Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul sama : Nikah Mut’ah. Akan tetapi di sini akan saya ketengahkan satu riwayat dari sumber Syi’ah yang berasal dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang isinya mengharamkan nikah mut’ah. Berikut riwayat tersebut tertuliskan :
محمد بن يحيى عن أبي جعفر عن أبي الجوزاء عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي عن آبائه عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Muhammad bin Yahyaa, dari Abu Ja’far, dari Abul-Jauzaa’, dari Al-Husain bin ‘Ulwaan, dari ‘Amru bin Khaalid, dari Zaid bin ‘Aliy, dari ayah-ayahnya, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Muhammad bin Yahyaa; menurut An-Najaasyiy (no. 946) ia seorang tsiqatun ‘ain.
Abu Ja’far, ia adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa; seorang yang tsiqah [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal 690].
Abul-Jauzaa’, ia adalah Al-Munabbih bin ‘Abdillah At-Taimiy; seorang yang berpredikat shahiihul-hadiits [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal 619].
Al-Husain bin ‘Ulwaan Al-Kalbiy; seorang ‘aamiy yang tsiqah [lihat : Al-Mufiid fii Mu’jami Rijaalil-Hadiits, hal. 173 dan Mu’jamu Rijaalil-Hadiits no. 3508].
‘Amru bin Khaalid Al-Waasithiy; seorang ‘aamiy yang tsiqah [lihat : Mu’jamu Rijaalil-Hadiits no. 8909].
Zaid bin ‘Aliy, maka ia termasuk imam dari kalangan Ahlul-Bait.
Sanad hadits ini shahih menurut standar penilaian ulama Syi’ah. Akan tetapi, beberapa ulama Syi’ah melemahkannya – dan bahkan menyebutkannya sebagai riwayat dusta – karena dianggap syadz bertentangan dengan kebanyakan riwayat yang menyatakan kehalalan nikah mut’ah.
Ada satu hal yang menarik dari penulis kitab Al-Ibtishaar (3/142) – yaitu Ath-Thuusiy - saat ia berkata :
فالوجه في هذه الرواية أن نحملها على التقية لأنها موافقة لمذاهب العامة ........
“Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami membawanya sebagai satu taqiyyah karena riwayat tersebut berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca : Ahlus-Sunnah)……” [selesai].[1]
Perkataan semakna dari Ath-Thuusiy juga terdapat dalam Tahdziibul-Ahkaam (7/251).
Taqiyyah yang dimaksudkan dalam perkataan di atas adalah taqiyyah yang dilakukan oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib saat membawakan riwayat hadits di atas.[2]
Jika disebut sebagai riwayat lemah[3] dan dusta, mengapa pula disebut sebagai taqiyyah ? Pemaknaan sebagai taqiyyah dari ‘Aliy bin Thaalib merupakan salah satu cabang tashhiih sebagaimana ta’wil juga merupakan cabang dari tashhiih. Itulah yang ma’ruf dalam ilmu ushul. Jika bukan merupakan tashhiih riwayat, niscaya Ath-Thuusiy tidak akan mengatakan itu merupakan taqiyyah (dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu).
Selain itu, pemaknaan taqiyyah dari Ath-Thuusiy atas riwayat di atas juga merupakan pengakuan secara eksplisit bahwa kejadian itu benar-benar ada. Maksudnya, ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu memang benar-benar pernah mengatakan bahwa nikah mut’ah itu diharamkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika kejadian itu tidak nyata, tentu tidak layak disebut sebagai satu taqiyyah.
Adapun perkataan sebagian ulama Syi’ah setelahnya (terutama kalangan muta’khkhiriin) yang menyatakan riwayat itu sebagai riwayat dusta, maka patut kita cermati – jika kita sandingkan dengan perkataan Ath-Thuusiy di atas. Jika Ath-Thusiy mengatakan bahwa riwayat tersebut sebagai taqiyyah dan di sisi lain ada ulama yang mengatakan riwayat dusta; maka siapakah yang berdusta di sini ? Apakah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu ? Kalau ini yang dimaksud, maka kita (Ahlus-Sunnah) menolaknya, karena beliau jauh dari sifat dusta. Dusta itu definisinya adalah menyatakan sesuatu tidak sesuai dengan realitas, baik sengaja ataupun tidak sengaja. Mirip-mirip dengan taqiyyah.[4] ‘Alaa kulli haal, saya persilakan Pembaca budiman memikirkannya sendiri.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – beberapa hari menjelang kedatangan bulan Ramadlan yang diberkahi 1431 H].
[1] Saya nukil sesuai keperluan saja. Adapun perkataan Ath-Thuusiy selanjutnya adalah pernyataannya tentang mukhalafah terhadap riwayat jama’ah dan kewajiban mengamalkan riwayat jama’ah yang menyatakan kehalalan nikah mut’ah.
[2] Ada sebagian ulama Syi’ah yang men-ta’wil-nya sebagai taqiyyah dalam periwayatan. Selain istilah ini membingungkan, juga bertentangan dengan dhahir perkataan Ath-Thuusiy sendiri.
[3] Beberapa ulama Syi’ah melemahkan sanad riwayat di atas dari faktor Al-Husain bin ‘Ulwaan Al-Kalbiy dan ‘Amru bin Khaalid Al-Waasithiy karena mereka bukan termasuk rijal khaash, meskipun mereka orang-orang tsiqah.
[4] Saya tidak tahu apa kepentingan taqiyyah sebagaimana dikatakan Ath-Thuusiy d atas. Apakah memang ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berada dalam ketakutan yang mengancam jiwanya sehingga mengharuskan ber-taqiyyah ? Atau ada sebab lain ? Karena, kita mengenal beliau sebagai sosok pemberani yang tegas menegakkan kebenaran.
Comments
Terima kasih banyak Ustadz atas artikelnya. Sangat bermanfaat sekali.
dengan hormat,
Posting Komentar