Puasa di Hari Syakk


Hari syakk[1] menurut sebagian ulama adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit cerah tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.

Para ulama berbeda pendapat tentang puasa di hari syakk bersamaan dengan adanya kesepakatan kebolehan berpuasa di hari itu jika memang bertepatan dengan kebiasaannya melakukan puasa (sunnah), seperti hari Senin, Kamis, atau kebiasaan puasa Daawud. Beberapa pendapat tersebut antara lain[2] :
Hanafiyyah berpendapat berpuasa di hari itu makruh apabila diniatkan untuk berpuasa Ramadlaan atau puasa wajib lainnya. Namun jika diniatkan puasa sunnah/tathawwu’, maka tidak makruh.
Maalikiyyah berpendapat makruh dalam satu perkataan – dan haram di perkataan yang lain – jika diniatkan puasa dalam rangka kehati-hatian (ihtiyaath). Namun jika diniatkan berpuasa sunnah, qadlaa’, nadzar, atau kaffarah; maka boleh dan tidak makruh.
Syaafi’iyyah berpendapat haram dan tidak sah, baik puasanya itu diniatkan sebagai puasa Ramadlan (dalam rangka kehati-hatian) atau puasa sunnah. Namun jika diniatkan puasa qadla’, nadzar, kaffaarah, ataupun bertepatan dengan kebiasaan puasa sunnahnya; maka boleh dan tidak makruh.
Hanaabilah dalam pendapat masyhurnya[3] mengatakan wajib dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).
Dalil-dalil yang menjadi dasar masyru’-nya puasa di hari syakk antara lain :
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ الْقَاسِمِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَبْلَ شَهْرِ رَمَضَانَ الصِّيَامُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَنَحْنُ مُتَقَدِّمُونَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَتَقَدَّمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَتَأَخَّرْ
Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Walid Ad-Dimasyqiy[4] : Telah menceritakan kepada kami Marwaan bin Muhammad[5] : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Humaid[6] : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits[7], dari Al-Qaasim Abu ‘Abdirrahmaan[8], bahwasannya ia mendengar Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan berkata di atas mimbar : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda di atas mimbar sebelum tiba bulan Ramadlaan : "Puasa itu hari seperti ini dan seperti ini, dan kami mendahulukannya. Barangsiapa berkehendak, ia boleh mendahulukannya. Dan barangsiapa berkehendak, ia pun boleh mengakhirkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1647].
Hadits ini lemah (syaadz) karena matannya bertentangan dengan hadits Abu Hurairah (dan yang lainnya) yang lebih shahih dari ini. Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits meskipun seorang yang tsiqah, namun hapalannya berubah di akhir umurnya. Ada kekhawatiran kekeliruan ini berasal darinya. Wallaahu a’lam.
Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Al-Mughiirah bin Farwah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud dengan sanad dan lafadh sebagai berikut :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلَاءِ الزُّبَيْدِيُّ مِنْ كِتَابِهِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِي الْأَزْهَرِ الْمُغِيرَةِ بْنِ فَرْوَةَ قَالَ قَامَ مُعَاوِيَةُ فِي النَّاسِ بِدَيْرِ مِسْحَلٍ الَّذِي عَلَى بَابِ حِمْصَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا قَدْ رَأَيْنَا الْهِلَالَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَأَنَا مُتَقَدِّمٌ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلْيَفْعَلْهُ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ السَّبَئِيُّ فَقَالَ يَا مُعَاوِيَةُ أَشَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ شَيْءٌ مِنْ رَأْيِكَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صُومُوا الشَّهْرَ وَسِرَّهُ
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ Az-Zubaidiy[9] dari kitabnya : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim[10] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-‘Alaa’[11], dari Abul-Azhar Al-Mughiirah bin Farwah[12], ia berkata : Mu'aawiyah pernah berdiri di antara orang-orang di Dair Mis-hal yang berada di depan pintu Himsh. Ia berkata : “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah melihat hilaal pada hari ini dan ini, dan aku akan mendahului (berpuasa). Barangsiapa yang ingin melakukannya, maka hendaklah ia melakukannya”. Al-Mughiirah berkata : Kemudian Maalik bin Hubairah As Sabaiy berdiri di sampingnya dan berkata : “Wahai Mu'aawiyah, apakah itu sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam atau sesuatu yang berasal dari pendapatmu ?”. Ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Berpuasalah pada bulan tersebut dan sirr-nya[13]” [As-Sunan no. 2329].
Sanad hadits ini pun lemah karena Al-Mughiirah bin Farwah; ia seorang yang maqbuul, yaitu dalam mutaba’ah.
عن مكحول : أن عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - كان يصوم إذا كانت السماء في تلك الليلة مغيمة، ويقول : ليس هذا بالتقدُّم، ولكنه التحري.
Dari Mak-huul : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu biasa berpuasa (di hari tigapuluh bulan Sya’baan) apabila langit pada malam itu mendung/berawan. Ia berkata : “Ini bukanlah mendahului berpuasa (Ramadlan), akan tetapi sebagai taharriy (berhati-hati memilih yang benar/kuat untuk menghilangkan keraguan)” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/42-43].
Sanad riwayat ini lemah, karena inqithaa’. Mak-huul tidak pernah bertemu dengan ‘Umar [lihat : Al-Maraasiil oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 213 no. 799; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 2/1418].
عن فاطمة بنت حسين، أن علىَّ بن أبى طالب قال: أصومَ يوماً من شعبان، أحبُّ إلىَّ من أن أُفْطِرَ يوماً من رمضان.
Dari Faathimah bin Husain : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib berkata : “(Seandainya) aku berpuasa sehari di bulan Sya’baan, maka itu lebih aku senangi daripada aku berbuka sehari di bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 612; dan dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/43].
Sanad riwayat ini lemah karena kelemahan Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru. Juga, ada keterputusan (inqitha’) antara Faathimah binti Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan kakeknya ‘Aliy bin Abi Thalib radliyallaahu anhu.
عَنْ نَافِعٍ قَالَ : فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا مَضَى مِنْ شَعْبَانَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ يَبْعَثُ مَنْ يَنْظُرُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلَا قَتَرٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا وَإِنْ حَالَ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرٌ أَصْبَحَ صَائِمًا
Dari Naafi’, ia berkata : "Jika telah berlalu dua puluh sembilan hari di bulan Sya'baan, Abdullah bin Umar mengutus seseorang untuk melihat hilal. Jika hilal terlihat maka besok adalah bulan Ramadlaan. Jika tidak terlihat dan tidak ada mendung ataupun kegelapan yang menyelimuti pandangannya, maka keesokan harinya ia berbuka (tidak berpuasa). Namun bila terhalang mendung atau kegelapan yang menutupi pandangannya maka pada keesokan harinya ia berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/5; shahih].[14]
عن أبى هُريرة يقول: لأن أتعجَّل فى صَوْمِ رَمَضَانَ بيوم، أحبُّ إلىَّ من أن أتأخر، لأنى إذا تَعَجَّلْتُ لم يَفُتْنى، وإذا تأخَّرت فاتَنى.
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Aku mempercepat puasa Ramadlaan sehari, lebih aku senangi daripada mengakhirkannya. Hal itu dikarenakan, apabila aku mempercepatnya, maka tidaklah hilang/berlalu bagiku puasa Ramadlaan (walau sehari pun). Namun jika aku mengakhirkannya, maka hilang/berlalu bagiku (sehari dari puasa Ramadlaan)” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44].
Sanad riwayat ini shahih.
عن عائشة رضى اللَّه عنها، قالت : لأن أَصُوم يَوْماً مِن شَعْبَانَ، أحبُّ إلىَّ مِن أَنْ أُفْطِرَ يوماً مِنْ رَمَضَانَ.
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ai berkata : “Aku berpuasa sehari di bulan Sya’baan lebih aku senangi daripada berbuka sehari di bulan Ramadlaan” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44].
Sanad riwayat ini lemah karena jahalah dari utusan yang mendatangi ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
عن فاطمة بنت المنذر قالت: ما غُمَّ هلالُ رمضان إلا كانت أسماءُ متقدِّمةً بيوم، وتأمُرُ بتقدُّمه.
Dari Faathimah binti Al-Mundzir, ia berkata : “Tidaklah hilaal bulan Ramdlaan tertutupi (awan), kecuali Asmaa’ (binti Abi Bakr) mendahului (berpuasa) sehari. Dan ia pun memerintahkan untuk mendahuluinya” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/45].
Sanad riwayat ini shahih.
عن فاطمة، عن أسماء، أنها كانت تصومُ اليوم الذى يُشك فيه من رمضان.
Dari Faathimah, dari Asmaa’ (binti Abu Bakr) : Bahwasannya ia biasa berpuasa di hari syakk dari bulan Ramdlaan” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/45].
Sanad riwayat ini shahih.
Dan yang lainnya.
Dalil-dalil yang menjadi dasar tidak masyru’-nya berpuasa di hari syakk antara lain :
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka tidaklah mengapa ia berpuasa di hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الضَّبِّيُّ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz[15] : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin ‘Abdil-Hamiid[16], dari Manshuur bin Al-Mu’tamir[17], dari Rib’iy bin Hiraasy[18], dari Hudzaifah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mendahului bulan hingga melihat Hilal, atau kalian menyempurnakan bilangan, kemudian berpuasalah hingga kalian melihat Hilal atau menyempurnakan bilangan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2326].
Sanad hadits ini shahih.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair[19] : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar[20], dari ‘Amru bin Qais[21], dari Abu Ishaaq[22], dari Shillah[23], ia berkata : Kami pernah berada bersama 'Ammar di pada hari yang diragukan, kemudian ia membawa daging kambing. Lalu sebagian orang menyingkir. Kemudian 'Ammar berkata : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2336].
Sanad hadits ini lemah karena Abu Ishaaq As-Sabi’iy. Ia seorang mudallis yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah. Akan tetapi ia mempunyai mutaba’ah dari Rib’iy sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (3/73) : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdish-Shamad Al-‘Ammiy, dari Manshur, dari Rib’iy : Bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir….dst. Sanad hadits ini shahih.
عن حفص وعلي بن مسهر، عن الشيباني، عن الشعبي قال : قال الضحاك بن قيس : لو صمت السنة كلها، ما صمتُ اليوم الذي يشك فيه من رمضان.
Dari Hafsh dan ‘Aliy bin Mushir[24], dari Asy-Syaibaaniy[25], dari Asy-Sya’biy[26], ia berkata : Telah berkata Adl-Dlahhaak bin Qais[27] : “Seandainya saja aku berpuasa setahun penuh, niscaya aku tidak akan berpuasa di hari yang diragukan padanya dari bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/71].
Sanad riwayat ini shahih.
عن وكيع، عن سفيان، عن عبد العزيز بن حكيم قال : سمعت ابن عمر يقول : لو صمت السنة كلها لأفطرتُ اليوم الذي يشك فيه.
Dari Wakii’[28], dari Sufyaan[29], dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Hakiim[30], ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Seandainya aku berpuasa setahun penuh, aku tetap akan berbuka pada hari yang diragukan padanya” [idem].
Sanad riwayat ini hasan.
عن ابن فضيل، عن بيان، عن عامر قال : ما من يوم أبغض إليَّ أن أصومه من اليوم الذي يشك فيه من رمضان.
Dari Ibnu Fudlail[31], dari Bayaan[32], dari ‘Aamir, ia berkata : “Tidak ada hari yang lebih aku benci untuk berpuasa padanya dibandingkan hari yang diperselisihkan padanya dari bulan Ramadlaan” [idem, 3/72].
Sanad riwayat ini shahih.
Dan yang lainnya.
Tarjih
Tarjih terhadap dalil-dalil yang dipaparkan di atas nampak bahwa pendapat yang menyatakan tidak masyru’­-nya puasa di hari syakk lebih kuat/raajih. Dhaahir-nya, hukum yang terambil menunjukkan keharamannya walau dilakukan dalam rangka kehati-hatian (ihtiyaath), kecuali jika bertepatan dengan hari yang seseorang biasa berpuasa padanya.
Setelah menyebutkan hadits ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ التَّابِعِينَ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ كَرِهُوا أَنْ يَصُومَ الرَّجُلُ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ وَرَأَى أَكْثَرُهُمْ إِنْ صَامَهُ فَكَانَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ أَنْ يَقْضِيَ يَوْمًا مَكَانَهُ
“Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan ulama dari kalangan shahabat Nabi shalallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang sepeninggal mereka dari kalangan tabi'in. Ini juga merupakan pendapat Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, Asy-Syaafi'iy, Ahmad, dan Ishaaq. Mereka membenci orang yang berpuasa di hari syakk. Jika ternyata hari itu adalah awal Ramadlan, maka dia wajib meng-qadla' satu hari sebagai gantinya” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/65-66].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله: "فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم" استدل به على تحريم صوم يوم الشك لأن الصحابي لا يقول ذلك من قبل رأيه فيكون من قبيل المرفوع. قال ابن عبد البر: هو مسند عندهم لا يختلفون في ذلك.
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam’ dijadikan dalil haramnya berpuasa di hari syakk, karena shahabat tidaklah mengatakan hal itu berdasarkan pendapatnya. Oleh karena itu, riwayat itu termasuk riwayat yang dihukumi marfuu’. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : ‘Riwayat itu tergolong musnad menurut mereka tanpa ada perselisihan” [Fathul-Baariy, 4/120].
قوله: "لا يتقدم رمضان بصوم يوم أو يومين" أي لا يتقدم رمضان بصوم يوم يعد منه بقصد الاحتياط له
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa sehari atau dua hari’ ; yaitu jangan kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa yang bertujuan untuk berhati-hati terhadapnya (Ramadlaan)” [idem, 4/128].
Adapun perbuatan sebagian shahabat yang berpuasa di hari syakk, maka ada kemungkinan mereka belum mengetahui dalil-dalil yang menyatakan larangan berpuasa di hari syakk. Apapun itu, sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap lebih didahulukan daripada yang lainnya sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Sampai di sini kalimat yang dapat dituliskan. Semoga – dengan keterbatasan yang ada – artikel ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – menjelang akhir sya’baan 1431].


[1]        Beberapa ulama membedakan antara bahasan puasa di hari syakk dengan bahasan mendahului sehari atau dua hari berpuasa sebelum Ramadlaan, walau pendalilan yang dipakai dalam bahasan keduanya ada yang sama.
[2]        Diringkas dari Tahqiiqur-Rujhaani bi-Shaumi Yaumisy-Syakk fii Ramadlaan oleh Mar’iy bin Yuunus Al-Maqdisiy (w. 1033 H), hal. 14-18, Daarush-Shahaabah, Cet. 1/1412; dan Fiqhul-Islaamiy wa Adillatuh oleh Wahbah Az-Zuhailiy, 2/579-582, Daarul-Fikr, Cet. 2/1405 H.
[3]        Lihat : Al-Hidaayah ‘alaa Madzhab Al-Imaam Abi ‘Abdillah oleh Abul-Khaththaab, hal. 153-154, tahqiq & takhrij & ta’liq : Maahir bin Yaasiin Al-Fakhl; Penerbit Ghiraasy, Cet. 1/1425, Kuwait.
[4]        Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Maziid Abu Fadhl Al-Bairuutiy; seorang yang tsiqah (170-269/271 H) [Taqriibut-Tahdziib hal. 489 no. 3209 dan Tahrirut-Taqriib 2/18-189 no. 3192].
[5]        Marwaan bin Muhammad bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathaariy; seorang yang tsiqah (147/149-210 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib hal. 932 no. 6617].
[6]        Al-Haitsam bin Humaid Al-Ghassaaniy Abu Ahmad Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah [idem hal. 1030 no. 7412 dan Tahriirut-Taqriib 4/51 no. 7362].
[7]        Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits bin ‘Abdil-Waarits Al-Hadlramiy; seorang yang tsiqah namun berubah hapalannya di akhir umurnya (w. 136 H dalam usia 70 tahun). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 759 no. 5265 dan Tahriirut-Taqriib 3/127 no. 5230].
[8]        Al-Qaasim bin ‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy Abu ‘Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang shaduuq (w. 112 H) [idem hal. 792 no. 5505].
[9]        Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ bin Adl-Dlahhaak binMuhaajir bin ‘Abdirrahmaan Az-Zubaidiy; seorang yang lurus haditsnya (152-235 H) [idem, hal. 113 no. 228].
[10]       Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah namun bnyak melakukan tadlis (109-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1041 no. 7506].
[11]       ‘Abdullah bin Al-‘Alaa’ bin Zabr Ar-Rib’iy Abu ‘Abdirrahmaan Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah (75-164 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 533 no. 3545].
[12]       Al-Mughiirah bin Farwah Ats-Tsaqafiy Abul-Azhar Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy; seorang yang maqbuul [idem, hal. 966 no. 6896].
[13]       Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘sirruhu ini. Sebagian ulama berpendapat maknanya adalah ‘awal bulan’. Yang lain berpendapat ‘akhir bulan’ – dan inilah yang kuat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Khaththaabiy [lihat : Sunan Abi Daawud ma’a Ma’aalimis-Sunan 2/518-519; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418].
[14]       Silakan cermati riwayat Ibnu ‘Umar lain di bawah yang menyatakan kebenciannya berpuasa di hari syakk.
[15]       Muhammad bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz Ad-Duulaabiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (150-227 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 855 no. 6004].
[16]       Jariir bin ‘Abdil-Hamiid bin Qurth Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab (107/110-188 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 196 no. 924].
[17]       Manshuur bin Al-Mu’tamir bin ‘Abdillah bin Rabii’ah Abu ‘Attaab Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 973 no. 6956].
[18]       Rib’iy bin Hiraasy bin Jahsy bin ‘Amru bin ‘Abdillah Al-Ghaththafaaniy Abu Maryam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 100/101/104 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 318 no. 1889].
[19]       Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair Al-Hamdaaniy Al-Khaarifiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faadlil (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 866 no. 6093].
[20]       Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yang diperselisihkan statusnya.
Ishaq bin Rahaawaih berkata : Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata : “Dan Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan ?”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy bin Al-Madiniy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Sufyaan mencela Abu Khaalid dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” [Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang yang tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata : “Bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai mutaba’ah” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’)” [At-Taqriib, hal. 406 no. 2562]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah masyhuur” [Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal. 239-240 no. 144].
Kesimpulan : Ia seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).
[21]       ‘Amru bin Qais Al-Malaaiy Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 146 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 743 no. 5135].
[22]       Ia adalah ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Abu Ishaaq As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah namun masyhuur dengan tadlis (w. 126 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib, 3/99 no. 5065].
[23]       Shillah bin Zufar Al-‘Absiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil (w. 70 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 455 no. 2968].
[24]       ‘Aliy bin Mus-hir Al-Qurasyiy Abul-Hasan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 189 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 705 no. 4834].
[25]       Ia adalah Sulaimaan bin Abi Sulaimaan Abu Ishaaq Asy-Syaibaaniy; seorang tsiqah (w. 129/138/139/141 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 408 no. 2583].
[26]       Ia adalah ‘Aamir bin Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi mempunyai keutamaan (w. 103/104/105/106/107/110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 475-476 no. 3109].
[27]       Adl-Dlahaak bin Qais bin Khaalid Al-Akbar bin Wahb Al-Qurasyiy, salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[28]       Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
[29]       Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
[30]       ‘Abdul-‘Aziiz bin Hakiim Al-Hadlramiy Al-Kuufiy. Ibnu Ma’iin dan Abu Daawud berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat”. Ibnu Jariir meninggalkannya (tidak meriwayatkan darinya) [lihat : Mishbaahul-Ariid, 2/268 no. 16098]. Kesimpulannya, haditsnya tidaklah turun dari derajat hasan.
[31]       Ia adalah Muhammad bin Fudlail bin Ghazwaan bin Jariir Adl-Dlabbiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq (w. 194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 889 no. 6267].
[32]       Bayaan bin Bisyr Al-Ahmasiy Al-Bajaliy Abu Bisyr Al-Kuufiy Al-Mu’allim; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 180 no. 797].

Comments

Anonim mengatakan...

Tadz ente cari rijal haditsnya pake kitab ape pake software aja tinggal search..di laptop?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya banyak memanfaatkan e-book versi scan pdf yang validitasnya setara dengan versi cetak (hardcopy). Alhamdulillah, Allah telah memudahkan bagi kita sehingga bisa menghemat banyak biaya untuk membeli kitab.

Anonim mengatakan...

Boleh tau download dimana?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Banyak alamat yang menyediakan versi scan pdf, di antaranya :

http://waqfeya.com/

http://ahlalhdeeth.com/vb/index.php

http://majles.alukah.net/

dan yang lainnya.

Saufy Jauhary mengatakan...

Assalamualaikum ya ustaz.

Ada pertelagahan di antara salafiyin di malaysia berkenaan hadis:

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده، فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه
“Apabila salah seorang daripada kamu yang mendengar azan dan pinggan masih ada di tangan, janganlah diletakkan sehingga ia menunaikan hajatnya”
(riwayat Ahmad,Abu daud dan Baihaqi dan lain-lain

Ada yang mengatakan hadis ini shahih dan ada pula yang menganggapnya dhaif.

Yang menganggapnya dhaif mengatakan hadis ini dicacatkan oleh Imam Abu Hatim Al-Razi.
Link perbahasan tersebut di sini: http://ansarul-hadis.blogspot.com/2011/07/penjelasan-status-hadith-fiqh-sahur.html

Mohon pencerahan….

Saufy Jauhary,Malaysia

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Silakan baca pembahasannya di :

Hadits Sahur Ketika Adzan Berkumandang.