Hadits Pertama (Hadits ‘Aaisyah)
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَلٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ وَهْبٍ الْهَمْدَانِيِّ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ { وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ } قَالَتْ عَائِشَةُ أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Mighwal[1], dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy[2] : Bahwasannya ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang ayat : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang Rabb mereka berikan, dengan hati yang takut’ (Al Mu'minuun: 60)”. ‘Aaisyah bertanya : ”Apa mereka orang-orang yang meminum khamar dan mencuri ?”. Beliau menjawab : “Bukan, wahai putri Ash-Shiddiiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah. Mereka takut kalau amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3175].
Selain At-Tirmidziy, hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Humaidiy (no. 275), Ahmad (6/159 & 205), Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir (19/47), Al-Haakim (2/393-394), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan (no. 762) dan dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar (hal. 2013 no. 898), serta Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (17/145); dari beberapa jalan, dari Maalik bin Mighwal, dari ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah.
Dhahir sanad hadits di atas adalah lemah karena inqitha’ (keterputusan) antara ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb dengan ‘Aaisyah. Diriwayatkan secara tersambung (maushul), namun tidak mahfudh sebagaimana dikatakan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal (11/193 no. 2216).
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya (19/47) : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim[3], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain[4], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Jariir[5] dari Laits bin Abi Sulaim[6], dan Husyaim[7] dari Al-‘Awwaam bin Hausyab[8]; keduanya (Laits dan Al-‘Awwaam) dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia (‘Aaisyah) pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (tentang ayat tersebut), maka beliau bersabda : “Wahai putri Abu Bakr – atau – Wahai putri Ash-Shiddiiq…….dst.”.
Sanad ini juga lemah, karena mursal/munqathi’ antara ‘Aaisyah dengan Al-‘Awwaam bin Hausyab dan Al-Laits bin Abi Sulaim. Adapun kedlaifan dengan sebab ‘an’anah Husyaim, maka ia menjadi kuat karena jalur Jariir dari Laits bin Abi Sulaim.
Irsal Laits dari ‘Aaisyah, disambungkan oleh Abu Ya’laa dalam Musnad-nya (no. 4917) : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Abi Israaiil[9] : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Laits, dari seorang laki-laki, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman-Nya : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka’ : “Wahai putri Ash-Shiddiiq – atau – Wahai putri Abu Bakr……”.
Namun sayangnya, sanad ini lemah karena mubham-nya syaikh Al-Laits bin Abi Sulaim – bersamaan dengan kelemahan Al-Laits sendiri.
Di sini dapat kita lihat bahwa yang meriwayatkan hadits ini secara mursal dari ‘Aaisyah ada tiga orang, yaitu : ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy, Al-Laits bin Abi Sulaim, dan Al-‘Awwaam bin Hausyab.[10]
Jalan-jalan sanad dari ‘Aaisyah tersebut dapat menguatkan satu dengan yang lainnya – karena kecacatan pokoknya adalah mursal/munqathi’. Apalagi dilihat dari jajaran syuyuukh ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb yang tertera dalam Tahdziibul-Kamaal adalah para perawi tsiqah; diantaranya : Sa’iid bin Wahb (tsiqah), Salmaan Abu Haazim Al-Asyjaa’iy (tsiqah), dan Asy-Sya’biy (tsiqah masyhuur). Dan di antara ketiga orang syaikh ‘Abdurrahmaan ini, yang meriwayatkan dari ‘Aaisyah – sebagaimana tertera dalam At-Tahdziib – adalah Asy-Sya’biy.
Oleh karena itu, hadits di atas berkualitas hasan lighairihi – sekaligus mengkoreksi penghukuman shahih sebagaimana artikel sebelumnya.[11]
Catatan : Sebagian jalan hadits dibawakan dengan lafadh : ‘bintu Abi Bakr atau Bintu Ash-Shiddiiq’ – , maka syakk (keragu-raguan) dari perawi ini tidak memudlaratkan hadits. Keduanya merupakan satu makna yang tidak menafikkan satu dengan yang lainnya. Selain itu, dalam mursal ‘Abdurrahmaan - dan jalur ini paling kuat dari dua yang lainnya - telah dibawakan dengan lafadh ‘Bintu Ash-Shiddiiq’. Oleh karena itu, mengatakan lafadh ‘Bintu Ash-Shiddiiq’ merupakan lafadh tambahan dari perawi adalah tidak punya dasar pijakan yang kokoh.
Serupa dengan hadits di atas, mari kita perhatikan riwayat berikut :
حدثنا الحميدي قال حدثنا سفيان، قال : حدثنا داود بن أبي هند، عن الشعبي، عن مسروق، عن عائشة أنها قالت : يا رسول الله (يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الأَرْضِ)، فأين الناس يومئذ ؟. قال : علَى الصراط يا بنت الصديق.
Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy[12] : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[13], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Abi Hind[14], dari Asy-Sya’biy[15], dari Masruuq[16], dari ‘Aaisyah, bahwasannya ia pernah berkata : “Wahai Rasulullah, tentang firman Allah : ‘Pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain’. Lalu dimanakah manusia pada waktu itu ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas shiraath, wahai putri Ash-Shiddiiq” [Diriwayatkan oleh Al-Humaidiy no. 276].
Hadits ini shahih, perawinya tsiqaat, dan sanadnya bersambung (maushul).
Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2791, Ahmad 6/35, At-Tirmidziy no. 3120, Ibnu Maajah no. 4279, Al-Haakim 2/352, Ibnu Hibbaan no. 7380, dan yang lainnya.
Mungkin saja nanti ada sebagian orang yang menyanggah : “Dalam kebanyakan riwayat tidak disebutkan lafadh Ash-Shiddiiq, sehingga ‘kemungkinan’ itu merupakan tambahan dari sebagian perawi. Lagi-lagi ‘teori kemungkinan’ itu tertolak, sebab ziyadatuts-tsiqah adalah diterima selama tidak ada ta’arudl dengan riwayat pokok. Hal ini telah ditegaskan oleh para muhadditsiin di antaranya Ibnu Shalah dan yang lainnya. Dapat kita lihat bahwa jajaran perawi hadits di atas adalah para perawi tsiqaat dan masyhuur, terutama Ibnu ‘Uyainah dan Al-Humaidiy rahimahumallaah.
Akhirnya dapat kita ketahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang menyebut Abu Bakr dengan ‘Ash-Shiddiiq’ – dimana beliau tidak memanggil dengannya kecuali kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu.
Hadits Kedua (Hadits Anas)
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَقَالَ اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar[17] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid[18], dari Qataadah : Bahwasannya Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepada mereka : Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mendaki bukit Uhud yang diikuti oleh Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan. (Tiba-tiba), Uhud bergetar (gempa), maka beliau bersabda : "Tenanglah wahai Uhud, karena di atasmu sekarang ada seorang nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3675].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 3699, Abu Daawud no. 4651, At-Tirmidziy no. 3697, Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 246 & 818, Al-Baghawiy no. 3901, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8134-8135 dan dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 32, Abu Ya’laa no. 2964 & 3171, dan Ibnu Hibbaan no. 6908; dari beberapa jalan[19], dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, dari Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Anas secara marfu’ [Uhud – 3 orang].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 3686, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1437, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 8135, Abu Ya’laa no. 2910 & 3196, Ibnu ‘Adiy 8/79 no. 1839, Ibnu Hibbaan no. 6865, dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/350; dari beberapa jalan[20], dari Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Anas secara marfu’ [Uhud – 3 orang].
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/112 dari jalan Syu’bah, dari Qataadah, dari Anas secara marfu’ [Uhud – 3 orang].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibbaan no. 6492 dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/351 dari Ma’mar, dari Qataadah, dari Anas secara marfu’ [Uhud – 3 orang].
Riwayat di atas menunjukkan kejadian di Uhud yang dihadiri oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Yang dimaksud dengan Nabi adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri, Ash-Shiddiiq adalah Abu Bakr, serta dua orang Syahiid adalah ‘Umar dan ‘Utsmaan.
Sebagian jalan riwayat ini (yaitu riwayat Qataadah dari Anas secara marfu’) terdapat perselisihan dalam penyebutan tempat dan orang, misalnya :
ثنا يحيى بن خلف حدثنا أبو داود ثنا عمران عن قتادة عن أنس ابن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان على حراء فرجف بهم فقال أثبت فإنما عليك نبي أو صديق أو شهيد وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم وعمر وعثمان وعلي
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Khalaf[21] : Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud[22] : Telah menceritakan kepada kami ‘Imraan[23], dari Qataadah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di Hiraa’. (Tiba-tiba), Hiraa’ bergetar (gempa), maka beliau bersabda : “Tenanglah, karena di atasmu sekarang ada nabi, shiddiiq, atau syahiid". Mereka adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1439. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thayaalisiy no. 2097].
Riwayat ini dla’iif, dengan sebab ‘Imraan Al-Qaththaan. Riwayatnya diletakkan/ditinggalkan jika berselisihan, karena para ulama telah mengkritik akurasi hapalannya. Ia keliru dalam penyebutan Hiraa’. Dalam hal ini, ia menyelisihi para perawi yang lebih tsiqah dan dlabth darinya yang meriwayatkan dari Qataadah dengan menyebutkan Uhud (bukan Hiraa’) dan Abu Bakr (bukan ‘Aliy); seperti Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, Syu’bah, dan Ma’mar sebagaimana telah disebutkan.
Ada riwayat lain :
حدثنا محمد قثنا محمد بن إسحاق قثنا روح قثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال صعد النبي صلى الله عليه وسلم حراء أو أحدا ومعه أبو بكر وعمر وعثمان فرجف الجبل فقال اثبت نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq[24], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh[25], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah[26], dari Qataadah, dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendaki Hiraa’ atau Uhud, dan bersama beliau Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Lalu gunung itu bergetar. Beliau bersabda : “Tenanglah, (karena di atasmu sekarang) ada nabi, shiddiiq, dan dua orang syahiid" [Diriwayatkan oleh Al-Qathii’iy dalam Zawaaid Al-Fadlaail no. 869].
Sanad hadits ini shahih, namun lafadhnya mengandung syakk (keraguan) yang berasal dari perawi (yaitu berasal dari Rauh – lihat riwayat Al-Baihaqiy setelah ini) saat ia berkata : “Hiraa’ atau Uhud’. Syakk semacam ini bukan merupakan jenis yang dapat dijamak, karena dua tempat tersebut berbeda dan berjauhan letaknya, sedangkan peristiwa yang diceritakan satu. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (3/112 – tahqiq : Ahmad Syaakir/Hamzah Zein) : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya Anas bin Maalik telah menceritakan kepadanya : “…..(al-hadits)…..” – dengan menyebutkan Uhud tanpa menyertakan lafadh syakk. Maka, lafadh syakk yang diriwayatkan Al-Qathi’iy di atas dibawa kepada lafadh yang tidak mengandung syakk, yaitu : Uhud. Inilah yang tepat.
Riwayat lain :
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأبو سعيد بن أبي عمرو قالا حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب حدثنا أحمد بن يونس الضبي حدثنا مكي بن إبراهيم البلخي وروح بن عبادة قالا حدثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس
قال صعد النبي أحدا وقال روح حراء أو أحدا ومعه أبو بكر وعمر وعثمان فرجف بهم قال مكي فضربه النبي برجله وقال اثبت عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus Adl-Dlabbiy : Telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibraahiim Al-Balkhiy[27] dan Rauh bin ‘Ubaadah, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Anas, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendaki gunung Uhud” – Rauh (perawi) berkata : “Hiraa’ atau Uhud” – . Dan bersama beliau ada Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. (Tiba-tiba), tanah bergetar (gempa). – Makkiy (perawi) berkata : Nabi menghentakkan kakinya dan bersabda : “Tenanglah engkau, karena di atasmu sekarang ada seorang nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid" [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah, 6/350].
Rauh dalam hadits di atas mengalami keraguan dalam penyebutan Uhud ataukah Hiraa’. Sedangkan perawi yang menyertainyanya dalam periwayatan, yaitu Makkiy, secara tegas menyebutkan Uhud. Al-Baihaqiy setelah membawakan riwayat di atas mengisyaratkan tarjih dengan berkata : “Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Ash-Shahiih dari hadits Yaziid bin Zurai’ dan yang lainnya, dari Ibnu Abi ‘Aruubah, mereka semua berkata tentang hadits di atas : “Uhud” – sebagaimana dikatakan Makkiy” [idem]. Hal ini selaras dengan riwayat Ibnul-Qaththaan dan Khaalid bin Al-Haarits dari Qataadah yang men-jazm-kan lafadh ‘Uhud’ tanpa disertai syakk dalam periwayatan.
Riwayat lain :
ثنا عبيد الله بن معاذ ثنا أبي عن سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال صعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا واتبعه أبو بكر وعمر وعثمان وعلي فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’aadz[28] : Telah menceritakan kepada kami ayahku[29], dari Sa’iid[30], dari Qataadah, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendaki gunung Uhud. Lalu beliau diikuti oleh Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliy. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah Uhud. Karena yang bersamamu hanyalah seorang Nabi, seorang Ash-Shiddiiq, dan dua orang Syahiid” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1438].
Dhahir sanad hadits ini shahih, akan tetapi sebenarnya ma’lul. Jama’ah perawi perawi tsiqah[31] yang meriwayatkan dari Sa’iid bin Abi ‘Aruubah dari Qataadah tidak menyebutkan ‘Aliy dalam lafadh hadits tersebut.
Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (7/38) menyebutkan perselisihan lafadh ini berporos pada Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, terutama dalam hal penyebutan tempat dan nama-nama orang yang menyertai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kekeliruan ini dapat berasal darinya, karena – bersamaan dengan ketsiqahannya – para ulama telah menyifatinya dengan ikhtilaath (percampuran hapalan).[32] Di sini, tidak diketahui apakah Mu’aadz bin Mu’aadz mendengar darinya setelah atau sebelum ikhtilath. Adapun para perawi tsiqaat (yaitu Yaziid bin Zurai’, Khaalid bin Al-Haarits, dan Yahyaa bin Sa’iid) yang meriwayatkan dari Sa’iid bin Abi ‘Aruubah dari Qataadah tanpa tambahan ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah para perawi yang meriwayatkan darinya sebelum ikhtilath-nya [lihat : Al-Kaamil, 4/451 no. 822]. Al-Bukhaariy dan Muslim tidak mengambil riwayat Sa’iid melalui perantaraan Mu’aadz.
Oleh karena itu, ini merupakan qarinah yang cukup untuk meninggalkan ziyaadah lafadh ‘Aliy dalam riwayat Sa’iid, dari Qataadah, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu; karena dikhawatirkan ia merupakan bagian dari kekeliruan akibat ikhtilath-nya.
Kalau ada orang yang ngotot mengambil kesimpulan bahwa penyebutan ‘Aliy bin Abi Thaalib dalam hadits Sa’iid bin Abi ‘Aruubah dari Qataadah dari Anas merupakan bagian dari ziyaadatuts-tsiqah[33]; maka ini pun harus dibawa pada pemahaman yang benar dengan melihat lafadh hadits itu sendiri.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan : ‘seorang Nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid’ – sementara orang yang bersama beliau ada 4 orang. Jika melihat riwayat jama’ah (tanpa tambahan ‘Aliy bin Abi Thaalib), maka sangat jelas diketahui bahwa yang dimaksudkan adalah Abu Bakr. Maka, lafadh hadits ini pun harus dibawa pada pengertian lafadh jama’ah yang lebih shaarih (jelas).
Dan dibandingkan dengan kata ash-shiddiiq, maka bagi ‘Aliy lebih tepat dinisbatkan kepada syahiid, karena ia memang telah syahiid dibunuh oleh para pendengki dari kalangan Khawaarij. Itulah yang berkesesuaian dengan riwayat dan sejarah.[34]
Kesimpulan dari hadits Anas bin Maalik ini adalah bahwasannya ia menceritakan peristiwa di Uhud yang dihadiri oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum. Inilah yang shahih lagi mahfuudh. Anas bin Maalik mempunyai syaahid dari Sahl bin Sa’d di bawah.
Hadits Ketiga (Hadits Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ ارْتَجَّ أُحُدٌ وَعَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اثْبُتْ أُحُدُ مَا عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq[35] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar[36], dari Abu Haazim[37], dari Sahl bin Sa’d : Uhud pernah bergetar/gempa dan di atasnya ada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsman. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah Uhud, tidaklah ada di atasmu kecuali seorang Nabi, seorang Shiddiiq, dan dua orang Syahiid" [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/315; shahih].[38]
Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 247 & 819, ‘Abdurrazzaaq 20401, Al-Baghawiy no. 3902, Abu Ya’laa no. 7518, Ibnu Hibbaan no. 6492, ‘Abdun bin Humaid no. 448, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1444, Adl-Dliyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtarah no. 340, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 1/91 no. 146, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwaah dan Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 4/78.
Hadits ini menceritakan kejadian di Uhud yang memperkuat hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhumaa.
Hadits Keempat (Hadits Buraidah)
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas Hiraa’ dan bersamanya ada Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum. Tiba-tiba, gunung bergerak/gempa. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah Hiraa’, karena yang di atasmu kecuali Nabi, atau shiddiiq, atau syahiid” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/346; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi ‘Aashim no. 1443, Al-Qathii’iy no. 867, Tammaam dalam Al-Fawaaid no. 1477, dan Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 4419. Dalam lafadh Al-Bazzaar terdapat tambahan : ‘Aliy bin Abi Thaalib.
Hadits ini menceritakan peristiwa yang terjadi di Hiraa’, yang dihadiri oleh Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘shiddiiq’ adalah Abu Bakr; dan ‘syahiid’ adalah ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Merekalah (‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy) yang meninggal sebagai syahiid terbunuh oleh musuh Allah. Berbeda halnya dengan Abu Bakr yang meninggal secara ‘normal’. Yang hadir di Hiraa’ ini lebih banyak daripada di Uhud. Ini dijelaskan oleh syawaahid sebagai berikut :
Hadits Keempat (Hadits Abu Hurairah)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى حِرَاءٍ هُوَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ فَتَحَرَّكَتْ الصَّخْرَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اهْدَأْ فَمَا عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz – yaitu Ibnu Muhammad – , dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di Hiraa` bersama Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, dan Az-Zubair. Tiba-tiba batu besar (yang mereka injak) bergetar, maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tenanglah, tidaklah bersamamu kecuali seorang nabi, atau shiddiiq, atau syahiid" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2417].
Hadits Kelima (Hadits Sa’iid bin Zaid)
حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالا ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَنْبَأَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ قَالَ أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ فِي زَمَانِ زِيَادِ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ يَسُبُّ أَصْحَابَنَا وَاللَّهِ لا نَفْعَلُ أَشْهَدُ لَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَا وَفُلانٌ فَحَفِظَهُمْ زَيْدٌ حَتَّى اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا عَلَى أُحُدٍ فَرَجَفَ بِنَا الْجَبَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” اسْكُنْ أُحُدُ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ فَسَكَنَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Yaziid bin Sinaan[39] dan ‘Aliy bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Mughiirah[40], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam[41], ia berkata : Telah memberitakan Muhammad bin Ja’far[42], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam[43], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku seorang laki-laki penduduk ‘Iraaq bahwasannya ia pernah pergi ke masjid Kuufah di jaman Ziyaad bin Abi Sufyaan dimana waktu itu ia (Ziyaad) mencela/mencaci shahabat-shahabat kami. (Orang tersebut berkata) : “Demi Allah, janganlah melakukannya. Aku telah menyaksikan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqaash, aku, dan Fulaan”. Zaid menghapal mereka yang berjumlah 12 orang yang berada di atas Uhud. (Orang tersebut berkata) : “Tiba-tiba gunung bergetar. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Tenanglah Uhud, karena yang berada di atasnya hanyalah Nabi, atau shiddiiq, atau syahiid’. Tidak lama kemudian, gunung pun kembali tenang” [Diriwayatkan oleh Duulabiy dalam Al-Kunaa 1/89].
Benar, bahwasannya ini adalah hadits Sa’iid bin Zaid radliyallaahu ‘anhu.
Namun, mari kita perhatikan beberapa riwayat berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ ابْنِ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا حُصَيْنٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ وَسُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ الْمَازِنِيِّ ذَكَرَ سُفْيَانُ رَجُلًا فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ظَالِمٍ الْمَازِنِيِّ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ فُلَانٌ إِلَى الْكُوفَةِ أَقَامَ فُلَانٌ خَطِيبًا فَأَخَذَ بِيَدِي سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ فَقَالَ أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا الظَّالِمِ فَأَشْهَدُ عَلَى التِّسْعَةِ إِنَّهُمْ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شَهِدْتُ عَلَى الْعَاشِرِ لَمْ إِيثَمْ قَالَ ابْنُ إِدْرِيسَ وَالْعَرَبُ تَقُولُ آثَمُ قُلْتُ وَمَنْ التِّسْعَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى حِرَاءٍ اثْبُتْ حِرَاءُ إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ قُلْتُ وَمَنْ التِّسْعَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قُلْتُ وَمَنْ الْعَاشِرُ فَتَلَكَّأَ هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ أَنَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-‘Alaa’[44], dari Ibnu Idriis[45] : Telah menceritakan kepada kami Hushain[46], dari Hilaal bin Yasaaf[47], dari ‘Abdullah bin Dhaalim[48] - dan Sufyaan[49], dari Manshuur[50], dari Hilaal bin Yisaaf, dari ‘Abdullah bin Dhaalim Al-Maaziniy. Sufyan menyebutkan seorang laki-laki yang berada antara dirinya dengan Abdullah bin Dhaalim Al-Maaziniy - ia berkata : Aku mendengar Sa'iid bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail, ia berkata : Ketika si Fulan tiba di Kuufah, ia lalu berkhutbah. Maka Sa'id bin Zaid meraih tanganku dan berkata : "Tidakkah kamu lihat orang dhalim ini ? Aku bersaksi bahwa kesembilan orang itu adalah ahli surga, dan jika aku bersaksi untuk orang yang kesepuluh, maka aku tidak akan berdosa". - Ibnu Idriis (perawi) berkata : "Orang-orang Arab mengatakan : aatsam” - Aku (‘Abdullah bin Dhaalim) bertanya : "Lantas siapa kesembilan orang itu ?". Ia menjawab : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda saat berada di Hiraa’ : ‘Diamlah wahai Hiraa’ ! Tidaklah ada di atasmu kecuali nabi, shiddiiq, dan syahiid". Aku lalu bertanya lagi : "Siapa kesembilan orang itu?". Ia menjawab : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Thalhah, Az-Zubair, Sa'd bin Abi Waqqaash, dan 'Abdurrahman bin ‘Auf". Aku bertanya lagi : "Siapa yang kesepuluh ?". Lalu ia merasa ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata : "Itu adalah aku" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4648].
Hadits di atas menjelaskan persaksian Sa’iid bin Zaid adalah tentang peristiwa di Hiraa’ yang bersamaan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang 10 orang yang dijamin masuk surga.
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 3757, Ath-Thayaalisiy no. 232, Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 1263, Al-Humaidiy no. 84, Ahmad 1/188-189, Ibnu Maajah no. 134, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1425-1427, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Fadlaail no. 81 & 84 & 254, An-Nasaa’iy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 101 & 104 dan dalam Al-Kubraa no. 8190-8192 & 8206 & 8208, Asy-Syaasyiy no. 196 & 199 & 214, Ibnu Hibbaan no. 6996, Al-Haakim 3/316 & 450, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/96, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 3927.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Hilaal bin Yisaaf dari Sa’iid bin Zaid tanpa melalui perantaraan ‘Abdullah bin Dhaalim.
Dalam Al-Musnad (1/187-188), Ahmad berkata :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حُصَيْنٍ وَمَنْصُورٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يِسَافٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً قَالَ مَنْصُورٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَقَالَ مَرَّةً حُصَيْنٌ عَنِ ابْنِ ظَالِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْكُنْ حِرَاءُ فَلَيْسَ عَلَيْكَ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ قَالَ وَعَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَسَعْدٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’[51] : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Hushain dan Manshuur, dari Hilaal bin Yisaaf, dari Sa’iid bin Zaid. Satu kali Wakii’ berkata : Manshuur berkata : (Dari Hilaal bin Yisaaf) dari Sa’iid bin Zaid. Di kali lain Wakii’ berkata : Hushain, (dari Hilaal bin Yisaaf), dari Ibnu Dhaalim, dari Sa’iid bin Zaid : Bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tenanglah Hiraa, tidaklah berada di atasmu melainkan nabi atau shiddiq atau syahiid". Perawi berkata : "Yang berada di atas Hiraa’ tersebut adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, 'Utsman, Aliy, Thalhah, Az-Zubair, Sa'd, ‘Abdurrahman bin 'Auf, dan Sa'iid bin Zaid radliyallaahu 'anhum".
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/95-96.
Sanad hadits ini memberikan satu fiqh bagi kita bahwa Hilaal bin Yisaaf mendapatkan hadits dari Sa’iid bin Zaid dari dua jalan, yaitu langsung dari Sa’iid bin Zaid (jalur Manshuur) dan melalui perantaraan ‘Abdullah bin Dhaalim (jalur Hushain). Dua-duanya memungkinkan. Al-Bukhaariy (8/202 no. 2712) telah men-jazm-kan bahwa Hilaal bin Yisaaf bertemu dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib dan mendengar dari Abu Mas’uud Al-Badriy Al-Anshaariy. Pertemuan antara ia dengan Sa’iid bin Zaid lebih dimungkinkan lagi. Barangsiapa yang mengatakan riwayat Hilaal dari Sa’iid bin Zaid adalah mursal, hendaklah ia membawakan bukti/hujjah. Begitu juga jika ada yang mengatakan riwayat Wakii’ ini lemah karena telah menyelisihi ashhaab Ats-Tsauriy, maka ini tidak bisa diterima. Sebab Wakii’ lebih dikedepankan dari yang lain di antara ashhaab Ats-Tsauriy atas periwayatan dari Ats-Tsauriy, terutama jika terdapat perselisihan.[52]
Oleh karena itu, sanad hadits ini shahih.
Wakii’ mempunyai mutaba’ah dari Qabiishah[53] sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaasyiy no. 209 dan dibawakan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 4/412.
Manshuur (bin Al-Mu’tamir) dalam riwayat Ahmad (1/187-188) mempunyai mutaba’ah dari Thalhah bin Musharrif. Diriwayatkan oleh Asy-Syaasyiy no. 193 & 198 & 200 & 211, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/25 dari jalan Muhammad bin Thalhah bin Musharrif[54], dari ayahnya[55], dari Hilaal, dari Sa’iid bin Zaid. Sanad hadits ini hasan.
Hilaal bin Yisaaf dalam periwayatannya dari Sa’iid bin Zaid mempunyai mutaba’ah dari Abuth-Thufail sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabaraaniy (1/153-154 no. 356) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al-Khuza’iy[56] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bukair Al-Hadlramiy[57] : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit bin Waliid bin ‘Abdillah bin Jumai’ Al-Qurasyiy[58] : Telah menceritakan kepadaku ayahku[59] : Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thufail[60], dari Sa’iid bin Zaid, ia berkata : “…..(al-hadits)…”.
Sanad hadits ini hasan.
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Dalaailun-Nubuwwah hal. 431 no. 337.
Ia (Hilaal bin Yisaaf) masih mempunyai mutaba’ah lain dari Abu Ishaaq sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (4/341) dan Saalim bin Abi Ja’d sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (3/383).
Semua yang riwayat yang disebutkan di sini – selain riwayat Ad-Duulabiy – menegaskan bahwa yang dikisahkan oleh Sa’iid bin Zaid adalah kisah Hiraa’ yang dihadiri oleh beberapa orang shahabat, yang kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan sepuluh orang yang dipastikan masuk surga. Ini bertentangan dengan riwayat Ad-Duulabiy sebelumnya yang menyebutkan peristiwa tersebut terjadi di Uhud. Padahal, apa yang diceritakan oleh Sa’iid bin Zaid adalah satu kisah. Jika kita melakukan tarjih, maka yang kuat adalah riwayat yang menyebutkan Hiraa’.
Kekeliruan riwayat Ad-Duulabiy kemungkinan disebabkan oleh dirinya sendiri. Ia bernama Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammaad bin Sa’iid bin Muslim Al-Anshaariy Ad-Duulabiy Ar-Raaziy Al-Warraaq. Ad-Daaruquthniy berkata : “Ia diperbincangkan. (Namun), tidaklah nampak dalam urusannya kecuali kebaikan”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia tertuduh terhadap apa yang dikatakannya terhadap Nu’aim bin Hammaad, karena sikap kerasnya terhadap ahlur-ra’yi”. Dan ia (Ibnu ‘Adiy) juga mengkritiknya dari sisi kefanatikan terhadap madzhabnya (Hanafiyyah). Ibnu Yuunus berkata : “Ia telah dilemahkan”. Dan Ibnu Yuunus ini adalah satu negeri dengan Ad-Duulabiy. Ibnu Khalkaan berkata : “Ia seorang yang ‘aalim dalam hadits, khabar, dan sejarah”. Adz-Dzahabiy memasukkanya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ 2/259 no. 5256 dan Ad-Diiwaan no. 3566 dengan menukil perkataan Ad-Daaruquthniy. Al-Albaaniy berkata : “Ia diperbincangkan”.
Dan hal yang menunjukkan kemungkinan kekeliruan riwayat Ad-Duulabiy adalah perkataan perawi bahwa Zaid bin Aslam menghapal 12 orang (أثني عشر رجلا) sementara yang disebutkan Sa’iid bin Zaid adalah 10 orang.[61] Telah diketahui bahwa sebagian besar lafadh hadits Sa’iid bin Zaid bercerita tentang 10 orang yang berada di ata Hiraa’ yang dijamin masuk surga.
Yang mahfudh dari hadits Sa’iid bin Zaid adalah persaksiannya tentang peristiwa di Hiraa’ yang dihadiri oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang shhaabat besar, termasuk dirinya.
Hadits Keenam (Hadits Muhammad bin Siiriin)
حدثنا أبو أسامة عن هشام عن محمد قال : ذكر رجلان عثمان فقال أحدهما : قتل شهيدا ، فتعلق به الآخر فأتى به عليا فقال : هذا يزعم أن عثمان بن عفان قتل شهيدا ، قال : قلت ذاك ، قال : نعم ، أما تذكر يوم أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وعنده أبو بكر وعمر وعثمان ، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم فأعطاني ، وسألت أبا بكر فأعطاني ، وسألت عمر فأعطاني ، وسألت عثمان فأعطاني فقلت : يا رسول الله ! ادع الله أن يبارك لي ، قال : " وما لك لا يبارك لك وقد أعطاك نبي وصديق وشهيدان " ، فقال علي : دعه دعه دعه
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[62], dari Hisyaam[63], dari Muhammad[64], ia berkata : Dua orang laki-laki memperbincangkan ‘Utsmaan. Salah seorang di antara keduanya berkata : “Ia terbunuh sebagai syahiid”. Namun temannya menyanggahnya, yang kemudian ia membawa/menghadapkannya kepada ‘Aliy. Orang tersebut berkata : “Orang ini berkata bahwa ‘Utsmaan bin ‘Affaan terbunuh sebagai syahiid”. ‘Aliy bertanya kepada temannya : “Apakah engkau mengatakannya ?”. Ia berkata : “Benar. Tidakkah engkau ingat pada hari ketika aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana di samping beliau da Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Maka aku meminta sesuatu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun memeriku. Dan aku meminta sesuatu kepada Abu Bakr, ia pun memberiku. Dan aku meminta meminta sesuatu kepada ‘Umar, ia pun memberiku. Dan aku meminta sesuatu kepada ‘Utsmaan, ia pun memberiku. Lalu aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan barakah”. Beliau bersabda : “Bagaimana engkau ini tidak diberkahi, padahal Nabi, shiddiiq, dan dua orang syahiid telah memberimu”. (Mendengar itu), ‘Aliy berkata : “Biarkan ia, biarkan ia, biarkan ia” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 12/19; shahih].
Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari Qataadah[65], sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 1601.
Muhammad bin Siiriin menjumpai masa kekhalifahan ‘Aliy bin Abi Thaalib, bertemu dengan beberapa shahabat radliyallaahu ‘anhu. Ia juga bukan seorang mudallis, sehingga riwayatnya di sini dihukumi muttashil.
Dalam hadits ini sangat jelas menyatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah secara khusus menyebut Abu Bakr sebagai ash-shiddiiiq serta ‘Umar dan ‘Utsmaan sebagai dua orang syahiid.
Kesimpulan
Persaksian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dengan ash-shiddiiq adalah sesuatu yang telah ma’lum dalam riwayat dan sejarah. Tidaklah beliau memanggil shahabatnya dengan ash-shiddiiq kecuali kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Oleh karena itu, telah keliru sebagian orang yang menganggap bahwa ash-shiddiiq bukanlah sebutan khusus bagi Abu Bakr, namun juga bagi shahabat lain secara umum. Ini cara pemahaman yang janggal, akibat mengumumkan sesuatu yang khusus, dan/atau mengkhususkan sesuatu yang umum tanpa qarinah. Cara pemahaman nash yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah ushul.
Jika ada satu hadits yang secara jelas (mubayyan) menyebutkan bahwa Abu Bakr lah yang dimaksud dengan ash-shiddiiq, maka hadits-hadits lain yang sifatnya global (mujmal) harus dibawa kepada makna pertama (mubayyan). Apalagi itu dikuatkan dengan persaksian para shahabat yang lain, taabi’iin, dan generasi setelahnya yang mereka semua sepakat akan sebutan khusus ash-shiddiiq untuk Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu. Tentu saja itu ini tidak berkorelasi bahwa selain Abu Bakr tidak mempunyai sifat shidq.
Bagi mereka yang tetap merasa gelar ash-shiddiiq ini bukan kekhususan Abu Bakr, ya silakan-silakan saja.[66] Kita hanya akan melihat keanehan demi keanehan (karena menyelisihi fakta riwayat dan sejarah). Dan tetaplah membuat kami terus tersenyum dengan rekayasa keanehan tersebut…. Keep going !!
Wallaahu a’lam bish-shawwaab
[masih ada beberapa jalan riwayat lain tentang ini yang tidak ditampilkan]
[abul-jauzaa’ – 1431 H].
[1] Maalik bin Mighwal bin 'Aashim Al-Bajaliy; seorang yang tsiqah tsabt (w. 157/158/159 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[2] ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
[3] Al-Qaasim bin Bisyr bin Ahmad bin Ma’ruuf Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah [Taariikh Baghdaad, 14/421].
[4] Al-Husain bin Daawud Abu Ash-Shaidanaaniy Abul-‘Alaa’ Ar-Raaziy. Abu Haatim berkata : “Shaduuq” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 3/51].
[5] Jariir bin ‘Abdil-Hamiid Adl-Dlabbiy; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab (107/110-188 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[6] Laits bin Abi Sulaim bin Zunaim Al-Qurasyiy Abu Bakr/Bukair Al-Kuufiy; telah dilemahkan oleh jumhur muhadditsiin (w. 138/143 H). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya.
[7] Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah; seorang yang tsiqah tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy (104/105-183 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[8] Al-’Awwaam bin Hausyab bin Yaziid Asy-Syaibaaniy; seorang yang tsiqah tsabt (w. 148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[9] Ishaaq bin Abi Israaiil; seorang yang tsiqah (w. 151-245/246 H).
[10] Apabila kita urai, maka riwayat ini dibawakan dalam tiga jalan sampai pada ‘Aaisyah :
Pertama : Beberapa jalan dari Maalik bin Mighwal, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Kedua : Dari Al-Husain dan Ishaaq bin Abi Israaiil, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepadaku Jariir, dari Laits bin Abi Sulaim, (dari seorang laki-laki), dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Ketiga : Dari Al-Qaasim : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Husyaim, dari Al-‘Awwaam bin Hausyab, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu.
[11] Yaitu : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/keutamaan-abu-bakr-radliyallaahu-anhu.html [catatan kaki no. 10].
Sebelumnya saya melihat penghukuman As-Syaikh Al-Albaaniy dalam beberapa kitabnya yang telah menshahihkannya. Akan tetapi setelah saya lihat ulang, maka satu jalan sanad maushul dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb tidak mahfudh sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal. Juga, dalam jalan sanadnya terdapat Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy, seorang perawi yang sangat dla’iif sehingga tidak dapat dipakai sebagai i’tibar. Beliau (Asy-Syaikh Al-Albaaniy) menilainya sebagai perawi dla’iif dari sisi buruknya hapalan (sehingga menurut beliau dapat dijadikan i’tibar). Menurut saya ini tidak benar, sebab para ulama telah men-jarh Muhammad bin Humaid dari segi hapalan dan ‘adalah-nya dengan jarh yang sangat keras (syadiid). Wallaahu a’lam.
Lihat perkataan ulama tentangnya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/05/hadits-tsaqalain-ahlul-bait-jaminan.html [catatan kaki no. 5]. Baca pula penjelasan menarik Abul-Hasan Al-Ma’ribiy hafidhahullah di : http://mareb.org/showthread.php?t=5814.
Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah juga membawakan kemungkinan mutaba’ah lain dari Ibnu Abid-Dun-yaa sebagaimana beliau bawakan dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 162. Jika mutaba’ah ini benar keberadaannya, maka hadits ini adalah shahih (lighairihi).
[12] Ia adalah Abu Bakr ‘Abdullah bin Az-Zubair bin ‘Iisaa bin ‘Ubaidillah Al-Qurasyiy Al-Humaidiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqiih (w. 219 H). Murid Sufyaan bin 'Uyainah yang paling utama. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[13] Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Kuufiy (107-198 H); seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah. Lihat penjelasan tentangnya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/06/hadits-muawiyyah-mati-tidak-dalam-agama.html (catatan kaki no. 21).
[14] Daawud bin Abi Hind Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah mutqin (w. 139/140 H). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya.
[15] Asy-Sya’biy adalah ‘Aamir bin Syaraahiil Abu ‘Amru Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, masyhuur, faqiih, lagi faadlil (20-103/104 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[16] Masruuq bin Al-Ajda’ bin Maalik bin Umayyah Abu ‘Aaisyah Al-Kuufiy (w. 62/63 H); seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[17] Muhammad bin Basyaar bin ‘Utsmaan bin Daawud bin Kaisaan Al-‘Abdiy (167-252 H); seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[18] Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah (w. 198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[19] Yaitu : Musaddad bin Musarhat, Muhammad bin Basysyaar, Ahmad bin Hanbal, ‘Ubaidullah bin Sa’iid, ‘Amru bin ‘Aliy, Abu Khaitsamah, ‘Aliy bin Al-Madiniy, dan Abu Muusaa,
[20] Yaitu : Yaziid bin Zurai’, Khaalid bin Al-Haarits, Makkiy bin Ibraahiim, dan Al-Mughiirah bin Muusaa.
[21] Yahyaa bin Khalaf Al-Baahiliy, seorang yang tsiqah (w. 242 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya.
[22] Ia adalah Abu Daawud Ath-Thayaalisiy, pengarang kitab Al-Musnad yang masyhur; tsiqah.
[23] ‘Imraan bin Dawaar Al-‘Ammiy (‘Imraan Al-Qaththaan); seorang yang diperselisihkan. ‘Abdurrahman bin Mahdiy meriwayatkan darinya dimana ini sama dengan pentautsiqan darinya. Yahyaa Al-Qaththaan memujinya. Ahmad berkata : “Aku berharap ia seorang yang shaalihul-hadiits”. Di riwayat lain : “Laisa bi-dzaaka”. Di riwayat lain : “Syaikh”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Banyak kekeliruan dan penyelisihan”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak kuat”. Al-Aajurriy berkata : “Yahyaa bin Sa’iid tidak meriwayatkan darinya, ia tidak ada apa-apanya”. Abu Daawud berkata : “Aku tidak mendengar (tentangnya) kecuali kebaikan”. Di riwayat lain ia berkata : “Lemah. Ia telah berfatwa di jaman Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan dengan satu fatwa yang keras yang padanya terdapat penumpahan darah”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Di riwayat lain : “Tidak kuat”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Al-Bukhaariy berkata : “Shaduuq yahimu”. Ia (Al-Bukhaariy) meriwayatkan haditsnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq”. ‘Affaan telah mentsiqahkannya. Al-Haakim berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq yahimu”.
[24] Muhammad bin Ishaaq bin Ja’far Abu Bakr Ash-Shaaghaaniy; seorang yang tsiqah tsabat (w. 270). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya.
[25] Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak tulisan (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[26] Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Ward Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[27] Makkiy bin Ibraahiim Al-Balkhiy; seorang yang tsiqah tsabt (126-214/215 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[28] ‘Ubaidullah bin Mu’aadz bin Mu’aadz bin Nashr bin Hassaan Al-‘Anbariy; seorang yang tsiqah haafidh (w. 237 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[29] Mu’aadz bin Mu’aadz bin Nashr bin Hassaan Al-‘Anbariy; seorang yang tsiqah mutqin (119-196 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[30] Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[31] Di antaranya : Yaziid bin Zurai’, Makkiy bin Ibraahiim, Rauh bin ‘Ubaadah, Yahyaa bin Sa’iid, dan Khaalid bin Al-Haarits – mereka semua mendengar dari Sa’iid sebelum ikhtilath-nya.
[32] Ibnu Ma’iin mengatakan bahwa ia (Sa’iid bin Abi ‘Aruubah) mengalami percampuran hapalan pada tahun 142 H. Yang lain mengatakan 145 H. Para ulama mengatakan bahwa waktu ikhtilaath sebelum wafatnya adalah lama (lebih dari 10 tahun).
Perawi yang mendengar darinya sebelum ikhtilath di antaranya ‘Abdullah bin Al-Mubaarak dan Yaziid bin Zurai’ – sebagaimana dikatakan Ibnu Hibbaan. Juga Syu’aib bin Ishaaq, Yaziid bin Haaruun, ‘Abdah bin Sulaimaan, Khaalid bin Al-Haarits, dan Yahyaa Al-Qaththaan.
Perawi yang mendengar darinya setelah ikhtilath di antaranya Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain, Wakii’ bin Al-Jarrah, Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan Al-Muushiliy, dan Ghundar [lihat selengkapnya dalam : Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaa’iy, hal. 41-42 no. 18 – beserta penjelasan muhaqqiq-nya].
[33] Bagaimana bisa disebut ziyaadatuts-tsiqah jika periwayatan Mu’aadz bin Mu’aadz dari Sa’iid bin ‘Aruubah belum bisa dipastikan keshahihannya karena faktor ikhtilath dari Sa’iid ?.
[34] Di point inilah yang kita patut bertanya kepada kaum Syi’ah dalam menyikapi hadits ini. Mengapa mereka mengklaim bahwa laqab ash-shiddiiq yang diberikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga meliputi ‘Aliy berdasarkan hadits ini ? padahal nisbah asy-syahiid lebih tepat baginya ?
[35] ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang yang tsiqah, haafidh, penulis yang terkenal, akan tetapi mengalami kebutaan di akhir usianya sehingga hapalannya berubah (126-211 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[36] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil (w. 154 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[37] Ia adalah Salamah bin Diinaar Abu Haazim Al-A’raj; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 133/135/140/144 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[38] Di sini, hadits Ahmad dari ‘Abdurrazzaaq diterima sebelum ia (‘Abdurazzaaq) berubah hapalannya. Apalagi, hadits ini merupakan bagian hadits yang ada dalam Mushannaf-nya sehingga tidak ada kekhawatiran bahwa ia diriwayatkan setelah kehilangan penglihatannya.
[39] Yaziid bin Sinaan bin Yaziid Al-Qurasyiy Al-Umawiy; seorang yang tsiqah (w. 164 H).
[40] ‘Aliy bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah; seorang yang tsiqah (w. 272 H).
[41] Ia adalah Muhammad bin Al-Hakam bin Muhamad bin Saalim, terkenal dengan Ibnu Abi Maryam; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (144-224 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[42] Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsiir Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[43] Zaid bin Aslam Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy; seorang yang tsiqah ‘aalim, namun sering memursalkan riwayat (w. 136 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[44] Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 247/248 H – usia 87 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[45] Ia adalah ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Aswad; seorang yang tsiqah, faqiih, dan ‘aabid (115-192 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[46] Hushain bin ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy; seorang yang tsiqah, namun berubah hapalannya di akhir usianya (w. 136). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Muslim berhujjah dengan riwayatnya yang diambil melalui perantaraan ‘Abdullah bin Idriis.
[47] Hilaal bin Yisaaf Al-Asyja’iy Abul-Hasan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya.
[49] Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Catatan : Jalur Muhammad bin Al-‘Alaa’ dari Sufyaan adalah lemah, karena ia terputus. Silakan cermati tahun lahir dan/atau wafat keduanya.
[50] Manshuur bin Al-Mu’tamir bin Rabii’ah bin Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[51] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[52] Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 4/412 merajihkan sanad yang menyebutkan perantara antara Hilaal dan Sa’iid bin Zaid. Namun pendapatnya ini perlu ditinjau kembali.
[53] Qabiishah bin ‘Uqbah bin Muhammad bin Sufyaan As-Suwaa’iy; seorang yang shaduq (w. 213/215 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[54] Muhammad bin Thalhah bin Musharrif Al-Yaamiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq (w. 167 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Para ulama mempermasalahkan penyimakan haditsnya dari ayahnya. Akan tetapi ia sendiri telah menyatakan bertemu dengan ayahnya ketika menjelang baligh, sebagaimana riwayat yang dibawakan ‘Abbaas Ad-Duuriy. Ada pembahasan menarik dari Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Natsnun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal (hal. 1270).
[55] Thalhah bin Musharrif Al-Yaamiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah faadlil (w. 112/113 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[56] Ahmad bin Muhammad bin ‘Aliy bin Usaid bin ‘Abdillah Abul-‘Abbaas Al-Khuza’iy; seorang tsiqah (200-291 H).
[57] Muhammad bin Bukair bin Waashil Al-Hadlramiy; seorang yang tsiqah (w. 220-an H).
[58] Tsaabit bin Al-Waliid bin ‘Abdillah bin Jumai’ Az-Zuhriy. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Kadang keliru”. Telah meriwayatkan darinya para imam tsiqah seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, Muhammad bin ‘Isaa Ath-Thabbaa’, Ibraahiim bin Muusaa Al-Farraa’, dan yang lainnya. Al-Haitsamiy menghasankan haditsnya. Begitu pula dengan Al-Arna’uth. Kesimpulannya, ia seorang perawi hasanul-hadits selama tidak perselisihan dalam riwayatnya.
[59] Al-Waliid bin ‘Abdillah bin Jumai’ Az-Zuhriy; seorang yang diperselisihkan. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun ia juga memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ dan berkata : “Ia telah menyendiri dalam periwayatan dari para atsbaat, dengan hadits-hadits yang tidak selaras dengan hadits-hadits para perawi tsiqaat”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Al-Uqailiy berkata : “Dalam haditsnya terdapat idlthiraab”. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya. Kesimpulannya, ia seorang yang shaduuq hasanul-hadits yang mendekati tingkat tsiqah. Jarh Ibnu Hibbaan dengan tafarrud dalam periwayatan, maka di sini haditsnya bersesuaian dengan hadits para perawi tsiqah, sebagaimana dituliskan di atas. Selain itu, hadits yang ia bawakan tidak terdapat idlthiraab sebagaimana dikatakan Al-‘Uqailiy.
[60] Ia adalah ‘Aamir bin Waatsilah bin ‘Abdillah bin ‘Amru Al-Laitsiy, salah seorang shahabat yang mulia.
[61] Perhatikan perkataan :
أَشْهَدُ لَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَا وَفُلانٌ
“Aku telah menyaksikan bahwa (1) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, (2) Abu Bakr, (3) ‘Umar, (4) ‘Utsmaan, (5) ‘Aliy, Thalhah, (6) Az-Zubair, (7) ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, (8) Sa’d bin Abi Waqqaash, (9) aku, dan (10) Fulaan (?)”.
Namun perawi setelah Zaid berkata :
فَحَفِظَهُمْ زَيْدٌ حَتَّى اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا عَلَى أُحُدٍ
“Zaid menghapal mereka hingga berjumlah 12 orang yang berada di atas Uhud”.
[62] Ia adalah Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy; seorang yang tsiqah lagi tsabt (w. 201 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Al-Bukhaariy berhujjah dengan riwayatnya yang dibawakan oleh Ibnu Abi Syaibah.
[63] Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy; seorang yang tsiqah dan merupakan perawi yang tsaabit periwayatannya dari Muhammad bin Siiriin (w. 146/147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[64] Ia adalah Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, tabi’iy masyhur; seorang yang tsiqah tsabat (w. 110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[65] Abu Ya’laa membawakan sanad sebagai berikut : Telah menceritakan kepada kami Hudbah : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Muhammad bin Siiriin : “…..(al-hadits)…”.
Para perawinya adalah perawi tsiqaat, hanya saja Qataadah – bersamaan dengan ketsiqahan dan keimamannya – telah membawakan riwayat dengan an’anah, sedangkan ia seorang mudallis. Hammaam, ia adalah Ibnu Yahyaa bin Diinar, seorang yang tsiqah – dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Hudbah adalah Ibnu Khaalid bin Al-Aswad bin Hudbah Al-Qaisiy, seorang yang tsiqah lagi ‘aabid – dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[66] Bahkan bagi mereka yang masih berkutat pada tidak adanya pembedaan antara peristiwa Uhud dan Hiraa’, maka ini pun tidak terlalu berpengaruh pada kesimpulan akhir. Hal itu dikarenakan nash-nash yang sifatnya mujmal harus dibawa kepada yang mubayyan. Dan dalam konteks ini, nash mubayyan itu ada.
Adapun penyebutan sembilan orang shahabat yang bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah terkait dengan sabda beliau bahwa mereka semua berada di surga. Dan itulah dhahir perkataan Sa’iid bin Zaid dalam sebagian lafadh haditsnya.
Comments
'afwan ust mana yang benar penulisannya: 'Aisyah binti Abu Bakar atau 'Aisyah bintu Abu Bakar?
Ahmad
Asslmkm, ana ikhwan yang sudah berkeluarga, baru saja pindah kerja di Malang, sedang mencari kontrakan di daerah Malang yang tidak terlalu jauh dengan Griya Santha / Univ Brawijaya. Bagi Ikhwan / akhwat yang punya info, mohon kirim informasinya ke mambamaestro[at]yahoo.com ([at] diganti @).
Syukron,
Much. Aly mBA, S.Kom
Posting Komentar