Ketika blog walking dengan bantuan mbah Gugel, tiba-tiba browser saya tertancap pada satu blog yang membuat pandangan saya membaca larik demi larik kalimat di satu artikel dalam blog tersebut. Sebenarnya, sebelumnya, saya tidak berniat menulis artikel ini mengingat tugas-tugas di meja masih menanti. Dikarenakan bacaan tersebut, akhirnya saya pun buka-buka sedikit matan buku yang kebetulan saya punya. Ya, hati ini dibuat penasaran dengan statement sebagaimana yang tertera dalam judul artikel di atas. Apalagi bumbu-bumbu kalimat kurang enak dibaca lagi ‘tendensius’ ikut serta.
Kurang lebih, begini sebagian perkataan yang saya baca dalam blog tersebut :
Untuk sapi untuk tujuh orang tidak punya dalil yang sahih . Ada hadis tapi lemah sbb :
Ibnu Abbas ra berkata :
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيرِ عَشَرَةً
Kami bersama Rasulullah SAW dlm suatu perjalanan , lalu tibalah Idul adha, kami bergabung untuk tujuh orang dengan satu lembu dan sepuluh orang dengan satu onta
Tirmidzi menyatakan , hasan ghorib. Riwayatnya terdapat Al Fadhel bin Musa yang suka menyampaikan hadis nyeleneh dan Husain bin Waqid yang suka ngelantur . Korban urunan tidak ada tuntunannya.
Tirmidzi menyatakan , hasan ghorib. Riwayatnya terdapat Al Fadhel bin Musa yang suka menyampaikan hadis nyeleneh dan Husain bin Waqid yang suka ngelantur . Korban urunan tidak ada tuntunannya.
[garis bawah adalah dari saya].
Nampaknya, al-ustadz yang terhormat mendla’ifkan hadits ini karena dua faktor perawi tersebut.
Dengan mengharap taufiq dari Allah ta’ala, saya menuliskan :
Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
حدثنا الحسين بن حريث وغير واحد قالوا حدثنا الفضل بن موسى عن حسين بن واقد عن علباء بن احمر عن عكرمة عن بن عباس قال : كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر الأضحى فاشتركنا في البقرة سبعة وفي الجزور عشرة قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب وهو حديث حسين بن واقد
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits dan yang lainnya, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa, dari Husain bin Waaqid, dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Tibalah hari ‘Iedul-Adhlaa. Lalu kami berserikat sebanyak tujuh orang untuk seekor sapi dan sepuluh orang untuk seekor onta”.
Abu ‘Isaa berkata : “Hadits ini hasan ghariib, dan ia adalah hadits Husain bin Waaqid” [As-Sunan, no. 905 dan 1501].
Berikut keterangan para perawi yang membawakan hadits tersebut :
1. Al-Husain bin Huraits bin Al-Hasan bin Tsaabit bin Quthubah Al-Khuzaa’iy, Abu ‘Ammaar Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah (w. 244 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 246 no. 1323].
2. Al-Fadhl bin Muusaa As-Siinaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang meriwayatkan hadits gharib (115-191/192 H). Al-Bukhaariy dan Muslim mengambil riwayatnya dalam kitab Shahih-nya. Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (hal. 784 no. 5454).
Ibnu Ma’iin dan Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, shaalih”. Wakii’ berkata : “Aku mengenalnya, tsiqah, shaahibus-sunnah”. Di lain tempat ia berkata : “Tsabat”. Abu Nu’aim berkata : “Ia orang yang paling tsabt periwayatannya dari Ibnul-Mubaarak”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Haakim berkata : “Ia seorang yang sanadnya tinggi, seorang imam di antara imam-imam di jamannya dalam bidang hadits”. Ibnu Syaahin memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ibnul-Mubaarak berkata : ‘Telah menceritakan kepadaku seorang yang tsiqah’, yaitu ia (Al-Fadhl bin Muusaa)”. Al-Bukhaariy berkata : “Tsiqah” [selengkapnya baca : Tahdziibul-Kamaal, 23/254-258 no. 4750 dan Tahdziibut-Tahdziib, 8/286-287 no. 527]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsabat” [Al-Kaasyif, 2/123 no. 4477]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah, termasuk rijaal Al-Bukhaariy dan Muslim” [Adl-Dla’iifah, 4/428]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy : “Tsiqah” [Natsnun-Nabaal, hal. 1093 no. 2688].
Lantas, apa gerangan yang membuat Al-Fadhl ini dikatakan : suka menyampaikan hadis nyeleneh. Subhaanallaah, Al-Fadhl bin Muusaa mempunyai maqam ta’dil yang tinggi (tsiqah tsabat).
Mungkin perkataan tersebut disimpulkan dari perkataan Ibnul-Maadiniy, sebagaimana diriwayatkan oleh anaknya, ‘Abdullah : “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Al-Fadhl bin Muusaa, dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari Ibnuz-Zubair, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
من شهر سيفه فدمه هدر
“Barangsiapa yang memperlihatkan pedangnya, maka darahnya sia-sia”.
Lalu ayahku (‘Aliy bin Al-Madiniy) berkata : “Munkar, dla’iif”.
‘Abdullah juga berkata : “Aku bertanya kepada ayahku tentang Al-Fadhl dan Abu Tamiilah, lalu ia mengkedepankan Abu Tamiilah dan berkata : “Al-Fadhl meriwayatkan hadits-hadits munkar (manaakir)” [Tahdziibut-Tahdziib, 8/287].
Di sini, ‘Aliy bin Al-Madiiniy menyendiri dalam jarh kepada Al-Fadhl, padahal imam-imam yang lain seperti Ibnu Ma’iin, Ibnu Sa’d, Abu Haatim, Wakii’, Abu Nu’aim, Ibnul-Mubaarak, Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahin, dan Al-Haakim memberitakan ta’dil yang pasti kepadanya. Penyendirian jarh Ibnul-Maadiniy tidaklah merusak kredibilitas Al-Fadhl. Selain itu, ia (Ibnul-Madiiniy) hanya menjelaskan satu hadits saja yang menurutnya merupakan riwayat munkar (hadits penghunusan pedang). Sungguh sangat tidak fair jika kemudian Al-Fadhl dengan ketsiqahan dan ketsabatannya dihukumi : suka menyampaikan hadis nyeleneh. Jangan-jangan orang yang mengucapkan itulah yang lebih pantas disebut nyleneh.
3. Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam) (w. 157/159 H). Muslim memakai riwayatnya sebagai mutaba’ah dalam kitab Shahih-nya. Setidaknya, begitulah perkataan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (hal. 251 no. 1367).
Ibnul-Mubaarak sangat memuji dan meninggikan Al-Husain bin Waaqid. Ahmad berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s). Di lain tempat ia berkata : “Ia mempunyai beberapa riwayat yang diingkari”. Di lain tempat ia berkata : “Aku tidak mengingkari hadits Husain bin Waaqid dan Abul-Muniib dari Ibnu Buraidah”. Al-‘Uqailiy berkata : “Ahmad bin Hanbal mengingkari haditsnya”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy dan Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “…..kadang melakukan kekeliruan dalam riwayat-riwayat. Ia menulis hadits dari Ayyuub As-Sikhtiyaaniy dan Ayyuub bin Khuuth. Semua riwayat munkar pada dirinya berasal dari jalur periwayatan Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar. Ayyuub yang dimaksud di sini adalah Ayyuub bin Khuuth, bukan Ayyuub As-Sikhtiyaaniy”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang hasanul-hadiits”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. As-Saajiy berkata : “Fiihi nadhar, ia seorang yang shaduuq namun banyak ragu” [selengkapnya lihat : Tahdziibul-Kamaal, 6/491-495 no. 1346 dan Tahdziibut-Tahdziib, 2/373-374 no. 642]. Adz-Dzahabiy berkata : “Seorang ‘aalim, shaahibul-hadiits”[1] [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/211]. Al-Albaaniy berkata : “Ia seorang yang hasanul-hadiits, insya Allah” [Irwaaul-Ghaliil, 6/272]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Shaduuq, hasanul-hadiits” [Tahriiru At-Taqriib, 1/294 no. 1358].
Adapun saya cenderung pada status seperti yang dikatakan oleh Al-Albaaniy, Basyar ‘Awwaad, dan Al-Arna’uth; dengan mempertimbangkan ta’dil yang nampak dari An-Nasaa’iy, Abu Zur’ah, Ibnu Sa’d, dan Abu Daawud. Hanya Ibnu Ma’iin yang memutlakkan tsiqah kepadanya. Adapun jarh yang dialamatkan kepadanya, maka perlu tafshil :
Dapat kita lihat, Ahmad tidak lah mengingkari seluruh riwayatnya, namun hanya sebagian saja. Jika tidak, tidak mungkin ia men-ta’dil Al-Husain : laisa bihi ba’s. Oleh karenanya Adz-Dzahabiy pun mengatakan dalam Al-Miizaan : “Ahmad mengingkari sebagian haditsnya, dan ia menggelengkan kepalanya seakan-akan ia tidak meridlainya ketika dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya ia meriwayatkan hadits ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Mu’aadz bin Asad : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Waaqid, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’ : Aku ingin sekali, sekiranya kita memiliki roti putih dari gandum Samraa` yang dipolesi dengan minyak samin dan susu" [Al-Miizaan, 1/549].
Abu Daawud setelah membawakan hadits di atas berkata : “Ini hadits munkar. Ayyuub di situ, bukanlah Ayyub As-Sikhtiyaaniy (tapi Ibnu Khuuth – Abul-Jauzaa’)” [As-Sunan, no. 3818].
Ini sama seperti yang dikatakan Ibnu Hibbaan sebelumnya.
Al-Husain bin Waaqid dalam hadits ini (yaitu hadits kurban) membawakan riwayat dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar. Tidak ada keterangan dari para imam pengingkaran mereka atas riwayat Al-Husain bin Waaqid dari ‘Ilbaa’. Oleh karena itu hadits yang dibawakannya di sini adalah maqbuul (diterima). Bukan termasuk riwayat munkar darinya.
Barangsiapa yang mempunyai bukti bahwa hadits ini termasuk riwayat munkar dari Al-Husain, janganlah berpelit-pelit memberitahukannya kepada saya.
Maka, saya tidak tahu, darimana kesimpulan perkataan : Husain bin Waqid yang suka ngelantur. ‘Ngelantur’ adalah satu kata yang berkonotasi negatif dan ‘kasar’. Akankah Al-Husain bin Waaqid yang dikatakan Adz-Dzahabiy seorang ‘aalim, shaahibul-hadiits ini dianggap sebagai ‘tukang ngelantur’ ? Justru orang yang menyimpulkan Al-Husain suka nglantur inilah yang pantas dikatakan sedang ‘nglantur’.
4. ‘Ilbaa’ bin Ahmar Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 688 no. 4708].
5. ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad 1/275, Ibnu Maajah no. 3131, An-Nasaa’iy 7/222, Ibnu Khuzaimah no. 2908, Ibnu Hibbaan no. 4007, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 11929 dan dalam Al-Ausath no. 8128, Al-Baihaqiy 5/235-236, dan Al-Baghawiy no. 1132; dari beberapa jalan, semuanya dari Al-Fadhl bin Muusaa, dan selanjutnya seperti sanad At-Tirmidziy di atas.
Al-Fadhl bin Muusaa dalam periwayatannya dari Al-Husain bin Waaqid mempunyai mutaba’ah dari ‘Aliy bin Hasan bin Syaqiiq, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/230.
Hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ini hasan.
[Dishahihkan oleh Ibnul-Qaththaan dalam Al-Wahm wal-Iihaam 5/410, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Ahmad 3/129, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/466-467, dan dihasankan oleh Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 4/558-559. Ibnul-Mulaqqin berkata : “Seluruh rijaal-nya tsiqaat” – sebagaimana dalam Al-Badrul-Muniir 9/304. Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya kuat (qawiy) sesuai persyaratan Muslim” – sebagaimana dalam Takhriij Shahih Ibni Hibbaan, 9/318].
Ibnu ‘Abbaas mempunyai syaahid dari hadits Jaabir radliyallaahu ‘anhum; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya.
حدثنا قتيبة بن سعيد. حدثنا مالك. ح وحدثنا يحيى بن يحيى (واللفظ له) قال: قرأت على مالك عن أبي الزبير، عن جابر بن عبدالله. قال : نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الحديبية. البدنة عن سبعة. والبقرة عن سبعة.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa (dan lafadh hadits ini miliknya), ia berkata : Aku membacakan kepada Maalik, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah, (yaitu) seekor onta dari tujuh orang, dan seekor sapi dari tujuh orang”.
Dalam riwayat lain :
وحدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا أبو خيثمة عن أبي الزبير، عن جابر. ح وحدثنا أحمد بن يونس. حدثنا زهير. حدثنا أبو الزبير عن جابر. قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مهلين بالحج. فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل والبقر. كل سبعة منا في بدنة.
Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Khaitsamah, dari Abuz-Zubair, dari Jabir. Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : “Kami pernah pergi berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berserikat tujuh orang pada seekor onta dan sapi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1318].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata : “Hadits ‘Ikrimah, Al-Husain bin Waaqid telah bersendirian dengannya dalam periwayatan dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar. Dan hadits Jaabir lebih shahih darinya” [As-Sunan Al-Kubraa, 5/235].
Terdapat perbedaan jumlah orang yang berserikat onta antara riwayat Ibnu ‘Abbaas dan Jaabir radliyallaahu ‘anhum. Al-Baihaqiy lebih mengedepankan riwayat Jaabir sebagaimana telah dituliskan di atas. Itulah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa berserikat dalam onta itu untuk tujuh orang. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan boleh sepuluh orang (untuk hewan udlhiyyah/sembelihan).
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية , سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين , أو بعضهم يريد اللحم ، فيجزئ عن المتقرب , وسواء أكان أضحية منذورة أم تطوعا , هذا مذهبنا وبه قال أحمد وجماهير العلماء
“Diperbolehkan berserikat tujuh orang untuk seekor onta atau seekor sapi dalam udlhiyyah (sembelihan kurban). Sama saja apakah mereka semuanya itu satu keluarga atau lain keluarga, atau sebagian di antara mereka menginginkan dagingnya. Dan hal itu telah mencukupi bagi anggota keluarga pengkurban. Sama saja, apakah sembelihan kurban nadzar atau sembelihan kurban sunnah/tathawwu’. Ini adalah madzhab kami. Dan dengannya Ahmad dan jumhur ulama berpendapat” [Al-Majmuu’, 8/372].
Lajnah Daaimah pernah berfatwa :
تجزئ البدنة والبقرة عن سبعة ، سواء كانوا من أهل بيت واحد أو من بيوت متفرقين ، وسواء كان بينهم قرابة أو لا ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أذن للصحابة في الاشتراك في البدنة والبقرة كل سبعة في واحدة ، ولم يفصل ذلك
“Diperbolehkan berkurban onta dan sapi dari tujuh orang. Sama saja apakah mereka itu berasal dari satu keluarga atau berasal dari lain keluarga. Sama saja, apakah di antara mereka terdapat ikatan kekerabatan ataupun tidak. Hal itu dikarenakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa slalam mengjinkan para shahabatnya untuk berserikat atas onta dan sapi, masing-masing tujuh orang untuk seekornya. Dan beliau tidak memerinci lebih lanjut akan hal itu” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 11/401].
Perkataan ‘al-ustadz’ tersebut di atas (yang saya nukil berwarna merah) sangat layak ditinjau ulang. Seandainya ‘al-ustadz’ mengkritik hadits dengan baik, ilmiah, dan mempergunakan bahasa-bahasa yang elegan, saya rasa, itu akan jauh lebih baik.
Semoga yang dituliskan ini dapat bermanfaat bagi diri saya pribadi dan rekan-rekan Pembaca sekalian….. Jika ada kritikan dan masukan, mohon disampaikan.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, nJakal km. 10, yokjo].
[1] Persisnya, Adz-Dzahabiy berkata saat menyebutkan biografi ‘Aliy bin Al-Husain bin Waaqid : “Ia seorang yang ‘aalim, shaahibul-hadiits, seperti ayahnya”.
Comments
sepertinya saya tau blog siapa yang dimaksud.....
mantan kyai Nencester United kah?
ada yg 'menarik' dr bahasan beliau :
http://mantankyainu.blogspot.com/2010/12/kelemahan-hadis-tentang-puasa-arofah.html
sistematika dan bhs penulisan yg tdk runut, jd sistematik tulisannya sngt aneh.
Tentang takhrij puasa 'Arafah, bisa dibaca di artikel blog ini : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/puasa-arafah.html
Saya kok malah meragukan ya kalo blog itu benar2 milik KH. Mahrus Ali. Bahasanya spt bahasa pasar yg ga intelek, apa mungkin pak Mahrus berbahasa spt itu?...contohnya di : http://mantankyainu.blogspot.com/2010/12/kelemahan-hadis-tentang-salat-hisap.html pada alinea ketiga ada kata2 : Imam Tirmidzi dan lainnya meriwayatkannya , dan beliau berkata : Ia hadis hasan nyeleneh.
Setahu saya, bahkan ustadz abul jauzaa pun bila mengulas tentang takhrij hadits tidak akan menggunakan kata2 "nyeleneh" apalagi ini bahasan mengenai hadits. Nyeleneh itu konotasinya negatif.
Lalu di http://mantankyainu.blogspot.com/2010/12/salat-tanpa-sedekap.html, pemilik blog itu menulis, "sesungguhnya Rasulullah SAW ketika mengajarinya salat tidak menyebutkan posisi kedua tangan waktu berdiri ketika menjalankan salat. Saya katakan: Bila Rasulullah SAW tidak menyebutkan perintah sedekap untuk mengajari sahabat yang tidak bisa menjalankan salat itu berarti tiada perintah untuk bersedekap. Jadi biarkan tangan menjulur ke bawah saja karena inilah yang asal. Kita akan bersedekap bila ada perintah bersedekap. Bila tidak ada, maka atas dasar perintah siapa kita bersedekap."
Ada yg aneh dengan pernyataannya, bukankah perintah bersedekap itu ada didalam hadits2 Nabi??? "Dari Wa'il bin Hujr, ia berkata; "Aku melihat cara shalat Rasulullah Shallallahu'alihiwasallam. Aku melihat beliau Shallallahu'alaihi wasallam berdiri untuk shalat, kemudian takbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Lantas beliau Shallallahu'alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas telapak kirinya, juga di atas pergelangan tangannya, dan meletakkannya di atas lengannya. HR An Nasa'i no. 879, lidwa"
Saya merasakan ada yg aneh dari blog ini. Atau mungkin ini cuma perasaan saya saja.
Sama seperti antum, saya juga agak ragu. Blognya juga baru. Beberapa postingannya juga tertanggal di bulan Desember 2010.
Akan tetapi, siapapun dia, berhubung tulisannya telah ada di internet dan kemungkinan terbaca oleh orang lain, maka artikel ini adalah salah satu sanggahan atas artikel yang ada di blog tersebut.
Saya koq yakin, itu bukan tulisan Ustadz Mahrus Ali.
Semoga Alloh membuka hati orang yang mengelola blog tersebut...
ust. org yg tidk tahu klo perbuatan yg dilakukanx itu adalah suatu perbuatan salah/dosa, apakah akan dicatat oleh Allah sebagai suatu dosa, apakah tidk ada udzur atas hal ini..??? lalu apa hubungannya dengan ayat ini:
Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.[AL-BAQARAH 286]”
Jazakallahu khair...
Assalamu'alaykum Akhi..
ana mau tanya tentang do'a ini.
Allahumma la tusymit bi ‘adwwi wa la tasu’ubi sadiqi wa la taj’al musibati fi dini wa la taj’alid dunya akbara hami wa la tusallit ‘alayya man la yarhamuni ya hayyu ya qayyumu
siapa yang meriwayatkan, dan bagaimana kekuatan do'a ini, apakah shahih?
saya sering mendengar beberapa majelis ditutup dengan do'a ini..
syukron Jazakallahu khairan katsiran.
@Anonim 1,..... orang yang tidak tahu pada asalnya diangkat darinya dosa. Seperti orang yang tidak tahu bahwa minjam uang di bank itu dosa (karena riba), dan yang semisalnya.
@Anonim 2,.... wah, pertanyaan antum itu mudah, tapi jawabannya perlu waktu. dan saat ini saya belum punya keluangan waktu untuk itu. semoga dimudahkan....
dr Anonim 1, jazakallah ust..,
lalu hub dgn ayat trsebut..?,
lalu hadits yg mngatakan kurang/lebih :
"tidak di catat perkata dr tiga hal dst..."
sy tidk tahu lafadz selanjutnya, bisakah ust melengkapi..?
Teruntuk yang mempertanyakan komentar saya di atas, saya ucapkan jazaakallaahu khairan atas nasihatnya. Dalam jwaban di atas saya tidak menjanjikan apa-apa (untuk menjawabnya). Oleh karenanya, saya hanya mengatakan : Semoga dimudahkan. Tapi apapun itu, saya juga mengucapkan inni uhibbuka fillaah....
Dan sepertinya ada sesuatu yang dapat terinterpretasikan lain dari kalimat saya :
pertanyaan antum itu mudah, tapi jawabannya perlu waktu.
Maksudnya, pertanyaannya itu mudah, tapi jawabannya 'susah', sehingga perlu waktu. Tidak ada yang 'mudah' dalam perkara agama ini.....
pertanyaan antum itu mudah, tapi jawabannya perlu waktu.
bahasa ini sering sy temui kok.
It's kind a joke u know.
it means...
nanyanya gampang tapi jawabnya itu susah...
blog mantankyainu.blogspot benarkah itu blognya sang mantan?
seakan penulisnya mantan NU yg jadi syiah.
Lagi pula seingat ana, H. MAHRUS ALI pernah mengatakan, bahwa ide judul bukunya Manta Kyai NU bukan dari dia tapi dari penerbit.
Dia sendiri awalnya tidak setuju, jika memang begitu, kenapa dia malah menegaskan di internet dengan membuat blog yang sangat jelas2 berjudul Mantan Kyai NU.
Assalamu'alaikum ustadz,
Maaf ini topiknya beda dengan artikel. Saya ingin tahu bagaimana status an'anah Al A'masy (Sulaiman bin Mihran) jika ia berkata "dari Atho'"? Apakah an'anah-nya ini berstatus dho'if (karena tadlis) ataukah memang benar penyimakan beliau dari Atho'?
Terima kasih atas kesediaan waktunya untuk menjawab pertanyaan saya ini. Oh ya ustadz, jika ustadz ada kesediaan waktu, mohon dibahas mengenai keringanan untuk tidak sholat jum'at jika hari jum'at berbarengan dengan 'ied, ditinjau dari sisi hadits2nya.
Jazakallah khoir
--Abu Ahmad--
@Anonim (14 Desember 2010 15.47) : You said : It's kind a joke u know.
no..... he..he... Komentar saya itu sebagai jawaban atas nasihat saudara saya tercinta yang tidak ditampilkan atas permintaannya...
@Anonim (14 Desember 2010 17.01), siapapun dia, saya juga tidak menisbatkan pada siapa-siapa. Artikel di atas adalah murni respon dari artikel pada Blog tersebut. Siapapun penulisnya. Tapi coba antum baca : http://mantankyainu.blogspot.com/2010_08_01_archive.html
@Abu Ahmad,.. secara umum, 'an'anah Al-A'masy adalah diterima, karena ia termasuk thabaqah kedua mudallisiin. Begitulah menurut Ibnu Hajar. Namun Abu Haatim memberikan penjelasan bahwa keumuman riwayatnya dari Mujaahid, termasuk bagian dari tadlisnya (yang tidak diterima). Wallaahu a'lam.
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
apakah lafadz diatas hadits kah atau bukan..???
Jazakallahu khair.... :)
Assalamu'alaykum..
afwan ustadz, ana mau tanya, kemarin ana membaca sebuah hadits qudsi dari sebuah website,
potongan hadits itu berbunyi (kalau nggak salah), "Jika kalian tidak bersyukur atas apa yang aku berikan, maka carilah langit lain dan tuhan lain selain aku.."
sayang, si empunya website tidak menampilkan keterangan hadits tersebut seperti kekuatan sanadnya, para perawinya..
barangkali ustadz tahu bagaimana keadaan hadits itu, apakah shahih atau bagaimana..
syukran jawabanya ustadz, Jazakallahu khairan.
Karena ustadz Abul Jauzaa sepertinya sedang sibuk atau mungkin sedang beristirahat, maka izinkan saya untuk membantu menjawab pertanyaan anonim.
Untuk akhi anonim 23 Desember 2010 19.26 : Penjelasan lengkapnya mengenai hadits itu bisa dilihat disini http://abangdani.wordpress.com/2010/05/19/surga-itu-di-bawah-telapak-kaki-ibu/
Untuk akhi anonim 24 Desember 2010 14.38 : Afwan, jika sekiranya anda menemukan sebuah artikel di web yg mengutip hadits tp tidak dijelaskan hadits riwayat siapa, hendaklah sikap kita berhati2 apalagi bila misalkan blog tersebut lebih dikenal sbg blog penentang sunnah atau sering menebarkan syubhat/hadits2 tidak jelas. Berhati2lah thd mereka akhi.
MUhammad ali menulis :
MUhammad ali menulis :
Sekarang . Ust Mahrus ali sedang di tunjuk sebagai korektor buku karya Ust Yazid judulnya fiqhul lughoh yang akan diterbitkan oleh Pustaka progressif, Jadi bila tidak sibuk akan di jawab dan saya sendiri hadis tentang korban unta untuk sepuluh orang itu tidak di kenal di kalangan sahabat, tabiin . Karena itu pula Imam Malik tokoh Medinah , Imam Bukhari , Muslim tidak berani measukkannya dlm kitab sahih mereka . bahkan Imam Tirmidzi sendiri bilang :
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Hadis ini hasan nyeleneh.
Beliau juga bilang :
قال أبو عيسى حديث بن عباس حديث حسن غريب لا نعرفه إلا من حديث الفضل بن موسى \1503\
Abu Isa ( Imam Tirmidzi) berkata :Hadis Ibnu Abbas ini hasan nyeleneh , kami tidak tahu kecuali dari hadis Al Fadhel bin Musa.
Kalimat ini menunjukkan bahwa hadis tsb hanya melalui jalur sanad itu. Bila ada yang lain , mesti Imam Tirmidzi akan tidak memberikan komentar seperti itu.
Imam Ahmad sendiri yang meriwayatkannya tidak menyatakan hadis tsb sahih. Begitu juga Imam Nasai , tidak berani menyatakan hadis tsb sahih . Bahkan Imam Tirmidzi masih menyatakan hasan tapi nyeleneh. Dan korban unta untuk sepuluh orang itu bertentangan juga dengan hadis yang anda ketengahkan ketika para sahabat menyembelih dam atau hadyu karena mereka tidak bisa melanjutkan umrahnya ke masjidil haram.
Hadis nyeleneh itu bertentangan dengan tuntunan Korban yang di lakukan oleh Nabi Ibrahim yaitu beluau saat itu di turuni kambing kibas. Dan hadis Ibnu Abbas yang anda ketengahkan itu masih bersifat umum bukan husus korban . Maaf , anda suatu saat akan melihat kekeliruan artikel Ust.Abul Jauza` itu dlm blog mantankyainu.blogspot. Maaf di tunggu saja ketika Ust Mahrus ada kesempatan akan menjawabnya .Mudah- mudahan kita mau menerima kebenaran dengan dalil dan membuang kesalahan
Terima kasih atas informasinya. Saya sangat senang jika beliau mau menuliskannya, khususnya kepada saya. Selama ini, saya tidak menganggap beliau sebagai musuh yang harus selalu antipati dalam segala keadaan. Namun dalam perkara di atas, mohon maaf jika seandainya saya tidak sependapat dengan beliau.
http://mantankyainu.blogspot.com/2011/01/jawabanku-ataas-keritikan-ust-abu-al.html
Terima kasih atas infonya.
Telah saya jawaban beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) akan artikel di atas. Ada dua point sebenarnya yang beliau anggap bid’ah dalam masalah hewan kurban. Pertama, adalah masalah berkurban selain kambing, dan yang kedua adalah masalah berserikatnya. Saya akan jawab secara ringkas sebagai berikut :
1. Allah ta’ala berfirman :
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” [QS. Al-Hajj : 28].
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [QS. Al-Hajj : 34].
Bahiimatul-an’aam dalam ayat tersebut maknanya (dalam bahasa ‘Arab) adalah domba, sapi, atau onta. Udlhiyyah tidaklah sah kecuali dengan tiga jenis binatang in. Ini adalah pendapat jumhur ulama [lihat Al-Mughniy 11/99, Al-Ma’uunah 1/658, dan Mukhtashar Ikhtilafil-‘Ulamaa oleh Ath-Thahawiy 3/224]. Bahkan Ibnu Rusyd dalam Bidaayatul-Mujtahid 2/435 dan Ash-Shan’aniy dalam Subulus-Salaam 4/176 menukil adanya ijma’ akan hal tersebut.
Apa yang saya tulis di atas, saya nukil dari melalui perantaraan Tanwiirul-‘Ainain hal. 366 (karya Abul-Hasan Al-Ma’ribiy).
Dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih mengharuskan berkurban kambing. Saya kira ini harus diteliti kembali. Penulis kitab Al-Inshaaf fii Ma’rifatir-Raajih minal-Khilaaf ‘alaa Madzhab Al-Imam Al-Mubajjal Ahmad bin Hanbal (4/73) menyebutkan bahwa binatang yang paling afdlal untuk hadyu dan udlhiyyah adalah onta, kemudian sapi, kemudian kambing. Mungkin beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) berkesimpulan dari perkataan At-Tirmidziy :
والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وهو قول أحمد وإسحاق واحتجا بحديث النبي صلى الله عليه وسلم أنه ضحى بكبش فقال هذا عمن لم يضح من أمتي وقال بعض أهل العلم لا تجزئ الشاة إلا عن نفس واحدة وهو قول عبد الله بن المبارك وغيره من أهل العلم
“Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama', dan inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Keduanya berdalil dengan hadits Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam, Bahwasanya beliau pernah berkurban dengan seekor kambing, lalu beliau bersabda: "Ini untuk orang-orang yang belum berkurban dari umatku." Sebagian ulama' berpendapat bahwa seekor kambing tidak cukup kecuali untuk satu orang. Dan ini adalah pendapat Abdullah bin Al-Mubaarak dan selainnya dari kalangan para ulama'" [selesai].
Ini jelas wahm dari beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy). At-Tirmidziy menyebutkan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih bukan untuk membatasi. Lagi pula, tidak ada pernyataan : mengharuskan korban kambing seperti dikatakan oleh Ustadz Mahrus Aliy. At-Tirmidziy mengatakan hal di atas adalah untuk menyebutkan perbedaan di kalangan ulama apakah sembelihan kambing (udlhiyyah/korban) itu mencukupi satu keluarga ataukah tidak. Dan memang hadts yang disebutkan At-Tirmidziy berbicara tentang itu.
Adapun pendapat Maalik bin Anas, beliau menyebutkan sendiri dalam Al-Muwaththa’ :
واحسن ما سمعت في البدنة والبقرة والشاة الواحدة ان الرجل ينحر عنه وعن أهل بيته البدنة ويذبح البقرة والشاة الواحدة هو يملكها ويذبحها عنهم ويشركهم فيها
“Perkataan paling baik yang pernah aku dengar tentang (kurban) seekor onta, sapi, dan kambing, bahwasannya seorang laki-laki boleh menyembelih untuk dirinya dan keluarganya seekor onta, sapi, dan kambing. Dialah pemiliknya, dan ia sembelih untuk keluarganya juga, serta menyertakan mereka dalam sembelihan kurban tersebut” [selesai].
Jika Ustadz Mahrus ‘Aliy telah menyebutkan pendapat Asy-Syaafi’iy dan Abu Hanifah tentang pembolehan kurban sapi dan onta (dengan menukil Bidaayatul-Mujahid 1/349), dan di sini saya sebutkan madzhab Maalik dan Ahmad; maka nampaklah bagi Pembaca budiman dimana sebenarnya posisi imam empat dalam masalah pembolehan korban sapi dan onta.
Adapun perkataan Ibnu Qudaamah yang dinukil oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy :
فهو في القسمة لا في الأضحية إذا ثبت هذا
“Ia adalah dalam pembagian saja, bukan dalam udlhiyyah; seandainya hadits itu tsabit”.
Maka, Ibnu Qudaamah memaksudkannya dalam hadits Raafi’. Apa itu hadits Raafi’ yang dimaksudkan Ibnu Qudaamah ? Hadits itu sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَكَمِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ فَأَصَابَ النَّاسَ جُوعٌ فَأَصَابُوا إِبِلًا وَغَنَمًا قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُخْرَيَاتِ الْقَوْمِ فَعَجِلُوا وَذَبَحُوا وَنَصَبُوا الْقُدُورَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقُدُورِ فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ قَسَمَ فَعَدَلَ عَشَرَةً مِنْ الْغَنَمِ بِبَعِيرٍ فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌ فَطَلَبُوهُ فَأَعْيَاهُمْ وَكَانَ فِي الْقَوْمِ خَيْلٌ يَسِيرَةٌ فَأَهْوَى رَجُلٌ مِنْهُمْ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ اللَّهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ لِهَذِهِ الْبَهَائِمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hakam Al-Anshaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Sa’iid bin Masruuq, dari ‘Abaayah bin Rifaa’ah bin Raafi’ bin Khadiij, dari kakeknya, ia berkata : "Kami bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam di Dzul Hulaifah ketika sebagian orang terserang lapar lalu mereka mendapatkan (harta rampasan perang berupa) unta dan kambing. Saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berada di belakang bersama rombongan yang lain. Orang-orang yang lapar itu segera saja menyembelih lalu mendapatkan daging sebanyak satu kuali. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dimana bagian setiap sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. Namun ada seekor unta yang lari lalu mereka mencarinya hingga kelelahan. Sementara itu diantara mereka ada yang memiliki seekor kuda yang lincah lalu ia mencari unta tadi dan memburunya dengan panah hingga akhirnya Allah menakdirkannya dapat membunuh unta tersebut. Beliau bersabda: "Sesungguhnya bintang seperti ini hukumnya sama dengan binatang liar. Maka apa saja yang kabur dari kalian (lalu didapatkannya,) perlakuklanlah seperti ini......" [HR. Al-Bukhaariy].
Intinya, tidak nyambung dengan hadits yang dibahas. Dan memang hadits itu tidak membicarakan udlhiyyah. Adapun Ibnu Qudamah sendiri menguatkan mencukupinya seekor onta atau kambing untuk tujuh orang yang berserikat, yang kemudian menukil pendapat para shahabat dan tabi’iin yang menyepakati hal itu seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aaisyah, ‘Athaa’, Thaawus, Saalim, Al-Hasan, ‘Amru bin Diinaar, Ats-Tsauriy, Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Saya harap, Ustadz Mahrus ‘Aliy membaca bagian ini.
2. Kemudian dalam masalah pembahasan hadits, Pembaca dapat melihat bagaimana beliau (Ustadz Mahrus ‘Aliy) hanya fokus pada jarh saja tanpa mempertimbangkan sisi ta’dil-nya. Ini bukanlah manhaj penilaian yang ‘adil terhadap perawi sebagaimana dikenal oleh para ahli hadits.
3. Mengenai masalah perkataan ghariib, saya kira Ustadz Mahrus ‘Aliy telah sangat berlebihan dalam membela pendapatnya yang sudah nyata-nyata salah. Ghariib, secara bahasa merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-munfarid, atau jauh dari kerabat. Namun menurut istilah ilmu hadits, hadiits ghariib berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendirian [Taisiru Mushthalahil-Hadiits, hal. 27].
Saya contohkan hadits ghariib dalam permasalahan ini, yaitu hadits yang sudah sangat terkenal di telinga kita :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى
“Amal-amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu tergantung dari apa yang ia niatkan”.
Hadits ini termasuk hadits ghariib muthlaq. Ia hanya diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab; dari ‘Umar, ia hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah; dari ‘Alqamah, ia hanya diriwayatkan oleh Ibraahiim At-Taimiy; dan dari Ibraahiim, ia hanya diriwayatkan oleh Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy. Baru setelah Yahyaa, ia diriwayatkan oleh banyak perawi [lihat ulasan Ibnu Rajab dalam Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam untuk hadits no. 1].
Apakah hadits di atas lemah karena faktor ke-gharib-an ? Ingat, Ustadz Mahrus ‘Aliy menjadikan faktor keghariban sebagai kelemahan hadits. Sependek pengetahuan saya, ndak ada ulama hadits mu’tabar yang melemahkannya.
Juga, apakah hadits di atas bisa disebut sebagai “hadits nyeleneh” (meminjam istilah dari istilah Ustadz Mahrus ‘Aliy) ?
Gharabah itu tidak sepenuhnya menjadi hal yang menjatuhkan hadits. Dilihat dulu ketsiqahannya.
Dalam hadits kurban yang dibahas di atas, perawi yang disorot oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy (yaitu Al-Fadhl bin Muusaa) adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat. Oleh karena itu, keghariban hadits yang dibawakannya tersebut tidaklah mengapa.
Ustadz Mahrus ‘Aliy berkata :
Bukankah yang mengatakan bahwa Al Fadhel bin Musa suka mentengahkan hadis – hadis yang nyeleneh , asing adalah Ibnu hajar sendiri . saya jangan di serang , lalu anda hanya menutup mata bahwa perkataan tsb dari Ibnu Hajar .
Yang mengatakan “suka mengetengahkan hadits-hadits nyeleneh” adalah Anda sendiri. Adapun Ibnu Hajar mengatakan : Tsiqah tsabat, kadang meriwayatkan hadits ghariib. Telah lewat pembahasan makna gharib dalam musthalah, dan saya persilakan pada para Pembaca yang pakar bahasa Indonesia apakah sesuai istilah ‘nyleneh’ dengan ghariib sebagaimana yang telah lewat penjelasanannya. Selain itu, Ustadz Mahrus ‘Aliy juga menggunakan kata suka. Ini ekuivalen dengan sering. Dalam At-Taqriib, Ibnu Hajar menggunakan kata rubamaa , dimana dalam peristilah jarh dan ta’dil ini digunakan untuk makna kadang-kadang atau sedikit. Hal itu digunakan untuk membedakannya dengan istilah : yughrib (sering meriwayatkan hadits-hadits gharib), misalnya. Sama juga dengan sifat kesalahan (khatha’). Beda antara istilah rubamaa akhtha’ dengan yukhthi’ atau katsiirul-khathaa’. Para Pembaca tahu akan tahu sekarang letak ketidakadilan penilaian Ustadz Mahrus ‘Aliy terhadap Al-Fadhl bin Muusaa ini.
Tentang perkataan Imam Ahmad bahwa Al-Fadhl ini meriwayatkan hadits-hadits munkar (manaakir); maka dalam peristilahan mutaqaddimiin, ia dapat bermakna ghariib. Oleh karenanya Ibnu Hajar menghukuminya dengan : ‘kadang meriwayatkan hadits ghariib’.
4. Tentang Al-Husain bin Waaqid, yang dikatakan oleh Ustadz Mahrus ‘Aliy ini suka nglantur. Sama seperti di atas, beliau ini mengartikannya bukan dengan pemahaman yang dikenal dalam ilmu hadits. Wahm dalam ilmu hadits berarti keliru atau ragu. Perawi yang disifati dengan wahm, maka itu menunjukkan kelemahan dalam hapalannya, karena ada kekeliruannya atau keraguan dalam periwayatan haditsnya. Bandingkan jika kita artikan ngelantur yang berkonotasi pada berangan-angan. Sangat jauh.
6. Ustadz Mahrus ‘Aliy menyebutkan kaedah : Jarh lebih didahulukan daripada ta’diil.
Saya katakan : Itu benar. Tapi kaedah itu belum titik dan masih ada kelanjutannya. Ada beberapa syarat sehingga kaedah itu dapat berlaku. Salah satunya adalah, jarh-nya harus mufassar (dijelaskan sebabnya). Dapat kita lihat, jarh yang dialamatkan kepada Al-Fadhl dan Al-Husain, berikut pembahasannya. Pendek kata, tidak pada tempatnya Ustadz Mahrus ‘Aliy membawakan kaedah ini untuk menjatuhkan hadits Al-Fadhl dan Al-Husain, kecuali memang beliau dapat memberikan bukti kongkrit sebagaimana yang saya minta di atas, bukan sekedar asumsi-asumsi.
7. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan pengambilan hukum dari hadits Jaabir adalah qiyas. Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Benar, tidak salah. Dan itulah yang dilakukan oleh jumhur ulama. Dan itu adalah qiyas shahih. Nampaknya, Ustadz Mahrus ‘Aliy – semoga saya salah – mengambil pandangan menolak qiyas dalam hukum dimana ini adalah pendapat yang lemah yang ternukil di kalangan ulama (= merupakan pendapat masyhur Dhahiriyyah).
Akan tetapi, pendapat bolehnya berserikat onta dan sapi itu tidak sekedar qiyas, namun berdasarkan dalil sebagaimana di atas.
8. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa saya keliru mengartikan udlhiyyah dengan ‘sembelihan’.
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Ini adalah kritik konstruktif dari beliau, dan saya ucapkan banyak terima kasih untuk itu. Sebenarnya, saya memaksudkan udlhiyyah itu dalam konteks sembelihan kurban, karena memang saya dari awal sampai akhir membahas kurban. Dan saya menukil perkataan An-Nawawiy dan juga Lajnah Daaimah dalam rangka penjelasan tentang kurban. Ma’ruf saya kira makna udlhiyyah itu adalah hewan kurban.
Sebagai informasi saja, dalam beberapa nash, digunakan kata ‘sembelihan’ untuk makna udlhiyyah (hewan kurban) atau yang semisalnya. Contoh :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa dua hari : Yaumul-Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Yaumun-Nahr (Hari Penyembelihan/’Iedul-Adlhaa).
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الْآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Ini adalah dua hari yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa padanya : Hari dimana kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari dimana kalian memakan hewan sembelihan kalian (=udlhiyyah/hewan kurban)”.
Dan yang lainnya.
Namun, apa yang dikatakan Ustadz Mahrus ‘Aliy itu lebih tepat, dan akan saya perbaiki sesuai dengan kritikan beliau tersebut (sebagaimana terlihat dalam artikel di atas).
9. Ustadz Mahrus ‘Aliy mengatakan bahwa beliau masih banyak ‘modal’ untuk menguatkan pendapat beliau tersebut (yaitu berkurban dengan kambing).
Saya (Abul-Jauzaa’) katakan : Saya tidak pernah mengingkari kurban dengan kambing. Dan memang banyak dalil yang mendukung hal itu. Akan tetapi pembahasannya di sini bukanlah apakah diperbolehkan berkurban kambing atau tidak, namun bolehkan berkurban selain kambing ? dan kemudian berserikat padanya ?
10. Sebenarnya ada beberapa hadits lemah lain yang dapat menjadi syahid hadits di atas. Namun saya kira, hadits Ibnu ‘Abbaas pun telah mencukupi.
Itu saja yang dapat saya tanggapi dari jawaban Ustadz Mahrus ‘Aliy. Lebih dan kurang, mohon dimaafkan.
Saya coba ngecek lidwa saya untuk membantu mengecek perawi yg jadi bahan perbincangan disini :
1 * Nama Lengkap : Al Husain bin Waqid
* Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
* Kuniyah : Abu 'Ali
* Negeri semasa hidup : Himsh
* Wafat : 159 H
Yahya bin Ma'in = Tsiqah
Ibnu Hibban = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ahmad bin Hambal = la ba`sa bih
An Nasa'i = Laisa bihi ba's
Abu Zur'ah Arrazy = Laisa bihi ba's
Kesimpulan : beliau disifati dengan "tidak mengapa dengannya", dan tidak ada kata2 "suka ngelantur".
2 * Nama Lengkap : Al Fadlol bin Musa
* Kalangan : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
* Kuniyah : Abu 'Abdullah
* Negeri semasa hidup : Himsh
* Wafat : 192 H
Ibnu Hibban = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Syahin = disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Yahya bin Ma'in = Tsiqah
Muhammad bin Sa'd = Tsiqah
Abu Hatim = Shaduuq Shalih
Ibnu Hajar al 'Asqalani = Tsiqah Tsabat
Adz Dzahabi = Tsabat
Kesimpulan : tidak ada jarh yg diberikan ulama hadits kepada Al Fadhl bin Musa, paling rendah penilaiannya adalah shaduuq oleh imam Abu Hatim, itupun disifati lg dengan shalih. Ibnu Hajar pun mengatakan Tsiqah Tsabat.
assalamualaikum
ustadz bagaimana hukum solat memakai alas atau sajadah
Boleh
Shaleh menulis :
Sepertinya saya sudah menjumpai jawaban mantan kiyai NU kepada keritikan anda yang ternyata banyak kekeliruan . Bisa anda lihat di www.mantankyainu.blogspot.com.tolong di jawab lagi
Dan saya sudah menjawabnya di kolom komentar di atas
Shaleh Ali menulis :Jawaban anda telah di bantah lagi oleh mantan kyai Nu dan ternyata bantahannya sangat menarik dan tepat sekali . Ternyata jawaban anda banyak kekeliruannya sampai terjemahannya juga keliru
ust, afwan.
Ahsannya antum jgn menggunakan lafadz langsung ke person ust mahrus aliy, krn kita tdk mengetahui betulkah blog tsb benar2 di asuh oleh beliau. Ada baiknya kita tabayyun kepada beliau, apakah beliau yg memiliki blog tsb, kmudian tabayyun kpd ust yazid, apakah ust mahrus aliy sedang mengkoreksi buku ust yazid yg diterbitkan oleh penerbit progressif Surabaya?
Bisa jg blog tsb bertujuan sbg 'character assasination' thd nama beliau.
baarokallohu fiik yaa ustadz !
Terima kasih informasinya. Ustadz Mahrus Aliy dengan keahliannya banyak menganalisis dan mengkritisi dalam hal 'bahasa'. Dalam terjemahan, saya tidaklah letterlijk. Ada beberapa yang bisa diperbincangkan karena kekurangcermatan beliau. Misal tentang terjemahan satu kambing, padahal kata satu itu sudah saya letakkan di awal sehingga tidak perlu pengulangan. Kata beliau saya keliru mengharokati fanadda menjadi fanaddi. Padahal, yang saya tulis adalah fanadda seperti kata beliau, karena saya mencopi-pastenya dari web indoquran.
Namun saya secara inshaf mengakui bahwa ada yang keliru dalam penulisan terjemahan saya. Misal menerjemahkan quduur dengan satu kuali, padahal itu merupakan bentuk jamak dari qidr. Juga tentang masalah kuda; yang kesemuanya itu masuk dalam rangkaian hadits Abu Raafi'. Itu semuanya saya akui karena saya hanya langsung mengkopi paste dari indoquran untuk mempersingkat waktu tanpa mengecek lebih lanjut (lihat : http://www.indoquran.com/index.php?option=com_bukhari&action=viewayat&surano=30).
Adapun beberapa referensi yang tidak saya tuliskan teks arabnya, ya karena saya langsung membacanya dari teks book pdf, bukan dengan software (al-maktabah asy-syaamilah) karena saya yakin, buku-buku itu telah sangat dikenal oleh para penuntut ilmu dan dapat dicari berdasarkan babnya. Kecuali jika menggunakan software, maka ini butuh 'kata kunci'.
Tapi tidak mengapa untuk membantu, dan saya akan carikan dan berikan beberapa link di internet agar kita semua bisa membacanya tanpa ada distorsi :
1. Tentang makna Bahiimatul-An'aam :
http://www.islam-qa.com/ar/ref/71275
http://majles.alukah.net/showthread.php?t=241 - sekaligus di sini dinukil ijma' oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmu'.
http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=6856&idto=6856&bk_no=15&ID=6734
Dan lain-lain
2. Tentang perkataan dalam kitab Al-Inshaaf, bisa ditengok di :
http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=26&ID=2057
3. Tentang makna ghariib menurut At-Tirmidziy :
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=72390.
4. Pendapat Ibnu Qudaamah tentang kebolehan menyembelih onta dan sapi untuk tujuh orang, dan ia merupakan pendapat jumhur ulama :
http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=6853&idto=6855&bk_no=15&ID=6731
Saya tidak tahu, bagaimana bisa Ustadz Mahrus 'Aliy tetap keukeuh dengan pendapatnya dan menguatkannya dengan perkataan Ibnu Qudaamah, padahal beliau berkata :
مسألة : قال : ( وتجزئ البدنة عن سبعة ، وكذلك البقرة ) وهذا قول أكثر أهل العلم
5. Kata Ustadz Mahrus, saya mungkin sedang dibisiki syaithan ketika saya mengatakan bahwa menurut peristilahan sebagian ulama mutaqaddimin bahwa hadits munkar itu adalah hadits gharib. Padahal beliau telah menulis buktinya dalam tulisannya sendiri :
وَيْنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ غَيْرَ مَرَّةٍ: لاَ تَكْتُبُوا هَذِهِ اْلأَحَادِيْثَ اْلغَرَايِبَ، فَإِنَّهَا مَنَاكِيْرُ، وَعَامَّتُهَا عَنِ الضُّعَفَاءِ.
Kami riwayatkan dari Ahmad bin Hanbal ra , sesungguhnya beliau berkata berkali – kali : Jangan menulis – hadis – hadis yang gharib . Sesungguhnya ia adalah hadis – hadis yang mungkar . Kebanyakannya dari perawi – perawi yang lemah. Mukaddimah Ibnu Sholah 60/1
Begitulah yang dituliskan sendiri oleh ustadz Mahrus 'Aliy. Namun beliau mungkin tidak menyadarinya karena terlalu bersemangat dan emosional.
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=54374
Lihat juga perbandingannya dalam Syifaa'ul-'Aliil karya Abul-Hasan Al-Ma'ribiy hal. 310, 326-327.
dan yang lainnya.....
5. Beliau mengkritisi perkataan saya ketika saya mengatakan :
Apakah hadits di atas lemah karena faktor ke-gharib-an ? Ingat, Ustadz Mahrus ‘Aliy menjadikan faktor keghariban sebagai kelemahan hadits. Sependek pengetahuan saya, ndak ada ulama hadits mu’tabar yang melemahkannya..
Lalu beliau menurunkan perkataan Imam Ahmad sebagaimana yang ada di nomor 4. Saya tidak tahu apakah beliau benar-benar memahami apa yang saya tulis. Kalimat yang saya cetak tebal di atas adalah pertanyaan saya terkait dengan hadits Innamal-a'maalu bin-niyaat. Ini hadits ghariib. Dan menurut Ustadz Mahrus 'Aliy, keghariban ini adalah faktor yang menyebabkan kelemahan hadits. Pertanyaan saya : Apakah ada ulama mu'tabar yang mendla'ifkan hadits Innamal-a'maalu bin-niyaat ? padahal ia juga hadits ghariib ?.
6. Beliau mengkritisi saya tentang makna rubbamaa. Beliau katakan bahwa rubbamaa itu bisa bermakna banyak/sering. Alhamdulillah, saya sudah mengetahui itu sebelumnya. Namun yang saya bahas di sini adalah peristilahan rubbamaa menurut ahli hadits, khususnya ketika menilai seorang perawi. Atau kongkritnya : Apa bedanya seorang perawi yang disifati dengan rubbamaa wahm dengan yahimu kalau keduanya dimaknai Ustadz Mahrus 'sering' ?. Lantas, lafadh apa kira-kira yang dipakai untuk perawi yang sedikit wahm nya ?. Silakan dijawab.
7. Saya tidak akan berdebat lagi mengenai kata ghariib dan wahm. Silakan rekan-rekan menilainya dengan pertimbangan ilmu hadits.
8. Ustadz Mahrus 'Aliy mengatakan bahwa Al-Husain bin Waaqid ini mudallis dan haditsnya tidak diterima kecuali jika ia mengatakan : Haddatsanaa atau Akhbaranaa. Saya katakan : Mungkin beliau ini tidak memperhatikan thabaqat dari Al-Husain ini. Telah saya tuliskan bahwa ia adalah di thabaqah pertama perawi mudallis. Apa artinya ? Tentu orang yang paham akan mengerti... Akan tetapi,…….
Itu saja yang dapat saya tulis secara singkat. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan…
Ihsan ilahi
Jawaban tsb tidak ilmiyah sekali, jauh sekali dengan jawaban ustadz waktu pertama kali mengeritik artikel mantan kiyai NU itu. Maaf ,beri jawaban yang ilmiyah , bisa menandakan keilmuan seorang alim.Kayaknya sudah kehabisan bahan untuk mempertahankan kesalahan Ustadz. Saya dulu ngefan dengan ustadz, makanya saya menyayangkan jawaban ini untuk mempertahankan prestasi Ustadz sendiri
Memang jawaban di atas adalah jawaban singkat saya, yang Ustadz Mahrus 'Aliy merasa 'kesulitan' untuk mencari teks 'Arabnya. Oleh karenanya, saya berikan link-link-nya sebagai bahan bacaan yang bisa ditelusuri oleh semua Pembaca.
Saya tidak berharap banyak apakah Anda akan mengerti akan yang saya jawab di atas. Namun setidaknya saya dapat menunjukkan bahwa dalam jawaban Ustadz Mahrus 'Aliy terdapat beberapa kekeliruan esensial yang beliau tidak rujuk darinya. Apakah bisa disebut mengerti ilmu hadits jika melemahkan status perawi seperti Al-Fadhl bin Muusaa, hanya gara-gara Ibnu Hajar mengatakan : tsiqah yughrib ? Keghariban pada perawi tsiqah bukanlah faktor yang melemahkan kedudukan perawi itu sebagaimana telah jamak diketahui. Catatan pula, Al-Fadhl ini perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim. Apakah bisa disebut mengerti ilmu hadits jika tidak mengetahui bahwa munkar pada sebagian istilah ulama berarti ghariib ? Apakah bisa disebut mengerti ilmu hadits jika ada seseorang yang melemahkan secara mutlak seorang perawi yang dikatakan : "Rawaa al-manaakiir" ? Syaikh Al-Albaaniy (dan juga ulama hadits lainnya) telah menjelaskan bahwa istilah ini beda dengan istilah munkarul-hadits. Atau pendeknya, istilah tersebut tidaklah menunjukkan kelemahan perawi secara mutlak.
Apakah bisa disebut orang yang mengerti ilmu hadits jika istilah rubamaa wahm itu diartikan suka nglantur ? Apakah bisa disebut orang yang mengerti ilmu hadits jika tidak bisa melihat sisi al-jarh wat-ta'dil secara proporsional ? Apakah bisa disebut orang yang mengerti ilmu hadits jika tidk tahu makna tingkatan pertama dalam buku Thabaqaat Al-Mudallisiin ?
Saya kira, beliau tetap tidak mau rujuk atas kekeliruan beliau ketika beliau mengutip perkataan Ibnu Qudamah, Ahmad, dan Ishaaq bin Rahawaih yang beliau kira mendukung pendapat beliau, padahal apa yang dikatakan oleh ketiganya sama sekali tidak 'nyambung' dengan pendapat beliau itu. Dan akhirnya nampak bahwa beliau (Ustadz Mahrus) tidak berpegang pada satu ulama pun dalam pendapat yang beliau paparkan dalam tulisan beliau itu.
Adapun bahasan tentang makna bahiimatul-an'aam, sudah sangat jelas kok bahwa itu mencakup sapi dan onta. Itu bisa dibaca dalam link yang saya sampaikan.
Saya tidak berharap banyak apakah Anda paham lalu akan 'ngefans' pada saya dengan jawaban saya tersebut, karena memang saya tidak pernah berharap menjadi fans Anda. Maaf jika jawaban saya di atas terlalu singkat.
bolehkah qurban sapi secara patungan kurang dari 7 orang?
Posting Komentar