‘Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa


Di antara syubhat orang Syi’ah adalah pernyataan ‘Aliy bin Abi Thaalib tidak pernah ridlaa dalam baiatnya kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa. Mereka juga mereka-reka bahwa ‘Aliy menunda pembaiatannya sampai lewat beberapa bulan.[1] Tentang klaim ketidakridlaan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, blog ini membuat bahasan tersendiri tentangnya.[2] 

Kali ini, saya akan bawakan bukti ketidakbenaran klaim bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu menunda baiatnya kepada Abu Bakr hingga beberapa bulan lamanya. Berikut riwayatnya :
حدثني عبيد الله بن عمر القواريري حدثنا عبد الأعلى بن عبد الأعلى حدثنا داود بن أبي هند عن أبي نضرة قال لما اجتمع الناس على أبي بكر رضي الله عنه فقال ما لي لا أرى عليا قال فذهب رجال من الأنصار فجاءوا به فقال له يا علي قلت ابن عم رسول الله وختن رسول الله فقال علي رضي الله عنه لا تثريب يا خليفة رسول الله ابسط يدك فبسط يده فبايعه ثم قال أبو بكر ما لي لا أرى الزبير قال فذهب رجال من الأنصار فجاءوا به فقال يا زبير قلت ابن عمة رسول الله وحواري رسول الله قال الزبير لا تثريب يا خليفة رسول الله ابسط يدك فبسط يده فبايعه
Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa : Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind, dari Abu Nadlrah, ia berkata : Ketika orang-orang berkumpul (berbaiat) kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, ia (Abu Bakr) berkata : “Ada apa denganku, (mengapa) aku tidak melihat ‘Aliy ?”. Maka pergilah beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya (‘Aliy). Lalu Abu Bakr berkata kepadanya : “Wahai ‘Aliy, engkau katakan engkau anak paman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus menantu beliau”. ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Janganlah engkau mencela/marah wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu !”. Lalu ia membentangkan tangannya dan kemudian berbaiat kepadanya. Kemudian Abu Bakr pun berkata : “Ada apa denganku, (mengapa) aku tidak melihat Az-Zubair ?”. Maka pergilan beberapa orang dari kalangan Anshaar yang kemudian kembali bersamanya (Az-Zubair). Abu Bakr berkata : “Wahai Zubair, engkau katakan engkau anak bibi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus hawariy beliau”. Az-Zubair berkata : “Janganlah engkau mencela/marah wahai khalifah Rasulullah. Bentangkanlah tanganmu !”. Lalu ia membentangkan tangannya dan kemudian berbaiat kepadanya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1292].
‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaaririy, seorang yang tsiqah lagi tsabt. ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa bin Muhammad Al-Qurasyiy, seorang yang tsiqah. Daawud bin Abi Hind, seorang yang tsiqah lagi mutqin.[3] Abu Nadlrah, namanya adalah Al-Mundzir bin Maalik, seorang yang tsiqah juga. Abu Nadlrah tidak bertemu dengan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, sehingga riwayat ini mursal.
Namun Al-Haakim menyambung kemursalannya dalam Al-Mustadrak 3/76, dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kabiir 8/143 dan dalam Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad hal. 490. Al-Baihaqiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haamid Al-Muqri’ dengan qira’aat kepadanya, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir : telah menceritakan kepada kami ‘Affaan bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind : Telah menceritakan kepada kami Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy : “…..(al-atsar – yang padanya ada kisah yang lebih panjang dari riwayat di atas)…”.
Riwayat ini shahih, para perawinya tsiqaat.
‘Affaan bin Muslim mempunyai mutaba’ah dari Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/143 dan dalam Al-I’tiqaad hal. 492, serta Ibnu ‘Asaakir 30/276-277.[4]
Daawud bin Abi Hind juga mempunyai mutaba’ah dari Al-Jurairiy sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir 30/278-279.
Ibnu Katsiir dalam Al-Bidaayah 8/92 menshahihkan riwayat ini yang mahfuudh dari hadits Abu Nadlrah dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu.
Ada syaahid yang menguatkan riwayat ini :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، حدثنا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ أَسْلَمَ: أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لِأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلَانِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُشَاوِرُونَهَا، وَيَرْتَجِعُونَ فِي أَمْرِهِمْ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ، فَقَالَ: " يَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيكَ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيكَ مِنْكَ، وَايْمُ اللَّهِ مَا ذَاكَ بِمَانِعِي إِنِ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ النَّفَرُ عِنْدَكِ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمُ الْبَيْتُ "، قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ، جَاءُوهَا فَقَالَتْ: تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي، وَقَدْ حَلَفَ بِاللَّهِ لَئِنْ عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمُ الْبَيْتَ، وَايْمُ اللَّهِ لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ، فَرَوْا رَأْيَكُمْ وَلَا تَرْجِعُوا إِلَيَّ. فَانْصَرَفُوا عَنْهَا فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا حَتَّى بَايَعُوا لِأَبِي بَكْرٍ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam, dari ayahnya yang bernama Aslam, ia berkata : Ketika bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy dan Az-Zubair masuk menemui Faathimah binti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Ketika berita itu sampai kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab, ia bergegas keluar menemui Fatimah dan berkata : “Wahai putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih kami cintai daripada ayahmu, dan setelah ayahmu tidak ada yang lebih kami cintai dibanding dirimu. Akan tetapi demi Allah, hal itu tidak akan mencegahku jika mereka berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar membakar rumah ini tempat mereka berkumpul.” Ketika ‘Umar pergi, mereka (‘Aliy dan Az-Zubair) datang dan Faathimah berkata : “Tahukah kalian bahwa ‘Umar telah datang kepadaku dan bersumpah jika kalian kembali ia akan membakar rumah ini tempat kalian berkumpul. Demi Allah, ia akan melakukan apa yang ia telah bersumpah atasnya jadi pergilah dengan damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian kembali menemuiku”. Maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya sampai mereka membaiat Abu Bakar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 14/567; shahih].
Riwayat ini secara jelas menunjukkan pada kita bahwa 'Aliy, berikut Az-Zubair, segera berbaiat kepada Abu Bakr pada hari itu setelah kedatangan 'Umar ke rumah Faathimah radliyallaahu 'anhum. Dan ini sangat logis melihat seluruh rangkaian peristiwa yang dibawakan dalam riwayat sebelumnya. Justru sangat tidak logis seandainya 'Aliy pergi dan tidak segera berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu 'anhumaa, karena - tentu saja - ia akan segera kembali ke rumah Faahimah untuk menemani keluarganya.
Riwayat ini menunjukan pada kita bahwa :
1.    ‘Aliy dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa memang sedikit menunda baiat mereka tidak bersama kaum muslimin lainnya. Akan tetapi dhahir riwayat ini menjelaskan bahwa mereka kemudian bersegera memberikan baiatnya kepada Abu Bakr pada hari itu juga tidak lama setelah kaum muslimin memberikan baiatnya.
2.    Kekhalifahan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu adalah sah menurut kaum muslimin secara aklamasi, tidak terkecuali ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Tidak ada wasiat atau warisan kepemimpinan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy sebagaimana klaim orang-orang Syi’ah, karena ‘Aliy sendiri menyatakan demikian.[5]
حدثني أبو معمر إسماعيل بن إبراهيم حدثنا ابن علية عن يونس عن الحسن عن قيس بن عباد قال قلت لعلي رضى الله عنه أرأيت مسيرك هذا عهد عهده إليك رسول الله صلى الله عليه وسلم أم رأي رأيته قال ما تريد إلى هذا قلت ديننا ديننا قال ما عهد إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم في شيء ولكن رأي رأيته
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Yuunus, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : “Apakah perjalananmu ini merupakan wasiat yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepadamu atau itu hanyalah pendapatmu saja ?”. ‘Aliy berkata : “Apa yang engkau maksudkan tentang hal ini ?”. Aku menjawab : “Agama kami, agama kami”. ‘Aliy berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewasiatkan sesuatupun kepadaku. Akan tetapi ini adalah pendapatku saja” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam tambahannya terhadap Al-Musnad 1/148 no. 1271 dan dalam As-Sunnah no. 1266].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 4666.
Dishahihkan oleh Ahmad Syaakir, Al-Albaaniy, dan Al-Arna’uth rahimahumullah.
حدثنا يحيى ثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن الحسن عن قيس بن عباد قال : انطلقت أنا والأشتر إلى علي رضي الله عنه فقلنا هل عهد إليك نبي الله صلى الله عليه وسلم شيئا لم يعهده إلى الناس عامة قال لا الا ما في كتابي هذا....
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata : “Aku dan Al-Asytar berangkat menuju ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Kami bertanya : “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadamu sesuatu yang tidak beliau wasiatkan kepada orang-orang secara umum ?”. Ia berkata : “Tidak, kecuali apa yang terdapat dalam kitabku ini…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/122; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Arna’uth].
حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ ، قَالَ : نا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ ، عَنِ الشَّعْبِيِّ ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ ، قَالَ : قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ : هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ ؟ قَالَ : " لا ، إِلا مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ.....
Telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Khaliifah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Ismaa’iil, dari Asy-Sya’biy, dari Abu Juhaifah, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwasiat sesuatu kepadamu yang tidak beliau wasiatkan kepada manusia ?”. Ia berkata : “Tidak, kecuali apa-apa yang ada dalam lembaran-lembaran ini....” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 468].
Penyebutan Ismaa’iil dalam riwayat di atas keliru, yang benar adalah Mutharrif. Khalaf dalam periwayatan dari Ibnu ‘Uyainah telah menyelisihi Wakii’, Asy-Syaafi’iy, Abu Khaitsamah, dan yang lainnya; yang semuanya meriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, dari Mutharrif, dari Asy-Sya’biy. Khalaf adalah seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir hayatnya. Akan tetapi riwayatnya di sini menjadi hasan dengan hadits sebelumnya, dan bahkan shahih dengan keseluruhan jalannya.
Dari manakah sumber adanya wasiat atau amanat kepemimpinan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu ?. Saya sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan bersumber dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1432 H – revised : 4-8-2011, 17:24 WIB].


[1]      Ada yang mengatakan 6 bulan.
[3]      Al-Mizziy menyebutkan bahwa Muslim mengambil riwayat ‘Abdul-A’laa mengambil riwayatnya dalam kitab Shahih-nya.
[4]      Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/185-186 no. 21617, Ath-Thayaalisiy 1/49-496 no. 603, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 4/114-115 no. 4785; semuanya dari jalan Wuhaib bin Khaalid, dari Daawud bin Abi Hind, dari Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy secara ringkas tanpa menyebutkan pembaiatan ‘Aliy dn Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa.

Comments

Anonim mengatakan...

afwan ustadz, menyimpang dari postingan

mau nanya derajat hadits ini, apakah benar derajatnya shahih lighairihi


dari Jundab bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ قَرَأَ يس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ

”Barangsiapa membaca YASIN pada suatu malam hanya dengan mengharap Wajah Allah, maka dia akan diampuni.”

Hadits ini terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, nomor hadits 2626 (berdasarkan penomoran maktabah syamilah edisi kedua) pada bab: Al-Hadatsu fish shalaah.
Sedangkan dalam kitab Mawarid Azh-Zham`an yang disusun oleh Al-Haitsami hadits ini ditempatkan pada kitab: Al-Mawaaqiit, bab: Al-Qiraa`atu fii Shalaatil Lail.

Sedangkan dalam kitab Al-Ihsan yang merupakan penyusunan ulang Shahih Ibnu Hibban terdapat pada Kitab: Ash-Shalaah, bab: Qiyaamul lail.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hadits tersebut lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Secara ringkas penjelasannya sebagai berikut :

1. Jalur Jundab bin 'Abdillah

أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف حدثنا الوليد بن شجاع بن الوليد السكوني حدثنا أبي حدثنا زياد بن خيثمة حدثنا محمد بن جحادة عن الحسن عن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قرأ يس في ليلة ابتغاء وجه الله غفر له

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaaq bin Ibraahiim maula Tsaqiif : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa’ bin Al-Waliid As-Sakuuniy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Jundab ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin di malam hari dengan mengharap wajah Allah, maka ia akan diampuni”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 2574 dan Al-Mawaarid no. 665.

Abu Haatim mengatakan bahwa riwayat Al-Hasan dari Jundab adalah mursal. Namun jumhur mengatakan bersambung alias Jundab memang merupakan syaikh dari Al-Hasan.

2. Jalur Abu Hurairah

حدثنا الوليد بن شجاع حدثني أبي حدثني زياد بن خيثمة عن محمد بن جحادة عن الحسن عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من قرأ يس في ليلة ابتغاء وجه الله غفر له في تلك الليلة

Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa' : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, ia berkata Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa membaca YASIN pada suatu malam dengan mengharap Wajah Allah, niscaya akan dia akan diampuni pada malam itu" [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3417].

Riwayat AlHasan dari Abu Hurairah adalah mursal, sebagaimana dikatakan jumhur (Ayyuub, 'Aliy bin Zaid, Bahz bin Asad, Yuunus bin 'Ubaid, dan yang lainnya).

3. Jalur 'Athaa' secara mursal.

حدثنا الوليد بن شجاع حدثني أبي حدثني زياد بن خيثمة عن محمد بن جحادة عن عطاء بن أبي رباح قال بلغني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من قرأ يس في صدر النهار قضيت حوائجه

Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa' : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari 'Athaa' bin Abi Rabbaah, ia berkata : Telah sampai kepadaku bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Siapa membaca YASIN pada permulaan siang maka akan dipenuhi kebutuhannya" [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3418].

Riwayat ini lemah karena mursal.

4. Jalur Ma'qil bin Yasar.

أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنا أحمد بن عبيد الصفار ثنا أبو مسلم إبراهيم بن عبد الله ثنا أبو عمر الضرير ثنا المعتمر بن سليمان عن أبيه عن رجل عن معقل بن يسار المزني : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال :

من قرأ يس ابتغاء وجه الله عز و جل غفر له ما تقدم من ذنبه فأقرؤها عند موتاكم

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Ahmad bin 'Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin 'Ubaid Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Muslim Ibraahiim bin 'Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Abu 'Umar Adl-Dlariir: Telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir bin Sulaimaan, dari ayahnya, dari seorang laki-laki, dari Ma'qil bin Yasaar Al-Muzanniy : Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Barangsiapa yang membaca YASIN karena mengharap wajah Allah, 'azza wa jalla, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Maka bacalah di sisi orang yang meninggal di antara kalian" [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman, no. 2231].

Sanad riwayat ini lemah karena ada perawi yang mubham. Di sini tidak disebutkan lafadh malam atau siang sebagaimana riwayat sebelumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

5. Riwayat mauquf Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu.

حدثنا عمرو بن زرارة ثنا عبد الوهاب ثنا راشد أبو محمد الحماني عن شهر بن حوشب قال : قال ابن عباس من قرأ يس حين يصبح أعطي يسر يومه حتى يمسي ومن قرأها في صدر ليلة أعطي يسر ليلته حتى يصبح

Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Zuraarah : Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-Wahhaab : Telah menceritakan kepad kami Raasyid Abu Muhammad Al-Himmaaniy, dari Syahr bin Hausyan, ia berkata : Ibnu 'Abbaas berkata : "Siapa yang membaca YASIN ketika pagi maka dia akan mendapatkan kemudahan pada hari itu sampai sore. Siapa yang membacanya pada awal malam, maka dia akan mendapat kemudahan pada malam itu sampai subuh" [Diriwayatkan Ad-Daarimiy no. 3419].

Sanad hadits ini lemah karena Syahr bin Hausyab. Ia banyak dikritik karena faktor hapalannya. Haditsnya baik untuk mutaba'ah.

PEMBAHASAN :

Perhatikan riwayat no, 1, 2, dan 3. Sanad riwayat itu pada hakekatnya satu, yaitu Al-Waliid bin Syujaa' : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepadaku Ziyaad bin Khaitsamah, dari Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan. Nah, dari sini kemudian nampak idlthirabnya. Kadang Al-Hasan meriwayatkan dari Jundab dari Nabi, kadang meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi, dan kadang meriwayatkan dari 'Atha' secara mursal dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Selain idlthirab pada sanad, nampak pula idlthirab pada matan. Pada riwayat 1 dan 2 disebutkan membaca di waktu malam, sedangkan di riwayat 3 disebutkan membaca di permulaan siang.

Riwayat no. 1, 2, dan 3 bukanlah jenis riwayat yang saling menguatkan karena hakekatnya satu sanad.

Adapun hadits Ma'qil, telah kita ketahui kelemahannya. Selain itu, matannya juga berbeda, karena di situ tidak disebutkan waktu membacanya (apakah malam atau sing). Namun disebutkan secara mutlak : Barangsiapa yang membaca surat Yasin. Dan kemudian ada tambahan untuk membaca di sisi orang yang meninggal.

Hadits Ma'qil ini tidak bisa menguatkan riwayat sebelumnya dengan alasan yang telah saya sebutkan.

Adapun riwayat Ibnu 'Abbaas, selain dengan sebab kedla'ifannya, ia juga berstatus mauquf yang tidak bisa menguatkan riwayat marfu' sebelumnya menurut pendapat yang raajih di kalangan muhadditsiin. Juga, Anda dapat lihat bahwa matannya agak sedikit berbeda.

KESIMPULANNYA : Hadits yang Anda sebut adalah lemah.

Wallaahu a'lam.

NB : Saya pernah menulis singkat bahasannya di Hadits Keutamaan Membaca Surat Yasin Pada Malam Hari.

Anonim mengatakan...

syukran untuk penjelasannya ustadz barakallahu fiikum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada bantahan dari situs Syi'ah atas artikel di atas. Namun sayangnya, justru ia malah membikin-bikin riwayat mudraj.

Ia membikin riwayat Al-Haakim menjadi seperti berikut :

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا جعفر بن محمد بن شاكر ثنا عفان بن مسلم ثنا وهيب ثنا داود بن أبي هند ثنا أبو نضرة عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه قال لما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم قام خطباء الأنصار فجعل الرجل منهم يقول يا معشر المهاجرين إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استعمل رجلا منكم قرن معه رجلا منا فنرى أن يلي هذا الأمر رجلان أحدهما منكم والآخر منا قال فتتابعت خطباء الأنصار على ذلك فقام زيد بن ثابت فقال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين وإن الإمام يكون من المهاجرين ونحن أنصاره كما كنا أنصار رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام أبو بكر رضى الله تعالى عنه فقال جزاكم الله خيرا يا معشر الأنصار وثبت قائلكم ثم قال أما لو فعلتم غير ذلك لما صالحناكم ثم أخذ زيد بن ثابت بيد أبي بكر فقال هذا صاحبكم فبايعوه ثم انطلقواأبو نضرة قالفلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل عنه فقال ناس من الأنصار فأتوا به فقال أبو بكر بن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعه ثم لم ير الزبير بن العوام فسأل عنه حتى جاؤوا به فقال بن عمة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال مثل قوله لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعاه

Telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin Syaakir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim yang berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al Khudriy radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka khatib khatib di kalangan anshar berdiri kemudian datanglah salah seorang dari mereka yang berkata “wahai kaum muhajirin sungguh jika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyuruh salah seorang diantara kalian maka Beliau menyertakan salah seorang dari kami maka kami berpandangan bahwa yang memegang urusan ini adalah dua orang, salah satunya dari kalian dan salah satunya dari kami, maka khatib-khatib Anshar itu mengikutinya. Zaid bin Tsabit berdiri dan berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berasal dari kaum muhajirin maka Imam adalah dari kaum muhajirin dan kita adalah penolongnya sebagaimana kita adalah penolong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu berdiri dan berkata “semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian wahai kaum Anshar, benarlah juru bicara kalian itu” kemudian ia berkata “jika kalian mengerjakan selain daripada itu maka kami tidak akan sepakat dengan kalian” kemudian Zaid bin Tsabit memegang tangan Abu Bakar dan berkata “ini sahabat kalian maka baiatlah ia” kemudian mereka pergi.

Abu Nadhrah berkata Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya tentangnya maka ia menyuruh orang-orang dari kalangan Anshar memanggilnya, Abu Bakar berkata “wahai sepupu Rasulullah dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Ali berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” maka ia membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak melihat Zubair, ia menanyakan tentangnya dan memanggilnya kemudian berkata “wahai anak bibi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan penolongnya [hawariy] “apakah engkau ingin memecah belah kaum muslimin?”. Zubair berkata “jangan mencelaku wahai khalifah Rasulullah” maka ia membaiatnya


[selesai].

Perhatikan kalimat yang bercetak tebal. Itu adalah sisipan (idraaj) yang dibuat-buat oleh orang Syi'ah. tentu saja kualitasnya dla'iif, bahkan palsu. Itu bukan riwayat Al-Haakim jadinya, tapi riwayat bikinan orang Syi'ah. Yang aslinya gak ada kalimat yang bercetak tebal.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada kaedah yang mengatakan : Al-Mutsbitu muqaddamun 'alan-nafy" (yang menetapkan itu didahulukan daripada penafikan). Kenapa ?. Karena yang penetapan itu mengandung ilmu tambahan daripada penafikan. Dan dalam riwayat 'Abdullah bin Ahmad, Al-Haakim, Al-Baihaqiy, dan yang lainnya sangat tegas bahwa baiat 'Aliy itu segera setelah pembaiatan Abu Bakr. Dan itu diriwayatkan oleh orang yang menyaksikan pembiatan Abu bakr dan pembaiatan 'Aliy, yaitu Abu Sa'iid Al-Khudriy.

Logika aneh orang Syi'ah itu mengatakan bahwa lafadh :

قالفلما قعد أبو بكر على المنبر نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فسأل

"Ketika Abu Bakar berdiri di atas mimbar, ia melihat kepada orang-orang kemudian ia tidak melihat Ali, ia bertanya .....dst"

adalah perkataan Abu Nadlrah, bukan Abu Sa'iid.

Orang Syi'ah ini memang tidak membiasakan diri memakai akal sehatnya. Seandainya itu memang perkataan Abu nadlrah,.... lantas bagaimana bisa ia bercerita panjang lebar secara detail tentang peristiwa baiat ?. Tentu saja ada orang yang menceritakan kepadanya. Dan dalam riwayat Al-Haakim, Al-Baihaqiy, dan yang lainnya telah disebutkan bahwa orang yang menceritakan kepadanya itu adalah Abu Sa'iid Al-Khudriy. Lantas, bagaimana bisa ia membagi-bagi riwayat seenaknya sendiri ?. Ini dari logika sehat. Adapun dari sisi ilmu riwayat, maka riwayat yang seperti itu adalah mahfudh dan merupakan satu kesatuan.

Sangat aneh orang Syi'ah ini. Dalam hadits Abu Hurairah yang jelas-jelas ada qarinah yang membedakan antara perkataannya dengan perkataan Nabi ia tolak (http://alfanarku.wordpress.com/2011/07/08/apakah-abu-hurairah-berdusta-basa-basi-syi%E2%80%99ah/). Eh,...giliran di sini yang tidak ada qarinah sharih adanya idraaj ia tetapkan adanya pembagian (ini perkataan Abu nadlrah, ini perkataan Abu Sa'iid). Kita dapat lihat bagaimana hawa nafsu memegang peranan dalam penshahihan dan pendlaifan riwayat.

Riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affan bin Muslim dari Wuhaib dan riwayat Abu Hisyaam dari Wuhaib; ia katakan mempunyai 'pertentangan'. Jangan aneh kalau ia mengatakan demikian. Namun perlu dicatat, riwayat itu bersatu atau bersepakat tentang pernyataan berbaiatnya 'Aliy segera setelah baiatnya kaum muslimin kepada Abu Bakr. Jadi, penyebutan adanya 'pertentangan' oleh orang Syi'ah ini adalah penyebutan tanpa faedah dalam bahasan, kecuali faedah bagi dirinya sendiri.

Mutaba'ah Al-Jurairiy riwayat Ibnu 'Asaakir dikatakannya tidak mahfudh karena kelemahan 'Aliy bin 'Aashim. Memang benar, ia seorang yang shaduuq, namun banyak keliru (yukhthi'). Namun periwayatannya dari Al-Jurairiy tersebut berkesesuaian dengan riwayat Daawud bin Abi Hind. Aneh sekali ia mengatakan : Tidak mahfudh, karena menyelisihi Hammaad bin Salamah dari Jurairiy, dari Abu Nadlrah secara mursal; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Balaadzuriy. Ia lupa - atau pura-pura lupa - bahwa Al-Baladzuriy sendiri bukan seorang yang kuat dalam hadits. Haditsnya itu hasan jika tidak ada perselisihan.

Muslim ketika mengomentari riwayat Abu Sa'iid di atas berkata :

هَذَا حَدِيثٌ يَسْوِي بَدَنَةً

"Hadits ini menyamai badanah (onta yang gemuk)".

Mendengar itu, Ibnu Khuzaimah berkata :

يَسْوِي بَدَنَةً؟ بَلْ هُوَ يَسْوِي بَدْرَةً

"Menyamai badanah ? Bahkan menyamai harta yang sangat banyak".

Artinya apa ? Hadits ini shahih menurut penilaian Muslim dan Ibnu Khuzaimah.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Khulashahnya, hadits ini dishahihkan oleh Muslim, Ibnu Khuzaimah, Al-Haakim, Ibnu Katsiir, dan yang lainnya. Ini adalah aqwal mutaqaddimiin.

Tentang hadits 'Aaisyah. Ia sendiri mengakui bahwa kemungkinan 'Aaisyah tidak melihat peristiwa pembaiatan sebagaimana yang disaksiakan Abu Sa'iid. Ini memang benar bahwa . Lazimnya para wanita adalah tinggal di rumah. Dan 'Aaisyah memang kenyataannya tidak melihat secara langsung pembaiatan tersebut karena berada di rumah. Syari'at tidak memperbolehkan seorang wanita untuk keluar rumah beberapa waktu lamanya setelah suaminya meninggal dunia.

Yang jelas di sini adalah bahwa 'Aaisyah MEMANG TIDAK MELIHAT peristiwa pembaiatan Abu Bakr.

Bagaimana bisa kesaksian orang yang melihat bisa dikalahkan oleh kesaksian orang yang tidak melihat ?.

Kita tidak mengatakan bahwa 'Aaisyah berdusta, karena ia hanya mengatakan berdasarkan pengetahuannya saja. Jika ada ta'arudl, maka hal pertama harus dijamak. Kalaupun harus ditarjih, maka harus sesuai dengan kaedah-kaedah tarjih. Dan qarinah pentarjihan hadits Abu sa'iid adalah kuat, karena ia menceritakan runutan peristiwa yang sedang dilihatnya dari awal hingga akhir peristiwa pembaiatan.

Juga, riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 14/567 no 38200 :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ ، عْن أَبِيهِ أَسْلَمَ ؛ أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلاَنِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَيُشَاوِرُونَهَا وَيَرْتَجِعُونَ فِي أَمْرِهِمْ ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ ، فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَاللهِ مَا مِنْ الْخَلْقِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيك ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيك مِنْك ، وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ الْبَيْتُ قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ جَاؤُوهَا ، فَقَالَتْ : تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي ، وَقَدْ حَلَفَ بِاللهِ لَئِنْ عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمَ الْبَيْتَ ، وَأَيْمُ اللهِ ، لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ ، فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata bahwasanya ketika bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah binti Rasulullah, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Ketika berita itu sampai kepada Umar bin Khaththab, ia bergegas keluar menemui Fatimah dan berkata ”wahai Putri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih kami cintai daripada Ayahmu dan setelah Ayahmu tidak ada yang lebih kami cintai dibanding dirimu tetapi demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika mereka berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar membakar rumah ini tempat mereka berkumpul”. Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berkata “tahukah kalian bahwa Umar telah datang kepadaku dan bersumpah jika kalian kembali ia akan membakar rumah ini tempat kalian berkumpul. Demi Allah ia akan melakukan apa yang ia telah bersumpah atasnya jadi pergilah dengan damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian kembali menemuiku”. Maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya sampai mereka membaiat Abu Bakar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/567 no 38200 dengan sanad shahih sesuai syarat Bukhari Muslim]

merupakan syahid yang sangat kuat dalam mendukung rangkaian peristiwa yang diceritakan Abu Sa'iid Al-Khudriy di atas.

[logika aneh : Ada yang mengatakan bahwa perkataan : 'Maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya sampai mereka membaiat Abu Bakar' --- tidak menunjukkan bahwa 'Aliy pergi berbaiat pada hari itu juga. Katanya, bisa jadi beberapa hari kemudian, atau seminggu, dan seterusnya. Kalau logika kita jalan, memangnya 'Aliy pergi dari rumah Faathimah itu berhari-hari ? Mau nginep dimana ? sedangkan waktu itu Faathimah sedang membutuhkan dirinya ('Aliy) karena kesedihannya ditinggal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ?. Tentu saja ia segera berbaiat, dan kemudian kembali lagi ke Faathimah untuk menghiburnya, juga menafkahi keluarganya].

So, ndak ada masalah dengan keshahihan riwayat maupun kesharihan dilalahnya.

Anonim mengatakan...

Artikel antum ada bantahan, ustadz. Sepertinya dari si syi'ah mpe-mpe' sendiri :

http://alfanarku.wordpress.com/2011/08/04/kapan-imam-ali-membaiat-abu-bakar-membantah-rafidhi-nashibi/#comment-937

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ada lagi bantahan mandul yang dikemukakan oleh orang Syi’ah itu. Inti bantahannya itu berputar pada bahasan sanad ‘aaliy dan naazil serta riwayat mursal dan maushul. Di awal bahasannya dulu telah saya lihat bahwa ia membahas jalan riwayat secara parsial, dan tidak memahami hakekat penguatan riwayat. Bahasannya terkesan detail, namun sebenarnya salah kaprah. Saya tanggapi secara ringkas sbb. :

1. Kasus menyisipkan lafadh dalam riwayat itu memang kebiasaan orang Syi’ah itu. Dapat saja ia berkilah bahwa sisipannya itu telah dijelaskan sebelumnya. Justru, sisipan atau idraj lafadh yang ia sampaikan itu merusak makna riwayat secara keseluruhan. Dan cara menyisipkan lafadh sendiri dalam lafadh hadits asli itu bukan metode ahli hadits. Tapi metode khas orang Syi’ah ini jika sudah kebingungan, seperti kasus riwayat Ibnu ‘Abbaas (lihat akhir komentar di : sini). Dla’iiif.

2. Orang Raafidliy itu tidak paham apa itu sanad ‘aaliy, apa itu sanad naazil, sehingga menghasilkan analisis yang ‘lucu’. Ia katakan bahwa Al-Haakim membawakan sanad yang panjang, maka ia sanad naazil, sedangkan Ahmad (5/185) dan yang lainnya yang membawakan sanad lebih pendek ia sebut sebagai ‘aaliy. Jadi sanad ‘aaliy dan sanad naazil menurut persepsinya karena faktor panjang dan pendeknya sanad, an sich. Inilah dia. Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits menjelaskan bahwa persepsi seperti ini adalah persepsi yang beredar di kalangan awam. Para ahli hadits dalam bahasan mereka, lebih banyak menguraikan pada sifat ‘ulluwul-isnaad-nya.

Al-Haakim membawakan riwayat dengan sanadnya dari Ja’far bin Muhammad dari ‘Affaan. Sama dengan Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan yang lainnya yang membawakan riwayat dari ‘Affaan. Para perawi setelah ‘Affaan sampai Abu Sa’iid dari dua jalan tersebut adalah sama. Maka sanad Al-Haakim ini muwaafaqah dengan sanadnya Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya, yang bertemu di ‘Affaan bin Muslim. Tidaklah disebut bahwa sanad Ahmad dkk. itu lebih ‘aaliy daripada sanad Al-Haakim berdasar jumlah perawi yang meriwayatkan sampai Abu Sa’iid. Di sini, sanad Ahmad, dan yang lainnya itu lebih ‘aaliy karena faktor kedekatan Ahmad kepada ‘Affaan dibandingkan Ja’far bin Muhammad (faktor kewafatan dan/atau penyimakan riwayat). Bukan sekedar faktor panjang pendeknya sanad, karena jelas bahwa ahli hadits yang hidup di masa lebih belakang secara umum mempunyai sanad yang lebih panjang dari ahli hadits yang hidup sebelumnya. Penjelasan tentang sanad ‘aaliy dan naazil ini secara lebih luas bisa dibaca dalam Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah Syarh Mandhuumah Al-Baiquuniyyah, hal. 189-203 atau dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits karya Al-Haakim hal. 112-129.

Ini hanya menjadi catatan, bahwasannya muhadditsiin tetap memperhatikan kitab-kitab hadits yang mempunyai rantai sanad panjang, terutama yang tertuang dalam kitab Shahih Ibni Khuzaimah, Shahih Ibni Hibbaan, kitab2 Al-Baihaqiy, dan Mustadrak Al-Haakim.

3. Menurut sangkaan orang Raafidliy itu, jika ada satu riwayat dengan sanad ‘aaliy menyebutkan satu lafadh yang lebih pendek; maka jika ada riwayat lain dengan sanad naazil membawakan riwayat tambahasan (ziyaadah); tambahan itu ditolak. Itulah sangkaannya. Padahal, para ulama tidak membahas sanad ‘aaliy dan naazil itu untuk menolak ziyaadah, karena ziyaadah ini harus dikembalikan pada kaedah-kaedahnya. Seandainya memang demikian, lantas apa gunanya para ulama membahas tentang ziyaadah (dalam matan) panjang lebar jika itu sudah selesai dari faktor ketinggian sanad ?. Sungguh miskin …… Memang benar, sanad ‘aaliy itu afdlal dibandingkan sanad naazil menurut jumhur ulama. Akan tetapi penggunaannya tidak seperti yang dilakukan oleh orang Raafidliy itu.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya telah menjaskan bahwa jika ada seorang yang perawi tsiqah lagi haafidh yang menyendiri dengan membawakan riwayat dengan tambahan dari seorang syaikh, maka diterima tambahan/ziyaadah-nya itu [Muqaddimah Shahih Muslim hal. 6]. Begitu juga yang diterangkan At-Tirmidziy dalam kitab Al-‘Ilal (hal. 899 – melalui Ziyaadatuts-Tsiqaat wa Mauqiful-Muhaddistiin, 1/30) saat membawakan ziyaadah Maalik dalam kasus hadits zakat fithr, dimana para ulama menerima ziyaadah Maalik ini. Namun, para ulama juga memberikan syarat tentang penerimaan ziyaadah ini – selain syarat perawi harus tsiqah - , maka ziyaadah ini tidak menafikkan atau bertentangan dengan riwayat jama’ah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Shalah. Dan inilah madzhab jumhur.

4. Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan yang lainnya dari ‘Affaan bin Muslim tidaklah memudlaratkan riwayat Ja’far bin Muhammad bin Syaakir dari ‘Affaan, sebab Ja’far adalah seorang yang disifati dengan ketsiqahan (sebagaimana dikatakan oleh Abul-Husain Al-Munaadiy dan Maslamah bin Al-Qaasim). Juga disifat dengan kedlabithan dan kemutqinan sebagaimana dikatakan oleh Al-Khathiib. Tidak ternukil satupun jarh yang dialamatkan kepadanya. Oleh karena itu, ziyaadah yang dibawakan olehnya adalah diterima, karena ziyaadah itu tidak menyelisihi atau menafikkan riwayat jama’ah.

5. Jika orang Raafidliy itu mengatakan bahwa riwayat Ja’far bin Muhammad dari ‘Affaan bersendirian (tafarrud), maka memang benar. Ia dalam periwayatan dari ‘Affaan bersendirian. Akan tetapi tidaklah selalu tafarrud itu wajib ditolak. Telah lalu penjelasan tentang penerimaan ziyaadatuts-tsiqaat. Dan yang menguatkan adanya penerimaan ini adalah bahwa Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy – dan ia seorang yang tsiqah lagi tsabat – meriwayatkan dari Wuhaib, dari Daawud, dari Abu Nadlrah dari Abu Sa''id dengan ziyaadah tersebut.

Walhasil, ziyaadah ini adalah diterima dan shahih dari jalur ‘Affaan bin Muslim dan Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy, dari Wuhaib, dari Daawud, dari Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid.

Ditambah lagi adanya riwayat mursal ‘Abdul-A’laa, dari Daawud, dari Abu Nadlrah (As-Sunnah no. 1292) yang menyebutkan adanya ziyaadah ini, yang juga dapat menguatkan riwayat ini --- yang akan saya jelaskan di no. 7.

6. Jika orang Syi’ah itu menempuh jalan tarjih, apakah riwayat Daawud dari Abu Nadlrah itu yang shahih : mursal ataukah maushul ?. Maka saya jawab, yang shahih adalah maushul, karena Wuhaib lebih tsiqah dan kredibel dibanding ‘Abdul-A’laa.

Perawi sanad mursal adalah ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa. Ia dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib sebagai seorang yang tsiqah. Jumhur ahli hadits juga mengatakannya tsiqah. Hanya saja An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits”. Ibnu Sa’d berkata : “Laisa bil-qawiy”. Perkataan Ibnu Sa’d ini dibantah Ibnu Hajar karena menyelisihi jumhur ulama yang mentautsiqnya, dan kemudian ia menjelaskan bahwa kemungkinan jarh ini karena faktor pemikiran qadariy-nya. Ahmad dalam Suaalat Abi Daawud (no. 530) mengatakan bahwa dalam hapalannya ada percampuran. Dan Abu Daawud dalam Suaalat Al-Aajurriy (no. 264) mengatakan bahwa ‘Abdul-A’laa ini berubah hapalannya saat peristiwa haziimah. Dari sini nampak bahwa jarh Ibnu Sa’d kepada ‘Abdul-A’laa itu kemungkinan besar bukan disebabkan karena faktor qadariy-nya (sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar), akan tetapi karena faktor hapalannya.

Namun apapun itu, kritik sebagian ulama dalam faktor hapalannya tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Ia tetaplah seorang yang tsiqah, bersamaan sedikit kritikan dari hapalannya.

Kemudian, mari kita bandingkan dengan perawi yang meriwayatkan secara maushul.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ia adalah Wuhaib bin Khaalid, ia adalah seorang tsiqah lagi tsabat. Bahkan, para ulama memujinya dengan pujian yang tinggi. Di antaranya Abu Haatim yang mengatakan bahwa tidak ada orang setelah Syu’bah yang mengetahui tentang ilmu rijaal (dan hadits) dibanding ia. Senada dengan yang dikatakan Ibnu Mahdiy. Ibnu Hibbaan mengatakan : mutqin. Ahmad, selain mentsiqahkannya, jika Ismaa’iil bin Ibraahiim bin ‘Ulayyah dan Wuhaib berselisihan, ia mendahulukan Wuhaib dalam segala hal (baik dari faktor hapalannya, ketsabatannya, dan yang lainnya). Padahal, Ibnu ‘Ulayyah adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh (At-taqriib). Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah lagi tsabt”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, katsiirul-hadiits, hujjah”. Di lain tempat ia berkata bahwa ia lebih haafidh dari Abu ‘Awaanah. Ibnu Ma’iin ketika ditanya siapakah syuyuukh orang-orang Bashrah yang paling tsabt ?. Ia menjawab pada kali pertama : “Wuhaib” – dan kemudian menyebutkan nama-nama lain. Abu Haatim berkata bahwa ia adalah orang keempat di antara huffadh Bashrah”.


Sepengetahuan saya, tidak ternukil adanya jarh padanya kecuali Abu Daawud : “berubah hapalannya, tsiqah”. Perkataan inilah yang kemudian diadopsi Ibnu Hajar dengan mengatakan : “Tsiqah lagi tsabat, namun sedikit berubah hapalannya di akhir hayatnya”.

Apakah perkataan berubah hapalannya itu merusak riwayat yang dibawakannya dalam bahasan ini ?. Jawabnya tidak. Mengapa ?. Telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqah, yaitu ‘Affaan bin Muslim dan Abu Hisyaam Al-Makhzuumiy, keduanya seorang yang tsiqah lagi tsabat (At-Taqriib). Dua saksi ini cukup kuat menunjukkan bahwa riwayat Wuhaib ini akurat.

[Ditambah lagi dengan riwayat (yang tanpa ziyaadah) dari Ath-Thayalisiy no. 603 dari Wuhaib semakin menambah kekuatannya. Mungkin saya perlu pasang kuda-kuda, bahwa barangkali orang Raafidlah itu akan menjawab bahwa riwayat Ath-Thayalisiy itu tanpa ziyaadah, maka bisa dipakai untuk penguat ?. Maka saya katakan : Yang dijadikan I’tibar di sini adalah kemaushulan sanadnya. Dikarenakan ziyaadah yang telah dibahas adalah diterima, maka sanad maushul Ath-Thayalisiy ini dapat dipakai karena hakekatnya ia satu dengan riwayat Al-Haakim, Al-Baihaqiy, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan yang lainnya. Hanya saja mereka berbeda dalam kesempurnaan lafadh periwayatannya yang kesemuanya saling melengkapi].

Ringkas kata, riwayat Wuhaib dari Daawud secara maushul inilah yang terjaga lagi shahih.

Maka, riwayat ‘Abdul-A’laa yang mursal tadi justru diperbaiki dan dibawa ke yang maushul sehingga menguatkan riwayat Wuhaib; sebagaimana saya singgung di akhir point 6.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

7. Kemudian tentang pembahasan riwayat yang berporos pada Al-Jurairiy. Terdapat perselisihan antara riwayat ‘Aliy bin ‘Aashim dengan Hammaad bin Salamah. Saya telah katakan bahwa dua jalur ini sama-sama kurang kuat. Dan saya telah katakan bahwa riwayat Al-Jurairiy yang mursal ini lemah karena faktor Al-Balaadzuriy.

Orang Syi'ah itu katakan bahwa tidak ada ulama yang mencela Al-Balaadzuriy. Bukankah ia sendiri pernah membaca (saya harapkan begitu) dalam Taariikh Ibni ‘Asaakir bahwa Al-Balaadzuriy sebenarnya seorang sastrawan, yang kemudian tertimpa was-was di akhir hayatnya ?. Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar. Adapun pernyataan yang terdapat Mu’jamul-Adbaa’ (2/50) - yang kemudian dinukil ulama setelahnya - bahwa ia seorang yang ‘aalim, faadlil, dan mutqin; maka ini perlu dicermati. Kemungkinan ini disebabkan karena ijtihad penulisnya (Yaquut Al-Himawiy) yang menafikkan bahwa ia telah meminum balaadzur, dan mentarjih bahwa yang meminum kakeknya (dengan alasan : kakeknya juga mempunyai julukan Al-Balaadzuriy). Padahal, para ulama sebelum Al-Himawiy, seperti Ibnu Nadiim, Ibnu ‘Asaakir, dan Al-Marzabaaniy menyebutkan bahwa Al-Balaadzuriy tertimpa was-was karena meminum balaadzur. Al-Marzabaaniy mengatakan bahwa akalnya menjadi rusak karenanya (sebagaimana disebutkan Taariikh Islam-nya Adz-Dzahabiy). Tidak ada ulama sebelum dirinya - setahu saya - yang menyifati dengan apa yang dikatakannya itu kepada Al-Balaadzuriy. Adz-Dzahabiy berkata bahwa Al-Balaadzuriy ini meminum balaadzur demi hapalannya. Adapun alasan bahwa kakeknya juga berjuluk Al-balaadzuriy, maka ini sangat mungkin. Sebab selain Ahmad bin Yahyaa dan kakeknya yang berjuluk Al-Balaadzuriy, Ahmad bin Muhammad Ath-Thuusiy, Al-Qaasim bin ‘Aliy, dan yang lainnya juga berjuluk Al-Balaadzuriy. Jika demikian, bagaimana ia bisa disebut sebagai seorang ‘aalim, faadlil, dan mutqin ?.

Saya tidak mengatakan bahwa riwayatnya dla’if secara mutlak, namun riwayat Al-Balaadzuriy ini adalah hasan jika tidak ada penyelisihan.

Kemudian orang Syi’ah itu mengatakan dalam bantahannya bahwa riwayat Hammaad bin Salamah itu dikuatkan oleh Ibnu ‘Ulayyaah yang sama-sama meriwayatkan secara mursal.

Menurut saya ini kurang akurat. Makanya, pada komentar sebelumnya saya tidak terlalu memperhatikan hal itu. Kenapa ? Karena lafadh yang dibawakan Ibnu ‘Ulayyah dari Abu Nadlrah berbeda, sehingga riwayatnya itu bersifat muhtamal, yang bisa diasumsikan merupakan riwayat lain yang bukan merupakan mutaba’ah bagi Hammaad. Bandingkan dengan riwayat Hammaad bin Salamah dan ‘Aliy bin ‘Aashim yang meriwayatkan dengan perincian kisah. Dalam As-Sunnah no. 1293, Abu Nadlrah berkata :

‘Aliy dan Az-Zubair menangguhkan baiat kepada Abu Bakr. Lalu Abu Bakr menemuinya dan berkata : ‘Wahai ‘Aliy, engkau menangguhkan untuk berbaiat kepadaku sedangkan aku masuk Islam sebelum engkau’. Kemudian ia menemui Az-Zubair dan berkata : ‘Wahai Zubair, engkau menangguhkan untuk berbaiat kepadaku padahal aku masuk Islam sebelummu”.

Jika orang Raafidlah itu seenaknya saja mengatakan ini ma’lul itu ma’lul karena adanya perbedaan lafadh, coba Anda bandingkan dengan riwayat Ibnu ‘Ulayyah dengan Hammaad bin Salamah dan ‘Aliy bin ‘Aashim dari Al-Jurairiy !. Saya persilakan orang Raafidliy itu menyebutkan ma’lulnya riwayat yang ia bela berdasarkan alasannya sendiri ?! - sebagaimana komentarnya atas riwayat Ja’far bin Muhammad dan Abu Hisyaam.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam riwayat yang ada dalam bahasan ini (yang mursal atau maushul) disebutkan bahwa ‘Aliy dan Az-Zubair itu dijemput dan didatangkan kepada Abu Bakr di hadapan para shahabat lain. Adapun riwayat Ibnu ‘Ulayyah disebutkan bahwa Abu Bakr menemui atau bertemu ‘Aliy dan Abu Bakr (yaitu dengan menggunakan lafadh : لقي). Tentu saja taste konteks haditsnya sangat berbeda. Taste kalimat ini adalah bahwa Abu Bakr menemui atau bertemu dengan ‘Aliy atau Az-Zubair adalah seorang diri. Ditambah lagi pertanyaan yang diajukan Abu Bakr kepada ‘Aliy dan Az-Zubair dalam riwayat Ibnu ‘Ulayyah ini juga berbeda.

Seandainya kita anggap bahwa benar riwayat Ibnu ‘Ulayyah dapat menjadi muttabi’ bagi Hammaad bin Salaamah, maka, yang manakah lafadh mursal yang mahfudh dari Al-Jurairiy?. Punyanya Ibnu ‘Ulayyah atau Hammaad ?. [Coba kita ingat metode orang Syi’ah ini dalam menimbang-nimbang riwayat, antara yang panjang dan yang pendek].

Seandainya kita anggap bahwa bahwa riwayat Hammaad itu sebagai ziyaadah bagi lafadh Ibnu ‘Ulayyaah, bukankah persyaratan ziyaadah itu adalah perawinya tsiqaat dan lafadhnya tidak ada pertentangan ?. Di sini, riwayat Al-Balaadzuriy lebih lemah karena faktor Al-Balaadzuriy sendiri. Juga, lafadh keduanya berlainan.

Seandainya riwayat Al-Baladzuriy itu juga kuat, maka bagaimana kita menjamak atau mentarjih matannya dengan lafadh Ibnu ‘Ulayyah ?.

Seandainya kita tidak memperhatikan matannya, yang penting adalah sanadnya yang mursal, maka di sini kita dihadapkan oleh riwayat Daawud bin Abi Hind dari Abu Nadlrah yang maushul, dengan riwayat Al-Jurairiy dari Abu Nadlrah yang mursal, maka mana yang lebih kuat ?.

Daawud bin Abi Hind adalah seorang yang tsiqah lagi mutqin. Di antara ulama yang memberikan pujian tinggi kepadanya : Ahmad bin hanbal berkata : “Tsiqatun tsiqah”. Al-‘Ijliy : “Tsiqah, jayyidul-isnaad, rafii’”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, katsiirul-hadiits”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Hibbaan : “Termasuk mutqiniin dalam riwayat”. Adapun kritik Abu Daawud, maka itu tidak memudlaratkannya [lihat komentar dalam Tahriirut-Taqriib, 1/378 – dan ditaqrir tanpa mendapat kritikan oleh Dr. Maahir Al-Fakhl dalam Kasyful-Iihaam]. Dan kritik Ahmad bahwa ia Daawud bin Abi Hind banyak idthiraab dan khilaaf (Tahdziibut-Tahdziib), maka riwayat ini syaadz menyelisihi jumhur riwayat Ahmad yang lainnya. Di atas telah disebutkan bahwa Ahmad berkata : Tsiqatun tsiqah”. Di lain tempat ia berkata : “Orang seperti Daawud masih ditanya ? (maksudnya, ia tsiqah, tidak perlu ditanya lagi)”. Di lain tempat ia berkata : “Daawud dan Zakariyya bin Zaaidah adalah sama”. Sedangkan Zakariyyaa menurut Ahmad adalah tsiqah.

Sedangkan Al-Jurairiy hanyalah seorang tsiqah saja sebagaimana disebutkan jumhur ulama. Adapun sebagian yang mendla’ifkannya, maka itu karena ikhtilaath-nya. Ibnu ‘Ulayyah dan Hammaad meriwayatkan dari Al-Jurairiy sebelum ikhtilaathnya.

Jadi, jika ditarjih, riwayat maushul lebih kuat daripada riwayat mursal.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

8. Merujuk perkataan ulama mutaqaddimiin, maka riwayat maushul inilah yang dishahihkan oleh Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Haakim. Dan Ibnu Katsiir menyepakati riwayat mahfudh dari Abu nadlrah dari Abu sa’iid dengan tambahan lafadh ini. Saya kira ini sudah cukup bagi kita, karena mutaqaddimiin lebih tahu tentang sanad hadits daripada muta’khkhriin.

9. Perkataannya bahwa terjadi campur aduk dari hapalan perawi, itu hanyalah dugaan dan kemungkinan semata, karena tidak memperhatikan kaedah-kaedah ilmu riwayat sebagaimana telah lewat penulisannya di atas.

10. Perkataannya :

“Jika kita perhatikan kedua riwayat Al Hakim dan Baihaqi maka disebutkan bahwa kisah pembaiatan Ali dan Zubair terjadi ketika Abu Bakar telah berdiri di atas mimbar Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Mimbar tersebut berada di masjid Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] dan kamar Aisyah tepat bersebelahan letaknya. Sungguh tidak bisa dipercaya peristiwa itu tidak disaksikan oleh Aisyah kalau memang pernah terjadi”.

Ia memang terbiasa tidak percaya pada sesuatu yang sangat layak dipercaya. Bagaimana dia katakan tidak mungkin ?. Kamar Rasulullah/’Aaisyah memang terletak di samping masjid/berbatasan langsung dengan masjid. Akan tetapi, rumah beliau itu selalu tertutup dengan kain wol dan tidak dibuka kecuali jika ada hajat. Bukankah sudah turun ayat hijab ?. Dan waktu itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, sedangkan ‘Aaisyah tidak pernah keluar sama sekali dari kamarnya untuk menunggu beliau. Apalagi memang ada larangan untuk keluar. Mendengar mungkin, tapi kalau melihat, rasanya tidak didasarkan kondisi waktu itu. Apalagi telah shahih riwayat Abu Sa’iid yang menetapkan adanya baiat sebagaimana di atas.

11. Tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah. Orang Syi'ah itu berkata :

Perhatikan lafaz “janganlah kalian kembali menemuiku” itu menunjukkan bahwa mereka yang dimaksud tidak diinginkan oleh Sayyidah Fathimah untuk kembali menemuinya lagi di rumahnya. Mereka ini jelas tertuju pada orang-orang yang berkumpul di rumahnya selain Imam Ali. Sangat tidak mungkin kalau Sayyidah Fathimah juga mengusir Imam Ali dari rumahnya dan melarangnya untuk kembali ke rumahnya sendiri. Orang yang mengatakan Imam Ali ikut diusir keluar oleh Sayyidah Fathimah sangat jelas kenashibiannya. Jadi mereka yang membaiat itu adalah mereka yang memang diusir Sayyidah Fathimah dari rumahnya dan Imam Ali tidak termasuk di dalamnya”.

Inilah letak bagaimana sebenarnya posisinya dalam penyikapan riwayat. Ia telah menjustifikasi tidak mungkin, sehingga segala sesuatu yang mengarah ke ‘Aliy, ia katakan tidak mungkin. Ini akibat doktrin kesyi'ahan yang cukup akut.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Orang yang tahu bahasa Arab atau cuma sekedar bahasa terjemahan Indonesia pun tahu bahwa bahwa yang dimaksudkan Faathimah adalah orang yang berkumpul di rumahnya. Orang Syi'ah itu pura-pura tidak memperhatikan konteks riwayat. Jelas sekali kedatangan ‘Umar ke rumah Faathimah dikarenakan ‘Aliy dan Az-Zubair tidak kelihatan berbaiat dan ia mendengar bahwa mereka berdua ada di rumah Faathimah. Lalu ‘Umar mengancam. Saat ‘Umar pergi, maka orang yang berkumpul di rumah Faathimah (yang tidak lain adalah ‘Aliy dan Az-Zubair) kembali menemui Fathimah, lalu Faathimah berkata :

“tahukah kalian bahwa Umar telah datang kepadaku dan bersumpah jika kalian kembali ia akan membakar rumah ini tempat kalian berkumpul. Demi Allah ia akan melakukan apa yang ia telah bersumpah atasnya jadi pergilah dengan damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian kembali menemuiku”.

Siapakah yang disuruh Faathimah untuk pergi ? Tentu saja yang barusan datang. Dan tentu saja itu Az-Zubair dan ‘Aliy. Alasannya jelas, yaitu ‘Umar mengancam akan membakar rumah yang menjadi tempat orang-orang yang tidak berbaiat berkumpul. Lalu perawi pun melaporkan bahwa ‘mereka’ – setelah disuruh Faathimah pergi untuk berbaiat - tidak kembali sebelum berbaiat kepada Abu Bakr. Siapakah mereka itu ? Tentu saja ‘Aliy dan Az-Zubair. Orang Syi’ah ini mengecualikan sesuatu tanpa dalil, baik dalil bahasa atau riwayat. Kecuali….. ‘Aliy itu harus ma’shum,….. ‘Aliy itu pokoknya tidak berbaiat pada hari itu, titik.

Jika demikian, maka selamanya ia tidak akan mengakui bahwa ‘Aliy itu berbaiat pada Abu Bakr waktu awal,…. apapun keadaan riwayatnya, karena ia sudah menganggap satu ketidakmungkinan. Payah !

Ya sudah…. Silakan Anda bermimpi dengan ketidakmungkinan itu.

Itu saja yang dapat saya tanggapi….

Anonim mengatakan...

ya memang si SP (dokter bharma lulusan FK unsri) yg agak skizofrenik ini memang g berhenti mencela para sahabat.
syukron ust atas sanggahan antum.

Anonim mengatakan...

OOOKKeeeyy BBaaannngggaaattt ustadz artikel dan sanggahan ustadz yang ada di kolom komentar...

namun ustadz, coba lihat ini...
"Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat." (dikutip dari artikel yang berjudul -Ba'iat Secara Syar'i Dan Kebiasaan Tidaklah Diberikan Kecuali Kepada Amirul Mukminin Dan Khalifah-. ditulis oleh Syaikh Ali Hasan.) sumber :: http://almanhaj.or.id/content/243/slash/0/baiat-secara-syari-dan-kebiasaan-tidaklah-diberikan-kecuali-kepada-amirul-mukminin-dan-khalifah/

yusuf mengatakan...

kutipan dari anonim di atas ada catatan kakinya sbb:

[10]. Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani

kalau melihat catatan kakinya (no. 10) apakah itu membantah kalimat "beliau tidak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun" ?