Imam Ali bin Abi Thalib dan Nikah Mut’ah (01)


Nikah mut’ah adalah salah satu simbolitas yang disiarkan oleh kaum Syi’ah. Nikah ini memang pernah dihalalkan oleh Islam, namun kemudian dihapuskan hingga hari kiamat. Akan tetapi, kaum Syi’ah tetap melestarikannya dengan dalih : Mengikuti warisan Ahlul-Bait, khususnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagaimana akan disinggung dalam artikel ini. Kata mereka, dalam referensi Ahlus-Sunnah ada yang menyatakan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib memang menghalalkan nikah mut’ah. Dimanakah itu ? Berikut pernyataan mereka :

Silakan wahai pembaca yang budiman untuk membuka Kitab Tafsir Durr al manstur dan Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari –kedua kitab tafsir panutan salafy- dan disana anda akan menemukan bahwa Imam Ali menghalalkan mut’ah dan menentang larangan Umar.
Ulama panutan salafy Jalaludin Suyuthi dalam kitab tafisrnya durr al mantsur jilid 2 hal 140 ketika membahas surah An Nisa’ ayat 24 membawakan riwayat berikut
وأخرج عبد الرزاق وأبو داود في ناسخه وابن جرير عن الحكم أنه سئل عن هذه الآية أمنسوخة ؟ قال  لا وقال علي  لولا أن عمر نهى عن المتعة ما زنا إلا شقي
Abdurrazaq, Abu Daud dalam kitab Nasikh dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hakim ketika ia ditanya “apakah ayat ini dimansukh”?. Ia berkata “tidak”, dan Ali berkata  “kalau umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka”.
Atsar ini disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah sehingga tidak ada alasan untuk menolak dan menentangnya. Ibnu Jarir dalam tafsirnya jilid 4 hal 10 menyebutkan sanad atsar ini.
حدثنا محمد بن المثنى قال ، حدثنا محمد بن جعفر قال ، حدثنا شعبة ، عن الحكم قال
Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada kami dimana ia berkata Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami dimana ia berkata Syu’bah menceritakan kepada kami dimana ia berkata dari Al Hakim yang berkata……
Muhammad bin Al Mutsanna disebutkan Ibnu Hajar –ulama rijal salafy- dalam kitab Taqrib jilid 2 hal 129 sebagai orang yang tsiqat dan tsabit.
Muhammad bin Ja’far disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib jilid 2 Hal 63 sebagai orang yang tsiqat.
Syu’bah bin Hajjaj disebutkan Ibnu Hajar dalam Kitab Taqrib jilid 1 hal 458 sebagai orang yang tsiqat, hafiz, mutqin
Hakim bin Utaibah Al Kindi disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib jilid 1 hal 232 sebagai orang yang tsiqat dan tsabit.
Orang-orang yang menyampaikan atsar tersebut ternyata orang-orang yang terpercaya di kalangan salafy sehingga tidak diragukan lagi kalau Imam Ali alaihissalam telah menghalalkan mut’ah dan ini dimuat oleh kitab salafy sendiri dengan perawi yang terpercaya dan shahih.
Saya ajak ikhwah sekalian bersama-sama membuka kitab Ad-Durrul-Mantsuur. Akan saya tulis ulang apa yang dituliskan oleh As-Suyuthiy rahimahullah dalam kitab tersebut (4/331, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy; Cet. 1/1424 H) :
وأخرج عبدُ الرزاق، وأبو داودَ في ((ناسخهِ)) وابنُ جريرٍ، عن الحكم، أنه سُئِل عن هذه الآيةِ أمنسوخةٌ ؟ قال : لا. وقال عليٌّ : لو لا أن عمر نَهَى عن المتعةِ ما زنى إلا شقيٌّ.
“Dan diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, Abu Daawud dalam kitab Naasikh-nya, dan Ibnu Jariir, dari Al-Hakam : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang ayat ini : ‘Apakah ia telah dihapus/mansuukh ?’. Maka ia menjawab : ‘Tidak’. ‘Aliy berkata : ‘Seandainya ‘Umar tidak melarang nikah mut’ah, tidaklah akan ada seseorang yang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Riwayat tersebut disebutkan ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf (no. 14029) dan Ibnu Jariir dalam At-Tafsiir (6/588).
Sanad ‘Abdurrazzaaq adalah lemah karena ada perawi mubham antara Ibnu Juraij dan ‘Aliy bin Abi Thaalib. Sedangkan padanya ada lafadh perkataan ‘Aliy yang tidak ‘menguntungkan’ kaum Syii’ah, yaitu :
لولا ما سبق من رأي عمر بن الخطاب - أو قال : من رأي ابن الخطاب - لأمرت بالمتعة، ثم ما زنا إلا شقي.
“Seandainya tidak ada ra’yu/pendapat ‘Umar bin Al-Khaththaab – atau ia berkata : pendapat Ibnul-Khaththaab – yang telah lalu, niscaya aku perintahkan untuk nikah mut’ah. Kemudian, tidaklah ada seseorang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Dhahir atsar di atas menunjukkan ‘Aliy bin Abi Thaalib tunduk dan mengikuti keputusan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa, sehingga ia urung/enggan menghalalkan nikah mut’ah.
Sedangkan sanad Ath-Thabariy – sebagaimana dibahas oleh orang Syi’ah tersebut di atas – ini pun juga lemah. Ath-Thabariy berkata :
حدثنا محمد بن المثنى قال، حدثنا محمد بن جعفر قال، حدثنا شعبة، عن الحكم قال: سألته عن هذه الآية : "والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم" إلى هذا الموضع:"فما استمْتَعتم به منهن"، أمنسوخة هي؟ قال: لا. قال الحكم : وقال علي رضي الله عنه: لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شَقِيٌّ.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Hakam. Syu’bah berkata : Aku bertanya kepadanya (Al-Hakam) tentang ayat ini : ‘dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki’ sampai pada : ‘Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka’; apakah telah dihapus/mansuukh ?. Ia (Al-Hakam) menjawab : “Tidak”. Ia melanjutkan : “Telah berkata ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : ‘Seandainya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak melarang nikah mut’ah, tidaklah akan ada seseorang yang berzina kecuali orang yang celaka” [selesai].
Para perawinya memang perawi tsiqaat, akan tetapi terdapat inqithaa’ (keterputusan) antara Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib. Al-Hakam termasuk shighaarut-taabi’iin yang lahir tahun 50 H dan wafat tahun 113/114/115 H. Sedangkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu wafat pada tahun 40 H.
Ini jawaban dari sisi Ahlus-Sunnah.
Adapun dari sisi Syi’ah, maka riwayat itu pun tidak shahih. Al-Hakam bin ‘Utaibah ini, menurut Al-Hulliy :
مذموم من فقهاء العامة
“Orang yang tercela dari kalangan fuqahaa’ al-‘aammah[1]”.
Riwayat ‘Aliy bin Abi Thaalib tersebut juga dibawakan oleh Al-Kulainiy sebagai berikut :
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَحْيَى عَنِ ابْنِ مُسْكَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ
Muhammad bin Ismaa’iil, dari Al-Fadhl bin Syaadzaan, dari Shafwaan bin Yahyaa, dari Ibnu Mukaan, dari ‘Abdullah bin Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar Abu Ja’far (‘alaihis-salaam) berkata : ‘Aliy (‘alaihis-salaam) pernah berkata : “Seandainya  Ibnul-Khaththaab tidak mendahuluiku dalam pengharaman mut’ah, tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka” [Al-Kaafiy, 5/448].
Al-Majlisiy telah menghukumi riwayat ini dengan : ‘majhuul’. Alias : tidak shahih [lihat : Mir’aatul-‘Uquul 20/227 dan Malaadzul-Akhbaar 12/29].
Oleh karena itu, riwayat ini tidak shahih, baik dari jalan Ahlus-Sunnah maupun Syi’ah. Inikah yang disebut shahih ?
Bahkan riwayat ini munkar di sisi Ahlus-Sunnah. Telah shahih dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia mengatakan pengharaman nikah mut’ah.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ibnu Numair, dan Zuhair bin Harb, kesemuanya dari Ibnu ‘Uyainah. Zuhair berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Al-Hasan dan ‘Abdullah – keduanya adalah anak Muhammad bin ‘Aliy - , dari ayahnya, dari ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan (memakan) daging keledai kampung/peliharaan pada hari (peperangan) Khaibar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1407].
Wallaahu a’lam.
NB : Pembahasan di sini sebatas pembahasan riwayat di atas. Bukan pembahasan nikah mut’ah secara luas. Bersambung ke SINI.
[abul-jauzaa’ – Menjelang akhir Sya’baan 1431 H].


[1]      Istilah ‘aammah (orang umum/awam) adalah sebutan orang Syi’ah bagi Ahlus-Sunnah.

Comments

Anonim mengatakan...

sukron ustad atas penjelasannya.
Semoga Allah menambahkan kebaikan kepada antum , jawaban antum sulit dibantah oleh mereka yang mengagungkan nikah mut'ah .

Anonim mengatakan...

Kan bener, sudah umum klo org syi'ah itu didalam mengutip sesuatu keliatan banget tidak amanahnya/ada sesuatu yg dipotong2 krn ga sesuai dengan hawa nafsunya.

Benarlah ucapan Imam Syafi'i -rahimahullah- bahwa jgn diterima persaksian org Rafidhah karena mereka pendusta.

Terima kasih akh. Jazakallah khoir.

Anonim mengatakan...

kalau makan daging keledai apa jg dilarang sd skrng ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya