Haramnya Musik dan Ijmaa’


Permasalahan hukum musik adalah permasalahan yang telah dibahas para ulama kita semenjak dulu hingga sekarang. Dalam blog ini telah dibahas apa hukum musik dan nyanyian. Adapun sekarang, apakah benar bahwasannya larangan musik merupakan ijma’ di kalangan ulama ? Sebagian besar rekan-rekan tentu akrab dengan pernyataan ijma’ tentang pengharamannya. Adapun selain itu – taruhlah kita memakai termin yang seringkali dipakai di grassroot : ‘non salafiy’ (= yang sependapat dengan Dr. Yuusuf Al-Qaraadlawiy dan yang semisal dengannya) – berpendapat tidak terjadi ijma’.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وأما الالات فسيأتى الكلام على اختلاف العلماء فيها عند الكلام على حديث المعازف في كتاب الأشربة وقد حكى قوم الإجماع على تحريمها وحكى بعضهم عكسه وسنذكر بيان شبهة الفريقين إن شاء الله تعالى ولا يلزم من إباحة الضرب بالدف في العرس ونحوه إباحة غيره من الالات كالعود ونحوه
“Adapun alat musik, maka akan datang perkataan tentang ikhtilaaf para ulama padanya terhadap bahasan hadits ma’aazif dalam kitab Al-Asyribah (dalam Shahih Al-Bukhaariy – Abul-Jauzaa’). Sekelompok ulama mengatakan adanya ijmaa’ pengharamannya. Namun sebagian yang lain mengatakan sebaliknya. Dan akan kami sebutkan penjelasan syubhat dua kelompok tersebut, insya Allahu ta’ala. Dan tidaklah melazimkan kebolehan memukul duff sewaktu pernikahan dan yang semisalnya dengan kebolehan memukul selain duff dari macam alat-alat musik seperti ‘uud (semacam kecapi) dan yang semisalnya” [Fathul-Baariy, 3/371].
Mafhum yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di atas adalah bahwa Ibnu Hajar mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama selain klaim ijma’ dalam permasalahan hukum musik dan nyanyian. Wallaahu a’lam.
Di antara ulama yang menetapkan adanya ijma’ antara lain Abu Bakr Al-Aajurriy (w. 360 H), Abuth-Thayyib Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy (450 H), Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463 H), Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy (w. 540 H), Ibnush-Shalaah (w. 643 H), Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy (w. 656 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Taajuddiin As-Subkiy (w. 756 H), Ibnu Rajab (w. 795 H), Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w. 974 H), dan yang lainnya dari kalangan ulama kontemporer.[1]
Adapun Asy-Syaukaaniy – dan ia orang yang paling menonjol dalam hal ini – menyebutkan pendapat yang ‘menyelisihi’ ijma’ tersebut dalam bukunya Nailul-Authaar :
وذهب أهل المدينة ومن وافقهم من علماء الظاهر وجماعة من الصوفية إلى الترخيص في السماع ولو مع العود واليراع وقد حكى الأستاذ أبو منصور البغدادي الشافعي في مؤلفه في السماع أن عبد اللّه بن جعفر كان لا يرى بالغناء بأسًا ويصوغ الألحان لجواريه ويسمعها منهن على أوتاره وكان ذلك في زمن أمير المؤمنين علي رضي اللّه عنه‏.‏ وحكى الأستاذ المذكور مثل ذلك أيضًا عن القاضي شريح وسعيد بن المسيب وعطاء بن أبي رباح والزهري والشعبي‏.‏
وقال إمام الحرمين في النهاية وابن أبي الدم نقل الأثبات من المؤرخين أن عبد اللّه بن الزبير كان له جوار عوادات وأن ابن عمر دخل عليه وإلى جنبه عود فقال ما هذا يا صاحب رسول اللّه فناوله إياه فتأمله ابن عمر فقال هذا ميزان ، قال ابن الزبير‏:‏ يوزن به العقول‏.
وروى الحافظ أبو محمد ابن حزم في رسالته في السماع سنده إلى ابن سيرين قال‏:‏ إن رجلا قدم المدينة بجوار فنزل على عبد اللّه بن عمر وفيهن جارية تضرب فجاء رجل فساومه فلم يهو منهن شيئًا قال انطلق إلى رجل هو أمثل لك بيعًا من هذا قال من هو قال عبد اللّه بن جعفر فعرضهن عليه فأمر جارية منهن فقال لها خذي العود فأخذته فغنت فبايعه ثم جاء إلى ابن عمر إلى آخر القصة‏.‏
وروى صاحب العقد العلامة الأديب أبو عمر الأندلسي أن عبد اللّه بن عمر دخل على أبي جعفر فوجد عنده جارية في حجرها عود ثم قال لابن عمر هل ترى بذلك بأسًا قال لا بأس بهذا وحكى الماوردي عن معاوية وعمرو بن العاص أنهما سمعا العود عند ابن جعفر‏.‏
Penduduk Madinah dan orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan ulama Dhaahiriyyah dan kelompok Shuufiyyah berpendapat diberikanannya keringanan dalam masalah nyanyian (simaa’) meskipun diiringi ‘uud dan yaraa’ (seruling). Dan Al-Ustaadz Abu Manshuur Al-Baghdaadiy Asy-Syaafi’iy dalam bukunya tentang masalah simaa’ meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak mengapa tentang nyanyian dan membolehkan budak-budak perempuannya untuk memainkan musik sedangkan ia sendiri mendengarkan mereka dengan alat musik yang dimainkannya. Itu terjadi pada jaman Amiirul-Mukminiin ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Abu Manshuur juga meriwayatkan hal yang serupa dengan itu dari Al-Qaadliy Syuraih, Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, Az-Zuhriy, dan Asy-Sya’biy. Telah berkata Al-Imaam Al-Haramain dalam An-Nihaayah dan Ibnu Abid-Damm yang menukil adanya penetapan dari kalangan muarrikhiin bahwasannya ‘Abdullah bin Az-Zubair mempunyai budak yang memainkan ‘uud. Dan bahwasannya Ibnu ‘Umar masuk menemuinya dimana di sisinya terdapat ‘uud, lalu Ibnu ‘Umar berkata : “Apa ini wahai shahabat Rasulullah – shallallaahu ‘alaihi wa sallam - ?”. Lalu Ibnuz-Zubair mengambikan untuknya. Lalu Ibnu ‘Umar merenungkannya dan berkata : “Ini adalah miizaan (timbangan) orang Syaam”. Ibnuz-Zubair berkata : “Yang akan menyeimbangkan akal”.
Dan diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Muhammad bin Hazm dalam risalahnya tentang masalah nyanyian dengan sanad sampai pada Ibnu Siiriin, ia berkata : ‘Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang ke Madiinah bersama budak-budak perempuannya, lalu ia menemui ‘Abdullah bin ‘Umar. Di antara budak-budak itu ada yang bisa memukul (alat musik). Datanglah seorang laki-laki, lalu si pemilik budak menawarkan budak-budak perempuan itu kepadanya (untuk dibeli), namun ternyata laki-laki tersebut tidak merasa cocok dengan mereka. Namun ia berkata : ‘Pergilah engkau ke seseorang yang ia  sama sepertimu dalam penjualan daripada ini’. Ia berkata : ‘Siapakah ia ?’. Orang itu menjawab : ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu laki-laki pemilik budak tadi pergi menawarkannya kepada ‘Abdullah bin Ja’far. Lalau ‘Abdullah memerintahkan salah seorang budak tersebut, dan berkata : ‘Ambillah ‘uud’. Budak perempuan itu pun mengambilnya lalu bernyanyi. Maka ‘Abdullah bin Ja’far membelinya, kemudian mendatangi Ibnu ‘Umar…. hingga akhir kisah.[2]
Dan diriwayatkan pula oleh penulis kitab Al-‘Aqd Al-‘Allamah Al-Adiib Abu ‘Umar Al-Andalusiy : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah masuk menemui ‘Abdullah bin Ja’far. Lalu ia mendapatinya bersama seorang budak wanita di kamarnya dengan ‘uud. ‘Abdullah bin Ja’far berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Apakah engkau memandang hal itu tidak apa-apa ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa”. Al-Maawardiy meriwayatkan dari Mu’aawiyyah dan ‘Amru bin Al-‘Aash bahwasannya mereka berdua mendengarkan ‘uud di sisi Ibnu Ja’far….” [selengkapnya dalam Nailul-Authaar, 9/100-101, Maktabah Ad-Da’wah Al-Islaamiyyah].
Kemudian Asy-Syaukaaniy menyebutkan daftar siapa-siapa saja yang membolehkan musik dan nyanyian dengan menukil perkataan Ibnun-Nahwiy :
قال ابن النحوي في « العمدة » : وقد روى الغناء وسماعه عن جماعة من الصحابة والتابعين , فمن الصحابة عمر - كما رواه ابن عبد البر وغير- وعثمان - كما نقله الماوردى وصاحب البيان والرافعى - وعبد الرحمن بن عوف كما رواه ابن أبى شيبة - وأبو عبيدة بن الجراح - كما أخرجه البيهقى- وسعد بن أبى وقاص - كما أخرجه ابن قتيبة - وأبو مسعود الأنصاري - كما أخرجه البيهقى - وبلال وعبد الله بن الأرقم وأسامة بن زيد - كما أخرجه البيهقى أيضا - وحمزة كما في الصحيح - وابن عمر - كما أخرجه ابن طاهر - والبراء بن مالك - كما أخرجه أبو نعيم - وعبد الله بن جعفر - كما رواه ابن عبد البر - وعبد الله بن الزبير - كما نقل أبو طالب المكى - وحسان - كما رواه أبو الفرج الأصبهانى - وعبد الله بن عمرو - كما رواه الزبير بين بكار - وقرظة بن كعب - كما رواه ابن قتيبة - وخوات بن جبير ورباح المعترف كما أخرجه صاحب الأغاني - والمغيرة بن شعبة - كما حكاه أبو طالب المكى- وعمرو بن العاص - كما حكاه الماوردى - وعائشة والربيع - كما في صحيح البخاري وغيره .
وأما التابعون فسعيد بن المسيب , وسالم بن عبد الله بن عمر , وابن حسان , وخارجة بن زيد , وشريح القاضى , وسعيد بن جبير , وعامر الشعبي , وعبد الله ابن أبى عتيق , وعطاء بن أبى رباح , ومحمد بن شهاب الزهري , وعمر بن عبد العزيز , وسعد بن إبراهيم الزهري .
وأما تابعوهم , فخلق لا يحصون , منهم : الأئمة الأربعة , وابن عيينة , وجمهور الشافعية
“Telah berkata Ibnun-Nahwiy dalam Al-‘Umdah : Dan telah diriwayatkan tentang kebolehan nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok shahabat dan tabi’iin. Dari kalangan shahabat : ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya -, ‘Utsmaan - sebagaimana dinukil Al-Maawardiy dan penulis kitab Al-Bayaan dan Ar-Raafi’iy - , ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarraah – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Sa’d bin Abi Waqqaash – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah - , Abu Mas’uud Al-Anshaariy – sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy - , Bilaal, ‘Abdullah bin Arqam, Usaamah bin Zaid – sebagaimana diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy - , Hamzah – sebagaimana dalam kitab Ash-Shahiih - , Ibnu ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Thaahir - , Al-Barraa’ bin Maalik – sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim - , ‘Abdullah bin Ja’far – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr - , ‘Abdullah bin Az-Zubair – sebagaimana dinukil oleh Abu Thaalib Al-Makkiy - , Hassaan – sebagaimana diriwayatkan oleh Abul-Farj Al-Ashbahaaniy - , ‘Abdullah bin ‘Amru – sebagaimana diriwayatkan oleh Az-Zubair bin Bakkaar - , Qaradhah bin Ka’b – sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah, Khawaat bin Jubair, Rabbaah bin Al-Mu’tarif – sebagaimana diriwayatkan oleh penulis kitab Al-Aghaaniy - , Al-Mughiirah bin Syu’bah – sebagaimana dihikayatkan oleh Abu Thaalib Al-Makkiy, ‘Amru bin Al-‘Aash – sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Maawardiy - , ‘Aaisyah, Ar-Rabii’ – sebagaimana terdapat dalam Shahih Al-Bukhaariy dan yang lainnya.
Dari kalangan taabi’iin : Sa’iid bin Al-Musayyib, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Ibnu Hassaan, Khaarijah bin Zaid, Syuraih Al-Qaadliy, Sa’iid bin Jubair, ‘Aamir Asy-Sya’biy, ‘Abdullah bin Abi ‘Atiiq, ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, Muhammad bin Syihaab Az-Zuhriy, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dan Sa’d bin Ibraahiim Az-Zuhriy.
Adapun dari kalangan yang mengikut mereka tidak terhitung jumlahnya, diantaranya : imam yang empat, Ibnu ‘Uyainah, dan jumhur Syaafi’iyyah” [lihat : Nailul-Authaar, 8/101-102].
Bahkan ia (Asy-Syaukaaniy) menulis buku khusus yang berjudul : Ibthaalu Da’waa Al-Ijmaa’ ‘alaa Tahriimi Muthlaqis-Simaa’.
Adz-Dzahabiy berkata :
قال ابن معين: كنا نأتي يوسف بن الماجشون يحدثنا، وجواريه في بيت آخر يضربن بالمعزفة.
قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء، هم معروفون بالتسمح فيه.
“Ibnu Ma’iin berkata : ‘Kami pernah mendatangi Yuusuf bin Al-Maajisyuun lalu ia meriwayatkan hadits kepada kami. Budak-budak perempuannya di rumahnya yang lain saat itu sedang memukul alat musik’. Aku (Adz-Dzahabiy) berkata : ‘Penduduk Madiinah memberikan rukhshah/kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 8/372. Lihat pula : Tahdziibut-Tahdziib 11/430].
Al-Khaliiliy berkata : “Ia (Ibnul-Maajisyuun) dan saudara-saudara laki-lakinya memberikan rukhshah dalam masalah simaa’” [Tahdziibut-Tahdziib, 11/430].
Yuusuf bin Al-Maajisyun, lengkapnya adalah Yuusuf bin Ya’quub bin Abi Salamah Al-Maajisyuun, Abu Salamah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 185 H), dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [lihat biografinya dalam Tahdziibul-Kamaal 32/479-482 no. 7166 dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 8/371-373 no. 110].
Ibnu Ma’iin saat mengomentari Ibnul-Maajisyuun berkata : “Tsiqah”. Di riwayat lain : “Shaalih”.  Di riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”.
Nampaknya, Ibnu Ma’iin tidak menggugurkan ‘adalah Ibnul-Maajisyuun dalam periwayatan hadits karena membolehkan mendengarkan nyanyian dan alat musik, wallaahu a’lam.
Tentang penukilan Asy-Syaukaaniy dari Ibnun-Nahwiy rahimahumallah tentang daftar para shahabat dan ulama setelahnya yang membolehkan nyanyian dan musik, tidak diragukan lagi beberapa di antaranya tidaklah akurat.
Misalnya penisbatan kepada ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu. Ini jelas keliru, sebab telah tetap adanya riwayat darinya yang berseberangan dengan itu :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زُهَيْرٍ التُّسْتَرِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، ثنا أَبُو يَحْيَى الْحِمَّانِيُّ، ثنا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ أَبِي الْمُسَاوِرِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، عَنْ عُثْمَانِ، قَالَ : فَوَاللَّهِ مَا تَغَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ وَلا مَسِسْتُ فَرْجِي بِيَمِينِي مُنْذُ أَسْلَمْتُ أَوْ مُنْذُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuahir At-Tustariy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid bin Tsa’labah : Telah menceritakan kepada kami Abu Yahyaa Al-Himmaaniy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Abil-Musaawir, dari Asy-Sya’biy, dari Zaid bin Al-Arqam, dari ‘Utsmaan, ia berkata : “…Demi Allah, aku tidak pernah menyanyi, berangan-angan, dan menyentuh farjiku dengan tangan kananku sejak aku masuk Islam atau sejak aku berbaiat kepada Rasulullah shallallaaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 5/192-193; hasan].
Juga penisbatan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
Ini selaras dengan riwayat :
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَمَخْلَدُ بْنُ يَزِيدَ، أَخْبَرَنَا سَعِيدٌ، الْمَعْنَى، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، " سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَهُوَ يَقُولُ: يَا نَافِعُ، أَتَسْمَعُ؟ فَأَقُولُ: نَعَمْ، قَالَ: فَيَمْضِي، حَتَّى قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَوَضَعَ يَدَيْهِ، وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ، وَقَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا "
Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz dan Makhlad bin Yaziid; Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’’id dengan makna, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Naafi’ maulaa Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengar suara seruling yang ditiup oleh seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya (untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan (menghindari suara tersebut). Ibnu ’Umar berkata : ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengarnya ?”. Maka aku berkata : ”Ya”. Maka ia terus berlalu hingga aku berkata : ”Aku tidak mendengarnya lagi”. Maka Ibnu ’Umar pun meletakkan tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling melakukannya demikian” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/38. Diriwayatkan pula 2/8, Abu Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri dalam Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya. Shahih].
Juga penisbatan kepada imam empat.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Haniifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Dan beliau menjadikan perbuatan mendengarkan nyanyian termasuk di antara dosa-dosa…” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
حدثني أبي، قال: حدثنا إسحاق بن الطباع، قال: سألت مالك بن أنس عما يترخص فيه بعض أهل المدينة من الغناء، فقال: إنما يفعله عندنا الفساق.
“Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ath-Thabbaa’, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Maalik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan penduduk Madiinah, maka ia menjawab : “Hal itu bagi kami hanyalah dilakukan oleh orang-orang fasiq” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-‘Ilal, no. 1499; shahih].
وَأَخْبَرَنِي زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَرُورِيِّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، قَالَ: " تَرَكْتُ بِالْعِرَاقِ شَيْئًا يُسَمُّونَهُ التَّغْبِيرَ، وَضَعَتْهُ الزَّنَادِقَةُ يَشْغِلُونَ بِهِ عَنِ الْقُرْآنِ "
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Zakariyyaa bin Yahyaa An-Naaqid : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Haruuriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’quub, ia berkata : Aku mendengar Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku meninggalkan ‘Iraaq sesuatu karena munculnya sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dengannya dari Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyu ‘anil-Munkar, hal. 151; shahih].
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي عَنِ الْغِنَاءِ، فَقَالَ: " الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
Telah mengkhabarkan kepadaku ’Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang nyanyian, lalu ia menjawab : ”Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ’anil-Munkar hal. 142; shahih].
Juga penisbatan kepada Ibnul-Musayyib rahimahullah.
أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب قال إني لأبغض الغناء وأحب الرجز
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 19743; shahih. Disebutkan pula oleh Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3411].
Juga penisbatan kepada Asy-Sya’biy rahimahullah.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دُكَيْنٍ، عَنْ فِرَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " إِنَّ الْغِنَاءَ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ، وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِي الْقَلْبِ، كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin ‘Abdillah, dari Asy-Sya’biy : “Sesungguhnya nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [Diriwayatkan oleh Al-Marwadziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 691; hasan].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، وَوَكِيعٌ، عَنْ إسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ: أَنَّهُ كَرِهَ أَجْرَ الْمُغَنِّيَةِ "، زَادَ فِيهِ عَبْدَةُ: وَقَالَ: " مَا أُحِبُّ أَنْ آكُلَهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah dan Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Asy-Sya’biy : Bahwasannya ia membenci upah penyanyi. ‘Abdah menambahkan : Dan Asy-Sya’biy berkata : “Aku tidak mau memakannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 22476 – Jawaami’ul-Kalim; shahih].
Dan yang lainnya.
Oleh karena itu, ada kemungkinan penisbatan kepada sebagian ulama/salaf yang membolehkan itu tidak benar karena tidak shahih sanadnya atau penukilannya; atau seandainya benar, tidak ada dilalah yang menunjukkan tentang kebolehannya.[3]
Saya juga tidak berani mengatakan bahwa semua yang dikatakan Asy-Syaukaaniy itu tidak valid, karena memang ada sebagiannya yang valid. Namun setidaknya, apa yang saya pahami sampai detik ini, bahwa penisbatan ijma’ dari para imam di atas perlu diteliti kembali.
Itu saja yang dapat saya tuliskan secara ringkas dari pokok artikel ini.
Sebagai catatan penting : Tulisan ini sama sekali tidak bertujuan membela pendapat yang membolehkan nyanyian dan musik, menyokongnya, memberikan angin segar, atau yang semisalnya. Sekali lagi, tulisan ini hanyalah sebagai pembuka diskusi, mungkin, untuk meneliti kebenaran ijma’ tersebut. Adapun pengharaman atas dua hal itu adalah sangat kuat karena didasarkan oleh nash-nash yang shahih dan jelas dilalah-nya. Dan khilaf dalam masalah ini termasuk khilaf yang lemah.[4]
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1432]


[1]      Silakan baca beberapa perkataan para ulama kita tentang penetapan ijma’ di : http://ustadzaris.com/kata-sepakat-ulama-dalam-haramnya-musik.
[2]      Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mengatakan bahwa kisah ini terdapat dalam Al-Muhallaa dengan sanad shahih [lihat Tahriim Aalaatith-Tharb, hal. 101-102; Muassasah Ar-Rayyaan, Cet. 3/1426 H]. Namun beliau mengkritik penyebutan ‘uud, sebab dalam sanad kisah tersebut, Ayyuub mengatakan duff (rebana), sedangkan Hisyaam mengatakan ‘uud. Di sini, Syaikh merajihkan penyebutan duff.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Akan tetapi, baik penyebutan duff ataupun ‘uud, maka dua-duanya merupakan jenis alat musik yang ditabuh di luar waktu-waktu yang diperbolehkan (sebagaimana tercantum nash-nya dalam hadits), dan ‘Abdullah bin Ja’far pun mendengarkannya/menyimaknya.

Comments

Penanya mengatakan...

Antum katakan:

"Saya juga tidak berani mengatakan bahwa semua yang dikatakan Asy-Syaukaaniy itu tidak valid, karena memang ada sebagiannya yang valid."

Boleh tolong untuk diperinci mana bagian dari nukilan2 Asy-Syaukaniy diatas yang antum anggap valid?

Terima kasih...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ahlul-Madiinah. Ketika disebut Ahlul-Madiinah, maka ini maksudnya ulama-ulama mereka. Dan di antaranya yang disebutkan di atas adalah Ibnul-Maajisyuun.

'Abdullah bin Jubair. Syaikh Al-Albaniy mengakui keberadaan riwayat ini sebagaimana bersumber dari Al-Muhallaa-nya Ibnu Hazm. Walau kemudian beliau memberikan penjelasan sebagaimana telah saya sebutkan di atas.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

ustad,
setelah saya baca di situs pribadi ust. sarwat, dijelaskan bahwa dalil hadist yg mengharamkan musik tidak begitu jelas dan tegas, bahkan disebutkan para sahabat nabi-pun membolehkan nyanyian dan musik
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1172114667&cari=musik&tanya=answer

kumpulan artikel yg membahas musik, di search di situsnya ustad sarwat
http://www.ustsarwat.com/web/ust.php

jadi sepertinya kok jadi simpang siur gini yaa mengenai status hukum musik, dan sepertinya tidak pernah selesai khilafiah ijtihadiyyah ini.....
apakah ada sanggahan dalam hal ini ?
makasih atas penjelasannya

Anonim mengatakan...

afwan ust keluar dr tema di atas..,

istiwa' artix apa.?? apakah bersemayam..?? lalu bersemayam artix apa..?? apakah duduk..?? atukah yg semisalnya....,mohon pnjelasn singkat n padatx, mgkn ust punya link tuk merinci jawabanx..,Jazakallahu khoiran...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@anonim 19 Januari 2011 16.13....

khilaf memang tidak pernah selesai jika tidak mengembalikan kepada nash disertai pemahaman yang benar. Boleh saja beliau (Ustadz Sarwat, Lc.) mengatakan (misalnya) hadits ma'aazif dalam Shahih Al-Bukhaariy tidak jelas penunjukkannya. Namun bagi ulama, jelas tuh. Silakan dirujuk penjelasan dalam beberapa syarh Shahih Al-Bukhaariy. Jadi pemahaman Ustadz Sarwat Lc. memang beda dengan pemahaman ulama secara umum. Kata beliau ada ulama yang 'meragukan' - sepertinya beliau hendak bertaqlid kepada Ibnu Hazm.

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari).

Coba antum perhatikan. Beliau hendak membuat kesamaran dalam terjemahan. Padahal yang namanya al-ma'aazif itu sudah jelas, yaitu maknanya alat musik. Tapi kok diterjemahkan seperti di atas.

Kembali pada hadits. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa nanti umatnya akan memakai atau melakukan sesuatu yang diharamkan sehingga seakan-akan hal itu dihalalkan. Penyebutan alat musik bersama hal-hal yang diharamkan (zina, sutera, dan khamr) menunjukkan bahwa al-ma'aazif (alat musik) itu berstatus sama (yaitu diharamkan.

Juga dalam hadits Ibnu 'Umar :

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Kata beliau hadits ini munkar. Memang Abu Daawud mengatakan hadits ini munkar. Saya sebenarnya berandai-andai agar beliau membawakan alasan yang lebih ilmiah lagi. Yang benar, hadits itu tidak lah munkar, namun shahih. Dan pembahasannya bukan di sini saya kira (terlalu sempit).

Adapun perkataan beliau bahwa sebagian shahabat 'menghalalkan' musik, dan kurang lebih apa yang beliau sebutkan juga telah saya sebutkan di atas; maka saya katakan : Bukankah beliau juga tahu bahwa sebagian shahabat lain mengharamkannya. Dan sebagaimana telah saya sebutkan di atas, membenarkan seluruh perkataan Asy-Syaukaniy tentang daftar shahabat, tabi'iy, dan ulama setelahnya adalah tindakan yang kurang tepat. Perlu diteliti kebenarannya, karena memang telah nyata sebagian yang beliau (Asy-Syaukaaniy) sebutkan tidak akurat. Apalagi jika kita memperhatikan perkataan para ulama dari generasi ke generasi akan penisbatan ijma' pengharamannya. Ini menunjukkan bahwa keharaman nyanyian dan musik sudah begitu dikenal. Kalau pun ada yang berselisih dengan itu, maka dapat diperkiarakan kecil jumlahnya. Oleh karena itu, sekali lagi, penisbatan Asy-Syaukaniy yang dinukil Ustadz Ahmad sarwat Lc. perlu diteliti kembali.

Thifal Izzah mengatakan...

Assalamu’alaikum . . .
@ Al-Ustadz Abu Al-Jauza’ Hafidzahullahu . . .
Sebenarnya dr dulu saya ingin sharing masalah music dan nyanyian, krna dari dulu smp sakarang belum selesai-2 juga masalah ini, untuk Tulsan ustadz saya sepakat, tp dalam hal ini sy ingin menyampaikan beberapa uneg2 saya terkait pembahasan ini. Tp meskipun begitu bukan berarti saya menghalalkan music maka dari itu bth penjelasan ustadz yg saya anggap sebagai orang berilmu ( semoga Allah Azza wa Jalla memberikan pahala kebaikan untuk ustadz )
Imam Ibnu Jama’ah mengatakan masalah lagu dan musik, para ulama terbagi menjadi delapan pendapat (Az Zubaidy, Al ittihaf syarah al Ihya, VII/7)
Imam Ibnu Hajar al Haitsami menyebutkan ada sebelas pendapat para ulama.(Ibnu Hajar al Haitsami, Kaffur Ri’a ’an Muharramat al lahwy was Sima’, II/277-278)
Dalam At Taratib Al Idariyah Juz II, hal. 132 disebutkan beberapa Kitab karangan ulama terkait pembelan mereka trhadap music dan lagu
1. Kitab Ar Rukhshah fis Sima’ karaya Imam Ibnu Qutaibah, di dalamnya banyak sekali riwayat tentang sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in yang mendengarkan lagu, dengan atau tanpa musik.
2. Kitab Al Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm, seperti yg kita ketahui beliau mengatakan: “Semua riwayat yang mengharamkannya itu batil dan maudhu’.”
3. Kitab Muhammad bin Thahir al Maqdisy, beliau mengatakan : “Tidak ada perbedaan mendengarkan suara senar gitar dengan suara burung.” Dan juga berkata, “Tak ada satu huruf pun yang shahih tentang (pengharaman) ini.”
4. Kitab Bawariqul Ilma’ fi Takfiri man Yuharrimu Muthlaqas Sima’ karya Ahmad al Ghazali
5. Kitab Ibthalul Da’wal Ijma’ ‘ala Tahrimi Muthlaqis Sima’ karya Imam Asy Syaukani (dalam karyanya yang lain yakni Nailul Authar juga ada pembahasan tentang ini) – sepeti ap yang telah ustadz jelaskan diatas.
6. Kitab Nuzhatul Asma’ fi Mas’alatis Sima’ karya Imam Ibnu Rajab al Hambali
7. Kitab Ahkamul Qur’an karya Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al Maliki, dalam jilid Jilid III, hal. 1494 beliau berkata bahwa keringanan pada walimah, bukan hanya alat musik tabuh, melainkan seluruh alat music sdgkan pd Jilid III, hal. 1053 kitab yg sama Ia menegaskan tak ada di dalam Al Quran dan As Sunnah tentang pengharaman lagu dan music.
Dan jika kt telusuri apa kata Imam Ibnu Nahwi dalam al Umdah, atau Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, VIII/264-266) seperti penjelasan ustadz diatas tambah menguatkan tentang bahwa memang di kalangan ulama bahkan tabi’in dan yg lainnya masih dibicarakan masalah ini ( karena memang saya tidak tahu, maka dari itu saya butuh koreksi nantinya )
Mugkin disini tidak ada salahnya saya nukilkan pendapat ( fatwa ) syaik sayyid sabiq dari Kitab Fiqhus-Sunnah bab Bay’ Alat Al Ghina’ ( teks arab, panjang soalnya kalo saya copasterjemahannya )

Thifal Izzah mengatakan...

فإن الغناء في مواضعه جائز والذي يقصد به فائذة مباحة حلال، وسماعه مباح، وبهذا يكون منفعة شرعية يجوز بيع آلته وشراؤها لانها متقومه.
ومثال الغناء الحلال: 1 – تغني النساء لاطفالهن وتسليتهن.
2 – تغني أصحاب الاعمال وأرباب المهن أثناء العمل للتخفيف عن متاعبهم والتعاون بينهم.
3 – والتغني في الفرح إشهارا له.
4 – والتغني في الاعياد إظهارا للسرور.
5 – والتغني للتنشيط للجهاد.
وهكذا في كل عمل طاعة حتى تنشط النفس وتنهض بحملها.
والغناء ما هو إلا كلام حسنه حسن وقبيحه قبيح، فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال.
فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما يخرجه عن دائرة الحلال.
وعلى هذا تحمل أحاديث النهي عنه.
والدليل على حله: 1 – ما رواه البخاري ومسلم وغيرهما عن عائشة، رضي الله عنها، أن أبا بكر دخل عليها وعندها جاريتان تغنيان وتضربان بالدف، ورسول الله صلى الله عليه وسلم مسجى بثوبه فانتهرهما أبو بكر، فكشف رسول الله صلى الله عليه وسلم وجهه وقال: (دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد).
2 – ما رواه الامام أحمد والترمذي بإسناد صحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في بعض مغازيه فلما انصرف جاءته جارية سوداء فقالت: يا رسول الله إني كنت نذرت إن ردك الله سالما أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى.
قال: (إن كنت نذرت فاضربي).
فجعلت تضرب.
3 – ما صح عن جماعة كثيرين من الصحابة والتابعين أنهم كانوا يسمعون الغناء والضرب على المعازف.
فمن الصحابة: عبد الله بن الزبير، وعبد الله بن جعفر وغيرهما.
ومن التابعين: عمر بن عبد العزيز، وشريح القاضي، وعبد العزيز بن مسلمة، مفتي المدينة وغيرهم.

Yang saya tanyakan : bagaimana tanggapan ustadz mengenai hal ini, jika dilihat dari ulama-ulama diatas sudah kita tahu tentang betapa luasnya ilmu mereka, dan kita sebagai penuntut ilmu yg masi dlm level belajar sudah tentu dibingunkan dalam hal ini. Memang dalil yg telah menjelaskan keharaman music telas jelas, tp tidak ad salahnya saya memperoleh pencerahan lebih lanjut dalam hal ini. . .

Thifal Izzah mengatakan...

Labih lanjut lagi nih ustadz sym au share tentang beberapa dalil yg dijadikan hujjah tentang pengharaman music dan nyanyian tp dalam hal ini bukan berarti sy menghalalkan karena saya sendiri sangat menyarankan utk menjauhinya, tapihny sekedar sharing dan berharap pencerahan lbh lanjut.

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” ( QS. Al-Luqman : 6 )

Ayat ini sering di jadikan hujjah termasuk saya sendiri tentang keharaman music, hal ini dipertegas dgn dengan menafsirkan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) sebagai nyanyian. Sebagaimana tafsiran dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Bahkan Ibnu Mas’ud bersumpah, “Demi Allah, itu adalah lagu.” (HR. Al Baihaqi, Sunanul Kubra, X/23)

dan msh banyak beberapa yg menguatkan bahwa “lahwul hadist” disni adalah lagu/musik. . .
Marilah kt telusuri beberapa tafsirannya....

Imam Asy Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya berkata bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan segala yang munkar. beliau meriwayatkan bahwa Imam Hasan al Bashri menafsiri makna lahwul hadits adalah ma’azif (alat-alat musik) dan ghina’ (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya, bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr (kekafiran) dan syirk (kesyirikan).
Kalimat, “Liyudhilla (untuk menyesatkan (manusia) ...” dalam kaidahnya menunjukkan bahwa huruf lam pada kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang menunjukkan sebab –‘illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.

Jadi, sebenarnya, perbuatan / pekerjaan apa saja ( bukan hanya nyanyian dan musik ) jika bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, jelas perbuatan tersebut haram. Berarti berlaku kaidah Mafhum mukhalafah (pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia maka tidak mengapa.

Thifal Izzah mengatakan...

Hal ini diperkuat juga oleh Imam Ibnu Jarir at Thabari menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna ....” maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan ayat selanjutnya....hal ini selaras dan menyambung jika kita kaikatan dgn ayat setelahnya

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami Dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah Dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah Dia dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)

Terkait QS. Luqman : 7 ini Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, I/41, dalam mentafsirkan surat Luqman) Manusia yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim. Memang, sebagian ada yang membantah bahwa itu juga berlaku untuk orang Islam. Dan lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk kelalaian.

Imam Ibnul ‘Athiyah mengatakan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” Dan disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Tafsir Ibnu ‘Athiyah, XI/484)

Pemahaman ini juga dikuatkan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsirnya, bahwa Allah Ta’ala sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al Quran dan sibuk dengan selainnya. (Tafsir Al Kabir, XIII/141-142)

Begitupun juga dalam Al Muhalla, IX/10 karya Ibnu Hazm,dan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menolak tafsiran Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, karena beberapa keadaan

Pertama, Perkataan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah.

Keduan, Para sahabat dan tabi’in berbeda pendapat.

Ketiga, nash ayat tersebut (Luqman ayat 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut berbunyi, “Dan diantara manusia ada orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, “ ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah kafir, jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi. Beliau juga mengatakan: “Jika seorang menggunakan perkataan sia-sia untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka orang tersebut kafir.“ Iniah yang dicela Allah. Sedangkan orang yang menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah, tidaklah tercela. – maaf saya hanya sekedar copaz saja –

Thifal Izzah mengatakan...

Dan bila kita kaitkan dengan Al A'raf ayat 157:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka . Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath Thayyibat (segala yang baik) adalah kalimat jamak dengan alif dan lam yng menunjukkan makna umum, meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath Thayyibat menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir (suci) dan halal.

Berkata Imam Asy Syaukani, bahwa Imam Al Izz bin Abdus Salam menegaskan dalam Dalailul Ahkam, yang dimaksud dengan Ath Thayyibat dalam ayat tersebut adalah hal-hal yang dapat dinikmati.(Imam Asy Syaukany, Nailul Authar, VIII/32)

Ulama besar, Imamul Akbar Syaikh Mahmud Syaltut al Mishry juga mengatakan demikian. Dan kita tahu bahwa nyanyian adalah sesuatu untuk dinikmati, maka ia termasuk Ath Thayyibat. ( tanda kutip disni nyanyian yg tidak mengandung kesyirikan, cinta-cintaan, kebohongan, kenistaan atau semacamnya ).

Menuerut Al-Ustadz Abul Jauza’ Hafidzahullahu bagaimana koreksi ustadz menanggapi hal ini ??? tapi erlu saya tekankan disini tidak ada maksud untuk memunculkan syubhat, justru biar semuanya jelas sy nukilkan disni. Karena sy bertanya pada orang yg telah sy akui tentang Ilmunya….Jzaakumullahu khoiron.


Maaf sebelumnya merepotkan dan panjang sekali, cuma aga ribet saya meberi komentar di blog ustadz ini...areanya sempit, tp krn saya ingin pencerahan tak masalah dan akan lbh baik lagi sbg saran...mungkin diperluas area untuk komentarnya . . .afwan bila tak berkenan ini hanyalah sharng saja ustadz...jazaakallahu khoiron

Thifal Izzah mengatakan...

@ anonim ...maaf ikt nmbrung mohon dikoreksi

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy .
Menurut kaidah bahasa arab apabila fi'il istiwaa dimuta'adikan oleh huruf 'Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.

Hal ini bs kita contohkan
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءكِ وَيَا سَمَاء أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاء وَقُضِيَ الأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْداً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi , dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ."

Dalam ayat diatas ad lafadz وَاسْتَوَتْ yg merupakan fi'il "istawaa" dimuta'addikan oleh huruf 'Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Jdi tidak bisa di artikan "Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi" yakni menta'wil lafadz "istawat" dengan lafadz "istawlat" yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..?
Jd makna “ istiwa’” disini tidak lain adalah diatas ‘arsy . . .wallahua’lam


Bagaimana cara Allah bersemayam ???
Kita bisa merujuk pada Imam Malik ketika beliau ditanya :
"Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy ?. Beliau menjawab :
Artinya :
"Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid'ah".
(Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46) . . .

Untuk lbh jelasnya baca buku Al-masa’il Karya ustadz hakim amir abdat hafidzahullahu…mohon dikoreksi bila ada yg salah…wallahu a’lam

jazaakumullahu khoiron

irfan mengatakan...

ustadz, ada komentar khusus tentang kitab karangan syaikh judai'?
Ada sebagian orang yang berpegang dengan penjelasan beliau akan hal ini.

Satu lagi, buku beliau juga tentang hukum jenggot, di situ beliau membantah klaim ijma' akan haramnya memangkas jenggot dan hanya mengatakan kalau itu sunnah jibillah saja. Adakah bantahan khusus akan tulisan beliau ini?

Jazakallahu khairan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Mbak Tiffal,... makasih atas masukannya. Memang benar, bahwa sebagian ulama muta'khkhiriin menuliskan beberapa buku tentang masalah nyanyian dan musik ini. Dan sebagian besarnya telah ukhti tuliskan.

Anyway, saya tidak akan berkomentar terhadap kalimat-kalimat panjang di atas. Yang pokok dari semua itu adalah kebenaran nisbat atas perkataan atau perbuatan sebagian salaf yang membolehkan nyanyian dan/atau musik. Di atas telah saya contohkan ketidakvalidan nisbat dari sebagian imam/ulama yang disebutkan Asy-Syaukaaniy. Masih ada beberapa yang lain yang tidak saya tuliskan (untuk menyingkat artikel). Setelah kita ketahui kebenarannya, juga kebenaran penunjukkannya atas riwayat mereka itu.

Namun ada satu hal yang pingin saya komentari sedikit. Perkataan Ibnu Hazm - yang anehnya kemudian banyak ditaqlidi - bahwa hadits-hadits tentang pengharaman nyanyian dan/atau musik adalah lemah ataupun maudlu'/palsu, maka ini adalah penghukuman yang sangat berlebih-lebihan, disamping tentu saja keliru.

Tentang QS. Luqman ayat 7, maka pemahaman shahabat adalah lebih didahulukan daripada pemahaman selainnya dari kalangan orang yang hidup setelah mereka. Ibnu Mas'uud dan Ibnu 'Abbaas adalah pakar tafsir Al-Qur'an di kalangan shahabat. Tentu saja tidak boleh mengesampingkan begitu saja tentang penafsiran yang mereka pahami dan katakan. Selain itu, apa yang disampaikan ulama lain juga tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan mereka berdua - dengan cara menjamaknya. Telah disebutkan bahwa maksud dari lahwal-hadiits menurut mereka berdua adalah nyanyian. Jadi pemahamannya, nyanyian termasuk cakupan dari sesuatu yang melalaikan menurut pandangan agama. Tentu, yang melalaikan dalam pandangan agama bukan hanya nyanyian. Makanya, sebagian ulama lain menafsirkan kekufuran, dan yang lainnya.
Selain itu, ayat itu tidak ada mafhumnya. Sangat aneh hanya membatasi mafhum pada nyanyian saja. Bukankah telah disebutkan bahwa tafsiran lahwal-hadiits itu bukan hanya nyanyian, tapi juga kekafiran dan kesyirikan. Apakah ada kekafiran dan kesyirikan yang tidak ditujukan untuk menyesatkan manusia ?

Dan yang lainnya. Seandainya memang banyak ulama yang membolehkan, taruhlah seperti itu, bukankah yang jadi hakim adalah Allah dan Rasul-Nya ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Irfan, untuk bantahan terhadap pendapat Syaikh Al-Judai' tentang masalah nyanyian ada. Judulnya : Ar-Radd 'alal-Qaradlawiy wal-Judail fii mas-alatil-Ghinaa' wal-Muusiiq tulisan 'Abdullah bin Ramadlaan bin Muusaa, muraja'ah : Dr. Muhammad Hijaaziy. Buku ini sangat bagus untuk dibaca.

Adapun bantahan tentang masalah jenggot, saya pernah membacanya di internet, namun saya lupa. Dan memang saya ndak punya bukunya. Antum bisa tanya ke yang lain yang lebih tahu.

Wallaahu a'lam.

Komentator mengatakan...

@Irfan

Untuk bantahan masalah jenggot. Ini ada kitabnya:

# عنوان الكتاب: إقامة الحجة على تارك المحجة رد على كتاب اللحية دراسة حديثية فقهية للجديع
# المؤلف: عبد الوهاب بن عبد العزيز الزيد
# حالة الفهرسة: غير مفهرس
# الناشر: دار التوحيد للنشر
# عدد المجلدات: 1
# رقم الطبعة: 1
# عدد الصفحات: 100
# الحجم (بالميجا): 1
# نبذة عن الكتاب: - تقديم الشيخ عبد العزيز بن عبد الله الراجحي
# تاريخ إضافته: 12 / 10 / 2009

http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2947

Anonim mengatakan...

afwan, sedikit melenceng dari pembahasan. saya ingin bertanya tentang kredibilitas syaikh Albani soal sanad keilmuan beliau..

saya belum menemukan sanad beliau yg mutassil sampai ke Rosulullah SAW..
kalo saya tanyakan hal ini, kebanyakan info malah tidak memberikan gambaran rantai sanad beliau, tapi malah menyarankan utk merujuk kitab Mukhtasar al-‘Uluw (hal 72) dan Tahdzir as-Sajid (hal 63

atau ada yg memberikan link ke :
http://biografiulamasunnah.blogspot.com/2010/02/syaikh-al-albani-dan-syaikh-rasyid.html

katanya sanad syaikh albani termuat dalam Muhammad Raghib al Thabakh yang berjudul al Anwar al Jaliyyah fi Mukhtashar al Atsbat al Halabiyyah...

kitab-kitab itu dimana mencarinya..?? kenapa tidak diuraikan saja secara gamblang mata rantai sanad syaikh albani..? biasanya kalo ahli ilmu itu jelas sanadnya.. syukron..

Djati mengatakan...

Assalamu'alaykum,afwan Ustadz koreksi sedikit ,mungkin tulisan Dari kalangan tabi’in : ‘Umar – sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr dan yang lainnya -, ‘Utsmaan ... dst , maksudnya adalah Dari kalangan Sahabat ya bukan tabi'in.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam, makasih pak Djati atas koreksiannya. Ya, memang keliru. Segera saya perbaiki.

@anonym,... kalau antum tanya kepada saya sanad Syaikh Al-Albaaniy detail, maka saya gak hapal dan gak tahu. Apapun itu, memang jaman sekarang sangat urgent ya punya sanad hadits sampai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ? Kalau memang sangat urgent, bisa saya tahu alasannya ?

Anonim mengatakan...

masya Allah, akhi.. kenapa antum bisa bertanya seperti itu..? bukankah sanad itu bagian dari agama..? kalo tdk ada sanad, bisa2 orang berkata semaunya..

apalagi syaikh albani kan katanya muhaddits.. apa ada muhaddits yg tidak mutassil & asing sanadnya..? kalo memang ada, tolong ana diberitahu, sebagaimana katanya sanad albani ada dlm kitab al Anwar al Jaliyyah fi Mukhtashar al Atsbat al Halabiyyah..???

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hadits itu dah dibukukan dan terkumpul, sehingga keberadaan sanad di jaman sekarang sudah tidak diperlukan lagi sebagaimana masa sebelum dibukukan. Oleh karena itu, bapak ustadz di kampung yang menjelaskan ilmu agama dengan menukil dari kitab hadits (semisal Shahih Al-Bukhaariy, Shahih Muslim, dan yang lainnya), maka ilmunya itu gak batal.

Dulu para ulama ketika menanyakan sanad adalah karena ingin kepastian khabar dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Jika memang rantai sanadnya ada yang lemah atau pendusta, maka ditolak. Ini dimasa sebelum pembukuan atau pengumpulan. Lah sekarang kalau ada seseorang yang yang ingin menyampaikan Shahih Al-Bukhaariy, gak perlu lagi punya sanad sampai Imam Bukahriy atau bahkan sampai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Antum sudah bertanya, dan kemudian saya jawab gak tahu kok malah sewot. Apa salah kalau saya gak tau ? Kalau antum memang 'sanad oriented' .... silakan saja.

Anonim mengatakan...

@anonim 20 Januari 2011 16.20

Akhi, dimohon untuk tidak merusak diskusi ini. Antum ingin menanyakan sanad syaikh Albani apakah maksudnya benar2 ingin tahu atau maksud akhirnya hanya ingin menghina beliau dengan mengatakan bahwa "masa muhaddits ga punya sanad muttashil hingga Rasulullah? Kalo gitu ilmunya diambil dari siapa"??? Atau antum hanya ingin menguji ustadz Abul Jauzaa'??? Terlihat dari tendensi komen antum pada 20 Januari 2011 14.11 dan 20 Januari 2011 16.20.

Sudah dijelaskan oleh ustadz Abul Jauzaa oleh karena itu ana hanya ingin menghimbau pd antum, bila memang antum adalah org yg sanad oriented, silahkan mencari kajian dari org2 yg punya "sanad ilmu" hingga Rasulullah. Kiranya tidak perlulah bertendensi untuk menghina dan merendahkan keilmuan beliau hanya karena antum meragukan sanad keilmuan beliau...Oke...??!!

@ustadz Abul Jauzaa,
Silahkan dilanjut diskusinya ustadz, tidak perlu ditanggapi lebih lanjut.

Anonim mengatakan...

@ Anonym 20 Januari

Pertanyaan antum bagus banget tuh tentang pentingnya SANAD.

Kalau dianggap penilaian atau pendapat Syaikh Albaniy terhadap Ilmu Hadits banyak kekurangannya, itu PASTI ada.

Sudah ada penilaian dari baik "Ulama SALAFIY" atau "NON SALAFIY".

Kalau antum merasa Ilmu antum lebih tinggi dari Syaikh Albaniy (dalam Ilmu Hadits) maka kewajiban antum untuk memperbaiki apa-apa yang keliru dari Syaikh Albaniy dalam rangka Cinta pada kebenaran, supaya bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Saya berdoa semoga antum bisa melakukan itu...Amin

----------

Saya Ada info proyek tambahan nih buat antum dan masih terkait dengan urusan SANAD.

Sebagian muslim yang mengaku ASWJ, banyak menukil/mengambil pendapat mengenai ungkapan "Allah Ada Tanpa Tempat" dari bukunya Syaikh Manshur Al-Baghdadiy....padahal kutipan-kutipan yang ditulis oleh Syaikh Manshur Al-Baghdadiy yang merujuk kepada Sayidina 'Ali dan Ulama-Ulama lainnya TIDAK ADA SANAD nya yang jelas.

Coba deh antum cek kebenaran info saya ini, dan sebagai Pencinta Kebenaran, pastinya antum semangat dong ya dalam mencari kebenaran.

Kan kasihan sebagian kaum muslim tersebut ya, mengambil pemahaman Aqidah TANPA SANAD yang JELAS.

Apalagi sebagian Muslim tersebut biasanya SANAD ORIENTED tapi sayangnya PRINSIP EMAS tersebut DENGAN SADAR DAN SENGAJA TERPAKSA harus DIABAIKAN/DITINGGALKAN karena TIDAK SESUAI DENGAN HAWA NAFSU MEREKA. (Makin kasihan kan)

Saya doa kan semoga antum bisa mengambil proyek ini, supaya bermanfaat bagi orang lain.

Ditunggu ya partisipasinya

Salam Manis
Pakubumi

Anonim mengatakan...

@ anonim 20 Januari 2011 16:20

--->"bukankah sanad itu bagian dari agama..? kalo tdk ada sanad, bisa2 orang berkata semaunya..<-----mengutip perkataan ulama tapi ditempatkan pada tempat dan maksud yang tidak pada tempatnya...
"

Anonim mengatakan...

afwan ust gmn menurut ust tntg artikel ini:

http://madrasahmassahar.blogspot.com/2008/07/makna-amalan-sufi-basmallah.html

tlg di koreksi bila perlu..

jazakallahu khoiran..

Anonim mengatakan...

assalamu 'alaikum ust,

ana org yg masih awam dlm ilmu agama.
ana cma mau tanya ust:

apakah SEMUA perbedaan pendapat yang trjadi pada para ulama harus kita sikapi dengan toleransi/saling menghormati? ataukah ada batasan2 tertentu (ada yg di toleransi dan ada yg tidak di toleransi)?
kalau memang ada batasan2nya tolong di jelasin ust y. soalnya ana sangat membutuhkan penjelasan masalah ini ust.

jazaakallohu khair ust.

Unknown mengatakan...

ini pasti kerjaan orang ldii
"PAKUBUMI" itu para mubalegh mereka yang menebar syubhat
lebih lengkap lagi ttg kesesatan LDII
di www.airmatakumengalir.blogspot.com

pasti nnyangkutnya ttg mangkul musnad muttashil

arief nur mengatakan...

@Abu Al-Jauzaa'

afwan akh, saya tidak melihat korelasi jawaban antum terhadap koment Pakubumi. Sepemahaman saya, koment Pakubumi ditujukan untuk anonim 20 Januari 2011 16:20

Allohu a'lam

Anonim mengatakan...

mo tahu banyak ttg orang yg mengagungkan sanad pada dakwah di saat sekarang???

baca ttg mankul musnad mutashil di www.airmatakumengalir.blogspot.com

Anonim mengatakan...

Al Isra’17:72
“Dan barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat dia akan buta dan tersesat”

prtanyaan...mksd Buta di dunia i2 apa ust. apakah buta Penyakit atukah Buta dlm artian tdk patuh ma Syariat, tlg Tafsirx Ust...,Jazakallahu Khoiran..

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaykum....ust apa yg mesti kita jawab klo ada pertanyaan kyk gini 'semua tlah tercatat di lauh mahfud lalu mengapa kita harus berdoa...???

syukran

Anonim mengatakan...

Maaf nimbrung karena saya punya pengalaman disuguhi pertanyaan seperti pertanyaan anonim diatas .

Biasanya mereka yang bertanya seperti itu adalah orang jahil dalam memaknai takdir Allah .

Coba tanya balik kepada dia , seandainya saya setuju dengan pendapatmu , apakah kamu kalau menyebrang jalan raya harus toleh kanan -kiri dulu sebelum menyebrang ? bukankah takdir sudah tercatat di lauh mahfud ?
Atau tanyakan : kenapa kamu sekolah / pergi bekerja , bukankah takdirmu sudah ada di lauh mahfud ? dijamin pusing dia memikirkan jawabannya.

budi mengatakan...

Ustadz saya bingung yg memberi komentar anonim semua. ternyata sepertinya ini karena di blogspot agak kurang user friendly, kalo di wordpress lebih mudah.

saya merasa sudah membaca semua komentar, walaupun mungkin ada yg belum dibaca.
tentang ijazah hadits syaikh albani saya pernah membaca di dua artikel berikut, walaupun tidak disebutkan secara rinci, tapi kesimpulannya beliau memiliki ijazah yang sampai ke imam ahmad dan abu dawud. berikut saya kutipkan:
"Di antaranya ijazah periwayatan hadits yang sanadnya sampai kepada Abu Dawud. (Tentunya sanad dari Abu Dawud bersambung kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam)"

"Beliau memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatul Baytar (dimana isnad dari Syaikh terhubung ke Imam Ahmad)."

http://ummusalma.wordpress.com/2007/03/26/ijazah-hadits-imam-al-albany/
http://itishom.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=48:nasehat-terhadap-tim-bahtsul-masail-pcnu-jember-tentang-syaikh-al-albany&catid=19:pembelaan-terhadap-ulama&Itemid=16

Tentang masalah takdir, saya tidak memberikan jawaban, hanya menguatkan keyakinan kita bahwa para ulama benar-benar paham masalah takdir dengan gamblang, begitu juga ilmu yang lain, yang perlu kita lakukan membaca buku-buku mereka. Jangan sampai kita berpikir "tidak ada orang yang berpikir sangat kritis seperti kita". karena kita hanya orang kecil dalam masalah ilmu dalam islam

Lebih lengkapnya silakan ustadz Abul Jauza yang melengkapi pertanyaan yang ada

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@mas budi, terima kasih atas komentarnya....

sebenarnya blogspot itu juga mudah. gampang kok ngasih identitas jikalau yang bersangkutan ada niat.

mengenai ijazah syaikh al-albaniy, ya memang benar itu. namun mas anonim minta rinciannya. ya itu saya yang nggak tahu.....

tentang masalah mengapa kita berdoa, karena Allah ta'ala lah yang memerintahkan kita untuk berdoa. atau dengan kata lain : Allah ta'ala telah menetapkan segala sesuatu (taqdir) di Lauh Mahfudh, dan bersamaan dengan itu Dia memerintahkan kita untuk berdoa kepada-Nya. Kita berdoa sebagai wujud kepatuhan/ketundukan kita kepada-Nya, karena kita diciptakan memang untuk itu (mematuhi-Nya, beribadah kepada-Nya).

Allah ta'ala tidaklah ditanya tentang apa yang Dia perbuat, namun kita lah yang kelak akan ditanya (tentang amal-amal kita).

Ummu Hafshoh mengatakan...

Ustadz Abu al-Jauzaa'

Ana mOhon penjelesannya..apakah NYANYIAN identik dengan ALAT MUSIK? sehingga hukum keduanya PASTI SAMA?setahu ana...banyak nyanyian berupa syair atau sejenisnya TANPA diiringi ALAT MUSIK? apakah yang tidak diiringi alat musik pun haram mutlak?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Nyanyian tidak identik dengan alat musik.

Banyak salaf yang membenci nyanyian (walau tanpa diiringi alat musik).

’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :

لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ

”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].

‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

الغناء ينبت النفاق في القلب

“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].

‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :

ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم

”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].

dan yang lainnya.

Tentang syi'ir (syair), maka itu boleh pada asalnya.

عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت

Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata : ‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].

Jika berlebihan, maka makruh.

عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].

Jika nyanyian diiringi dengan alat musik, maka inilah yang jelas tentang keharamannya.

wallaahu a'lam.

Beta mengatakan...

Kesimpulannya apa ya ustat apakah musik haram? seharam apakah tingkatanya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, haram.

Anonim mengatakan...

afwan ana pakai nick anonym krn kalau tdk pakai nick tsb tdk mau terkirim.
afwan,lagi2 sual ana diluar bahasan.
apakah soal keharaman memotong jenggot memang merupakan ijma atau ada khilaf juga (khilaf yg mu'tabar atau lemah).
barakaLlahu fikum

n.b : khilaf yg ana maksudkan disini bukanlah khilaf antara yg melarang secara mutlak memotong lihyah dgn yg boleh memotong apabila melebihi 1 genggam akan tetapi antara yg mengharamkan memotong dgn yg memperbolehkan memotong habis (bukan termasuk yg boleh potong bila lewat 1 genggam)

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya kutipkan perkataan ulama saja ya,....

Ibnu Hazm rahimahullah berkata :

واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز

”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].

Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Pertama, saya ucapkan terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.

Kedua, saya ucapkan terima kasih juga atas doanya, dan semoga antum pun senantiasa berada di lindungan-Nya dan senantiasa mendapatkan tambahan rahmat dan barakah dari-Nya ta'ala.

Ketiga, mohon maaf, antum keliru mengatakan bahwa situsnya Ustadz Firanda dan Ustadz Aris kurang bisa diambil faedahnya. Bahkan, banyak faedah yang bisa terambil dari penjelasan beliau berdua. Pembahasan mereka pun lebih dalam. Ilmu mereka pun lebih luas daripada yang dimiliki admin Blog ini.

Keempat, situs lain yang kualitasnya sama dengan blog ini banyak. Namun yang lebih bagus, inilah yang sedikit. Di antara yang sedikit itu antara lain situsnya Ustadz Firanda dan Ustadz Aris. Masih ada di sana Ustadz Ad-Dariniy, Ustadz Abu Haidar, Ustadz Badru, Ustadz Abu Ubaidah, Ustadz Ali Mishri, dan yang lainnya.

Kelima, jika ada faedah yang ada dalam blog ini, maka itu berasal dari Allah, dan kemudian berasal dari sumber-sumber yang saya kutip sebagai referensinya, dan kemudian saya himpun.

Mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan.

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

kenapa banyak anonim yang berlebihan dalam memuji antum (blog antum) stadz?
padahal ana lihat web site ustadz firanda.com juga ustadz-ustadz yang lain bagus-bagus dan ilmiah?
jangan-jangan ada udang di balik batu?
Allohu yahfazhukum

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

ya ndak tau ya... saya juga gak bersemangat bacanya.

atas respon antum, saya hapus beberapa komentar di atas.

Anonim mengatakan...

Ustadz saya minta saran antum ,gimana kalau di sekolah SD anak kita diajarkan pelajaran musik,setelah dikonfirmasi ke sekolah anak harus mengikuti karena itu adalah program pemerintah.
Apakah kita harus memindahkan sekolah anak kita ke sekolah yang tidak mengajarkan musik walaupun jauh dan mahal?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Idealnya - jika memungkinkan - adalah menyekolahkannya di tempat yang tidak ada musiknya. Namun jika ternyata sekolah non-musik tersebut jauh dan mahal, tentu saja tidak setiap orang berkemampuan untuk mengaksesnya. Seandainya kita terpaksa menyekolahkan pada tempat yang ada musiknya, maka.... fattaqullaaha ma-statha'tum (bertaqwalah semampu kalian). Yaitu berusaha semampu kita untuk membentengi anak kita agar tidak terpengaruh dengan musik itu dengan memberikan pengertian bahwa musik adalah haram/tidak diperbolehkan dalam Islam. Tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah yang melibatkan anak-anak untuk bermain musik. Kita tahu itu sulit, tapi harus dilakukan....

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Salah satu alasan, kenapa blog-nya Ustad Abul-Jauzaa sangat menarik, menurut saya adalah :
Mau menanggapi komentar2 yg masuk dengan cepat, mau menjawab pertanyaan yg masuk dengan terperinci, mau membahas kasus2 yg update sekarang, dan mau membahas kasus2 yg bikin syubhat (bagi penuntut ilmu pemula)

Kalo blog ustad yg lainnya, jawabannya suka lama (jarang online kalik yaa) dan tidak dijawab secara terperinci (hanya secara singkat saja).....

Dan musuh bebuyutan (lawan debat) kader2 Asyariyyah (SUFI aswaja NU) yg online di milist2, FB, Blog, Situs adalah salah satunya Ustad Abul Jauzaa ini

Jazakalloh khoiron kastiroh kepada Ustad Abul Jauza, ini pengalaman nyata saya, saya dulu bertanya tentang masalah syubhat tentang Syaikh Albani, MasyaAlloh gak nyangka, pertanyaan saya dijawab oleh Ustad Jauzaa dengan panjang dan terperinci, dan dijadikan Artikel khusus di blog ini. Alhamdulillahi.

Semoga ustad Abul Jauzaa diberikan kesabaran, ketabahan, kekuatan dan istiqomah untuk tetap terus Online di Internet menyuarakan dakwah Salafush Sholeh.....Amin Ya Robbal 'Alamin.......

-anas-

Anonim mengatakan...

assalamu'alaykum

ust, bila nasyid2 yg tidak memakai alat musik, alias pake suara mulut saja gmn ust, soalnya kami sering menggunakannya sbg background sound video pada dokumentasi kami.
contoh konkrit misalkan ada bbrp nasyid syaikh misyari rasheed yg tdk pake musik, apakah boleh kami pakai sbg background video dokumentasi kegiatan pesantren kami?
mohon penjelasannya

Anonim mengatakan...

ust, mohon tanggapan atas pertanyaan ane diatas ini, ana msh ada keraguan akan hal ini.syukron.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Beberapa ulama membolehkan nasyid tanpa alat musik asalkan tidak berlebihan.

wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Dari Muniko Natan:
afwan ustadz.. mau tanya.. dulu sebelum ana tahu klo musik itu haram, ana pernah memberikan hadiah gitar kepada saudara ana.. sekarang ana tahu bahwa musik itu haram.. apakah ana boleh meminta kembali gitar tsb, lalu ana diam2 hancurin gitar tersebut? atau gitar tsb gak perlu di minta lagi? ana takut klo ana mendapatkan dosa tiap kali saudara ana memainkan gitar tsb buat nyanyi2.. ustadz, trimakasih banyak jika sekiranya mau membantu menjawab permasalahan ana..

Unknown mengatakan...

Assalāmualaykum warahmatullāhi wabarakātuh.
Hal yang sama terjadi pada ana.
Ana meminta alat musik yg sudah ana kasi ke teman ana untuk dihancurkan namun dia tidak mau. Ana bilang musik itu haram (dengan halus dan tidak ngotot). Namun dia tidak mau mendengarkan.
Maka ana bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan mendoakan hidayah kepada teman ana tersebut.
Hanya ini yg baru bisa ana lakukan. Ana berharap mendapat udzur dari Allah sesuai ayat "Fattaqullaha mastatho'tum" (At-Taghabun: 16)

Wallāhu A'lām.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

@Muniko Natan dan @Ryan Arifandi,.... Jika gitar/alat musik tersebut dapat diminta kembali, maka mintalah kembali. Namun jika tidak memungkinkan, maka beristighfar kepada Allah dengan menyesali perbuatan yang lalu, dengan disertai doa agar orang yang antum berikan gitar tersebut mendapatkan hidayah Allah sebagaimana antum mendapatkannya.

wallaahu a'lam.

Unknown mengatakan...

Barakallahu fiik ustadz