kita kepada pemahaman yang benar. amin.
Abu 'Aisyah
aqidah Asy'ariyah tentang sifat2 Alloh sebetulnya adalah seperti orang yang kebingungan. mereka berkata bahwa cara untuk memahami sifat2 Alloh adalah dengan Takwil dan Tafwidh, agar tidak terjatuh dalam aqidah Tasybih dan Tajsim.
kenapa ana katakan aqidah mereka seperti orang yang kebingungan? hal ini karena Takwil dan Tafwidh adalah dua hal yang saling bertentangan. ANDAIPUN ada yang benar, maka hanya salah satunya saja, sedangkan yang lain adalah salah.
bagi orang yang mengambil jalan Takwil, ketika ditanya tentang makna tangan Alloh, mereka akan menjawab kekuasaan Alloh. dan bagi orang yang mengambil jalan Tafwidh, mereka akan menjawab makna tangan Alloh tidak diketahui.
lalu bagi Asy'ariyah yang mengambil kedua jalan tersebut, apa jawaban mereka jika ditanya tentang makna tangan Alloh?
Assalammu'alaikum,
Bagaimana dg hal ini Pak Ustadz ?
.................................
Demikian juga orang yang memahami firman Allah:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”.
Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
http://www.istawa.co.nr/
Jazakallah khoiron.
buat abu aisyah :
'afwan ana jd terkekeh dan heran dengan komentar diatas, terutama ketika membaca bagian ini:
kata anda : tolong bawakan di sini satu kalimat saja perkataan saya yang menetapkan kaifiyat bagi Allah.
Kata Dianth : Apakah anda tidak pernah memikirka perkataan anda, atau anda ini asbun ?
bukankah anda menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah ?
Lihatlah dia sudah tahu bahwa abul jauzaa menyerahkan kaifiyatnya kepada Allah, pada saat yg sama dia menuduh abul jauzaa telah menetapkan kaifiyat.
Jadi yang dipahami saudara kita ini apanya sih yang diserahkan abul jauzaa kepada Allah?
kata dianth : maksud saya mengatakan abul jauzaa menetapkan kaifiyat bagi Allah itu, artinya abul jauzaa meyakini ada kaifiyahNya sesuai makna zhahirnya ayat.
Sedangkan saya berkeyakinan. tidak ada sama sekali kaifiyah bagi Allah ats makna zhahirnya, karena yang dikehendaki bukanlah makna zhahirnya tetapi ada takwilnya.
Semoga anda paham.
dulu saudara diant pernah berdiskusi disini syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/21/fitnah-tajsim/. Silakan pembaca memahami bagaimana cara saudara dianth berpikir dari situ biar ndak cyclic (mengulang apa yang sudah didiskusikan)
Semoga bermanfaat
buat ibnu abi irfan :
kenapa ana katakan aqidah mereka seperti orang yang kebingungan? hal ini karena Takwil dan Tafwidh adalah dua hal yang saling bertentangan. ANDAIPUN ada yang benar, maka hanya salah satunya saja, sedangkan yang lain adalah salah.
bagi orang yang mengambil jalan Takwil, ketika ditanya tentang makna tangan Alloh, mereka akan menjawab kekuasaan Alloh. dan bagi orang yang mengambil jalan Tafwidh, mereka akan menjawab makna tangan Alloh tidak diketahui.
lalu bagi Asy'ariyah yang mengambil kedua jalan tersebut, apa jawaban mereka jika ditanya tentang makna tangan Alloh?
Kata dianth : takwil dan tafwidh tidak bertentangan mas, karena keduanya adalah takwil.... yang satu takwil tafsili, yaitu mengakui ada takwilnya dengan memperinci takwil yang mendekatinya dengan tetap berkeyakinan pengetahuan sesungguhnya hanya pada Allah, sedangkan tafwidh itu takwil ijmali, mengakui ada takwilnya, tetapi lebih memilih menyerhkan pengetahuan tersebut kepada Allah, karena hanya Allah yang tahu takwilnya.
Jadi bagi yang mengambil tafsir tangan dengan pendapat ulama dengan kekuasaan maupun menyerahkan takwilnya kepada Allah itu sama-sama selamat.
buat mas fredy
saya berterimakasih atas situsnya, saya akui mungkin saya kurang pandai bahasa arab, tetapi saya belajar agama bukan hanya kepada orang yang bisa bahasa arab, tetapi yang pandai mempergunakan bahasa Arab dengan semestinya, yaitu untuk kebenaran agama.
Anda simak aja kelanjutannya.... biar anda paham bagaimana akidah wahabi dan asyariyah.... karena akan nampak jelas perbedaannya kalau anda simak baik-baik. Dan anda dapat mengambil manfaatnya.
buat anonim : dulu saudara diant pernah berdiskusi disini syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/21/fitnah-tajsim/. Silakan pembaca memahami bagaimana cara saudara dianth berpikir dari situ biar ndak cyclic (mengulang apa yang sudah didiskusikan)
Semoga bermanfaat
Dianth : Kalau mau tahu cara berpikir saya, maka saya katakan saya berpikir berdasarkan akidah saya yaitu akidah asy ariyah.
Adapun tuduhan dobdob yang mengatakan bahwa saya memahami dengan akal, maka saya jawab disini saja, bahwa saya memang memahami dengan akal, adapun saya akidah saya imani dengan dalil.
Dan akidah asyariyah dalam pengetahuan saya adalah akidah yang berdasarkan dalil dan dipahami dengan akal serta hati nurani..
Demikian.
@Dianth,.... sudah puas dengan omong kosong Anda di atas ?. Semakin anda menjawab, semakin jauh anda dari kebenaran. Kata orang Jawa bilang : Ngarange nemeenn.... (kebangetan ngarangnya). Maaf. Saya tidak akan menjawab seluruh perkataan Anda di atas, namun saya hanya akan menjawab beberapa point yang penting saja.
1. Riwayat Al-Imaam Maalik dari Suraij bin An-Nu'maan.
Komentar anda di atas kemungkinan hanyalah kopi paste dari http://istawa.byethost3.com/2.1.htm. Ngomong-ngomong, Anda sudah baca kitab biografi belum kok nyuruh-nyuruh orang baca kitab Adl-Dlu'afaa' ?. Mas Diant,... komentar Anda tentang pelemahan 'Abdullah bin Naafi' itu sudah saya jawab sebenarnya di artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/07/dimanakah-allah-ini-jawaban-al-imaam.html. Tapi tidak mengapalah saya sebutkan komentar para imam tentangnya :
‘Abdullah bin Naafi’ bin Abi Naafi’ Ash-Shaaigh Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, shahiihul-kitaab, namun pada hapalannya terdapat kelemahan (layyin). Wafat tahun 206 H [idem, hal. 552, no. 3683].
Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Shahiihul-kitaab, namun jika ia meriwayatkan dari hapalannya, kadang keliru”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al-Khaliiliy berkata : “Tsiqah, Asy-Syaafi’iy memujinya”. Ibnu Qaani’ berkata : “Madaniy, shalih”. Al-Haakim berkata : "Tsiqah".
Memang benar, ada beberapa huffaadh mengkritik hapalan Ibnu Naafi' seperti Abu Haatim, Al-Bukhaariy, Ad-Daaruquthniy, dan Abu Zur'ah dalam riwayatnya yang lain.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, ia dikenal shaahibu Maalik dalam periwayatan dan lebih diutamakan dibanding yang lainnya.
Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
كان قد لزم مالك بن أنس لزوما شديدا لا يقدم عليه أحد
“Ia melazimi Maalik bin Anas dengan amat sangat, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya”.
Ibnu ‘Adiy rahimahullah berkata :
روى عن مالك غرائب ، و هو فى رواياته مستقيم الحديث
“Ia meriwayatkan beberapa riwayat ghariib dari Maalik. Dan ia dalam riwayatnya (Maalik) mustaqiimul-hadiits”.
Ibnu Ma’iin rahimahullah berkata :
وعبد الله بن نافع ثبت فيه
“Dan ‘Abdullah bin Naafi’ tsabt dalam riwayat Maalik”.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
كان عبد الله بن نافع أعلم الناس برأى مالك و حديثه ، كان يحفظ حديث مالك كله ثم دخله بآخرة شك
“’Abdullah bin Naafi’ adalah orang yang paling mengetahui tentang pendapat dan hadits Maalik. Ia menghapal semua hadits Maalik, namun timbul keraguan di akhir hayatnya”.
Abu Daawud rahimahullah berkata :
وكان عبد الله عالما بمالك ، و كان صاحب فقه
“’Abdullah adalah seorang ‘aalim tentang Maalik, seorang ahli fiqh”.
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy rahimahullah berkata :
كان أعلم الناس بمالك، و حديثه
“Ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Maalik dan haditsnya”.
[lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/52].
Dan khusus Al-Imaam Ahmad (yang perkataannya di atas sering dijadikan alasan untuk melemahkan atsar ini), maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ ini.
حدثنا أبو الفضل جعفر بن محمد الصندلى قال : حدثنا الفضل بن زياد قال : سمعت أبا عبد الله أحمد بن حنبل يقول : قال مالك بن أنس : الله عز وجل في السماء وعلمه في كل مكان ، لا يخلو منه مكان ، فقلت : من أخبرك عن مالك بهذا ؟ قال : سمعته من شريح بن النعمان ، عن عبد الله بن نافع
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].
Perkataan Ahmad bahwa 'Abdullah bin Naafi' itu mengalami keraguan di akhir hayatnya, maka itu tidaklah menggugurkan semua periwayatan 'Abdullah bin Naafi'. Tentu saja ini dengan melihat penjamakan semua ulama tentangnya. Riwayatnya dihukumi wahm jika memang ada bukti kongkrit ia wahm dalam periwayatan. Jika tidak, maka shahih.
Catatan terhadap komentar Anda (atau sumber copas Anda tentang 'Abdullah bin Naafi') :
Perkataan Anda :
Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik
maka ini memotong secara tidak fair perkataan Ibnu 'Adiy. Sebab, kelanjutab perkataan beliau adalah : wahuwa fii riwayatihi mustaqiimul-hadiits (dan ia dalam riwayat Maalik, mustaqiimul-hadiits). Artinya, Ibnu 'Adiy menghukumi riwayatnya dari Maalik adalah lurus atau shahih.
Perkataan Anda :
Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”.
Ini juga merupakan manipulasi dari perkataan Ahmad. Memang benar Ahmad berkata :
ولم يكن صاحب حديث
"Ia bukanlah seorang shaahibul-hadiits".
Namun Ahmad tidak mengatakan : "ia adalah seorang yang dla'iif". Lain kali, kalau menukil perkataan ulama yang benar ya.... Seandainya Anda memang menemukannya dari kutub rijaal, silakan dicantumkan sumbernya, sebab saya sudah memeriksa di kitab Mausu'ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, perkataan beliau seperti yang Anda nukil itu tidak ada.
Perkataan Anda :
" Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya)".
Perkataan Ibnu Farhuun itu bukan jarh yang menjatuhkan mas. Jadi, Anda salah alamat mencantumkannya di sini. [Dan memangnya, sejak kapan seorang rawi yang tidak bisa membaca dan menulis itu dapat dilemahkan ?]. Selain itu, tidak ada dalam kitab Adl-Dlu'afaa'-nya An-Nasaa'iy yang mencantumkan 'Abdullah bin Naafi', sebab An-Nasaa'iy mentautsiqnya.
Kesimpulan : Anda atau sumber copasan Anda menghukumi 'Abdullah bin Naafi' tidak dengan membuka kitab biografi.
Oleh karena itu, riwayat 'Abdullah bin Naafi' ini adalah shahih. Seandainya tidak bisa dihukumi shahih, maka ia tidak jatuh dari derajat hasan.
Dan oleh karena itu pula dapat dipahami bahwa Maalik tidak mengenal tafwidl model Asyaa'irah sebagaimana saya jelaskan sebelumnya.
Adapun perkataan Anda bahwa konsekuensi perkataan Maalik adalah bahwa ilmu-Nya terpisah dengan Dzat-Nya, maka tidak perlu saya komentari. Hanya orang bodohlah yang berkomentar seperti itu.
2. Tentang perkataan Imam : istiwaa' itu ma'luum.
Anda katakan bahwa saya tidak berhak menafsirkan perkataan Al-Qurthubiy. Jika saya tidak berhak, memangnya Anda dan rekan mempunyai hak lebih atas beliau ?. Yang ada adalah bahwa Anda ini sok tahu dan berusaha merubah-rubah makna perkataan ulama (semisal Al-Qurthubiy dan Abu bakr bin Al-'Arabiy rahimahumallah) yang sudah begitu jelas. Perkataan mereka bahwa istiwaa' itu ma'luum, maka sudah menjadi pengertian bagi otak bangsa Arab, bahwa ketika dikatakan ma'luum itu mengkonsekuensikan kepahaman akan maksudnya atau maknanya.
Aneh sekali jika ada orang yang mengatakan istiwaa' itu ma'luum, itu hanya menunjukkan ma'lum dalam lafadhnya saja tanpa memberi pengertian apa-apa. Aneh sekali.
Ketika Anda berkata : al-yaddu ma'luum, itu artinya : Anda paham akan makna yadd. Begitu juga ketika Anda berkata : "PBB ma'luum", itu artinya Anda paham apa itu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)".
Jadi, Anda tidak usah beretorika macam-macam yang ending nya bikin geli orang.
3. Teori tidak jelas yang membedakan sifat dzaatiyyah dan fi'liyyah.
Ini adalah teori yang penuh ambigu dari Anda dan rekan-rekan. Bukankah inti Anda menolak penisbatan makna dhahir dari sifat dzaatiyyah semisal yadd, rijl, dan yang lainnya karena sifat-sifat itu merupakan sifat yang dimiliki makhluk ?. Ini intinya. Lantas, mengapa bersamaan dengan itu Anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah ?. Apakah mendengar dan melihat itu bukan sifat makhluk juga ?. Inilah keanehan Anda.....
Dan perhatikan hadits berikut :
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya – lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan sifat mata (العين) bagi Allah. Isyarat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke mata beliau bukan untuk penyerupaan sifat Allah dengan makhluk, akan tetapi menjelaskan dan menekankan makna hakiki dari sifat Allah bahwa Ia benar-benar mempunyai dua mata yang tidak buta sebelah seperti mata Dajjaal (yang buta sebelah).
Maka di sini kita ketahui bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itu tidak mengenal teori pembedaan sebagaimana yang Anda lakukan itu.
Begitu juga dengan 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu :
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء .
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Atsar di atas menetapkan sifat Al-‘Ulluw bagi Allah ta’ala. Sifat ini dipahami oleh ‘Umar sebagaimana dhahir/hakekatnya, sehingga ia menunjuk ke arah langit dimana Allah ta’ala berada.
Atau jika Anda menolak pernyataan ini, kira-kira apa maksud 'Umar menunjukkan ke arah langit ? iseng ?.
4. Makna Istiwaa' menurut Salaf.
Ibnul-Qayyim rahimahullah - ulama Wahabiy - telah menjelaskan bahwa makna istiwaa' itu menurut salaf ada 4, yaitu : al-'ulluw (ketinggian), al-irtifaa' (meninggi), as-shu'uud (naik), al-istiqraar (menetap). Apa yang Anda sebutkan riwayat dari Al-Baihaqiy, telah tercover dalam penyebutan ini. Dan inilah yang disebutkan Wahabiy saat ini.
Lalu yang menjadi fokus adalah : Apa makna istiwaa 'alal-'Arsy ?. Bentuk kalimat seperti ini ada pada ayat yang lain, yaitu :
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ
"Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," Dan air pun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi" [QS. Huud : 44].
Bentuk kalimat istwaa 'alal-'Arsy itu sama dengan kalimat di atas : was-tawat 'alal-Juudiy. Jadi, istawaa 'alal-'Arsy itu maknanya bahwa Dzat Allah benar-benar berada di atas 'Arsy. Tidak bisa tidak (menurut konteks kalimat bahasa Arabnya).
Tidak bisa dikatakan bahwa Allah menguasai 'Arsy (istilaa'). Jika demikian, maka perahu Nuh dalam QS. Huud ayat 44 itu juga bisa diartikan menguasai bukit/gunung Judi. Jika memang benar Anda mengatakannya, maka cukup segar hiburan yang Anda ucapkan hari ini.....
Satu hal yang penting lagi bahwa, Anda tidak bisa menolak kenyataan bahwa Abul-Hasan Al-Asy’ariy sendiri menolak pemaknaan istiwaa’ menjadi istilaa’. Bukan begitu ?.
Dan satu lagi bung Dianth,... perhatikan riwayat ini :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ النَّحْوِيُّ، إِجَازَةً، ثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ نَفْطَوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو سُلَيْمَانَ دَاوُدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: كُنَّا عِنْدَ ابْنِ الأَعْرَابِيِّ فَأَتَاهُ رَجُلٌ، فَقَالَ لَهُ: مَا مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ، الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ؟ فَقَالَ: هُوَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَيْسَ هَذَا مَعْنَاهُ، إِنَّمَا مَعْنَاهُ اسْتَوْلَى قَالَ: اسْكُتْ، مَا أَنْتَ وَهَذَا؟ لا يُقَالُ اسْتَوْلَى عَلَى الشَّيْءِ إِلا أَنْ يَكُونَ لَهُ مُضَادٌّ، فَإِذَا غَلَبَ أَحَدُهُمَا قِيلَ اسْتَوْلَى،
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far An-Nahwiy dengan ijazah (darinya) : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Nafthawaih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Sulaimaan Daawud bin ‘Aliy, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Ibnul-A’rabiy, lalu datanglah kepadanya seorang laki-laki yang bertanya : “Apa makna fairman Allah Ar-Rahmaan ‘alal-‘Arsyi istawaa ?”. Ia menjawab : “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan”. Laki-laki itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, bukan itu maknanya. Akan tetapi makna istawaa itu istaulaa (menguasai)”. Ibnul-‘Arabiy berkata : “Diam engkau. Kamu tidak mengetahui. Tidaklah dikatakan istawaa’ ‘alasy-syai’ (menguasai sesuatu) kecuali harus adanya lawannya. Apabila salah satu di antara keduanya menang, maka dikatakan istaulaa.....” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy 2/366 no. 666].
Al-Baihaqiy pun berhujjah dengan riwayat di atas dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat 2/314 no. 879 dengan sanad shahih sampai Ibnul-‘Arabiy. Dan Ibnul-‘Arabiy adalah salah satu pakar bahasa Arab.
Dan,..... tengoklah kembali atsar 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu.
Kalau mau marah karena saya menolak pemaknaan Anda istawaa dengan istaulaa, maaf, silakan tumpahkan kemarahan Anda pada Abul-Hasan Al-Asy-ariy, Ibnul-‘Arabiy, dan Al-Baihaqiy....
5. Perkataan Al-Imaam Asy-Syaafi'iy rahimahullah.
Perlu saya informasikan bahwa kitab Al-Kaukabul-Az-haar Syarh Al-Fiqhil-Akbar itu tidak shahih dinisbatkan kepada Asy-Syaafi'iy rahimahullah.
Risalah ini terbit pertama kali tahun 1900 M di Mesir.
Semua ulama yang menulis tentang biografi Asy-Syaafi'iy seperti Al-Baihaqiy, Abu Haatim, Ibnu Hajar, dan yang lainnya, tidak pernah sedikit pun menyinggung tentang kitab ini. Begitu juga dengan para penulis kitab Taariikh dan Adab. Selain itu, banyak pertentangan isi kitab ini dengan kitab-kitab Asy-Syaafi'iy yang masyhur. Di antara bukti lagi bahwa kitab itu tidak sah dinisbatkan kepada Asy-Syaafi'iy, maka dalam kitab Al-Kaukab itu banyak dituliskan :
telah berkata sebagian teman-teman kami
atau :
dari sebagian teman-teman kami.
Ini menunjukkan bahwa tulisan itu bukan tulisan Asy-Syaafi'iy. Uslub itu bukan uslub tulisan Asy-Syaafi'iy, melainkan uslub dari orang yang menasabkan diri pada madzhab fiqh Syaafi'iyyah. Begitu juga dengan uslub-uslub bahasa yang menggunakan lafadh jauhar, 'aradl, dan yang lainnya yang merupakan bagian dari ilmu kalam. Ini semua tidak ternukil dari kutub Asy-Syaafi'iy selain dalam Al-Kaukab.
Ada bukti-bukti lain yang cukup banyak sebagaimana telah dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin 'Abdil-Wahhaab Al-'Aqiil hafidhahullah.
tidak bisa diingkari bahwa Takwil dan tafwidh itu saling bertentangan. jika ditanya tentang makna tangan Alloh, ahlu takwil akan menjawab "yaitu kekuasaan Alloh", sedangkan ahlu tafwidh akan menjawab "tidak diketahui maknanya".
seseorang yang men-takwil, sudah pasti dia merasa tahu maknanya. dan kalo merasa tahu maknanya, berarti dia bukan ahlu tafwidh. kok bisa-bisanya mengatakan takwil dan tafwidh itu tidak saling bertentangan.
===================================
al akh diant mengatakan bahwa jika Ustadz Abul Jauzaa menyerahkan kaifiyahnya pada Alloh, berarti beliau telah menetapkan kaifiyah. kalau begitu, berarti al akh diant juga telah menetapkan makna, karena menyerahkan maknanya pada Alloh. kalau sudah menetapkan maknanya, berarti dia telah menyalahi prinsip tafwidh itu sendiri.
===================================
apa kaidah yang digunakan oleh al akh diant dalam menetapkan bahwa ayat ini muhkamat dan ayat itu mutasyabihat? tidak ada kaidah yang jelas.
cukup mbulet pemahaman asya'iroh ini, dan saya kira semua ahlul kalam punya metode yang sama dalam menetapkan atau menafikan sifat2 Allah. intinya mereka pakai metode mbulet.
sedikit pertanyaan untuk diant,
anda menetapkan sifat mendengar dan melihat tanpa perlu takwil dengan alasan kedua sifat ini adalah sifat ruhaniyyah.
pertanyaannya: apakah karena ini sifat ruhaniyyah ( tidak tampak dhohirnya jika ada pada makhluk ) sehingga anda tidak perlu mentakwil? bukankan makhluk hidup memiliki unsur jasmani dan ruhani?
apakah menurut anda sifat ruhani makhluk "mirip" dengan sifat ruhani Allah sehingga tidak perlu takwil....sedangkan tangan ( misalnya ) karena ia bersifat dhohir/tampak jika pada makhluk maka ia harus ditakwil agar tampak bahwa tangan makhluk benar2 beda dengan "tangan" Allah?
Ada tanggapan dari si mukhalif ust di kolom komentarnya :
Sebelumnya ingin saya sampaikan bahwa Ijmak Ahlu sunnah wal-jama`ah adalah sifat al-uluw ( sifat – ketinggian ) , bukan Jihah al-uluw ( Arah atas ).
1. sifat al-uluw (sifat ketinggian ) telah disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah shahihah disinilah terjadi Ijmak atau consensus Ulama Islam , barang siapa mengingkari sifat ketinggian Allah dengan keagungan dan kesempurnaan dzat sifat dan kedudukan maka ia kafir tanpa ragu.
2. Arah atas (jihah al-uluw) secara fisik dan berjarak karena jauhnya tempat , adalah Bid`ah qoul dan Aqidah , tidak pernah disebut dalam Al-Qur`an maupun Sunnah shahihah, tidak juga diyakini oleh seorang Sahabat Nabi SAW , inilah Aqidah Ustadz Firanda yang coba dibela oleh ustadz Abu Jauza.
Gunawan (pembawa berita dari Abul jauza) says:
[1. Qutaibah bin Sa’iid]
Pak Ust. Ahmad Syahid mengkritik riwayat jalur An-Naqosiy, sedangkan Ust. Abul Jauzaa menggunakan jalur Abu Ahmad Al-Hakim yang menurut beliau SHAHIH.
Ada komentar pak Ustadz?, mengenai jalur riwayat yang digunakan Ust. Abul Jauza.
Tanggapan : sudah saya sampaikan pada awal artikel bahwa Abu ahmad al-hakim berusia 7 tahun ketika As-sarraj meninggal , sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Baghdad juz 1 halaman 248 , bahwa as-sarraj lahir tahun 218 meninggal tahun 313 sementara Abu Ahmad al-hakim meninggal tahun 398 pada usia 93 tahun dan saya menganggap tidak sahnya riwayat anak kecil .
[2. Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy]
Ust. Ahmad mempersoalkan nukilan Adz-Dzhahabi, Ust. Abul Jauza jelaskan bahwa itu ada dalam Kitab ‘Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits (Ash-Shobuni), apakah Ust. Ahmad bisa mengeceknya?
Untuk masalah Tafwidh, sepertinya ada perbedaan…Tafwidh versi Ust. Abul Jauza adalah Tafwidh Kaifiyat sedangkan versi Ust. Ahmad adalah Tafwidh Ma’na (CMIIW), saya usul masalah Tafwidh ini dibahas berikutnya saja.
Tanggapan : saya tidak mempermasalahkan Nukilan Abu Jauza yang saya permasalahkan adalah ” pemahaman ” abu jauza atas nukilannya beliau sendiri (scan yang ditampilkan abul jauza) ada hal penting yang luput dari ustadz abul jauza
dalam scan tersebut terdapat pernyataan Ash-Shobuni yang sangat jelas menunjukkan jika beliau adalah seorang Mufawwidh
ويمرو نه علي ظا هره ؤيكلو ن علمه الي الله…. الخ
Inilah yang coba saya koreksi dari ” pemahaman ” abul jauza , sama sekali bukan Nukilannya abul Jauza.
---bersambung ---
---sambungan dr atas ----
[3. Abu Zur’ah Ar-Raaziy dan Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahumallaah]
Ust. Ahmad menganggap perawi dalam riwayat ini adalah MAJHUL, apakah Ust. Ahmad sudah mengecek Kitab Syarh Ushuulil-I’tiqaad seperti yang dijelaskan Ust. Abul Jauza?
Tolong dijelaskan perawinya.
Tanggapan : 1. sebelumnya ingin saya koreki bahwa yang saya maksud adalah salah seorang rawi , saya tidak ” menganggap perawi dalam riwayat ini adalah majhul ” sebagaimana dalam tulisan gunawan , yang meng-isyaratkan bahwa semua rawi dalam riwayat ini Majhul.
2. semua jalur riwayat ini sudah saya jelaskan silahkan lihat kembali dalam artikel maupun dalam tanggapan atas catatan Abul Jauza , termasuk Riwayat al-lalikai dalam syarh Ushulil I`tiqod.
[4. Al-Auza'iy]
Ust. Ahmad menganggap riwayat Al-Awza’i PALSU tanpa memberikan penjelasan mengenai para perawi nya, sedangkan Ust. Abul Jauza memberikan nukilan penilaian terhadap para perawi dan menurut beliau Dha’if/kalaupun Sangat Dha’if pun TIDAK HARUS PALSU.
Silahkan Ust. Ahmad Syahid jelaskan para perawi Riwayat Al-Awza’i tersebut
Tanggapan : 1. saya nilai riwayat ini maudhu` karena Muhammad bin katsir al-mashishi disifati sangat lemah menerima riwayat dari seorang yang tertuduh dusta yaitu Ibrahim bin al-haitsam al-baladi , orang yang sangat lemah hafalkannya menerima riwayat dari seorang tertuduh ber Dusta , inilah penyebab utama diasebut Maudhu`.
2. jika Abu Jauza menganggap riwayat dengan susunan rawi seperti ini sebagai Dhaif , lalu yang dinilai Maudhu` harus seperti apa susunan rawinya…..? atau Abul Jauza punya kaidah tersendiri yang tidak mengikuti kaidah Ulama Jarh wa- at-ta`dil……?
3. kalaupun saya mengalah bahwa riwayat itu Sangat Dha`if ( riwayat itu Maudhu`, tidak dapat dinilai lemah) , maka tidak selayaknya menyampaikan riwayat riwayat yang ” sangat dha`if ” dalam Hal Aqidah ” semboyan hanya menggunakan hadist-hadist shahih jadi dipertanyakan.
Silahkan ustadz Abul Jauza mengomentari seluruh isi artikel (seperti yang saya lakukan untuk artikel ustadz firanda ) jangan hanya 4 poin , masih banyak poin yang membatalkan Klaim Ijmak ustadz Firanda dan All wahabiyyin dalam artikel tersebut , silahkan Abu Jauza mengomentari seluruh artikel disitulah kita semua akan tahu jika riwayat – riwayat itu dibawakan hanya dijadikan pemikat , tameng dan batu loncatan untuk Aqidah sebenarnya yang diyakini Ustadz firanda cs. (silahkan lihat pada seri berikutnya) .
Semoga Allah tambahkan kebaikan kepada Umat Nabi yang senantiasa jujur dan senantiasa merasa takut berdusta karena diperhatikan Allah…Amin.
Catatan : untuk selanjutnya saya tidak akan mengomentari ustadz abu Jauza jika beliau hanya mengomentari beberapa poin saja , saya hanya akan komentari abul jauza jika beliau mengomentari seluruh Artikel saya , sehingga tidak ada yang berbangga hati ” seolah artikel saya sudah dikuliti semuanya ” padahal hanya 4 dari puluhan poin , dan itupun sudah saya kembalikan dan kuliti kembali , saya mohon tidak ada yang berbangga diri atau kelompok sebelum seluruh artikel di bantah dari A sampai Z ,.
Sebab yang kita cari semata – mata adalah kebenaran sejati bukan semata-mata kemenangan Palsu.
kutipan Abul Jauzaa "Tidaklah dikatakan istawaa’ ‘alasy-syai’ (menguasai sesuatu)"
harusnya : "Tidaklah dikatakan istaulaa ‘alasy-syai’ (menguasai sesuatu)"
Ass wr wb,
Mana tanggapannya nih !
Ini adalah KOMENTAR TERAKHIR dari tanggapan Ahmad Syaahid yang saya tampilkan.
Tidaklah nampak bagi saya dari seorang Ustadz Ahmad Syaahid kecuali ia seorang yang keras kepala, sok tahu, dan berani untuk berdusta.
1. Teori falsafinya tentang 'dimanakah Allah ?', maka itu adalah khas Asyaa'irah, untuk menolak ketinggian Dzat Allah ta'ala di atas makhluk-Nya. Saya tidak akan berkomentar apa-apa, karena saya meyakini apa yang tergambar dalam 'aqidah 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu berikut :
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء .
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].
Menurut Anda, isyarat tangan 'Umar ke langit itu menunjukkan apa ?.
Atsar 'Umar tersebut merupakan bagian dalil yang dipakai Ibnu Qudaamah dalam kitab Itsbaat Shifaatil-'Ulluw dan Adz-Dzahabiy dalam Al-'Ulluw untuk menetapkan sifat 'Ulluw bagi Allah.
Atau..... 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu dianggap sebagai pelaku bid'ah oleh Asyaa'irah ?.
2. Atsar Qutaibah bin Sa'iid.
Saya tidak tahu, apakah dusta sudah menjadi kebiasaan baru Ustadz Ahmad Syahiid ? Atau, berhubung omongan beliau ini sudah menjadi pegangan orang-orang yang sepaham dengannya, maka terpaksa beliau sok tahu dalam permasalahan ini ?.
Sudah saya katakan dalam artikel di atas bahwa Abu Ahmad Al-Haakim itu lahir tahun lahir tahun 285 H, dan wafat tahun 378 H. Tahun kelahiran ini saya dapatkan di muqaddimah muhaqqiq kitab Syi'aar Ashhaabil-Hadiits. Tapi beliau ngotot, Abu Ahmad Al-Haakim itu lahir tahun 398 H dalam usia 93 tahun. Yang jadi pertanyaan adalah : Beliau ini dapat informasi dari mana ?. Apakah beliau ini membuka kitab biografi ?
Yang benar itu, Abu Ahmad Al-Haakim itu wafat tahun 378 H seperti yang saya tuliskan, atau 398 H seperti yang Ustadz Ahmad Syahiid tuliskan ?.
Abu 'Abdillah Al-Haakim berkata :
مات أبو أحمد وأنا غائب في شهر ربيع الأول سنة ثمان وسبعين وثلاث مائة وله ثلاث وتسعون سنة
"Abu Ahmad meninggal pada saat aku tidak ada pada bulan Rabi'ul-Awwal tahun 378 H dalam usia 93 tahun" [sumber : sini].
Kalau menilik perkataan Al-Haakim di atas, yang benar adalah yang saya katakan.
Dan yang lebih penting dari itu, As-Sarraj Lahir tahun 218 H, dan wafat pada usia 95/96/97 tahun. Seandainya kita ambil ia meninggal pada usia 95 tahun, maka ia wafat pada tahun 313 H. Adapun Abu Ahmad Al-Haakim lahir pada tahun 285 H (menurut yang tertera dalam muqaddimah kitab Asy-Syi'aar) atau penghujung tahun 290 H atau sebelumnya (menurut sumber yang saya link-an di atas). Taruhlah kita ambil tahun kelahiran paling akhir, yaitu tahun 290 H; maka berarti Abu Ahmad Al-Haakim berusia 23 tahun saat As-Sarraaj wafat.
Ini adalah usia ideal penyimakan hadits.
NB : Saya rasa, seharusnya beliau tidak perlu malu untuk mengakui kekeliruannya daripada membiarkan dirinya berdusta dan sok tahu. Karena dusta itu dosa.
3. Perkataan Ash-Shaabuuniy.
Ini adalah hal yang susah untuk didiskusikan, karena Ustadz Ahmad Syahiid tetap bersikeras bahwa Ash-Shaabuuniy menganut paham tafwidl seperti dirinya berdasarkan teks :
Memperlakukan sebagaimana dhahirnya dan menyerahkan ilmu-Nya kepada Allah ta'ala.
Menyerahkan ilmu-Nya ini menurut beliau adalah menyerahkan maknanya, sedangkan menurut saya (taruhlah begitu) adalah menyerahkan kaifiyatnya. Saya telah menunjukkan kekeliruan pemahaman Ustadz Ahmad Syahiid ini berdasarkan perkataan Ash-Shaabuuniy : Memperlakukan sebagaimana dhahirnya. Kita tahu bahwa kritikan orang Asyaa'irah kepada Wahabiy adalah karena kalimat ini (misal : lihat artikel ini). Lihatlah berbagai perkataan mereka di web-web ngawur mereka. Namun sekarang, Ustadz Ahmad Syahiid pura-pura acuh dengan kalimat ini dan berpegang pada kalimat selanjutnya.
Justri kalimat "memperlakukan sebagaimana dhahirnya" ini menjelaskan makna kalimat "menyerahkan ilmunya kepada Allah ta'ala". Yaitu ilmu tentang kaifiyatnya. Sebab, memperlakukan sebagaimana dhahirnya dipahami sebagaimana memperlakukan sebagaimana dhahir makna yang bisa terambil dari lafadh. Inilah yang dikenal dalam ilmu ushul fiqh.
4. Perkataan Abu Zur'an dan Abu Haatim.
Sebenarnya saya sudah tidak berselera menanggapi omongan Ustadz Ahmad Syahiid ini, karena tidak mutu. Orang yang tahu ketidakvalidan omongan beliau ini adalah orang yang memang membuka kita Syarh Ushuulil-I'tiqaad. Saya sudah sebutkan riwayat beserta sanadnya. Dan itu shahih.
Siapa sih yang dianggap majhul itu ?. Bukankah sudah saya katakan bahwa Al-Husain bin Muhammad bin Habsy, Abu ’Aliy Ad-Diinawariy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi ma’muun [lihat : Taariikh Islaamiy oleh Adz-Dzahabiy, 26/538-539, tahqiq : Dr. ’Umar bin ’Abdis-Salaam At-Tadmuriy; Daarul-Kitaab Al-’Arabiy, Cet. 1/1409 H].
Atau,.... Ustadz Ahmad Syahiid tidak punya referensi kitab Taarikh Islaamiy nya Adz-Dzahabiy sehingga tetap menganggap majhuul ?. Atau punya, tapi gak mau lihat karena dengan melihat akan menggugurkan hujjahnya ?. Atau memang Ahmad Syahiid ini tidak tahu apa itu perawi majhuul apa itu perawi tsiqah ?.
Ini saya tuliskan perkataan Adz-Dzahabiy dalam Taariikh-nya :
الحسين بن محمد بن حبش، أبو علي الدينوري المقريء.
قرأ القرآن على: أبي عمران موسى بن جرير الرقي، وغيره.
قرأ عليه: محمد بن المظفر بن حرب الدينوري وأبو العلاء محمد بن علي الواسطي، ومحمد بن جعفر الخزاعي، ورحل إليه.
وكان أيضاً عالي الإسناد في الحديث. روى عن أبي عمران الرقي.
روى عنه: أبو نصر أحمد بن الحسين الكسار جزءاً وقع لنا.
قال أبو عمرو الداني: أخذ القراءة عرضاً عن: موسى بن جرير وابن مجاهد، والعباس بن الفضل، وإبراهيم بن حرب وجماعة.
متقدم في علم القراءة، مشهور بالإتقان، ثقة مأمون.
روى القراءة عنه: إسماعيل بن محمد البرذعي، والحسين بن محمد السلماني. وسمعت فارس بن أحمد يقول: كان ابن حبش المقريء الدينور، وكان يأخذ في مذاهب القراء كلهم، فالتكبير من " والضحى " إلى آخر القرآن اتباعاً للآثار الواردة.
Sebagai tambahan, ini biografinya dalam Ma'rifatul-Qurraa :
الحسين بن محمد بن حبش، أبو علي الدينوري، المقرئ.
قرأ القراءات على أبي عمران موسى بن جرير الرقي، والعباس بن الفضل الرازي، وإبراهيم بن حرب شيخ مجهول، وأبي بكر بن مجاهد.
قال أبو عمرو الداني: متقدم في علم القرآت مشهور بالإتقان، ثقة مأمون، روى القراءة عن إسماعيل بن محمد البردعي، والحسين بن محمد السلماني.
قلت: قرأ عليه جماعة، منهم محمد بن المظفر بن حرب الدينوري، وأبو العلاء محمد بن علي الواسطي، ومحمد بن جعفر الخزاعي.
وروى عنه جزءا من حديثه أبو نصر الكسار، قال فارس بن أحمد: كان ابن حبش مقرئ الدينور، وكان يأخذ للقراء كلهم بالتكبير من والضحى اتباعا للآثار الواردة.
قلت: توفي سنة ثلاث وسبعين وثلاثمائة
Silakan baca sendiri.
Masihkah Ahmad Syahiid menganggap ia seorang perawi majhuul, tidak ada seorang pun ulama jarh wa ta'dil mentsiqahkannya ?.
Buanglah kegengsian Anda untuk rujuk pada kebenaran.
5. Atsar Al-Auza'iy.
Jika Anda paham penyikapan Ahmad Syahid sebagaimana yang saya jelaskan di atas, maka di sini Anda akan lebih 'memahami' penyikapan Ahmad Syahiid atas atsar Al-Auza'iy.
Saya telah sarankan kepadanya untuk merujuk ke kitab Tahdziibul-Kamaal atau Tahdziibut-Tahdziib untuk biografi Muhammad bin Katsiir. Entah, ia benar-benar membuka dua kitab itu apakah tidak. Namun dilihat dari perkataannya, sepertinya tidak. Tapi sebelumnya, simaklah perkataannya :
"saya nilai riwayat ini maudhu` karena Muhammad bin katsir al-mashishi disifati sangat lemah menerima riwayat dari seorang yang tertuduh dusta yaitu Ibrahim bin al-haitsam al-baladi , orang yang sangat lemah hafalkannya menerima riwayat dari seorang tertuduh ber Dusta , inilah penyebab utama diasebut Maudhu`".
NB : Yang benar, Al-Haitsam menerima riwayat dari Muhammad bin Katsiir, bukan sebaliknya. Dari sini saja Anda sudah mengetahui ketidakakuratan perkataan Ahmad Syahiid itu.
Kemudian saya berkata :
Perkataannnya ini hanya membuat orang menangis sekaligus tertawa. Sekaligus menunjukkan bahwa Ahmad Syahiid itu sangat-sangat awam tentang ilmu riwayat. Ia membuat kaedah aneh seperti di atas. Seandainya kaedah itu bukan buatannya, siapakah yang mencetuskan pertama kali ? (riwayat seorang perawi lemah dinilai maudlu' secara mutlak hanya karena ada di antara riwayatnya berasal dari perawi yang tertuduh berdusta).
Saya tidak akan mengomentari perkataan lucu ini. Cukuplah dibiarkan, karena menanggapi perkataan di luar jalur ilmu hanyalah kesia-siaan.
Perkataan Ibnu Hajar yang merangkum beberapa komentar tentang diri Muhammad bin katsiir dengan perkataan : "Shaduuq katsiirul-ghalath"; dan Adz-Dzahabiy : "Shaduuq, namun mengalami ikhtilaath (percampuran hapalan) di akhir usianya" --- cukup menggambarkan bagaimana sebenarnya keadaan Muhammad bin Katsiir ini.
Adapun riwayat Ibraahiim bin Haitsam Al-Baladiy, saya sudah menyebutkannya. Tidak mengapa saya ulang :
"Ibraahiim bin Al-Haitsam itu perawi tsiqah. Ibnu 'Adiy mengatakan : 'Hadits-haditsnya lurus". Dan kemudian beliau mengatakan tidak menemukan hadits-haditsnya yang munkar kecuali satu saja. Al-Kahthiib berkata : "Tsiqah lagi tsabat". Ad-Daaruquthniy mengatakan tsiqah. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Adz-Dzahabiy mengatakan : "Shaadiq". Hanya Ibnu Ma'iin yang mengatakan : "Riwayat-riwayatnya diingkari". Namun perkataan ini tidaklah menjatuhkan kredibilitas Ibraahiim secara keseluruhan".
Jika melihat data-data seperti di atas, benarkah omongan Ahmad Syahiid itu bahwa riwayat Al-Auza'iy palsu ?.
*******
Saya tidak akan mengomentari seluruh tulisannya itu, karena tiga atau empat point pokok di atas sudah cukup bisa mengungkap bagaimana sebenarnya Ahmad Syahiid itu.
KOREKSI :
Saya dalam komentar di atas (24 Oktober 2011 22:00) :
" Tapi beliau ngotot, Abu Ahmad Al-Haakim itu lahir tahun 398 H dalam usia 93 tahun".
Ini salah ketik, maksud saya :
" Tapi beliau ngotot, Abu Ahmad Al-Haakim itu WAFAT tahun 398 H dalam usia 93 tahun"
@Mas Arif Nur, terima kasih atas koreksiannya. Ya benar, salah ketik. Komentar antum sekaligus merupakan koreksiannya.
@Dianth,.... mohon maaf saya TIDAK menampilkan komentar Anda yang buaaanyyaak itu, karena hanya cyclic saja. Banyak pengulangan. Saya tidak menampilkan komentar cyclic Anda karena saya tidak mau berkomentar cyclic menuliskan apa yang telah saya tulis sebelumnya.
Namun sedikit tambahan dari saya :
1. Ibnu Hibbaan tidak pernah menulis kitab ASYIQOT, namun yang beliau tulis adalah kitab yang berjudul ATS-TSIQAAT (الثقات). Dari transliterasi yang aneh Anda ini, cukup menunjukkan bahwa modal Anda hanyalah dengar-dengar dan copi paste saja. Dan kemudian Anda pakai untuk jidal.
2. Anda kebingungan ya menyikapi hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menunjuk mata beliau ketika menjelaskan sifat 'ain bagi Allah ?. Begitu juga Anda bingung ya menyikapi riwayat 'Umar yang mengisyaratkan tangannya ke langit ketika ia berkata tentang Allah ?.
Takut mengatakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan 'Umar penganut paham mujassimah ya ?.
3. Anda itu sebenarnya tidak paham apa yang dimaksudkan paham musyabbihah atau mujassimah menurut salaf (bukan menurut Asyaa'irah). Biar Anda paham simak apa yang dikatakan At-Tirmidziy berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَال: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ، فَيُرَبِّيهَا لِأَحَدِكُمْ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ مُهْرَهُ، حَتَّى إِنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ ". وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ، وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ، و يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ. قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ،
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا، وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الرِّوَايَاتِ مِنَ الصِّفَاتِ، وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، قَالُوا: قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ. هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ، وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ: أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ، وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ، وَقَالُوا: هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ، فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ، وَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ، وَقَالُوا: إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ، وقَالَ إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ: إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: " يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ " وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Muhammad, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menerima shadaqah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana salah seorang di antara kalian membesarkan anak kudanya. Hingga, sesuap makanan akan mengembang menjadi segunung Uhud”.
Dan hal itu dibenarkan dalam Kitabullah ‘azza wa jalla : “Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat” (QS. At-Taubah : 104). Dan : “ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah” (QS. Al-Baqarah : 276).
Abu ‘Iisaa berkata : “Hadits hasan shahih”.
Dan telah diriwayatkan hal itu dari ‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal dengannya. Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang shifat dan turunnya Rabb tabaaraka wa ta’ala pada setiap malam ke langit dunia. Mereka berkata : Sungguh telah shahih riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Ini adalah tasybih”. Allah ‘azza wa jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)”
[selesai – Sunan At-Tirmidziy, hadits no. 662 – beserta komentar At-Tirmidziy di bawahnya].
Semoga penjelasan At-Tirmidziy ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya Anda (Dianth).
Terima kasih atas penjelasannya ustadz, di saat yang sama juga menjelaskan akidah Asy'ariyyah. Kalau tidak salah, Asy'ariyyah memang tidak suka terhadap Adz-Dzahabi, dan tidak mengambil beliau sebagai rujukan (kecuali untuk "menohok" Wahabi), seperti yang tercantum dalam tulisan mereka:
http://ummatipress.com/2011/09/20/adz-dzahabi-sanad-awal-kebencian-terhadap-pengikut-aqidah-asyariyah/
Beberapa petikan artikel:
"Al-Imâm Tajuddin as-Subki mengatakan bahwa adz-Dzahabi memiliki kebencian yang sangat besar terhadap al-Imâm al-Asy’ari, hanya saja ia tidak sanggup untuk mengungkapkan itu semua karena takut diserang balik oleh Ahl al-Haq dari para pemuka Ahlussunnah. Di sisi lain adz-Dzahabi juga tidak sabar untuk mendiamkan ajaran-ajaran al-Imâm al-Asy’ari yang menurutnya sebagai ajaran yang tidak benar. "
"Dari sisi ini ia adalah seorang yang memiliki ilmu dan memiliki sikap teguh dalam beragama. Hanya saja dia memiliki kebencian berlebihan terhadap para ulama Ahlussunnah. Karena itu adz-Dzahabi ini tidak boleh dijadikan sandaran”.
"Saya khawatir atas dirinya di hari kiamat nanti bahwa ia akan dituntut oleh mayoritas ulama Islam dan para Imam yang telah membawa syari’at Rasulullah kepada kita, karena sesungguhnya mayoritas mereka adalah kaum Asy’ariyyah. Sementara adz-Dzahabi apa bila ia menemukan seorang yang bermadzhab Asy’ari maka ia tidak akan tinggal diam untuk mencelanya. "
"ia telah banyak mencaci-maki para ahli agama, yaitu mencaci maki kaum sufi, padahal mereka itu adalah orang-orang saleh. Ia juga banyak menjelekan para Imam terkemuka dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi. Ia memiliki kebencian yang berlebihan terhadap kaum Asy’ariyyah. Sementara terhadap kaum Mujassimah ia memiliki kecenderungan bahkan ia memuji-muji mereka. "
Alhamdulillah, dari artikel dan diskusi yang saya baca dan ikuti, semakin nampak bagi saya akan batilnya aqidah Asyaa'irah, dan menunjukkan benarnya aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah, aqidahnya orang yang mereka sebut "wahaby atau salafi"
Jazakallahu khoiron ustadz, semoga Allah selalu menjaga ustadz dan keluarga.
Pak Abu Maya,... kebencian kalau sudah mengakar, ya begitu itu. Bertindak tidak fair, lancung, bahkan tidak segan-segan berdusta.
Adz-Dzahabiy rahimahullah telah menuliskan biografi Abul-Hasan Al-Asy'ariy di kitab Siyaru A'laamin-Nubalaa' (lihat juz 15 hal. 85-90 no. 51). Ada 4 atau 5 halaman. Apakah ini yang disebut bahwa Adz-Dzahabiy 'tidak banyak berkomentar' terhadap Abul-Hasan karena kebenciannya terhadapnya ?.
Sungguh jauh sekali. Itu hanyalah tuduhan yang dihembuskan oleh kaum Asyaa'irah saja. Orang-orang yang mempelajari rijaal tahu bahwa Adz-Dzahabiy itu adalah ulama yang pertengahan atau adil dalam menilai perawi. Entah ia dari kalangan Ahlus-Sunnah wataukah Ahlul-Bida'.
Adz-Dzahabiy berkata tentang diri Abul-Hasan : "Al-'Allaamah imaamul-Mutakallimiin".
Adz-Dzahabiy memuji Abul-Hasan dengan : "Ia seorang yang mempunyai kecerdasan yang menakjubkan serta pemahaman yang kuat" [15/86].
Adz-Dzahabiy juga berkata : "Abul-Hasan mempunyai kecerdasan yang melampaui batas (orang-orang di jamannya), keluasan ilmu, perilaku yang baik, dan karya tulis yang melimpah yang menandakan keluasan ilmunya" [15/87].
Adz-Dzahabiy juga memuji 'aqidah Abul-Hasan yang mencocoki madzhab salaf (di akhir hayatnya setelah lepas dari 'aqidah Mu'tazilah).
dan yang lainnya.
Saya kira, sedikit keterangan di atas dapat memberikan sedikit informasi atas kesedikitan (baca : kemiskinan) informasi yang ada pada artikel web ummatipress tersebut.
Hanya kepada Allah ta'ala kita memohon petunjuk dan pertolongan.
Buat Abul jauzaa, saya berharap kalau anda punya amanat ilmiah, anda mesti menyampaikan dan menampilkan koment saya yang ini, karena ini komentar saya yang terakhir di artikel anda ini. Kalau koment sebelumnya anda anggap mutar-mutar dan sebagainya, sehingga tidak anda tampilkan, maka itu urusan anda, tetapi setiap yang saya sampaikan ada hal baru yang perlu dipahami.
Dan demi amanat ilmiah, dan juga karena ini koment saya yang terakhir harap ditampilkan komentar saya ini. Krena ini bermanfaat buat pembaca blog anda dalam mencari kebenaran. Apakah anda takut ?
1. Riwayat Al-Imaam Maalik dari Suraij bin An-Nu'maan.
Koment yang tidak anda tampilkan itu sebenarnya adalah penghentian jidal, yaitu saya tidak sepakat dengan anda yang menghasankan atau mengsahihkan riwayat ini, dengan alasan yang sudah saya sebutkan, jadi ini bukan pengulangan. Dan ini berarti perbedaan pendapat tentang masalah riwayat ini. Intinya saya tidak sependapat karena para ulama mengatakan intinya bahwa hapalan ABDULLAH BIN NAFI atas riwayat hadist lemah dan ulama sepakat yang disahihkan adalah tulisannya (bukan hapalannya), dan riwayat ini hanya ABDULLAH BIN NAFI yang meriwayatkannya.
Jadi kita tidak sepakat dalam hal ini.
Dan ini intinya, jadi anda tidak perlu mengalihkan kepermasalahan lain.
Anda tidak perlu takut menampilkan yang ini :
2. Tentang masalah perkataan Imam Malik tentang istiwa.
Saya akan hentikan jidal ini dengan menjelaskan perbedaan pendapat ini :
- Al-Istiwaa’ adalah diketahui (ma’luum),
> Menurut anda Jika dikatakan sesuatu ma'luum secara bahasa, maka itu ma'luum dalam maknanya (sehingga tidak perlu ditanyakan lagi.
>> Menurut saya, ma'luum itu benar diketahui secara bahasa, tetapi ma'luum dalam kosa kata, jadi kata istiwa itu sendiri yang ma'luum maknanya, sedangkan maknanya dalam satu kalimat yang utuh, belum tentu ma'luum.
- wal-kaifu ghairu ma'quulin (kaifiyyahnya tidak dapat dinalar)
> Menurut anda maksud dari kaifiyyahnya adalah majhuul (tidak diketahui, Sesuatu yang majhuul dalam bahasa Arab itu bukan berarti tidak ada. Ada, tapi tidak diketahui. Seperti halnya perkataan imam hadits tentang seorang perawi : Huwa majhuul. Maksudnya, ia tidak diketahui namanya (tapi ada). Artinya menurut anda sudah jelas, kaifiyahnya ada sebagaimana makna zhahirnya, tetapi tidak diketahui.
>> Menurut saya, wal-kaifu ghairu ma'quulin (kaifiyyahnya tidak dapat dinalar) itu adalah kaifiyahnya tidak ada, atau kaifiyahnya tidak masuk akal ada sebagaimana makna zhahirnya, jadi bukan hanya tidak diketahui tetapi tidak mungkin ada kaifiyahnya sebagaimana zhahirnya makna.
untuk lebih jelas nya anda memahami pemahaman saya ini, saya contohkan seperti ini :
Kalau dikatakan singa menggaruk kepalanya, maka saya katakan kaifiyahnya, atau bagaimana singa menggaruk kepala itu masuk akal, karena Singa punya kaki untuk menggaruk dan kepala untuk digaruk, tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya singa menggaruk kepala.
Bila ada perkataan yang harus kita yakini seperti ini :dikatakan langit menggaruk kepalanya, maka saya katakan bahwa kata menggaruk kepala itu ma'luum, atau kita pahami secara bahasa, tetapi kaifiyah atau bagaimana langit menggaruk kepala itu tidak bisa dicerna akal. karena langit yang saya pahami itu tidak mempunyai tangan dan kepala. Artinya makna zhahir dari menggaruk kepala pada langit itu tidak bisa dipahami kaifiyahnya.
Dengan adanya perkataan seperti ini, ada 4 perbedaan :
1. Orang yang mengingkari perkataan ini, dan tidak mau meyakininya.
2. Orang yang meyakini perkataan ini secara zhahirnya dan mau tak mau dia berkeyakinan bahwa langit punya tangan dan juga punya kepala.
3. Orang yang menyerahkan maksud perkataan ini kepada orang yang mengatakannya, karena orang yang mengatakannya paling tahu maksudnya.
4. Orang yang melakukan takwil atas perkataan ini, sesuai kemampuannya dengan mencari petunjuk agar lebih dekat maknanya pada kebenaran.
ini hanya contoh untuk dapat memahami maksud saya.
Dan Perkataan Imam Malik, saya pahami bahwa kaifiyah atau bagaimana Allah istiwa itu tidak bisa dicerna oleh akal karena menurut saya, Imam Malik memahami bahwa Allah itu tidak mungkin bersemayam sebagaimana makna bersemayam yang kita pahami, yang mengharuskan ada bentuk dan pergerakan atau perpindahan. Dan yang saya pahami Imam Malik mensucikan Allah dari bentuk/batasan dan pergerakan atau perpindahan karena ini sifat mahluk.
Maka anda dapat memahami, bahwa saya berkeyakinan bahwa Imam Malik menyerahkan makna dan maksud ayat ini kepada Allah yang mangatakannya (tafwidh).
Jadi dapat anda pahami perbedaan ini dan maksud saya ? anda boleh menanggapinya boleh tidak..dan biar pembaca yang memilih.
yang ini juga harus anda tampilkan, kenapa harus takut ? ini bukan soal menang atau kalah, tapi demi amanat ilmiah :
3. Masalah sifat-sifat Allah.
Saya jelaskan secara ringkas saja bahwa Asy ariyah mensucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, dan yang tidak layak bagi Allah.
Maka intinya bukanlah masalah penyerupaan ini berhubungan dengan hal-hal yang spesifik, tetapi menolak sifat yang berhubungan dengan sesuatu yang diciptakan/sifat-sifat huduts ( baru ) dan sifat-sifat yang bermakna kekurangan/kelemahan.
dan Allah telah menjelaskan bahwa segala sesuatu itu mempunyai ukuran dan telah ditetapkan dengan takdirNya.
Al-Ra'd/13:8 : “Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”
“Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)” (QS al-Qamar, 54: 49)
sifat sesuatu itu mempunyai ukuran dan ditetapkan oleh takdir Allah, artinya sifat mahluk itu mempunyai ukuran, artinta mempunyai bentuk dan terbatas baik zat maupun sifatnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan selalu tergantung dengan kehendak Allah.
Adapun Allah sifat Allah itu tidak mempunyai batas, mutlak sempurna dan tidak ada yang memberi ukuran padaNya, tidak ada yang membatasiNya.
Dengan demikian, kami menolak segala makna sifat yang berhubungan dengan bentuk, batasan, dan ukuran.
Oleh karena itulah kami menolak makna tangan, mata, wajah secara zhahir, karena maknanya secara zhahir berhubungan dengan bentuk( batasan dan ukuran)yang asli merupakan sifat mahluk /huduts (baru).
Jadi inilah pemahaman kami, asy ariyah.
Dan kami bukanlah jahmiyah, karena kami menerima apa yang datang sebagaimana zhahirnya, dan kami tetap menetapkan bahwa Allah istiwa diatas arsy, dan Adam diciptakan oleh kedua TanganNya. tanpa tha'til pada bahasanya, dan tanpa perlu mengubah kalimatnya.
Hal ini sebagaimana kita memahami sabda nabi 'surga di bawah kaki ibu', kita menerima sebagaimana datangnya tanpa tha'til dan tahrif, namun kita menafsirkan dengan makna yang sesuai dengan maksudnya.
4. Masalah hadist-hadist yang berindikasi tajsim.
Mengapa saya anda katakan bingung ? Bukankah saya hanya menuliskan komentar para ulama tentang pendapatnya terhadap hadist-hadist seperti ini. Itu artinya anda anggap Ibnu Hajar, Ibnu jauzi dan Sulaiman al Khitabi bingung ???
Hadist itu hadist Bukhari, kenapa anda tidak mau menampilkan keterangan Ibnu Hajar pensyarah hadist Bukhari, walaupun Ibnu hajar anda anggap menyimpang: Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fathul Bari, Kitab Tauhid, bagian akhir Bab “ Wa Litushna’a ‘Ala ‘Aini “ .
“ …Saya pernah ditanya tentang bolehkan orang yang membaca hadits-hadits – yang secara dzohir mengesankan adanya tajsim – seraya melakukan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAAW – yakni menunjuk pada bagian-bagian tubuh tertentu—maka saya ( Ibnu Hajar ) menjawab : Jika pembaca hadits itu berada ditengah-tengah orang-orang yang memiliki I’tiqod yang sama dengannya dalam men-sucikan ( tanzih ) Allah SWT dari sifat-sifat huduts ( baru ) , serta berniat mencontoh Nabi SAAW saja, maka hal itu boleh. Namun sebaiknya tidak dilakukan , sebab ditakutkan akan memasukkan syubhat tasybih ( menyerupakan Allah dengan makhluq ) kepada orang-orang yang melihatnya… “. ( Fathul Bari 14 : 333 ).
Artinya Ibnu Hajar memahami bahwa Allah tidak mempunyai mata (anggota tubuh), karena mata itu adalah huduts (baru.
Ibnu Hajar mengutip pula pernyataan al Baihaqi tentang hadits yang dinukil oleh Ibnu Katsir di dalam QS. An Nisa’ : 58 ) ….
“Nabi SAAW menghendaki dengan isyarat ini –yakni menunjuk pada telinga dan mata—menyatakan penetapan sama’ dan bashor bagi Allah SWT dengan menjelaskan tempat keduanya pada manusia….
….(hingga pernyataan al Baihaqi ) …
“ Dan Nabi SAAW tidak lah menghendaki dengan isyaratnya itu bahwa Allah memiliki anggota tubuh ( al jarihah ) sebab Allah SWT itu Maha Suci ( munazzah / tanzih ) dari keserupaan dengan para makhluq “ .
( Teks lengkap silakan rujuk Fathul Bari, Kitab Tauhid, Bab “Wa Kaanallaahu Samii’an Bashiiron”, Juz 14 : 317 , terbitan Darul Kutub, Lebanon, 2009 ).
Mohon anda tampilkan... kenapa takut ?
Selanjutnya saya akan komentari pendapat anda tentang hadist dari At-Tirmidziy.
.....Mereka berkata : Sungguh telah shahih riwayat-riwayat tentang hal ini, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut). Demikianlah yang diriwayatkan dari Maalik, Sufyaan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, bahwasannya mereka berkata dalam hadits-hadits ini : ‘Kami memperlakukannya tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Dan demikianlah perkataan para ulama dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Ini adalah tasybih”. Allah ‘azza wa jalla telah di tempat yang lain dalam Kitab-Nya : tangan (al-yadd), pendengara (as-sam’), dan penglihatan (al-bashar), maka Jahmiyyah menta’wilkan dan mentafsirkan ayat-ayat ini selain dari yang ditafsirkan para ulama. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya Allah tidah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya”. Dan mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”.
Anda lihat bagaimana mereka memahami seperti perkataan Imam Malik : bagaimana itu terangkat dariNya. Karena kaifiyah sehubungan dengan makna zhahirnya bagi Allah itu tidak bisa dicerna oleh akal.
Artinya sebagaimana yang saya jelaskan tentang perkataan Imam Malik, bagaimananya seperti makna zhahirnya itu tidak ada, dan mereka menyerahkan makna/takwilnya kepada Allah.
lihat lagi : mereka mengimaninya (lihat Ali Imran ayat 7), tidak salah paham (mereka tidak mencari-cari takwilnya dan tidak memaknainya secara zhahir, lihat lagi Ali Imran ayat 7) dan mereka tidak menanyakan ‘bagaimana’ (hakekat sifat tersebut),(karena bagaimana itu menanyakan kaifiyah pada makna zhahirnya yang tidak bisa dicerna akal, karena turun itu mengharuskan perpindahan/pergerakan dari atas kebawah, mengharuskan ada bentuk dan ruang yang melingkupinya, sedangkan Allah tidak berpindah, tidak berukuran/terbatas dan tidak dilingkupi oleh ruang.)
Adapun Jahmiyyah mengingkari riwayat-riwayat ini. Mereka (Jahmiyyah) berkata : “Ini adalah tasybih”
Asy ariyah tidak mengingkari riwayat-riwayat ini.
mereka (Jahmiyyah) berkata : “Sesungguhnya makna tangan dalam ayat ini adalah kekuatan (al-quwwah)”
Asy ariyah menetapkan zhahirnya lafaz namun hanya mempunyai kemiripan dalam lafaz takwil. Perbedaanya bahwa Asy ariyah menetapkan sifat kekuatan sebagai sifat, sedangkan jahmiyah/mu'tazilah menetapkan sifat sebagai zat (meniadakan sifat).
“Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk).
Apakah yang kita pahami dari makna zhahir selain makna yang berhubungan dengan mahluk ?, kita tidak punya dan tidak mengetahui makna selain itu, kecuali kita serahkan maknanya kepada Allah atau makna itu mempunyai takwil.
dan perkataan ini semakin menegaskan Tafwidh : Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih.
’seperti’ pendengaran makhluk, jelas menunjukkan kaifiyah pendengaran mahluk yaitu dengan organ pendengaran yaitu telinga, maka tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk artinya Allah tidak mempunyai organ/telinga untuk mendengar. Bukan perbedaan bentuk, karena perbedaan bentuk adalah perbedaan mahluk dengan mahluk, Maha suci Allah dari bentuk, karena Dialah yang menciptakan bentuk (ukuran dan batasan).
Alhamdulillah.
Sudah puas saya tampilkan ? Tidak ada yang istimewa sebenarnya, nothing's new. Dan anehnya Anda tidak sadar perkataan Anda itu cyclic dengan sebelumnya.
Dari perkataan cyclic Anda di atas, saya tanggapi singkat sebagai berikut :
1. Perkataan Al-Istiwaa ma'luum.
Anda sendiri ngaku di atas bahwa Anda itu belum lancar bahasa Arab. Tapi anehnya menjadi sok menafsirkan bahasa. Mas Dianth, beberapa muhaqqiq Asyaa'irah - yang kemudian di antaranya dinukil oleh pendusta yang bernama Abu Salafy - telah mati-mati menolak lafadh perkataan Imam Maalik : al-istiwaa'u ma'luum. Ini sangat dipahami karena konsekuensi perkataan ini menunjukkan ma'lum makna sebagaimana telah saya katakan. Dan itu pun diakui sendiri oleh Abu Bakr bin Al-'Arabiy Al-Maalikiy dalam 'Aaridlatul-Ahwadziy.
Jadi Anda jangan berteori macam-macam dalam masalah ini yang tidak menambah apapun kecuali pengetahuan saya atas sense of humor Anda yang cukup tinggi.
2. Pelemahan 'Abdullah bin Naafi'.
Ini pun Anda juga sekedar mengkais-kais kemungkinan-kemungkinan yang dirasa dapat melemahkan riwayat 'Abdullah bin Naafi'. Sudah saya tunjukkan di atas sebagian kekonyolan Anda dalam pengcopi-paste-an masalah ini. Anda pernah dengar perawi yang bernama Abu 'Awaanah ?. Semoga pernah. Tentang perawi ini Ahmad berkata :
إذا حدث أبو عوانة من كتابه فهو أثبت ، و إذا حدث من غير كتابه ربما وهم
“Apabila Abu ‘Awaanah menceritakan hadits dari kitabnya, maka ia tsabt akan riwayat itu (shahih). Namun bila ia meriwayatkan selain dari kitabnya, kadangkala ia keliru”.
Perkataan Ahmad bahwa jika jika ia meriwayatkan dari selain kitabnya (baca : hapalannya) kadang keliru, bukan berarti melemahkan hapalan Abu 'Awaanah secara mutlak. Makanya itu, Al-Bukhaariy dan Muslim tetap berhujjah dengan riwayatnya dalam kitab Shahih-nya.
Ini sama dengan 'Abdullah bin Naafi'. Makanya itu, Muslim tetap mengambil hujjah atas riwayatnya yang berasal dari Maalik dalam kitab Shahih-nya.
Anda itu cuma melihat dari sisi jarh nya saja tanpa melihat (baca : enggan) sisi ta'dil-nya. Inilah sisi ketidakilmiahan Anda. Silakan baca-baca kembali dan direnungkan ta'dil ulama yang saya sebutkan di atas.
3. Penolakan sifat Dzaatiyyah oleh Asyaa'irah.
Asyaa'irah banyak berteori macam-macam di atas. Yang mengatakan bahwa sifat Dzaatiyyah mengandung konsekuensi batasan adalah Asyaa'irah sendiri. Dan ketika mereka (Asyaa'irah) mengemukakan teori batasan atas sifat Dzaatiyyah, maka pada hakekatnya merekalah yang mentasybih (menyamakan/menyerupakan) Allah dengan makhluk.
4. Hadits-hadits 'tajsim'.
Apakah Anda pikir Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berisyarat ke matanya ketika menerangkan sifat al-'ain itu bodoh sehingga akan mengkonsekuensikan adanya tasybih ?. Sungguh jauh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dari berbagai tuduhan Asyaa'irah. Bahkan beliau menerangkan dan menekankan bahwa Allah itu mempunyai mata (al-'ain) secara hakiki yang tidak cacat sebelah seperti matanya Dajjall dengan berisyarat ke mata beliau; agar yang mendengarkan penjelasan beliau paham.
Begitu juga dengan 'Umar bin Al-Khaththaab. Apakah Anda pikir 'Umar itu bodoh - sebodoh Wahabiy, kata Anda - yang berani-beraninya menunjuk ke arah langit ketika ia ingin menjelaskan tentang keberadaan Allah ?. Bahkan 'Umar bin Al-Khaththaab jauh lebih pandai dari kepandaian ulama-ulama Asyaa'irah dalam pemahaman nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Tentang Ibnu Hajar dan ulama lain yang Anda sebutkan, maka mereka telah terjatuh dalam kekeliruan. Dan banyak ulama lain sebelum mereka yang tidak sejalan dengan yang mereka jelaskan. Apa menurut Anda Ibnu Hajar dan yang lainnya itu tidak boleh salah ?. Bahkan kewajiban kita adalah tetap melihat tarjih perkataan para ulama sesuai dengan kekuatan dalil (baik ketsubutannya dan dilalahnya) yang dibawakan masing-masing.
[dan ngomong-ngomong tentang perkataan Anda : silakan lihat Fathul-Bariy juz sekian halaman sekian, jujur saja, ini Anda memmbuka kitab Fathul-Bariy atau cuma copi paste ?. Ingat, di atas saya sudah tunjukkan manipulasi nukilan Anda. Kata ulama, tanda-tanda orang sok tau adalah menyuruh orang untuk membaca kitab ini dan itu, sementara ia sendiri belum membukanya].
5. Penjelasan At-Tirmidziy.
Jelas kok kekeliruan pemahaman Anda tentang tasybih. Yang dikatakan Ishaaq bin Rahawaih pun jelas. Tasybih itu jika ada orang yang mengatakan bahwa tangan Allah itu sama dengan tangan makhluk. Apa Anda gak paham dengan kalimat sederhana ini ?. Wahabiyyun itu menetapkan sifat Dzaatiyyah Allah sebagaimana dhahir (maknanya), tanpa adanya takyif, tasybih, tamtsil, ataupun ta'thil. Dan itulah yang saya yakini sampai detik ini.
Bukankah ini jelas ?. Bahkan apa yang dikatakan Wahabiyyuun itu persis seperti yang dikatakan Aty-Tirmidziy, dari awal hingga akhirnya.
Jadi, tinggalkanlah retorika falsafi Anda yang membingungkan itu.
alangkah baiknya agar tidak cyclic mungkin lebih baik dibicarakan per bagian yang detail misal mengenai pemahaman al Istiwa itu maklum bagaimana penjelasan ulama al As-Syairiyah. APakah sama dengan saudara diant atau tidak dll. Dikemukanakan dalil dan sumbernya . Nah kalau selesai dilanjut ke bab lain. Kalau mengikuti gaya saudara diant sekarang hasilnya ya cyclic pastinya seperti yang terjadi pada ibnutaimiyah.wordpress.com (entah saudara diant sadar atau tidak)
Penjelasan Imam Syafi'i bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa arah, tanpa serupa dengan makhluk dan tanpa berubah
قال الإمام المجتهد محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه ( المتوفى 204 هـ) ما نصه: [إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا تبديل في صفاته] ا.هـ, كما نقله عنه الزبيدي في كتابه (إتحاف السادة المتقين)
وقال: [المجسم كافر] رواه السيوطي.
Imam Syafi'i berkata: Orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim atau mensifati Allah dengan sifat jisim maka ia kafir
وقال الإمام أحمد بن حنبل: [من قال إن الله جسم لا كالأجسام فهو كافر].
Imam Ahmad bin Hannbal berkata: Barang siapa berkata Allah adalah jisim yang tidak serupa dengan jisim yang lain maka ia kafir
Perkataan Asy-Syaafi'iy dan Ahmad itu tidak shahih.
to baihaqi:
terjemahan perkataan Asy Syafi'y kok gak nyambung dengan nash-nya ya? salah copas?
to dianth :
kalau ada orang mengatakan pada anda " langit menggaruk kepala dengan tangannya ( mirip qoul anda ) lalu anda meyakini bahwa:
1. langit punya kepala
2. langit punya tangan
3. langit bisa menggaruk
4. ke 3 pernyataan diatas anda tidak tahu kaifiyahnya, anda hanya tahu maknanya menurut bahasa indonesia yang sehari2 anda pakai, apakah ini salah?
atau anda akan berpikir secara filsafat dulu ( alias tewur kata orang Malang (ruwet) ) sehingga berkesimpulan :
1. kepala dalam kalimat itu saya nggak tahu artinya.
2. tangan dalam kalimat diatas saya nggak ngeh dengan artinya.
3. menggaruk dalam kalimat diatas artine opo yo?
4. lalu mentakwil semua kata2 diatas, setelah sebelumnya mengaku tidak tahu maknanya.
orang yang melihat anda pasti akan berfikir ada yang kurang pada diri Anda....hehehe sorry.
kalau asy'ariyyah tidak menta'thil sifat2 Allah seperti klaim sampeyan,
lha kenapa kok sifat Allah itu cuman 13 atau 20 menurut sampeyan dan konco2 sampeyan? lha sifat Allah yang lainnya disimpan kemana?
jadi nggak perlu pinjam2 istilah2 orang2 wahabi lah....bi laa tamtsil, bilaa takyif, bilaa ta'wil wa bilaa ta'thil.
singkat cerita, anda/sampeyan ketika memahami sifat Allah itu dengan 3 tahap :
1. membaca atau mendengar nash
2. lalu membayangkan kalau nash ini diterapkan kepada Allah kira2 Allah kayak makhluk tak? kalau kira2 jadi kayak makhluk..selanjutnya
3. mentakwil, menurut selera sehingga takwil tadi jika diterapkan kepada Allah maka tidak terbayangkan Allah seperti makhluk.
jadi sebelum mentakwil, anda men-tamstil dahulu.
buktinya : ketika anda menerapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah, anda tak perlu takwil soalnya sifat itu adalah sifat yang ruhani bagi makhluk yang tidak bisa diukur dengan dimensi tertentu. daya khayal anda tidak bisa menggambarkan gimana sih hakekat melihat/mendengar itu ( walaupun pada makhluk )karena memang sifatnya non inderawi sehingga anda tidak mampu men-tamtsil-kan kepada Allah Jalla wa 'Alla. makanya anda merasa aman2 saja menerapkan sifat ini tanpa ta'wil sedikitpun...hhehe.
bukan begitu lek diant? atau ada teori yang lebih tewur lagi?
Ass wr wb..
@Abu Al-Jauzaa'
Kutipan dari tulisan anda :
"1. Teori falsafinya tentang 'dimanakah Allah ?', maka itu adalah khas Asyaa'irah, untuk menolak ketinggian Dzat Allah ta'ala di atas makhluk-Nya."
Yang saya ingin saya tanyakan adalah kata "DI ATAS" pada "ketinggian dzat Allah ta'ala di atas makhluk-Nya"
Apakah kata "DI ATAS" bisa SINONIM dengan "BERADA"?
Mengomentari tulisannya Mas Dianth/Kesejatian
(Mudah-mudahan bisa membantu pengunjung blog ini yang agak kesulitan mengikuti irama diskusi nya)
Kalau dibilang Cylic (mbulet/bolak-balik/ngulang-ngulang) memang itu suatu kenyataan karena panjang lebar penjelasan khususnya masalah Sifat Allah ya gitu-gitu aja belum ada kemajuan yang significant, sibuk berteori ini itu, begini begitu tapi melupakan kenyataan hidup nya Ulama Salaf.
Pembahasan Masalah Sifat Allah ini supaya gak Cyclic, menurut saya intinya 3 hal:
1. Menjelaskan Sifat-sifat Allah (Khaliq) sesuai dengan standarnya Allah, jangan menjelaskan Sifat Allah dengan standar Manusia/Benda (Makhluq)...karena tidak sesuai standar jadinya bahasan akan ngalor-ngidul, cyclic dan segala ketidak jelasan lainnya.
2. Sifat-Sifat Allah adalah Hakiki/Hakikat/Benar-benar, bukan Majaz/Perumpamaan/Kiasan/Tidak Benar-benar
3. Senantiasa merujuk kepada kepahaman Ulama Salaf khususnya saat mereka menghadang badai Fitnah dari JAHMIYAH, MU'TAZILAH dan SYI'AH...perlu di Ingat, Gerombolan JMS ini bukan kumpulan orang bodoh/idiot melainkan orang berilmu yang kejebur dalam kubangan Ilmu Falsampah (Falsafah/Filsafat), tanpa merujuk kepada penjelasan mereka yang berhadapan langsung dengan JMS maka penjelasan terkait Sifat-Sifat Allah hanya sekedar teori/retorika omong kosong karena tidak berdasarkan fakta/kenyataan.
OK, dimulai...
kesejatian mengatakan...
on
25 Oktober 2011 11:55
2. Tentang masalah perkataan Imam Malik tentang istiwa.
Kalau dikatakan singa menggaruk kepalanya, maka saya katakan kaifiyahnya, atau bagaimana singa menggaruk kepala itu masuk akal, karena Singa punya kaki untuk menggaruk dan kepala untuk digaruk, tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya singa menggaruk kepala.
Bila ada perkataan yang harus kita yakini seperti ini :dikatakan langit menggaruk kepalanya, maka saya katakan bahwa kata menggaruk kepala itu ma'luum, atau kita pahami secara bahasa, tetapi kaifiyah atau bagaimana langit menggaruk kepala itu tidak bisa dicerna akal. karena langit yang saya pahami itu tidak mempunyai tangan dan kepala. Artinya makna zhahir dari menggaruk kepala pada langit itu tidak bisa dipahami kaifiyahnya.
Dan Perkataan Imam Malik, saya pahami bahwa kaifiyah atau bagaimana Allah istiwa itu tidak bisa dicerna oleh akal karena menurut saya, Imam Malik memahami bahwa Allah itu tidak mungkin bersemayam sebagaimana makna bersemayam yang kita pahami, yang mengharuskan ada bentuk dan pergerakan atau perpindahan. Dan yang saya pahami Imam Malik mensucikan Allah dari bentuk/batasan dan pergerakan atau perpindahan karena ini sifat mahluk.
Maka anda dapat memahami, bahwa saya berkeyakinan bahwa Imam Malik menyerahkan makna dan maksud ayat ini kepada Allah yang mangatakannya (tafwidh).
Komentar:
Intinya Rujuk point 1 (diatas).
- Penjelasan Singa menggaruk kepala dianggap masuk akal karena tau Singa itu ada kepalanya dan ada kakinya (ini membicarakan Sifat Singa/Makhluq)
- Penjelasan Langit menggaruk kepalanya dianggap tidak masuk akal karena langit tidak punya tangan dan kepala (ini juga membicarkan Sifat Langit/Makhluq)
- Penjelasan bahwa menurut Mas Dianth Imam Malik memahami bahwa Allah itu tidak mungkin bersemayam sebagaimana makna bersemayam yang kita pahami, yang mengharuskan ada bentuk dan pergerakan atau perpindahan, ini adalah penjelasan yang TIDAK TEPAT menurut saya.
Ya Wajar sih, Mas Dianth bisa berprasangka Imam Malik memahami demikian karena menceritakan Sifat Allah (Khaliq) tapi pakai standar Manusia (makhluq) jadinya ya seperti itu
Sederhananya Istiwa nya Allah PASTI berbeda dengan Istiwa nya makhluq yang ada kaitan dengan turun/pergerakan,
Allah Ta'ala Istiwa sesuai dengan yang dikehendakinya
dan terkait Istiwa, pemahaman JAHMIYAH adalah Diatas Langit/Arsy TIDAK ADA Allah.
3. Masalah sifat-sifat Allah.
Oleh karena itulah kami menolak makna tangan, mata, wajah secara zhahir, karena maknanya secara zhahir berhubungan dengan bentuk( batasan dan ukuran)yang asli merupakan sifat mahluk /huduts (baru).
Dan kami bukanlah jahmiyah, karena kami menerima apa yang datang sebagaimana zhahirnya, dan kami tetap menetapkan bahwa Allah istiwa diatas arsy, dan Adam diciptakan oleh kedua TanganNya. tanpa tha'til pada bahasanya, dan tanpa perlu mengubah kalimatnya.
Hal ini sebagaimana kita memahami sabda nabi 'surga di bawah kaki ibu', kita menerima sebagaimana datangnya tanpa tha'til dan tahrif, namun kita menafsirkan dengan makna yang sesuai dengan maksudnya.
Komentar:
Rujuk Point 1, 2 dan 3 (diatas)
- Pengertian MAKNA DZHAHIR yang dipahami Wahabiyun aja mas Dianth mungkin belum tau tapi sudah ngomentari masalah makna Dzhahir, ini namanya KEBABLASAN, kalau memang gak tau ya tanya sama Ust. Abul Jauza..jangan nulis ngalor-ngidul tapi gak ngerti apa definisinya/seperti apa yang dipahami Wahabiyun dan sudah kasih vonis sendiri...TER LA LU
- Masalah penerimaan lafadz/mengimani nya....sekedar info aja, Gerombolan JMS juga menerima Lafadz/Mengimani lafadz Istiwa, Tangan dll..namun mereka menolak Sifat tersebut diberikan kepada Allah
Contoh:
* Istiwa, JMS menolak Allah Istiwa diatas Arsy/Langit karena dianggapnya kalau Allah Istiwa artinya Allah membutuhkan langit, menempel pada langit, bersentuhan dengan langit dan penjelasan bathil mereka lainnya...Intinya diatas Langit/Arsy TIDAK ADA Allah
* Tangan, JMS menolak Allah memiliki Tangan karena dianggapnya kalau Allah memiliki Tangan artinya Allah memerlukan Tangan, Allah memiliki organ Tubuh dll penjelasan Bathil...padahal Allah gak bilang Tangan-Nya dia itu adalah organ Tubuh/tersusun dari kulit/daging/otot dll seperti yang ada pada makhluknya tapi berhubung KEBABLASAN dan banyak mengkhayal yang aneh-aneh jadilah mereka secara TIDAK SADAR MENJISIMKAN/MEMUSYABIHKAN Allah dengan Makhluknya, karena mereka terlebih dulu MENJISIMKAN/MEMUSYABIHKAN Sifat Allah maka dengan ikhlas mereka menolak Allah memiliki Tangan.
- Penjelasan Surga Dibawah Telapak Kaki ibu kok dibawa-bawa kepada Sifat Allah dan disandarkan pada Sifat Allah???....memangnya yang sedang bicarakan Sifat Allah (Khaliq) atau Sifat Surga (Makhluq) sih?...aneh
Surga ya surga dengan segala standar Makhluqnya
Allah ya Allah dengan segala kemuliaan Standar Khaliq nya....jangan disandar-sandarkan karena TIDAK SAMA STANDAR nya...(sepertinya karena terbiasa menjelaskan Sifat Allah dengan Sifat Makhluq jadinya senantiasa terbawa-bawa nih)
tentang hadist dari At-Tirmidziy
Asy ariyah menetapkan zhahirnya lafaz namun hanya mempunyai kemiripan dalam lafaz takwil. Perbedaanya bahwa Asy ariyah menetapkan sifat kekuatan sebagai sifat, sedangkan jahmiyah/mu'tazilah menetapkan sifat sebagai zat (meniadakan sifat).
Apakah yang kita pahami dari makna zhahir selain makna yang berhubungan dengan mahluk ?, kita tidak punya dan tidak mengetahui makna selain itu, kecuali kita serahkan maknanya kepada Allah atau makna itu mempunyai takwil.
’seperti’ pendengaran makhluk, jelas menunjukkan kaifiyah pendengaran mahluk yaitu dengan organ pendengaran yaitu telinga, maka tidak pula mengatakan’seperti’ pendengaran makhluk artinya Allah tidak mempunyai organ/telinga untuk mendengar. Bukan perbedaan bentuk, karena perbedaan bentuk adalah perbedaan mahluk dengan mahluk, Maha suci Allah dari bentuk, karena Dialah yang menciptakan bentuk (ukuran dan batasan).
Komentar:
- Rujuk Point 1, 2 dan 3 (diatas)
Hmmm..Makna Dzhahir lagi (karena sama saja intinya)...sebaiknya tanya dulu apa sih pengertian makna dzhahir menurut Wahabiyun/Ust. Abul Jauza...dari situ baru deh bisa komentar.
Bisa dipahami yah?
Semoga, teman-teman pengunjung blog ini yang mengalami kesulitan mengikuti irama diskusi bisa jadi lebih paham....amin
Abu Lathifa
pemakaian kata dzatiyah, hakiki....ini semua bid'ah, tambahan baru yg Rasulullah saw tdk pernah menyatakannya.
debat kusir seperti ini juga bid'ah.
karena yg dilakukan sahabat ra adalah diam dan imani.
karena yg tahu ilmunya hanya Allah swt. tidak ada sahabat yg membahas sampai rinci seperti yg kalian semua lakukan di sini, baik yg mengaku wahabi mau pun yang bukan wahabi.
istighfar lah kita semua.
bukan perbincangan macam ini yg diridhoi oleh Allah swt dan dikehendaki oleh Rasulullah saw.
numpang nanya kepada pihak yg pro Salafi/Wahabi dan yg kontra....
apa hub kata ma'luum pd kalam Imam Malik, dgn kata "ar-roosikhuuna fil 'ilmi"? karena sepertinya kata ma'luum dan al-'ilm masih punya hubungan atau bahkan berakar pd kosakata yg sama.
lalu apakah suatu khobar langsung dianggap sebagai sifat? semua khobar dianggap sebagai dalil sifat? atau butuh qorinah dahulu...misal dgn kata Kaana, Inna, Anna, Qod, dsb dsb dsb.
Berikutnya, Abul Jauza dan yg lainnya...apakah sepakat bahwa utk semua ayat dan hadits yg memuat Khobar terkait Allah dgn kosakata yg mengacu kpd jisim, atau tasybih dgn Makhluk...apakah semuanya dianggap sebagai bagian dari ayat Mutasyabihat?
Bila semua sepakat, sungguh itulah kesepakatan Ahlus-Sunnah.
Tapi bila ada yg bilang bukan bagian dari Mutasyabihat...misal umpama Abul Jauzaa bilang itu bukan Mutasyabihat...atau bilang bisa Mutasyabihat atau Muhkamat tergantung konteks...maka sepertinya tergelincir kpd jalan yg ditempuh Ahlul Bid'ah yg condong kpd kesesatan. Karena salafus-sholih sepakat itu bagian dari Mutasyabihat.
Bila berbeda dlm rincian, penyampaian...itu saya rasa bagian dari ijtihad. ada yg lebih kuat/benar, mendapat 2 pahala, ada yg lemah/salah, mendapat 1 pahala.
Lalu Abul Jauza, anda menyatakan:
"Tentang Ibnu Hajar dan ulama lain yang Anda sebutkan, maka mereka telah terjatuh dalam kekeliruan. Dan banyak ulama lain sebelum mereka yang tidak sejalan dengan yang mereka jelaskan. Apa menurut Anda Ibnu Hajar dan yang lainnya itu tidak boleh salah ?. Bahkan kewajiban kita adalah tetap melihat tarjih perkataan para ulama sesuai dengan kekuatan dalil (baik ketsubutannya dan dilalahnya) yang dibawakan masing-masing."
siapa saja ulama sebelum mereka yg tidak sejalan? adakah yg termasuk diberi gelar syaikhul Islam, Imam, Amirul Mu'minin fil Hadiits? tolong sebutkan nama, referensinya, kalam penjelasan kekeliruan terkait Ibnu Hajar...dgn catatan ulama besar, mu'tabaroh, dan sebelum masa Ibnu Hajar.
Last, Ibnu Taimiyyah kan juga tidak ma'shum? apakah tidak ada kesalahan yg dilakukannya? Bila Ibnu Hajar dibilang keliru pd Aqidah...bisa saja Ibnu Taimiyyah dibilang keliru pada Aqidah. Bisakah anda menunjukkan daftar kekeliruan Ibnu Taimiyyah...baik dlm area non Aqidah, apalagi utk area Aqidah....saya sangat menunggunya.
karena anda sering menyatakan kekeliruan ulama besar selain Ibnu Taimiyyah...tapi nyaris tidak pernah dgn tegas menyatakan kekeliruan Ibnu Taimiyyah.
bagi saya pribadi, dlm Asma Wa Shifat...mau Tafwidh Ma'naa...mau Ta'wil Qoriib....mau Itsbat ala Salafi...ini semua Itjihad.
karena tidak ada dalil yg sangat terang/shorih memberi petunjuk dgn jelas, terang dan rinci terkait topik Asma wa Shifat, khususnya utk kasus Sifat yg mengacu kpd kosakata Jasad... Fi'il yg mengacu kpd dimensi jisim makhluk.
hanya saja, saya memenangkan Tafwidh Ma'naa karena lebih dekat dgn tujuan QS Ali 'Imron ayat 7.
dan bila dibilang Al-Quran diturunkan dlm Bhs Arab yg terang...mestinya tdk boleh Tafwidh Ma'naa...mestinya harus Itsbat....justru karena faktor Bhs Arab...takwil qoriib lebih punya kekuatan dan dalil, ketimbang Itsbat ala Salafi.
Walloohu a'lam bis-showab.
Mari Istighfar ramai-ramai.
Wassalam - Sudin
Anonim mengatakan on 26 Oktober 2011 11:43
pemakaian kata dzatiyah, hakiki....ini semua bid'ah, tambahan baru yg Rasulullah saw tdk pernah menyatakannya.
karena yg dilakukan sahabat ra adalah diam dan imani.
karena yg tahu ilmunya hanya Allah swt. tidak ada sahabat yg membahas sampai rinci seperti yg kalian semua lakukan di sini, baik yg mengaku wahabi mau pun yang bukan wahabi.
Saya setuju dengan kalimat yang saya tebalkan diatas.
Seandainya Gerombolan JMS tidak menyebarkan Paham Sesatnya pada masyarakat, niscaya Ulama Salafush Sholih Tidak Akan Disibukan dengan memberikan penjelasan kepada umat.
Ja'ad Bin Dirham (Gurunya Jahm Bin Shofwan) aja sudah hidup dimasa Tabi'in dan Alhamdulillah pada masa itu pun Tabi'in sudah bangkit melakukan perlawanan terhadap paham sesat pelopor Jahmiyah.
Ternyata faktanya di zaman anaknya para Shahabat pun, mereka TIDAK DIAM melihat kemungkaran.
semestinya yang diminta diam itu ya Gerombolan JMS kalau dia Imani dan Diam niscaya aman dan tentram.
Penjelasan Ulama Salaf itu lahir dari kemungkaran/kesesatan yang dibuat oleh Gerombolan JMS,
Jangan dibalik jadi, lahirnya Perserikatan JMS karena merasa Ulama Salaf Sholih menyebarkan KESESATAN/KEMUNGKARAN dalam hal Sifat Allah...ini sih namanya Keblinger.
gitu lho
Abu Lathifa
Anonim 26 Oktober 2011 12:02
atas dasar apa antum mengatakan ayat ini muhkamat dan ayat itu mutasyabihat?
apakah berdasarkan kaidah bikinan antum "ayat dan hadits yg memuat Khobar terkait Allah dgn kosakata yg mengacu kpd jisim, atau tasybih dgn Makhluk"?
kalau begitu, kenapa yang dianggap mutasyabihat hanya sifat2 tertentu seperti tangan, wajah, mata, betis, dll? padahal sifat2 yang lain juga bisa dianggap jism dan tasybih (kalau mau), misalnya pendengaran, penglihatan, kuasa, kehendak, dll.
antum tidak bisa memberikan batasan yang jelas ayat mana yang termasuk muhkamat dan ayat mana yang termasuk mutasyabihat, kok bisa-bisanya mengatakan bahwa salafi/wahabi berpegang pada ayat2 mutasyabihat?
Lho, komentar ane tentang Wahabi Mabok yg ingin ketemu Allah di langit mana, Bos? Tampilkan ja biar tambah wawasan, kwk kwk kwkwkwk
Sudah masuk ke kotak spam. Kalau komentar Anda masih dalam taraf itu, maka Anda salah alamat berkomentar di Blog ini.
Jika mau, saya pun bisa menampilkan clip serupa.
saya Sudin - yg memberi statement ttg pembagian ayat mutasyabihat dan ayat muhkamat.
saya masih awam..tapi kalau baca buku-buku terjemahan tafsir dan aqidah....memang ulama salafus-sholih memberi pernyataan ayat yg mengandung sifat khobariyah macam Istawa, Yadd, 'Ain, dsb...itu semua masuk dlm kategori ayat mutasyabihat.
jadi bukan pakai kaidah bikinan pribadi, tapi dari pernyataan ulama, yg memang pewaris Nabi.
Begitu saudara Ibnu Abi Irfan.
omong punya omong...adakah statement yg terang dan nyata dari saya, yg menyatakan salafi/wahabi berpegang kpd ayat mutasyabihat?? kok anda sensitif sekali.
karena anda yg memulai, saya bertanya..pantasnya kita memanggil salafi atau wahabi? lalu anda termasuk bagian yg mana?
maaf...anda yg memulai melebar.
Ass wr wb,
@Abu Lathifa
1)"karena yg dilakukan sahabat ra adalah diam dan imani"
2)"Ternyata faktanya di zaman anaknya para Shahabat pun, mereka TIDAK DIAM melihat kemungkaran.
Semestinya yang diminta diam itu ya Gerombolan JMS kalau dia Imani dan Diam niscaya aman dan tentram."
Coment saya:
#Point 1: DIAM DAN IMANI(ayat mutasyabihat)
#Point 2: "MENDIAMKAN"(membungkam kemungkaran)
Jadi menurut saya...tidak ada korelasinya point 1 dengan point 2.
Maaf kalau ada salah kata.
kepada Anonim 27 Oktober 2011 11:08
pertama, bisakah antum menyebutkan siapa ulama yang berkata bahwa ayat2 tentang shifat Alloh, seperti tangan, wajah, betis, mata dll itu adalah ayat2 mutasyabihat?
kedua, bisakah antum menjelaskan, kaidah apa yang dipakai oleh ulama2 yang antum maksud itu untuk menentukan yang ini muhkamat dan yang itu mutasyabihat?
ketiga, bisakah antum menunjukkan bukti bahwa hal itu sudah menjadi kesepakatan salafush sholih?
keempat, bisakah antum menjelaskan dengan gaya bahasa antum sendiri, apa persamaan lafadh yadd (tangan) dengan lafadh alif lam mim, serta apa perbedaan lafadh yadd dengan lafadh sami' (mendengar)?
to Ibnu Abi Irfan...
bisa panggil nama saya - Sudin. kok tulis anonim terus. kalau saya punya account google, pasti saya post comment dgn account google. karena saya tdk punya, saya pakai anonim. tapi saya selalu sebut nama saya.
berarti anda tidak pernah menyimak kalam orang. hanya mau simak yang anda inginkan saja.
itu sikap tidak bagus.
karena anda sepertinya berilmu tinggi, beda dgn saya yg awam. sila rujuk kitab-kitab tafsir, baca sendiri. Terjemahan kitab tafsir Ibnu Katsir, Jalalain, dsb menyebutkan bahwa ayat-ayat tsb termasuk Mutasyabihat.
baca juga statement Hasan al-Banna, Syeikh Yusuf Al-Qorodhowi, Kibar nya Univ. Al-Azhar Kairo, lalu statement ulama dari Tarim, Yaman.
itu pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Salam dari Sudin (bukan anonim)
@mas Sudin,
Maaf, komen ini sebenernya hanya untuk menjembatani antum dengan Ibnu Abi Irfan.
Karena antum mengatakan di komen antum pada 26 Oktober 2011 12:02 bahwa "Karena salafus-sholih sepakat itu bagian dari Mutasyabihat." Nah, kata sepakat inilah antum menukil darimana ya akhi? Karena "sepakat" ini memahamkan org akan adanya ijma' salafus sholeh mengenai hal ini. Kalo memang ada di tafsir Ibnu katsir, Jalalain, mbok ya jgn sungkan2 menyebutkan disini. Jgn mengklaim semua yg ada disini berilmu tinggi, ngga mas, kita semua termasuk Ibnu Abi Irfan, saya, antum sama2 sedang belajar disini. Lagipula yg pertama2 kali mengklaim itu kan antum, masa Ibnu Abi Irfan yg disuruh cari sendiri di kitab2 yg antum maksud? Ngerti kan maksud saya?
Oke mas, monggo dilanjut diskusinya dengan kepala dingin.
--Abu Ahmad--
mungkin yang dimaksud saudara sudin
ulama-ulama yang mengadopsi paham shufiy... seperti ulama di ribath tarim... hadanallohu jami'an...
afwan beribu-ribu afwan...
ana sebetulnya sudah tahu nama antum, tapi terlanjur ana posting komentar ana sebelum ana mengetahui nama antum.
mengenai apa yang antum sebutkan tentang Ibnu Katsir, Jalalain, Hasan Al Banna, Yusuf Qordhowi dll, antum sudah baca sendiri atau dari katanya orang? kalo antum baca sendiri, tentunya mudah bagi antum untuk menuliskannya disini bukan?
kalaupun benar mereka menyatakan bahwa ayat2 tentang sifat2 Alloh itu adalah mutasyabihat, apakah antum sudah memahami kaidah yang mereka gunakan sehingga antum menerima dan membenarkan pernyataan mereka?
sebelumnya antum bilang itu ijma' salafush sholih, kok sekarang jadi jumhur. yang benar yang mana?
===================================
ana pernah menanyakan hal ini pada al akh diant, kaidah apa yang digunakannya untuk menentukan bahwa ayat ini muhkamat dan ayat itu mutasyabihat. samapi sekarang belum terjawab.
Setahu saya berdasarkan penjelasan Imam at Tirmidzi di Kitab Sunan beliau, bahwa biang kerok pertama tukang takwil Asma' dan Shifat Allah adalah Kaum Jahmiyyah, rasanya penjelasan beliau dah cukup
Ketika Abu ‘Isa At Tirmidzi menyebutkan hadits Abu Hurairah,
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا
“Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangannya lalu mengembangkannya.”[15]
Abu ‘Isa At Tirmidzi kemudian berkata,
وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِى هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الرِّوَايَاتِ مِنَ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِى هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلاَ يُتَوَهَّمُ وَلاَ يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِىَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِى هَذِهِ الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلاَ كَيْفٍ. وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang sifat turunnya Rabb tabaroka wa ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka katakan bahwa riwayat-riwayat semacam ini adalah shahih, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan bagaimanakah hakekat dari sifat tersebut. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al Mubarok, mereka katakan bahwa kami mengimaninya tanpa menanyakan bagaimanakah hakekat sifat tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ. وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتِ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ. وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَا هُنَا الْقُوَّةُ. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ. فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلاَ يَقُولُ كَيْفَ وَلاَ يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلاَ كَسَمْعٍ فَهَذَا لاَ يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ).
Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat semacam ini dan mengatakan orang yang menetapkannya sebagai musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Ketika Allah Ta’ala menyebutkan di tempat yang lain dalam Al Qur’an, misalnya menyebut tangan, pendengaran dan penglihatan, Jahmiyah pun mentakwil (menyelewengkan) maknanya dan mereka menafsirkannya tanpa mau mengikuti penjelasan para ulama tentang ayat-ayat tersebut. Jahmiyah malah mengatakan bahwa Allah tidaklah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Jahmiyah katakan bahwa makna tangan adalah quwwah (kekuatan). Ishaq bin Ibrahim mengatakan bahwa yang dimaksud tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah seperti perkataan tangan Allah seperti atau semisal tangan ini, pendengaran Allah seperti atau semisal pendengaran ini, Jika dikatakan demikian, barulah disebut tasybih. Namun jika seseorang mengatakan sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan bahwa Allah memiliki pendengaran, penglihatan, dan tidak dikatakan hakekatnya seperti apa, tidak dikatakan pula bahwa penglihatan Allah semisal atau seperti ini, maka ini bukanlah tasybih. Menetapkan sifat semacam itu, inilah yang dimaksudkan firman Allah Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Allah tidak semisal dengan sesuatu pun. Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)[16]
[15] HR. Tirmidzi no. 662. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
nukil dari: http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3351-di-manakah-allah-8.html
Wah, kelihatannya Abul Jauzaa ini mantab juga blognya. Berani Nggak diskusi tentang isu-isu bid'ah, isu2 aqidah sesat, dll di Ummati Press secara jujur dan elegant?
Anak2 Wahabi macam Ibnu Abi Irfan ini kenapa gak berani lagi nongol di blog Ummati Press? Kok beraninya koment di blog-blog wahabi aja? Juga yg lainnya, seperti Dufal, Yusuf Ibrohim, Abahna Jibril, Abu Hannan Assaundawi, Ajam, Abu Umar, dan puluhan nama yg lain yg pernah ngetop di Ummati. Berat ya menghadapi ketangguhan hujjah-hujjah anak2 Aswaja? Carilah kebenaran, jangan cari kemenangan dalam debat agama, insyaallah akan enjoy tanpa beban, oke?
saya undur diri, karena ditegur teman...sehubungan dgn kekacauan pemakaian account email dari sharing IP dan laptop di kantor.
mungkin nanti teman saya yg lebih mumpuni yg akan berdiskusi.
namun saya akan berikan tanggapan terakhir....
saya baca buku dan mengkaji/diskusi dari ulama IM/PKS, juga dari ulama Muhammadiyah, lalu dikenalkan juga oleh teman, dari buku Haba-ib.
memangnya kenapa dgn Sufi? dgn ulama Sufi di Tarim? toh ilmu harus didapat dan dicari dari mana pun. dan saya menganggap mereka semua Sunni.
kebetulan mayoritas ulama dan buku yg saya baca, pendapatnya sama atau mirip-mirip.
hanya dari Salafi yg agak beda. memang ada yg benar, tapi ada juga syubhat-nya.
lalu saya lihat, orang Salafi cuma mengaji dgn Salafi. tidak pernah mengaji dgn komunitas lain.
Padahal orang Muhammadiyah mengaji ke Persis, atau ke Muhammadiyah dan Salafi. orang NU mengaji ke Haba-ib. orang Tarbiyah mengaji ke Salafi atau ke NU dan Haba-ib. orang HTI bisa ngaji ke Salafi, bisa ngaji ke Tarbiyah.
Kenapa begitu eksklusif?
padahal kita bisa tahu sesuatu lebih mendalam dgn belajar ke banyak guru. dan kita bisa tahu kelebihan masing-masing guru, ya setelah banyak belajar/mengaji ke berbagai guru.
kalau Salafi belajar ke Salafi saja...ya ujung-ujungnya sama dgn orang taklid ala pesantren NU...cuma tahu golongannya saja yg benar.
ada pertanyaan mendasar....tapi sayang saya tdk bisa lanjut diskusi...karena ditegur teman. Apakah tokoh agama di luar Salafi, yg jelas mondok atau kuliah intensif dan punya ilmu agama...apakah mereka dianggap sbg ulama oleh Salafi?
karena saya lihat, kritikan Salafi keras sekali thd di luar Salafi.
akhirnya, saya undur diri...agar saya bisa memperbaiki diri. saya doakan semoga orang Salafi lebih moderat, hatinya terbuka, tidak merasa benar sendiri.
Salam - Sudin
Silakan baca alasannya :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/memilih-milih-guruustadz-dalam-menuntut.html.
wallaahu a'lam.
@mas sudin, tanggapan terakhir antum kok jauh sekali dengan alur diskusi yg antum sebelumnya bersemangat sekali dengan Ibnu Abi Irfan, skrg malah melebar kemana2, malah membahas salafi begini begitu pdhl cakupan artikel ini adalah Ijmaa' keberadaan Allah diatas langit, bukan mengenai salafi.
Hmm ya sudahlah, hak antum jg untuk undur diri dari sini. Hanya saja saya jg berpesan untuk antum mas, tolong katakan spt yg anda katakan pd org2 yg senengnya memfitnah salafi spt komplotannya abu salafy dan salafytobat. PR buat antum nih.
Lagipula aneh jg klo antum mengatakan, "kritikan Salafi keras sekali thd di luar Salafi." Memangnya tidak boleh mengkritik org yg punya pemahaman salah dan keliru mengenai tauhid asma wa shifat? Memangnya tidak boleh menghimbau saudara2nya sendiri untuk menjauhi bid'ah dan mengikuti sunnah? Memangnya tidak boleh mewanti2 saudara2nya untuk menjauhi beribadah di kuburan dan menjauhi tawassul yg tidak syar'i spt tawassul pd org yg sudah wafat? Memangnya tidak boleh menghimbau saudara2nya untuk berdoa dan meminta hanya kepada Allah Ta'ala saja?
Amiiin, terima kasih atas doanya mas Sudin, semoga hati kita semua dilembutkan oleh Allah Ta'ala untuk menerima kebenaran dari dalil2 dan dari penjelasan para ulama yg sesuai dalil, bukan dari sembarangan ulama apalagi dari ulama yg gemar memelintir dalil2 sesuai nafsunya. Kalo ada kata2 yg membuat antum tersinggung, mohon dimaafkan.
--Abu Ahmad--
Ass wr wb,
@Abu Ahmad
Bolehkah anda jelaskan pada saya tauhid asma wa shifat itu secara singkat?
Apa itu tawassul menurut anda ?
@M.Husaini:lho piye to? ini mau mencari kebenaran secara ilmiah, atau asal jidal? kan dalam daftar artikelnya ust.Abul jauzaa kan sdh dibhs, situsnya ust.Firanda juga demikian atau ust. lainya.
sila periksa http://fiqhakbar.wordpress.com/2011/04/15/akidah-ahli-sunnah-imam-syafii/#comment-48
akarimomar on 02/11/2011
Jawapan dari Ustaz Uthman sendiri:
Saudara Sudin
Al-hamdulillah, baik sangat kitab ini diberikan perhatian oleh pembaca; yang kita perlu lakukan ialah menunjukkan bahawa ia kitab yang munasabah dinisbahkan kepada imam itu; setakat sekarang maklumat yang ada dengan kita ialah ia disebut oleh editor kitab al-Risalah karangan imam Syafie, Dr’Abd Latif al-Hamim dan Dr Mahir Yasin al-Fahl, hal.41 (terbitan Darr al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 2005).
Satu lagi ialah disebut dalam GAL, 1937, jilid.1 hal.305. Dalam pendahuluan ‘al-Kaukab al-Azhar hal.6 disebut oleh penulis manuskrip-manuskrip kitab ini yang dilihatnya sendiri di Maktabah al-Auqaf al-’Ammah Baghdad, dan dibandingkan pula oleh beliau dengan naskhah yang dicetak yang ada dengannya, serta diperbetulkan kesilapan-kesilapannya.
Disebut oleh Dr Syeikh Yasin bahawa nama kitab itu ada pada fihrist MSS Arab dalam maktabah Awqaf itu pada jilid 2. Pada halaman 6 disebut naskhah-naskhahnya 3211, 3212, 3213 dengan sifat-sifat MSS itu. Pihak yang tidak hendak berpegang kepadanya baik sekali kalau ditelitikannya, dan memberi kepada pembaca penemuan-pemenuannya.
Tentang penggunaan ‘aradh’ dan ‘jauhar’ nampak itu berlaku pada zaman itu, sebab Imam Ahmad yang menjadi murid Imam Syafie dinyatakan tidak suka kepada perbincangan yang melibatkan istilah-istilah yang demikian. Dan kita faham hal ini bila diingatkan bahawa aliran Mu’tazilah, yang banyak menggunakan istilah-istilah ini dulunya, mengembangkan fahaman mereka sehingga ia perlu disanggah oleh Ahli Sunnah, termasuk Imam Syafie yang menyebut kelainan Mu’tazilah itu berbanding dengan Ahli Sunnah.
Tentang stail (gaya) Imam Syafie yang disebut sebagai berlainan daripada kitab-kirab lainnya, saya lihat nampaknya itu bukan hujah yang menghalang kita menggunakannya, sebab pada saya kita boleh sebut bahawa stail itu nampaknya bukan bercanggah dengan stail imam itu. Bagaimanapun ini boleh kita telitikan dengan memberi maklumat-maklumat bandingannya, tetapi itu satu kerja yang boleh dilakukan kemudian. Buat sementara ini kita masih boleh menyatakan bahawa kita itu kena pada tempatnya dinisbahkan kepada pada Imam agung itu.
Saya mendapat maklumat dari ulama kita di Pattani kitab itu dipelejari di sana. Wassalam.
Yang benar
Muhammad Uthman El-Muhammady 2-11-11
Apa yang dijelaskan oleh Ustadz Muhammad Utsman adalah sekedar keberadaan manuskrip kitab saja. Tidak lebih. Tapi, saya tetap berterima kasih atas infonya.
Masalah Kitab Fiqh Al-Akbar,Imam Syafi'i juga sudah dikomentari oleh Ulama Asy'ariyah sendiri yakni Syaikh Sa'id Fawdah beliau pun meragukan keabsahan kitab tersebut (Tidak Jelas Sanad nya).
Sejauh ini yang semangat memakai Kitab tersebut diantaranya adalah FIRQOH AHBASH SESAT.
Penjelasan dari Ust. Ad-Dariniy:
http://addariny.wordpress.com/2009/11/03/akidah-imam-syafii-rohimahulloh/
addariny mengatakan:
25 Juni 2010 pukul 17:44
Imam Syafi’i -rohimahulloh- tidak memiliki kitab “Alfiqhul Akbar”… Ana udah baca tentang masalah kitab ini, ternyata itu karangan orang lain, tapi dinisbatkan kepada Imam Syafi’i secara dusta… Alhamdulillah Imam Ibnu Hajar telah menjelaskan hal ini, beliau mengatakan dalam kitabnya lisanul mizan:
محمد بن علي بن الفتح أبو طالب العشاري شيخ صدوق معروف لكن ادخلوا عليه أشياء فحدث بها بسلامة باطن منها حديث موضوع في فضل ليلة عاشوراء ومنها عقيدة للشافعي
Muhammad bin Ali bin Alfath Abu Tholib Al-usyari, adalah seorang syeikh yg shoduq, ia terkenal, tapi ia banyak termasuki sesuatu (hadits), lalu ia menyampaikannya meski dg niat yg baik, diantara sesuatu yg dimasukkan padanya adalah hadits palsu tentang keutamaan malam asyuro’, diantaranya juga (kitab) tentang Akidahnya Imam Syafi’i.
Lagian jika antum baca kitab itu, antum akan dapati banyak istilah dan kata yg sumbernya dari ulama ahli kalam, yg belum dipakai di zamannya Beliau.
Ditambah lagi, sanad kitab ini juga terputus, tidak sampai kepada Imam Syafi’i… wallohu a’lam.
Silahkan baca diskusi masalah kitab ini di link berikut:
http://www.aslein.net/archive/index.php/t-281.html
Pertanyaan:
assalam alaikum.. Apakah ada waziifa untuk memperbaiki aqidah seseorang ….agar orang itu kembali kepada AHLUS SUNNAT sepenuhnya.
Jawaban:
wa `alaykum salam,
Wazifa yang dimaksud adalah suhba. Imam al-Qushayri meriwayatkan dari gurunya Ibn Furak, dari gurunya Muhammad ibn Mahbub, pelayan Abu `Utsman al-Maghribi: “Abu `Utsman berkata kepadaku pada suatu hari: ‘Muhammad! Jika seseorang bertanya padamu: Di manakah Zat yang kau sembah, apa jawabanmu?’ Aku berkata: ‘Aku akan menjawab: Dia berada di mana Dia tidak bisa dihentikan.’ Ia berkata, ‘Bagaimana bila ia bertanya: Di mana Dia ketika masa pra azali?’ Aku berkata, ‘Aku akan menjawab: Di mana Dia berada sekarang.’” Yaitu: Dia berada di mana tidak ada tempat, dan Dia kini berada di mana Dia dulu berada. “Abu `Utsman merasa puas dengan jawabanku. Ia melepaskan bajunya dan memberikannya kepadaku.”
Hajj Gibril Haddad
http://eshaykh.com/doctrine/aqeeda/
Bagaimana tanggapan Pak Ustadz mengenaik hal ini ?
Jazakallah khoiron
Ya benar, itu memang merupakan sebagian dari perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Al-'Ulluw. Tapi sayangnya, sebagaimana kebiasaan buruk mukhaalif, mereka memotong penjelasan beliau yang menjelaskan kalimat yang dinukil. Beliau (Asy-Syaikh Al-Albaaniy) menolak pemutlakan arah dan tempat bagi Allah, sebagaimana beliau juga menolak penafikannya secara mutlak.
Maksudnya, Allah tidak boleh disifati dengan arah dan tempat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan lafadh arah dan tempat. Namun kita akan juga tidak boleh menafikkan secara mutlak jika hal itu mengkonsekuensikan penafikkan terhadap sifat Al-'Ulluw bagi Allah ta'ala.
Ini jawaban ringkasnya.
Artinya bukankah = ALLAH SWT ADA TANPA TEMPAT ????
Tempat jika itu diartikan sebagai 'yang melingkupi sesuatu'; maka ini keliru, karena Allah Maha Besar, tidak ada sesuatu yang dapat melingkupi-Nya.
Namun jika yang dimaksudkan dengan tempat itu adalah keberadaan Allah di atas langit dan beristiwaa' di atas 'Arsy-Nya dalam makna hakiki - sebagaimana perbuatan 'Umar bin Al-Khaththaab yang menunjuk arah atas - maka ini benar.
NB : Agar tidak salah paham, Anda perhatikan sekali lagi point kalimat saya yang Anda kutip di atas.
***
mas @gg,.... jawaban itu keliru. Jika ada yang bertanya dimanakah Allah, tuhan yang kita sembah; maka jawabnya adalah sesuai dengan yang ada di dalil. Yaitu di atas langit. Mudah. Bukan dengan jawaban filsafat seperti kutipan Anda itu.
1) Sami', bashir, khobir, 'alim, ahad, wahid, 'aziz, dsb. diistilahkan sbg sifat Allah. Itu bisa saya fahami karena kata2 tsb merupakan kata sifat (adjective). Tapi kenapa kata2: yadayn, 'aynayn, wajh juga diistilahkan sbg. sifat Allah? Bukankah kata2 tsb adalah nomina (nouns), bukan adjective?
2) Tsumma istawa 'ala al-'Arsy = Kemudian Dia ber-istiwa di atas singgasana. Di sana ada kata tsumma (kemudian), yg menunjukkan ada peristiwa sebelumnya. Di manakah Allah sebelum Dia menciptakan 'Arsy? Di manakah Allah sebelum Dia menciptakan 1 makhluk pun?
Samii', bashiir, dan sebagian besar yang Anda sebutkan itu merupakan isim/kata benda (dalam bahasa 'Arab) atau nomina yang menunjukkan nama-nama bagi Allah. Bukan sifat. Dan nama-nama Allah yang baik tersebut mengandung sifat. Misal : Allah ta'ala mempunyai nama As-Samii' yang artinya Maha Mendengar. Dari nama ini mengandung sifat bahwa Allah itu dapat mendengar (sami'a - سَمِعَ).
Jika ini - menurut Anda - adalah sesuatu yang dapat disandarkan kepada Allah, maka begitu halnya yadd, rijl, dan wajh. Tidak ada yang musykil bagi Allah. Ketika Allah ta'ala mensifati bagi dirinya bahwa Ia dapat mendengar, melihat, atau berbicara melalui perantaraan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan kemudian Anda imani; maka begitu pula Allah mensifati bagi diri-Nya bahwa Ia mempunyai tangan, wajah, dan kaki. Tentu saja ini pun harus Anda imani pula. Tidak ada perbedaan antara ini dan itu.
Adapun pertanyaan Anda yang nomor 2, maka perhatikanlah perkataan Sulaimaan At-Taimiy berikut :
لو سئلت : أين الله تبارك وتعالى ؟ قلت : في السماء. فإن قال : فأين عرشه قبل أن يخلق السماء ؟ قلت : على الماء. فإن قال لي : أين كان عرشه قبل أن يخلق الماء ؟ قلت : لا أدري.
“Apabila aku ditanya : ‘Dimanakah Allah tabaaraka wa ta’ala ?’. Maka aku akan menjawab : ‘Di (atas) langit’. Apabila ia bertanya : ‘Dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan langit ?’. Maka akan aku jawab : ‘Di atas air’. Jika ia kembali bertanya kepadaku : ‘Lantas, dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan air ?’. Maka akan aku jawan : ‘Aku tidak tahu” [Shahih; diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194. Dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur 7/337 dan ia menisbatkannya pada ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Abusy-Syaikh – takhrij dinukil dari Aqwaalut-Taabi’in fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 941; Daarut-Tauhiid, Cet. 1/1424 H].
Sama halnya dengan perkataan Anda tersebut. Jika ditanyakan dimanakah Allah sebelum Ia menciptakan 'Arsy, dimanakah Allah sebelum menciptakan satu makhluk pun; maka jawaban saya : Tidak tahu, karena saya tidak mengetahui dalil yang menjelaskannya.
Mudah bukan ?. Kita hanya dibebani dengan sesuatu yang telah Allah ta'ala dan Rasul-Nya jelaskan kepada kita, dan kita sama sekali tidak dibebani dengan sesuatu yang Allah ta'ala dan Rasul-Nya tidak jelaskan kepada kita.
Pak Ustadz Abul Jauza, siapakah Sulaimaan At-Taimiy itu, apakah dia seorang tabi'in ?
Sulaimaan bin Tharkhaan At-Taimiy, Abul-Mu’tamir Al-Bashriy (سليمان بن طرخان التيمى ، أبو المعتمر البصرى); seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk tabi'iy pertengahan, thabaqah ke-4, lahir tahun 46 H, dan wafat tahun 143 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 409 no. 2590].
Menurut saya Allah itu tidak punya sifat betis, krn dalam tafsir ibnu abbas maksud pada hari betis disingkapkan adalah (gambaran) keadaan yang sangat dahsyat dari kengerian Hari Kiamat. Jadi, Pak Usatadz Allah itu tidak punya sifat betis kan seperti yang dikatakan di buku ringkasan keyakinan islam aqidah ahlussunah wal jamaah karya syaikh Abdullah bin abdul hamid al atsari dan syaikh Muhammad bin ibrahim al-hamad.
Jazakallah khoiron
jika sifat betis ditafsirkan keadaan yang kacau balau, ini tafsir yang tidak nyambung. apa hubungannya antara betis dengan keadaan kacau balau? dalam ungkapan bahasa arab pun ana yakin tidak demikian.
namun jika diartikan Alloh menyingkap betis ketika hari dimana saat itu terjadi kekacaubalauan, maka ini akan lebih mudah dipahami.
Tapi, kan kalau begitu berbeda jauh dengan tafsiran Ibnu Abbas, ini yang saya permasalahkan Ibnu Abbas, firman Allah ta'ala " Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak kuasa."
Dalam kitab tafsir Ibnu Abbas, Dia berkata," Maksud lafazh 'pada hari betis disingkapkan adalah (gambaran) keadaan yang sangat dahsyat dari kengerian hari kiamat.
Antum bisa lihat kengerian yang sangat dahsyat dari kengerian hari kiamat, kenapa antum membalasnya dengan keadaan kacau balau kan itu gak nyambung, yang saya maksud tafsir Ibnu Abbas pakar tafsir nomor 1, dia menafsirkan surat alqalam ayat 42 maksud lafazh ' pada hari betis disingkapkan adalah (gambaran) keadaan yang sangat dahsyat dari kengerian hari kiamat." Kenapa antum menjawab keadaan kacau balau ?
Mohon balasannya,
Jazakallah khoiron
jika lafadh "Alloh menyingkap betis" antum anggap sebagai gambaran dari "keadaan yang sangat dahsyat dari kengerian hari kiamat", ana kira sangat jauh panggang dari api.
antum pasti mengira bahwa "menyingkap betis" merupakan sebuah peribahasa atau majaz yang maknanya adalah "keadaan yang sangat dahsyat dari hari kiamat" bukan? ana memang tidak begitu mengerti bahasa arab, namun coba ditanyakan kepada orang arab, apakah mereka akan menggunakan lafadh "menyingkap betis" untuk menggambarkan suatu keadaan yang sangat dahsyat?
namun jika anda memahami dari tafsir Ibnu Abbas tersebut bahwa Alloh menyingkap betis-Nya di hari dimana keadaan sangat dahsyat atau Alloh menyingkap betis-Nya di hari kiamat, maka ini akan lebih mudah dipahami.
dan memang inilah yang sebenarnya. silakan dicek kembali haditsnya, niscaya akan terlihat jelas bahwa hadits sifat betis itu menceritakan keadaan yang terjadi pada hari kiamat.
O iya,... tafsiran Ibnu 'Abbaas tersebut disebutkan oleh Syaikh 'Amru tidak ada yang shahih. Tempo hari saya ingin menuliskan bahasannya,.... tapi berhubung panjang, maka sampai saat ini saya belum bisa menuliskannya.
kami menunggu keluarnya pembahasan itu ustadz. syukron sebelumnya
Bumi itu Bulat.
BUMI BULAT = LANGIT BULAT = KURSI BULAT = `ARSY BULAT
Apa-apa yang di atas kepala itulah ATAS. Sementara, apa-apa yang di bawah kaki itulah BAWAH. Oleh karena itu, langit haruslah bulat karena melingkupi bumi. Misal saja langit tidak bulat dan misal saja langit hanya ada di atas belahan bumi Utara maka apakah yang ada di atas bumi belahan Selatan?
Selanjutnya, LANGIT ada 7 lapis. Sehingga, tidak benar klaim BIG-BANG. Karena, teori ini menyatakan bahwa semesta senantiasa expanded (mengembang) yang konon katanya dibuktikan dengan teori RED-SHIFTING. Sementara, kata lapis menunjukkan bahwa langit itu fixed (tetap) dan berlapis-lapis.
Selanjutnya, di atas 7 LAPIS LANGIT ada KURSI.
Selanjutnya, di atas KURSI ada `ARSY.
Selanjutnya, di atas `ARSY ada ALLAH.
Selanjutnya, tidak ada sesuatu pun yang ada di atas ALLAH. Karena, ALLAH adalah DZAT YANG MAHA TINGGI.
Oleh karena itu, firman ALLAH: "Arrohmaanu `alal `arsy istawaa [Thoohaa: 5] (ArRohman istiwa di atas `Arsy)," tidaklah serta-merta berarti bahwa Allah berada di suatu TEMPAT dan ARAH. Karena, TEMPAT dan ARAH adalah atribut yang hanya ada di dalam RUANG. Dan RUANG adalah apa-apa yang telah disebut sebelumnya, mencakup:
1. `ARSY dan apa-apa yang ada di bawahnya;
2. KURSI dan apa-apa yang ada di bawahnya;
3. 7 LAPIS LANGIT dan apa-apa yang ada di bawahnya;
4. BUMI dan seisinya.
Ketika ALLAH belum menciptakan `ARSY dan seisinya, ALLAH tidaklah berada di dalam suatu RUANG. Begitu pula ketika `ARSY dan seisinya telah diciptakan, ALLAH tidak 'masuk' dalam RUANG yang telah DIA diciptakan.
TEMPAT dan ARAH dibutuhkan makhluk-NYA untuk menyatakan keberadaan ALLAH di luar RUANG. Karena, makhluk-NYA ada di dalam RUANG yang telah DIA ciptakan. Di dalam RUANG ini, berlaku atribut TEMPAT dan ARAH bagi makhluk-NYA.
Apa-apa yang ada di luar `ARSY, tidak disebut sebagai RUANG. Di sinilah ALLAH berada. Di sinilah kita, makhluk-NYA, menunjuk keberadaannya. Sementara itu, `ARSY ada di atas KURSI, KURSI ada di atas 7 LAPIS LANGIT, 7 LAPIS LANGIT ada di atas KEPALA KITA di BUMI. Sehingga, kita pun sudah sewajarnya menunjuk ke ATAS ketika ditanya, "Dimana ALLAH?"
-- Abu Yahya `Abdullaah --
ASSALAMUALAIKUM...
Afwan nanya :
benarkah pengkajian riwayat di bawah ini :
1. Manipulasi Salafi terhadap kalam imam Syafi’i dalam hal Aqidah :
" روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء "
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki “.
(Mukhtashor Al-‘uluw halaman : 176)
Jawaban :
Dari sisi sanad :
1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
3. Ibnu Najjar berkata :
وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة
“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya “.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :
وهو كذاب وضاع
“ Dia adalah seorag yang suka berdusta dan suka memalsukan hadits “.
=======================
dari situs syubhat si Al Katibiy.
mohon penjelasannya .
Jazakallah khair ustad
Pertama saya katakan bahwa sanad perkataan Asy-Syaafi'iy itu adalah sangat lemah dengan sebab Al-Hakkariy. Keterangan tentang Al-Hakkariy adalah sebagaimana yang dituliskan oleh Al-Katibiy di atas.
Kedua,.... Apa si yang dimaksudkan manipulasi dalam pikiran Al-Katibiy itu ?.
Manipulasi adalah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai. Kalau misalnya ada Salafi yang menukil perkataan Asy-Syaafi'iy tersebut dengan menyebutkan referensinya, apakah bisa disebut manipulasi ?. Riwayat tersebut disebutkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-'Ulluw dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifatil-'Ulluw. Mana sisi manipulasinya ?. Kalau memang itu kaedahnya Al-Katibiy, betapa banyak ulama yang membawakan riwayat dla'if akan tertimpa tuduhan manipulasi. Itu Al-Ghazaliy akan tertuduh sebagai manipulator perkataan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam karena banyak mencantumkan hadits lemah, shahih, bahkan tidak ada asalnya.
Aneh-aneh saja Al-Katibiy ini....
@Abu Yahya 'Abdullaah: barakallaahu fiyk....
argumentasi antm kuat dan logis. selain sejalan dgn nash-nash syar'iyyah, premis2 yg antm susun secara logika saling memperkuat antara yg satu dgn yg lainnya, serta terbebas pula dari kontradiksi.
saya jadi teringat dengan metode dan dalil2 'aql yg diajukan Imam Ahmad dalam menghadapi syubhat Jahmiyyah.
1. Bagaimana dengan kisah taubatnya ibnu taimiyah dalam kitab kitab Ad-Duraru Al-Kaminah karya Ibnu Hajar, kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab karya As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah dan yang lainnya
2. Dan juga manuskrip yg menyatak taubatnyaa addzahabi dari aqidahnya yg di kitab al uluw
sumber (http://bicarasalafy.wordpress.com/2012/07/26/mengungkap-tipu-muslihat-firanda-2-rontoknya-klaim-bahwa-para-ulama-berkonsesnsus-allah-berada-di-langit/) dan (http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html#.UbQzWuRg_6U)
Silakan baca tulisan teman saya :
Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?.
Kemana ya teman antum itu sekarang tadz? Padahal artikel2nya sangat bagus dan mencerahkan mengenai Syaikhul Islam.
Assalaamu ‘Alaikum.
Saya ingin sumbang pemikiran, meskipun saya bukan Ustaz.
Sebenarnya dasar pemikiran mereka menolak keyakinan bahwa Ar Rahmaan Yang Bersemayam Di Atas ‘Arsy itu hanya 1 (satu), yaitu jika kita meyakini demikian, berarti Allah itu kecil, karena dibatasi Ruang, dibatasi Tempat, ada Jarak, dan ada Arah.
Surat Ash Shuraa ayat 11:
“ . . . . Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”.
Cobalah perhatikan berikut:
1. Mendengar
Manusia itu Mendengar. Dalam Mendengar, terjadi di dalam Ruang, di suatu Tempat. Antara yang mendengar dan yang didengar, ada Jarak, dan ada Arah. Dan Muslimiin juga meyakini bahwa Allah juga Mendengar, Maha Mendengar. Dan Muslimiin meyakini bahwa bagaimana gambaran Allah Mendengar, adalah tidak sama dengan makhlukNya.
2. Melihat
Manusia itu Melihat. Dalam Melihat, terjadi di dalam Ruang, di suatu Tempat. Antara yang melihat dan yang dilihat ada Jarak, dan ada Arah. Dan Muslimiin juga meyakini bahwa Allah juga Melihat. Maha Melihat. Dan Muslimiin meyakini bahwa bagaimana gambaran Allah Melihat, adalah tidak sama dengan makhlukNya.
3. Bersemayam Di Atas Singgasana
Manusia itu ada yang Bersemayam di atas singgasana. Dalam Bersemayam di atas singgasana, terjadi di dalam Ruang, di suatu Tempat. Antara yang bersemayam dan yang disemayami, ada Jarak, dan ada Arah. Dan (sebagian) Muslimiin termasuk saya, juga meyakini bahwa Allah Bersemayam Di Atas Singgasana. Dan bagaimana gambaran Allah Bersemayam Di Atas Singgasana, adalah tidak sama dengan makhlukNya.
Tapi mengapa hanya Bersemayam yang mereka tidak diyakini dengan alasan dibatasi Ruang, di suatu Tempat, ada Jarak, dan ada Arah? Padahal dari uraian di atas, Mendengar dan Melihat itu juga terjadi di dalam Ruang, di suatu Tempat, ada Jarak, dan ada Arah.
Seharusnya, jika mereka menolak Allah Bersemayam Di Atas ‘Arsy itu karena alasan Beruang, Bertempat, Ada Jarak, dan Ada Arah, maka mereka juga seharusnya jangan meyakini bahwa Allah itu Mendengar dan Melihat. Karena Mendengar dan Melihat itu juga Beruang, Bertempat, Ada Jarak, dan Ada Arah. Mereka hanya meyakini bahwa Mendengar dan Melihatnya Allah itu tidak sama dengan makhlukNya, sedangkan Bersemayam itu sama dengan makhlukNya.
Mereka salah dalam membuat kesimpulan.
Inilah pemikiran saya untuk Melemahkan Pemikiran Mereka Menolak Keyakinan Bersemayam, dengan alasan Beruang, Bertempat, ada Jarak, dan ada Arah.
Sekian, semoga yang saya urai ini tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Aamiin.
Ma'af Pak Ustaz, saya adalah Masda Sahibu.
Salaam.
Assalamu'alaikum
Ustadz, ana ingin bertanya mengenenai hadis ini,
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-
Nya”.(H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al
Jarud).
Apakah ma'na hadis ini adalah bahwa Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu
(selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada
angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia,
jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka
berarti Allah ada sebelum
terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak
membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak
berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa
tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari
sesuatu yang baru (makhluk).
Syukron,ustadz.
Jazakallah khoir.
Assalaamu'alaykum.
Afwan akh farid jika ada pernyataan Allah harus berubah dari tanpa tempat menjadi bersemayam di atas arsy, maka ulama manakah yang berhujjah demikian?
Jika hanya perkataan awam para pengikut hawa nafsu maka tidak perlu kita jawab.
Hanya Allah yang memberi hidayah.
Wallahu A'lam
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. yaa Ustadz Abul Jauzaa’..
Saya perhatikan diberbagai website/blog yang Dianth al-Muqallid sambangi. Akan tetapi sama saja saya nilai, jika pemahaman dia (si Dianth) itu sangat mendekati pemahaman filsafah yang selalu mengagungkan aqal semata.
Mungkin jika orang yang berhadapan (berdiskusi) dengan dia, niscaya orang tersebut akan mules sendiri. Itu karena dia sebenarnya tahu namun dia itu pura-pura bodoh. Dengan tipu muslihatnya ia membuat jebakan bagi lawan diskusinya agar lawan diskusinya itu mudah terpengaruh. Itu sangat terlihat dari dia yang berkata selalu saja mengedepankan aqal logika. Bahkan ia tidak pernah membawakan dalil-dalil shahih untuk menguatkan pendapatnya sendiri. Hanya ucapan-ucapan yang tidak berbobot saja yang ia gunakan sebagai hujjahnya.
Sungguh Dianth al-Muqallid pandai bersilat lidah akan tetapi jahil dalam masalah ilmu agama.
Posting Komentar