Hak-Hak Ahlul-Bait Menurut Ahlus-Sunnah



Di antara hal-hak Ahlul-Bait[1] yang diakui dalam syari’at islam yang mulia di antaranya :
1.      Hak untuk dicintai.
Wajib mencintai mereka karena hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’. Dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Asy-Syuuraa : 23].

Mengenai makna ayat di atas, Al-Bukhaariy rahimahullah meriwayatkan :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى)، قَالَ: فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: قُرْبَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ " إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَكُنْ بَطْنٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلَّا وَلَهُ فِيهِ قَرَابَةٌ فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تَصِلُوا قَرَابَةً بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ"
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Syu’bah : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Malik, dari Thaawuus, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang ayat : ‘kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’. Perawi berkata : Maka Sa’iid bin Jubair berkata : “Kekeluargaan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Lalu Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satu pun perut di kalangan Quraisy, kecuali beliau mempunyai kekerabatan dengan mereka. Lalu ayat itu pun kepada beliau, yang mengkonsekuensikan agar kalian menyambung kekerabatan antara aku dan kalian” [Shahih Al-Bukhaariy no. 3497].
 عَنْ الْعَبَّاس عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ قَلْبَ امْرِئٍ إِيمَانٌ حَتَّى يُحِبَّكُمْ لِلَّهِ وَلِقَرَابَتِي
Dari Al-‘Abbaas, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Demi Allah, tidak akan masuk iman pada hati seseorang hingga mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/207 & 207-208 & 4/165 dan dalam Al-Fadlaail no. 1756-1757 & 1760, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-Fadlaail no. 1783 & 1792, Al-Haakim 3/332-333, Al-Fasawiy 1/499, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2175, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 12/108-109 dan dalam Al-Musnad no. 918 dan Taariikh Al-Madiinah no. 1049, Al-Marwaziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah 1/453 no. 470, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 12228, Abu Ja’far Al-Bakhtariy dalam Juz-nya no. 574, Al-Khathiib dalam At-Taariikh 3/259-260 & 4/596, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 33/340; hasan – dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dalam syarah-nya terhadap Musnad Ahmad].
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، عَنْ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي"
Dari Zaid bin Arqam, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku, aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2408, Ahmad 4/366-367, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Musnad no. 514, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 7/319-320 no. 8119, ‘Abd bin Humaid no. 265, Ad-Daarimiy 4/2090-2091 no. 3359, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1551, Ibnu Khuzaimah no. 2357, Al-Baihaqiy 2/149-150 & 7/31-32 & 10/114-115, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 10/240-241 no. 4336, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 5/182-184 no. 5026 & 5028, Ibnu Mandah dalam Majaalis min Aamaliy no. 75, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 88, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 14/117-118 no. 3913 dan dalam Ma’aalimut-Tanziil 1/318-319 dan Al-Anwar fii Syamaailin-Nabiy no. 257].
عَنْ عَلِيّ: وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ صلى الله عليه وسلم إِلَيَّ أَنْ " لَا يُحِبَّنِي إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضَنِي إِلَّا مُنَافِق"
Dari ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berjanji kepadaku bahwasannya tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafiq” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 78, Ahmad 1/84 & 95 & 128 dan dalam Al-Fadlaail no. 948 & 961, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Fadlaailush-Shahaabah no. 1107, Ibnu Abi Syaibah 12/56-57, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 5022 & dalam Al-Kubraa no. 8431-8432 & 8097 & dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 50 & dalam Al-Khashaaish no. 100-102, Ibnu Maajah no. 114, At-Tirmidziy no. 3736, Ibnu Hibbaan no. 6924, Al-Bazzaar no. 560, Abu Ya’laa no. 445, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1325, Ibnu Mandah dalam Al-Iimaan no. 261, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 4/185, Al-Baghawiy no. 3908-3909, Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Mu’jam 1/333-334, Ibnu Jamii’ dalam Mu’jamusy-Syuyuukh no. 187, Al-Balaadzuriy dalam Al-Ansaab 2/350, dan Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 12/509].
2.      Hak untuk mendapatkan pembelaan dan pembebasan dari segala tuduhan (yang tidak benar).
Sebagai konsekuensi dari rasa cinta adalah melakukan pembelaan dan pembebasan dari segala tuduhan, fitnah, dan berbagai celaan tak berdasar yang dialamatkan kepada Ahlul-Bait.
Seperti halnya pembelaan terhadap ‘Aaisyah atas tuduhan berbuat zina, karena Allah ta’ala telah memberikan persaksian bebasnya ‘Aaisyah atas hal itu :
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” [QS. An-Nuur : 11].
Juga pembelaan terhadap ‘Aaisyah yang dituduh telah menjadi kafir, padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bahwa ia istrinya di dunia dan di akhirat (jannah).[2]
Juga pembelaan terhadap Ahlul-Bait dari anggapan memiliki sebagian sifat Rububiyyah Allah ta’ala.[3]
Kecintaan kita terhadap Ahlul-Bait tidak lah buta sehingga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Misalnya : Kecintaan kita tidaklah membuat kita membenarkan tuntutan Faathimah atas tanah Fadak dan menyalahkan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa yang menahannya. Abu Bakr melakukan hal itu hanyalah berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[4] Kecintaan kita tidak lah membuat kita membenar-benarkan tindakan sebagian ‘habaaib’ yang sering mengajak manusia untuk mengkultuskan mereka, sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkultusan individu.
عَنْ عُمَر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: " لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ"
Dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda : “Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana Nashara berlebih-lebihan terhadap Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku adalah hamba dan Rasul-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3445 & 6830, Ad-Daarimiy no. 2784, Ahmad 1/23 & 1/24 & 1/47 & 1/55-56, Ibnu Hibbaan dalam Shahih-nya no. 413 & 414 & 6239 dan dalam Ats-Tsiqaat 2/152-153, Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 535 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah 1/291 & 5/498, Ath-Thayaalisiy no. 24, Al-Humaidiy no. 27, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 194, Abu Ya’laa no. 153, ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf no. 9758 dan dalam At-Tafsiir no. 3642, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 1937, Ibnu Jamii’ dalam Mu’jamusy-Syuyuukh no. 111, Adz-Dzahabiy dalam Al-Mu’jamul-Mukhtash 1/41 & 1/193, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad  no. 2436 & 2674, Al-Baghawiy no. 3681, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail no. 330, Ibnu Abi Khaitsamah dalam At-Taariikh no. 968, Al-Khathiib dalam Al-Fashl no. 408, dan Abu Zur’ah Thaahir Al-Maqdisiy dalam Shafwatut-Tashawwuf no. 679].
‘Ali bin Al-Husain Zainal ‘Aabidiin rahimahumallah pernah berkata dalam sebuah riwayat berikut:
أبو خالد الكابلي سمعت علي بن الحسين عليه السلام يقول : ان اليهود أحبوا عزيرا حتى قالوا فيه ما قالوا فلا عزير منهم ولا هم من عزيز، وأن النصارى أحبوا عيسى حتى قالوا فيه ما قالوا، فلا عيسى منهم ولاهم من عيسى. وانا على سنة من ذلك ان قوما من شيعتنا سيحبونا حتى يقولوا فينا ما قالت اليهود في عزير، وما قالت النصارى في عيسى بن مريم، فلاهم منا ولا نحن منهم.
Abu Khaalid Al-Kaabaliy : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain ‘alaihis-salaam berkata : “Sesungguhnya Yahudi mencintai ‘Uzair hingga mereka berkata tentangnya apa-apa yang telah mereka katakan.[5] Padahal. ‘Uzair bukan termasuk golongan mereka, dan mereka pun bukan termasuk pengikut ‘Uzair. Dan sesungguhnya Nashaaraa mencintai ‘Iisaa hingga mereka berkata apa-apa yang telah mereka katakan. Padahal ‘Iisaa bukan termasuk golongan mereka, dan mereka bukan termasuk pengikut ‘Iisaa. Sesungguhnya hal itu juga berlaku pada kami. Ada suatu kaum dari Syi’ah kami yang mencintai kami hingga mereka mengatakan tentang kami (seperti) apa-apa yang telah dikatakan oleh Yahudi terhadap ‘Uzair dan yang dikatakan Nasharaa terhadap ‘Iisaa bin Maryam. Maka mereka itu bukan termasuk kami, dan kami pun bukan termasuk mereka” [Rijaalul-Kasysyiy, hal 111 – referensi Syi’ah].[6]
3.      Hak untuk disampaikan shalawat dan salam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memerintahkan kita untuk mengucapkan kepada ahlul-bait beliau. Misalnya setelah tasyahud pada waktu saat shalat :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ: " اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَعَلَى أَزْوَاجِهِ، وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ"
Dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari Abu Bakr Muhammad, dari ‘Amru bin Hazm, dari seorang laki-laki dari kalangan shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Ya Allah, berilah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya, serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 3103, dan dari jalannya Ahmad 5/374; shahih].
Dalam doa :
أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأُمَوِيُّ فِي حَدِيثِهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ خَارِجَةَ، قَالَ: أَنَا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: " صَلُّوا عَلَيَّ وَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ وَقُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ"
Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid Al-Umawiy dalam haditsnya, dari ayahnya, dari ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Khaalid bin Salamah, dari Muusaa bin Thalhah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Khaarijah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Bershalawatlah kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Ucapkanlah : “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1292; shahih].
Atau secara umum di waktu-waktu yang lain.[7]
4.      Hak mendapatkan khumus (seperlima harta ghanimah atau fai’).
Allah ta’ala berfirman :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” [QS. Al-Hasyr : 7].
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabiil…..” [QS. Al-Anfaal : 41].
حدثنا أحمد بن سنان ، ثنا عبد الرحمن بن مهدي ، ثنا سفيان ، عن قيس بن مسلم ، قال : سألت الحسن عن قوله : « ( واعلموا أنما غنمتم من شيء فأن لله خمسه وللرسول ولذي القربى ، قال : اختلف الناس بعد وفاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في هذين السهمين ، فقال قائلون : سهم القرابة لقرابة النبي صلى الله عليه وسلم ، وقال قائلون : لقرابة الخليفة » وروي عن سعيد بن جبير ، وعكرمة ، قالا : « قرابة النبي صلى الله عليه وسلم»
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sinaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Qais bin Muslim, ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan tentang firman Allah : ‘Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul’ (QS. Al-Anfaal : 41), maka ia menjawab : “Orang-orang berselisih pendapat setelah wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang dua bagian ini. Beberapa orang berkata : ‘Bagian kekerabatan adalah untuk kerabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Sebagian lain mengatakan : ‘Untuk kerabat khaliifah”. Dan diriwayatkan dari Sa’iid bin Jubair dan ‘Ikrimah, mereka berdua berkata : “(Untuk) kerabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya 7/97; sanadnya shahih sampai Al-Hasan].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وكذلك آل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، لهم من الحقوق ما يجب رعايتها؛ فإن الله جعل لهم حقا في الخمس والفيء، وأمر بالصلاة عليهم مع الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم،
“Dan begitu pula keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mempunyai hak-hak yang wajib untuk dipelihara. Karena Allah ta’ala telah menjadikan bagi mereka hak (memperoleh bagian) khumus dan fai’. Dan memerintahkan mengucapkan shalawat kepada mereka bersama shalawat yang diucapkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam…” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 3/407].
Seperti yang telah kita lihat, bahwa Allah ta’ala hanya menentukan bagian khumus ini dari ghanimah dan fai’. Akan tetapi, Syi’ah mengada-adakan sendiri aturan bahwa khumus itu juga diambil dari semua jenis harta kaum muslimin.[8]
Sebagai tambahan : Ahlul-bait berhak mendapatkan khumus, akan tetapi mereka diharamkan menerima shadaqah. Hal itu dikarenakan untuk memuliakan mereka dan membersihkan mereka dari kotoran, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ، وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ
Sesungguhnya shadaqah-shadaqah ini hanyalah kotoran manusia. Ia tidak halal bagi Muhammad dan juga bagi keluarga Muhammad” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1072, Ahmad 4/166, Abu Daawud no. 2985, An-Nasaa’iy dalam Ash-Shughraa no. 2609 dan dalam Al-Kubraa no. 2401, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul wal-Matsaaniy no. 438, Ibnu Khuzaimah no. 2342 & 2352, Abu ‘Awaanah no. 2605, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj no. 2396 dan dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 2755, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 5/54-55 no. 4566, Al-Khaththaabiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/186, Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 842, Ibnu Abi Syaibah dalam Taariikh Al-Madiinah no. 1051].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وأما تحريم الصدقة، فحرمها عليه وعلى أهل بيته تكميلًا لتطهيرهم ودفعًا للتهمة عنه، كما لم يورث، فلا يأخذ ورثته درهمًا ولا دينارًا،
“Adapun pengharaman shadaqah, maka ia diharamkan terhadap beliau dan ahlul-baitnya sebagai satu kesempurnaan penyucian mereka dan menolak kecurigaan terhadap beliau. Sebagaimana juga beliau tidak mewariskan sesuatu pun. Oleh karena itu, mereka tidak diperbolehkan mengambil satu dinar atau satu dirham pun” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/30].
5.      Hak pengakuan bahwa nasab mereka adalah nasab yang (paling) mulia.
Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ"
Sesungguhnya Allah telah memilih dari anak Ismaa’iil, dan telah memilih Quraisy dari (anak-anak) Kinaanah, dan telah memilih dari (anak-anak) Quraisy Bani Haasyim, dan telah memilihku dari Bani Haasyim” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2276, Ibnu Abi Syaibah 11/478, Ahmad 4/107, At-Tirmidziy no. 3605-3606, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1499 dan dalam Al-Aahaadu wal-Matsaaniy no. 893, Al-Laalikaa’iy no. 1399, Abu Ya’laa no. 7485 & 7487, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/5, Ibnu Hibbaan no. 6242 & 6333 & 6375, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 22/no. 161, Al-Haakim dalam Al-Ma’rifah 1/161, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 6/363 & 7/132 dan dalam Dalaailun-Nubuwwah 1/165-166 dan dalam Syu’abul-Iimaan no. 1391, Al-Jurjaaniy dalam Al-Amaaliy no. 247, Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathil no. 161, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah 1/38-39 no. 27, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3613 dan dalam Ma’aalimut-Tanziil no. 1390, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 13/64].
Satu hal yang patut di simak dalam hal bahasan ini adalah perkataan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah :
معناه أنَّ العملَ هو الذي يَبلُغُ بالعبدِ درجات الآخرة، كما قال تعالى: {وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا}، فمَن أبطأ به عملُه أن يبلُغَ به المنازلَ العاليةَ عند الله تعالى لَم يُسرِع به نسبُه، فيبلغه تلك الدَّرجات؛ فإنَّ اللهَ رتَّب الجزاءَ على الأعمال لا على الأنساب، كما قال تعالى: {فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلاَ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُونَ}، وقد أمر الله تعالى بالمسارعةِ إلى مغفرتِه ورحمتِه بالأعمال، كما قال: {وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِن رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالكَاظِمِينَ الغَيْظَ} الآيتين، وقال: {إِنَّ الَّذِينَ هُم مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُشْفِقُونَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَ يُشْرِكُونَ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Maknanya adalah amal lah yang menyampaikan seorang hamba kepada derajat-derajat akhirat, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan’ (QS. Al-An’am : 32). Barangsiapa yang melambatkan amalnya yang dapat menyampaikannya ke tempat yang tinggi di sisi Allah, maka tidaklah bisa dipercepat dengannya oleh (kemuliaan) nasabnya yang kemudian menyampaikannya kepada derajat tersebut. Karena sesungguhnya Allah menetapkan balasan berdasarkan amal, bukan berdasarkan nasab, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya’ (QS. Al-Mukminuun : 101). Allah ta’ala telah memerintahkan untuk berlomba-lomba menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan amalan, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya’ (QS. Ali ‘Imraan : 133-134). Dan juga firman-Nya : ‘Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apa pun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya’ (QS. Al-Mukminuun : 57-61)” [Dinukil melalui perantaraan Fadhlu Ahlil-Bait wa ‘Uluwwu Makanaatihim ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah oleh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad Al-Badr, hal. 14-15; Daar Ibnil-Atsiir, Cet. 1/1422].
Dan tingkat ketaqwaan lah yang akan menentukan kemuliaan seseorang di sisi Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [QS. Al-Hujuraat : 13].
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبي نَضْرَةَ، حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَقَالَ: " يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَباكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بالتَّقْوَى، أَبلَّغْتُ؟ "، قَالُوا: بلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abu Nadlrah : Telah menceritakan kepadaku dari seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada pertengahan hari-hari tasyriq. Beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang ‘Arab atas orang ‘Ajam (non-‘Arab), tidak pula orang ‘Ajam atas orang ‘Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketaqwaan. Apakah aku telah menyampaikannya ?”. Mereka menjawab : “Rasulullah telah menyampaikannya…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/411. Orang yang mendengar khutbah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana tertera dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/100 dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 4921 & 5137. Hadits ini shahih].
Oleh karena itu, bagi bapak-bapak habiib (habaaib) yang mengaku punya nasab mulia, maafkanlah kami seandainya kami tidak memberikan loyalitas kepada sebagian antum yang masih saja doyan bid’ah atau bahkan kesyirikan. Nasab bukanlah objek yang bisa dijadikan alat untuk mendapatkan loyalitas, dukungan, atau bahkan……. (mesin penghasil keuntungan dunia – inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun jika ada yang demikian).
Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat bagi kita semua…..
Wallaahu ta’ala a’lam.
[abul-jauzaa’ al-bogoriy – 1432 – hari pertama tahun 2011 M].



[1]      Mengenai pembahasan Ahlul-Bait, silakan baca artikel kami : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html.
[3]      Sebagaimana anggapan orang-orang Syi’ah bahwa ‘Aliy dan sebagian keturunannya mengetahui semua perbendaharaan ilmu, mengetahui kapan akan mati, bebas dari kesalahan dan lupa, dan yang lainnya. Silakan baca artikel kami :
[5]      Yaitu ‘Uzair anak Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[6]      Nukilan ini sebagai pelajaran bagi orang Syi’ah yang terbiasa dengan sikap berlebih-lebihan dalam ‘mencintai’ (???); yang diambil dari perkataan salah satu imam mereka.
[7]      Sebagai suplemen, silakan baca artikel kami : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/fatwa-asy-syaikh-ibnu-utsaimin.html.

Comments

Fahrie mengatakan...

Terimakasih atas ilmunya, izin copy ya..

Anonim mengatakan...

Ustadz , adakah catatan siapa yang termasuk ahlul bait yang hidup sekarang ini dan dimana mereka bertempat tinggal ?

Ataukah memang dirahasiakan agar tidak terjadi pengkultusan ya ? karena selama ini tidak ada info perihal ini .

Kalau ada catatannya sukron kalau bisa di infokan .

Anonim mengatakan...

Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada satu pun perut di kalangan Quraisy, kecuali beliau mempunyai kekerabatan dengan mereka.

Coba bandingkan terjemah di atas dengan tafsir al Jalalain untuk surat al Hujurat:13:
{ وَقَبَآئِلَ } هي دون الشعوب وبعدها العمائر ثم البطون ثم الأفخاذ ثم الفصائل آخرها مثاله خزيمة : شعب ، كنانة قبيلة . قريش عِمارة بكسر العين قصيّ : بطن ، هاشم فخذ . العباس فصيلة
"bathn" dalam hadits di atas lebih tepat diterjemahkan dengan perut ataukah dengan suku, marga semisalnya semisalnya?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Setelah saya cek ke An-Nihaayah dan Lisaanul-'Arab, maka al-bathn di situ lebih tepat diterjemahkan marga atau suku atau yang semisalnya (klan). Di atas saya hanya menterjemahkan secara bahasa yang jamak terpakai (dengan makna : perut sebagai kebalikan dari punggung, atau pertengahan sesuatu).

Terima kasih atas masukannya, jazaakallaahu khairan. Akan saya perbaiki.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim (2 Januari),.... Ahlul-Bait masih ada sampai sekarang, baik yang ngaku-ngaku atau yang beneran. Sebagian di antara mereka mempunyai data silsilah nasab mereka sampai ke Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam atau Bani Haasyim ang lain.

Anonim mengatakan...

Ada yg mencak2 & kebakaran jenggot akibat membaca artikel ini.

Coba baca : http://alfanarku.wordpress.com/2011/01/01/hak-hak-ahlul-bait-menurut-ahlus-sunnah/#comment-629

He he he he...

Unknown mengatakan...

Sebagian besar 'Alawiyyin (mereka yang menyebut diri mereka habib ataupun habaib) adalah kaum yang paling sombong dan pongah terhadap kebenaran (Al-Haq), dibandingkan dengan kaum-kaum arab Non 'Alawiyyin, dan non Arab di tanah Melayu.

Walaupun Hujjah (dari Kitabullah, Sunnah, Atsar-2 dan pemahaman para sahabat yang shahih) yang telah kita sampaikan kepada mereka, baik dengan lemah lembut, tegas, logika akal sehat dan perumpamaan-2 yang menyentuh, sungguh kita seperti mengukir batu yang terbuat dari baja, yaitu tak berbekas, keras bahkan lebih keras dari batu baja, bahkan mereka tolak tanpa hujjah dan renungan sebagaimana manusia yang berakal sehat.

Dengan mudah dan pongahnya mereka menjawab bila kita tanya, kenapa antum tidak merenungkan dan pelajari dengan teliti dan berdo’a kepada Allah ta’ala terlebih dulu?

Jawaban mereka tidak berkisar lebih dari ini:

1. Mereka sangat mendahulukan akal daripada Al-Quran dan Sunnah.
2. Mereka merasa lebih benar dari kaum-kaum lainnya walaupun mereka tidak pernah sekolah sekalipun tentang agama, mereka hanya cukup bangga dengan nasab yang mereka miliki.
3. Mereka lebih mendahulukan pendapat dari golongannya, yaitu tokoh-2-nya baik tokoh-2 sufi yang terdahulu maupun yang sekarang yang masih hidup.
4. Mereka melihat siapa dulu yang menasihati, kalau bukan dari kaum mereka sendiri, maka mereka serentak menjawab dengan, “Ah kamu ambil dari Wahabi”, atau “Ah kamu orang-orang Ahwal” atau “O o, antum masya’eh”, dst.
5. Mereka kebanyakan bodoh akan agama, sehingga mereka lebih menyimaki dan menerima produk-produk pemikiran orang-orang bule dari kalangan Yahudi maupun Nashrani.
6. Permasalahan-permasalahan akan agama dan kehidupan mereka, mereka cukup lari kepada orang-orang yang mereka wali-wali-kan baik yang masih hidup ataupun yang telah mati.

Ana pribadi sering mendengar hayalan-hayalan dari sebagian tokoh-tokoh mereka tentang ghaib akan kepastian selamatnya mereka ‘Alawiyyin dari fitnah kubur dan hisab di Alam Pembalasan nanti diantaranya:

1. Malaikat Maut adalah sangat segan bila mencabut Ruh setiap orang dari kalangan kaum mereka, sehingga mencabutnya dengan meminta izin dan pelan lemah lembut.
2. Dua Malaikat, Mungkar dan Nakir, segan menanyakan setiap dari kalangan mereka sehingga hanya cukup diberikan semisal amnesty atau dispensasi .
3. Nanti pada Hari Pembalasan di Yaumud-Diin, Fatimah binti Rasul radhiallahu’anha akan memimpin anak keturunannya saja, dan akan menanggungkan semua dosa dan kesalahan anak cucunya dengan menghadap Allah ta’ala pengampunan buat mereka.
4. Dan banyak lagi cerita-cerita hayalan yang mereka yakini dengan pasti.

Unknown mengatakan...

Sebagian besar 'Alawiyyin (mereka yang menyebut diri mereka habib ataupun habaib) adalah kaum yang paling sombong dan pongah terhadap kebenaran (Al-Haq), dibandingkan dengan kaum-kaum arab Non 'Alawiyyin, dan non Arab di tanah Melayu.

Walaupun Hujjah (dari Kitabullah, Sunnah, Atsar-2 dan pemahaman para sahabat yang shahih) yang telah kita sampaikan kepada mereka, baik dengan lemah lembut, tegas, logika akal sehat dan perumpamaan-2 yang menyentuh, sungguh kita seperti mengukir batu yang terbuat dari baja, yaitu tak berbekas, keras bahkan lebih keras dari batu baja, bahkan mereka tolak tanpa hujjah dan renungan sebagaimana manusia yang berakal sehat.

Dengan mudah dan pongahnya mereka menjawab bila kita tanya, kenapa antum tidak merenungkan dan pelajari dengan teliti dan berdo’a kepada Allah ta’ala terlebih dulu?

Jawaban mereka tidak berkisar lebih dari ini:

1. Mereka sangat mendahulukan akal daripada Al-Quran dan Sunnah.
2. Mereka merasa lebih benar dari kaum-kaum lainnya walaupun mereka tidak pernah sekolah sekalipun tentang agama, mereka hanya cukup bangga dengan nasab yang mereka miliki.
3. Mereka lebih mendahulukan pendapat dari golongannya, yaitu tokoh-2-nya baik tokoh-2 sufi yang terdahulu maupun yang sekarang yang masih hidup.
4. Mereka melihat siapa dulu yang menasihati, kalau bukan dari kaum mereka sendiri, maka mereka serentak menjawab dengan, “Ah kamu ambil dari Wahabi”, atau “Ah kamu orang-orang Ahwal” atau “O o, antum masya’eh”, dst.
5. Mereka kebanyakan bodoh akan agama, sehingga mereka lebih menyimaki dan menerima produk-produk pemikiran orang-orang bule dari kalangan Yahudi maupun Nashrani.
6. Permasalahan-permasalahan akan agama dan kehidupan mereka, mereka cukup lari kepada orang-orang yang mereka wali-wali-kan baik yang masih hidup ataupun yang telah mati.

Ana pribadi sering mendengar hayalan-hayalan dari sebagian tokoh-tokoh mereka tentang ghaib akan kepastian selamatnya mereka ‘Alawiyyin dari fitnah kubur dan hisab di Alam Pembalasan nanti diantaranya:

1. Malaikat Maut adalah sangat segan bila mencabut Ruh setiap orang dari kalangan kaum mereka, sehingga mencabutnya dengan meminta izin dan pelan lemah lembut.
2. Dua Malaikat, Mungkar dan Nakir, segan menanyakan setiap dari kalangan mereka sehingga hanya cukup diberikan semisal amnesty atau dispensasi .
3. Nanti pada Hari Pembalasan di Yaumud-Diin, Fatimah binti Rasul radhiallahu’anha akan memimpin anak keturunannya saja, dan akan menanggungkan semua dosa dan kesalahan anak cucunya dengan menghadap Allah ta’ala pengampunan buat mereka.
4. Dan banyak lagi cerita-cerita hayalan yang mereka yakini dengan pasti.

Unknown mengatakan...

Kalau kita mau sedikit riset kehidupan mereka lebih teliti dan dalam, Sungguh sangat menyedihkan melihat keadaan mereka beragama dan kehidupan mereka sehari-hari. Sebenarnya mereka, karena kebodohan akan agama, mereka yang awam lebih menerima bualan-bualan tokoh-tokoh mereka dengan cukup tutup mata tanpa pikir, kebanyakan mereka tertipu.

Kebanyakan mereka bergelimang dengan kemaksiatan di atas kemaksiatan baik kecil maupun besar. Bergeliman dengan dosa-dosa di atas dosa-dosa baik kecil maupun besar, wal’iyyadzubillah.

Sebenarnya mereka sangat amat jauh dari hidayah, cara hidup, tujuan hidup, pola hidup, motto hidup, asas-asas hidup, dan seterusnya yang menyangkut akan fundamental kehidupan mereka sebenarnya tidak berada di atas agama yang telah di bawa oleh Rasulullah salallahu’alayhi wasallam, para sahabatnya dan juga para Ahlil-Bait Rasul baik dari generasi pertama, kedua, dan ketiga, kecuali sangat sedikit. Justru mereka telah, sedang dan akan terus berkehidupan layaknya seperti orang-orang barat (Ahlil-Kitab dan non Ahlil-Kitab) berperikehidupan. Wallaahu musta’an.

Menurut mereka, bila mereka ingin mendekatkan dirinya kepada Agama Allah dan Rasul-Nya, adalah dengan acara-acara ke-agamaan yang penuh dengan kebid’ahan, seperti, mauludan, isra’ mi’raj, safaran, tahun baruan hijriah, nishfu sya’banan, asyurahan (Muharraman), tahlilan, khaul-khaulan, ziarah ke-kubur-kubur wali-wali bertawassul meminta dan memohon pertolongan, dst.

Bagi kaum wanita mereka, ini juga cukup menyedihkan, mereka sangat memegang pendapat-pendapat tokoh-tokoh mereka, yaitu wanita-wanita mereka (yang mereka sebut wanita-wanita mereka dengan panggilan syarifah) tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki dari kalangan non ‘Alawiyyin, bahkan ada juga (segelintir dari mereka) sampai mengharamkan. Tokoh-tokoh mereka mendalilkan dalih-dalih mereka diatas pendapat-pendapat para ulama yang lemah. Tapi sekarang , sebagian mereka berani dengan memakai dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah yang shahih tapi mereka putar-balik-kan makna dan maksud sesuai dengan tujuan dan amannya hawa nafsu mereka.

Tapi laki-laki dari kalangan mereka, tidak mengapa, walaupun anjuran orang-orang tua mereka agar mengawini wanita dari kalangan mereka sendiri. Mereka memberikan persyaratan kepada calon istri yang bukan dari kaum mereka, yaitu “Asal nantinya istri-istri mereka harus muhibbin”. Artinya harus menjadi istri-istri yang mencintai para ‘Alawiyyin dengan buta.

Wanita-wanita dari kaum mereka yang tetap ingin menikah dengan laki-laki Non ‘Alawiyyin, maka mereka tidak akan mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya, walaupun calon suaminya adalah seorang yang sangat shaleh dan selamat agamanya. Sehingga sudah banyak sekarang, dari mereka yang kawin tanpa persetujuan kedua orang tuanya, kawin lari. Tentu kedua orang tuanya tidak akan mengakui anaknya selama-lamanya.

Ada juga segelintir keluarga-keluarga dari kaum ‘alawiyyin yang lebih terbuka, menikahkan anak-anak perempuannya dengan laki-laki dari kalangan Non ‘Alawiyyin. Tapi, apa yang mereka terima dari kaumnya, adalah pemboikotan, isolasi, cibiran bibir, dan tak jarang pula penghinaan yang berlebihan.

Tapi tentu tidak semuanya mereka yang demikian, tapi ada juga yang tegak di atas kebenaran, tapi sangat amat sedikit.

Itulah yang ana amati lebih dekat dan dalam perikehidupan mereka.

Semoga Allah ‘azza wajall mengaruniakan mereka hidayah dan taufiq.

Anonim mengatakan...

Kalo ngomong masalah ahlul bait (baca : habaib), memang tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang mereka yg mudah diamati di sekitar kita ini. Namun begitu, saya yakin tidak semua gambaran habaib identik dengan kenyataan di sekeliling kita. Saya percaya kok, ada sebagian habaib yg tetap konsisten dengan jalur sunnah walaupun mungkin mereka tidak menampakkan nasab mereka (baca: ga pamer2) karena udah bisa ditebak, mereka pasti akan langsung dicap wahabi dan langsung dikucilkan.

Oleh karena itulah, terlepas dari mereka benar2 ahlul bait atau bukan, saya serahkan semuanya pada Allah Ta'ala, Allah-lah yg lebih mengetahui keadaan dan ibadah mereka. Biar gimana jg, mereka adalah saudara seiman kita. Kita do'akan semoga bapak2 habaib yg masih doyan ngajarin tabarruk pada kubur, tawassul pada para wali yg sudah wafat, nariyahan, mauludan dsb, semoga mereka diberi hidayah oleh Allah Ta'ala untuk kembali ke jalan Qur'an dan sunnah2 shahih.

"Barangsiapa yg diperlambat oleh amalnya (karena sedikit) niscaya nasabnya tidak akan bisa mempercepat" (Hr. Ahmad 19/65)

Unknown mengatakan...

Anonim mengatakan 10 Januari 2011 19.22 :

Namun begitu, saya yakin tidak semua gambaran habaib identik dengan kenyataan di sekeliling kita. Saya percaya kok, ada sebagian habaib yg tetap konsisten dengan jalur sunnah walaupun mungkin mereka tidak menampakkan nasab mereka (baca: ga pamer2) karena udah bisa ditebak, mereka pasti akan langsung dicap wahabi dan langsung dikucilkan.
---------------------------

Akhi...
Benar antum, ana sependapat.
Kalau antum jeli membaca komentar-2 ana, tentu antum mendapatkan bahwa ana tidak men-generalize (stereotype) mereka semua sebagai kaum pelaku bida'ah, quburiyyun, gemar bermaksiat dst.

Barakallahu fiikum

Unknown mengatakan...

saya rasa para ahlil bait tidak butuh loyalitas anda ustadz abul jauza...dan suatu hari tuduhan anda akan bid'ah, syirik dan lain2 kepada para habaib dan ahlul bait akan diminta pertanggung jawabannya di hadapan allah azza wa jalla.....
washalallahu 'ala sayyidina wa habibina wa syafi'ina muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajmain....

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

benar kata Anda, Ahlul-Bait tidak butuh dengan loyalitas saya, tapi saya lah yang 'butuh' loyalitas kepada Ahlul-Bait karena Rasulaullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya. Tentu saja, Ahlul-Bait yang shaalih, bukan thaalih. Tidak semua Ahlul-Bait (baik yang asli ataupun yang hanya mengaku-aku) pantas diberikan loyalitas.

Anonim mengatakan...

@akhi ridho,

Anda jgn cuma menjustifikasi abul jauzaa' saja, anda jgn lupa, para habaib itupun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa saja yg telah mereka lakukan didunia ini. Maaf2 saja akhi, jgn mentang2 keturunan/ahlul bait Rasulullah lalu bebas dari pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta'ala kelak.

@abul jauzaa,

benar ustadz, saya sepakat, kita tentu akan berloyalitas pada ahlul bait yg sholih, yg memerintahkan untuk mengikuti Qur'an dan sunnah dan tidak melakukan bid'ah yg bahkan tidak disyari'atkan oleh baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam.

Unknown mengatakan...

@abu jauzaa'

'Hebat' bgt ulasan nya..hehehe

Anda tau gak kenapa ahlul bait dan keturunan nya di haramkan menerima zakat dan shadaqoh?

Anda tau gak kenapa lamaran abu bakar ra dan ummar ra untuk sayyidah fatimah ra di tolak oleh Rasulullah shallalahu 'alaihi wasalam,malah sayyidah fatimah ra di nikakan dgn sayyidina ali kw yg tidak mempunyai apa2 ?

Harusnya anda belajar dulu pada itrah Rasulullah di zaman skrg (habaib).
Jgn belajar pada tanduk syaitan dari najd.

Anonim mengatakan...

@ alwy

Habib Alwy, kalau antum menganggap artikel yang dibuat Akh Abu Jauzaa (diatas) Ada Kesalahan/SEMUANYA SALAH...silahkan di jelaskan dimana salahnya.

Pengunjung/pemilik blog ini Insya Allah juga terbuka menerima informasi dari siapapun selama ianya bersesuaian dengan Qur'an dan Sunnah.

karena ianya dalam rangka saling nasihat menasehati dalam Kebenaran dan Kesabaran.

Monggo Habib...

Salam Manis
Pakubumi

Anonim mengatakan...

@habib Alwy yg mulia, semoga cahaya keberkahan dari Allah senantiasa menaungi dirimu wahai habib.

Afwan ya habib yg mulia, kiranya jgn pelit dalam berbagi ilmu. Jika sekiranya apa yg dipaparkan oleh ustadz Abul Jauzaa kurang lengkap, dapatlah yg mulia paparkan disini.

Tanduk syetan dari Najd? Sekali lagi afwan wahai habib yg mulia, jgnlah mengatakan apa2 yg tidak habib ketahui demi kebaikan kita bersama.

Demikianlah Al Allamah habib Alwy, semoga bisa dipertimbangkan.

--Abu Ahmad--

bangga mengatakan...

@Syibl
Semoga sampean tetap melaksanakan sholat subuh dengan dua raka'at...amin.

LOLA mengatakan...

blog wahbabi.....nih..!!!

LOLA mengatakan...

tanduk setan dari nejd ,asal ajaran abu jauza

bangga mengatakan...

Ulama berbeda pendapat mengenai arti bid'ah. Ada yang memaknai semuanya sesat, ada pula yang menganggap terbagi dua antara yang baik (hasanah) dan yang buruk (sayyi-ah/dholalah).

Berikut ini adalah praktek bid'ah hasanah dari zaman salaf hingga khalaf. Sebagiaannya diperdebatkan oleh para pendukung "semua bid'ah adalah sesat". Dalam hal ini kita kembalikan pada perkataan al-Imam Malik di hadapan kubur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, "setiap orang bisa diterima atau ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kubur ini"

Saya awali dengan sedikit membahas hadis "kullu bid'atin dholalah" (segala bid'ah adalah sesat).

Kata "kullu" tidak selalu mencakup seluruh. Ini terbukti di dalam al-Quran

وجعلنا من الماء كل شىء حي

“Dan telah Kami (Allah) ciptakan segala (kullu) sesuatu yang hidup dari air yang hidup” (Q.S. al Anbiya’: 30)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

كل شىء خلق من الماء (رواه ابن حبان

Maknanya: “Segala (kullu) sesuatu diciptakan dari air” (H.R. Ibn Hibban)

Telah jelas bagi kita bahwa malaikat diciptakan dari cahaya, syaitan diciptakan dari api, serta fakta-fakta lain, yg merupakan pengecualian dari "kullu" yang disebutkan dalil-dalil di atas.

Hal ini juga dibuktikan dalam ayat yang lain
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas seluruh (kullu) kapal (al-Kahfi : 79)

Jelas disebutkan di ayat yang sama bahwa Khidr merusak kapal seorang miskin agar tidak diambil sang Raja (cek juga ayat 71). Dari sini dapat disimpulkan walaupun al-Quran menyebut bahwa si Raja merampas seluruh (kullu) kapal, tapi kapal yang rusak tidak dirampasnya.

Berikut ini adalah praktek bid'ah hasanah dari masa ke masa:

1. Pembukuan al-Quran di zaman khalifah Abdullah bin Utsman Abu Bakr ash-Shiddiq
"Sungguh Umar telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul-qur'an. Lalu ia menyarankan agar aku (Abu Bakar Asshiddiq) mengumpulkan dan menulis Al Qur'an. Aku berkata, "Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?" Maka Umar berkata padaku, "Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan". Ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar. Engkau (Zayd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur'an dan tulislah Al Qur'an!"

Zayd menjawab:

"Demi Allah, sungguh bagiku diperintah (untuk) memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung (yang ada), tidaklah seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al Qur'an. Bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?"

Maka Abu Bakar mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur'an".
(Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768)

2. Umar bin Khattab di masa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata, "Inilah sebaik-baik bid'ah!" (Shahih Bukhari hadits no. 1906). Poin ini termasuk yang paling diperdebatkan antar dua kubu ulama. Tapi hendaknya dihormati pendapat yang membela bid'ah hasanah, karena seorang al-Imam asy-Syafii telah memakai dalil ini untuk memisahkan antara bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

bangga mengatakan...

3. Dua kali adzan di Shalat Jumat tidak pernah dilakukan di masa Rasulullahshallallahu alaihi wasallam. Tidak pula di masa Khalifah Abu Bakar shiddiq. Khalifah Umar bin khattab pun belum memerintahkannya. Namun baru dilakukan di masa Utsman bn Affan, dan diteruskan hingga kini.
(Shahih Bukhari hadits no. 873)

4. Ibnu Umar membiarkan shalat dhuha berjamaah yang terjadi di masjid Nabawi, walaupun menyebutnya sebagai bid'ah.
Diriwayatkan dari Mujahid berkata: Saya dan 'Urwah bin Zubair telah memasuki mesjid, sedangkan Abdullah bin Umar duduk di kamar Aisyah sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat dhuha secara berjamaah, kami pun bertanya kepadanya tentang shalat orang-orang tersebut, dan beliau menjawab "Bid'ah".

5. al-Imam al-Bukhari, yang disebut Amirul Mu'minin fil-hadis selalu melakukan sholat 2 rakaat sebelum memasukkan suatu hadis ke kitab Shahih-nya. Hal ini beliau sebutkan sendiri di mukaddimah kitab Shahih-nya tersebut.

6. al-Imam at-Tirmidzi menganggap membaca "shadaqallahul-azhim" selepas membaca al-Quran adalah bagian dari adab, walaupun tidak ada hadis tegas ttg hal ini, hanya ada dalil umum dari al-Quran. Hal ini diikuti oleh ulama ahli Tafsir, al-Imam al-Qurthubi sebagaimana beliau sebutkan dalam kitab tafsirnya.

7. Telah disebutkan oleh para ulama, sebagaimana al-Imam an-Nawawi juga menyebutkannya dalam kitab al-Adzkar, bahwa salah satu adab membaca al-Quran adalah menghadap kiblat, padahal tidak ada dalil yang tegas dan khusus dalam masalah ini.

8. al-Imam As Suyuthi mengatakan peringatan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a (termasuk bid’ah yang terbaik), beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil Maulud (Tujuan Kebaikan dalam Amal Maulid).

9. Lafazh takbir hari raya "Allahu akbar kabira walhamdulillahi katsira wa subhanallahi...." tidak ada dalilnya, namun hal ini dipraktekkan di Masjidil Haram sampai sekarang.

10. Ucapan "shalaatul qiyaami atsaabakumullah", sebelum shalat qiyamul-layl di Masjidil Haram masih dipraktekkan hingga sekarang walaupun tidak ada dasarnya dari Nabi shallalahu alaihi wasallam

11. Para Imam di Masjidil-Haram selalu memperpanjang doa qunut witirnya melebihi apa yang diriwiyatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal ini pun dibenarkan oleh asy-Syaikh al-Utsaimin dalam salah satu risalahnya yang membahas qunut.

bangga mengatakan...

12. Berbeda dengan shalawat yg disyariatkan ketika menyebut nama Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak ada dalil khusus tentang penyebutan radhiallahu anhum bagi para sahabat (hanya ada dalil umum dalam al-Quran), ataupun rahimahumullah. Tetapi hal ini dipraktekkan mulai dari zaman salaf hingga sekarang.

Demikianlah sebagian bid'ah hasanah yang dipraktekkan dari masa ke masa. Dalam hal ini, ulama yang membolehkan bid'ah hasanah menganggap adanya dalil umum (co. ucapan shodaqallahu) atau kemashlahatan (co. adzan jumat 2 kali) bisa menjadi landasan munculnya bid'ah hasanah.


وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة

“hadits hadits ini merupakan kaidah kaidah dasar agama karena mencakup hukum hukum yg tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan para fuqaha dalam pembagian bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan thd bid'ah hasanah) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits),

maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah Bid’ah hasanah”, dg kau mengambil posisi melarangnya dg bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid'ah adalah sesat dan yg semacamnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal Bid’ah yg menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid'ah yg baik atau bid’ah yg sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid'ah (hal baru), maka bila ia membawa dalilnya (tentang Bid’ah hasanah) yg dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (aqlan wa syar’an) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).

Wallahu a'lam

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih mas Bangga atas copi pastenya. Mungkin maksud hati membuat artikel, namun apa daya mampir di Blog ini dan menumpahkannya di kolom komentar.

Saya tidak menampik bahwasannya ada beberapa ulama yang membagi bid'ah ada dua, baik dan tercela. Bahkan ada yang membagi sampai lima : wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Ini semua realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun sebagaimana yang sudah seharusnya, tidaklah semua realitas itu mesti dibenarkan. Ada realitas yang benar, ada pula yang salah. Begitu kira-kira. Saya ndak akan menanggapi komentar Anda yang luar biasa di atas. Komentar saya singkat, dan lebih menjurus pada pangkal masalah.

Kata Anda, tidak semua bid'ah dalam hadits kullu bid'atin dlalalah itu sesat. Alasan Anda, tidak semua kullu itu maknanya semua. Simpel saja, saya ndak akan berpanjang-panjang. Hadits yang Anda maksud adalah sebagai berikut :

كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار

"Setiap bid'ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka".

Kata Anda, lafadh kullu dalam hadits di atas tidak bermakna semua, tapi sebagian. Jadi maknanya menurut Anda : Sebagian (tidak semua) bid'ah itu sesat. Maka dari itu saya bertanya : Seandainya saya membenarkan perkataan Anda, maka benarkah jika dikatakan :

"Sebagian (tidak semua) kesesatan itu tempatnya di neraka ?".

Kan itu juga pakai lafadh kullu, dan masih satu kalimat dengan kullu bid'atin dlalalah. Jadi, ada macam jenis kesesatan yang tempatnya tidak di neraka (di surgakah ?).

Bagaimana jawabannya mas ?. Soalnya jika saya mengamalkan jawaban Anda di atas, saya jadi mentok menjawab yang ini. Terima kasih.

Anonim mengatakan...

Menyambung akh Abul Jauzaa',
Akhi bangga, tolong sebutin deh, kesesatan apa aja yg tidak bertempat di neraka? Bisa nggak?

Monggo, ditunggu mas...saya harap jangan lempar batu sembunyi tangan ya...

Unknown mengatakan...

Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka. Tetapi sayangnya golongan pengingkar tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini. Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya Hanya orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut.
Golongan pengingkar selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw. berikut ini : كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. Juga hadits Nabi saw.: مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم) ‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’. Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.

gorip mengatakan...

setuju dengan bangga.
saat ini banyak kaum muslimin yang rame ngomongin bid'ah. tetapi mereka tidak mengetahui / kurang mengerti maksud bid'ah. bukan tak mungkin, lama-lama islam hancur oleh ulah kita semua

abu Ridho mengatakan...

To : Mas Gorib Yang Mulia

Tolong dong bantu ana maksud bid'ah menurut antum karena ana mungkin yang termasuk "tidak mengetahui/kurang mengerti maksud bid'ah" menurut antum.

Ana tunggu pencerahan dari antum, jangan lama-lama ya !

Wassalam,

gorip mengatakan...

@abu Ridho
lah kan sudah ditulis lengkap ma sodara Bangga. makanya jangan baca spotong2. klo tiap komentar muncul satu titik pertanyaan dari bagian komentar itu, bakal terjadi debat kusir yg panjang. ngga ada faedahnya samasekali. lagian ngapain sih memperuncing perbedaan?

Anonim mengatakan...

Setahu saya CMIIW, amal yang dihitung sebagai bid'ah hasanah oleh ulama yang meperhitungkannya pada umumnya sama dengan mashalih mursalah bagi ulama yang tidak memperhitungkan bid'ah hasanah. Buktinya, para ulama yang memperhitungkan bid'ah hasanah juga mencela bid'ah-bid'ah munkaroh yang banyak "dianggap" sebagai bid'ah hasanah oleh orang awamnya.
Misal, Imam Suyuthi rahimahullah dalam kitab beliau Al-Amru bi al-Ittiba’ wa An-Nahy ‘an al-Ibtida’ menyebutkan :
Shalat Raghaib, Shalat di malam Nishfu Sya’ban dengan berjama’ah dan menjadikannya sebagai hari besar dan sy’iar khusus, puasa rajab,berdoa bersama-sama di senja hari Arofah, Mengeraskan suara ketika berdoa, Mandi, bercelak dan saling bersalaman di hari ‘Asyura dan lain-lain; semua itu beliau anggap sebagai bid'ah yang tercela.
Nah, sekarang pertanyaan kepada para pembela bid'ah hasanah : sebut dan umumkan ke masyarakat banyak contoh amalan ibadah yang termasuk bid'ah sayyi'ah ! Hampir pasti pelaku amalan tersebut akan mengcounter dengan ucapan "amalan ini termasuk bid'ah hasanah di sisi kami" atau dengan perkataan semisal. Allohu a'lam.

Anonim mengatakan...

teman abi ane habib tuh tp dya gg pamer2 kyk habib2 skrng tuh...
cuma klw nasabx smpe k rasulullah tp ilmux bertntang dgn al-qur'an dan sunnah...

Anonim mengatakan...

maaf sebelumnya ya abu jauza.. saya sangat saya mengagumi artikel yang anda ulas, altukel anda menambah wawasan ana dan saya sangat gembira.. kegembiraan saya hilang ketika ada orang yang memakai nama seperti namanya sihir yahudi (sybil) menistakan alawyin. (keturunan ali). saya termasuk alawyin. tapi demi Allah saya tidak merasa lebih pintar dari yang lain seperti yang dituduhkan si sybil.. bagi saya orang yangmerasa dirinya pintar hakikatnya adalah orang bodoh. saya tidak pernah merasa risih belajar dari orang lain, saya nyantri selama 6 tahun di madrasah ulumul qur'an dan sampai sekarang (umur 35 tahun) saya tetap mencium tangan mereka kalau berjumpa dengan mereka. saya juga sempat nyantri di YAPI selama tiga tahun.. dan antum boleh tanyakan kepada asatidz disana apakah ada pernah ada santri yang bernama abdurrahman alhabsyi 1996-2000 dari aceh. pernah belajar disana,? dan juga tolong tanyakan apakah dia syiah? antumboleh tanyakan kepada ust ali umar, mukmin, musleh, bahtiar aliridha, ahmad barakbah, muhammad bsa, ahmad assagaf. aziz, dll apakah abdurrahman bin dahlan bin abdurrahman bin shafi itu syiah. luar biasa kebencian si sybl itu kepada keturunan Ali dengan putri Nabi fatimah.. DEMI ALLAH saya berlepas diri dari nya dan semoga muslimin terhindar dari fitnah nya

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Maaf, keturunan 'Aliy dan Fathimah yang mana ?. Orang Raafidlah telah mencaci-maki keturunan Al-Hasan bin 'Aliy. Mereka juga mencaci keturunan Zaid bin 'Aliy beserta pendukungnya. Sebagian habaaib 'alawiyyiin pun mencela dan menistakan 'alawiyyiin yang lainnya yang berseberangan paham.

Seandainya si sybl yang Anda maksud itu membenci dan menistakan para 'alawiyyiin yang shaalih, saya juga turut berpartisipasi berdoa agar ia tidak beruntung dalam agama dan dunianya.....