Hukum Menqashar Shalat dalam Perjalanan


Al-Imam An-Nasaa’iy rahimahullah berkata :
أخبرني أحمد بن يحيى الصوفي قال حدثنا أبو نعيم قال حدثنا العلاء بن زهير الأزدي قال حدثنا عبد الرحمن بن الأسود عن عائشة أنها اعتمرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة حتى إذا قدمت مكة قالت يا رسول الله بأبي أنت وأمي قصرت وأتممت وأفطرت وصمت قال أحسنت يا عائشة وما عاب علي 
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yahyaa Ash-Shuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman Al-Aswad, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia pernah melakukan perjalanan ‘umrah dari Madinah menuju Makkah. Saat saat tiba di Makkah ia berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku, engkau mengqashar shalat sedangkan aku menyempurnakannya. Engkau berbuka sedangkan aku tetap berpuasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, engkau telah berbuat kebaikan. Dan itu tidak tercela bagiku” [As-Sunan no. 1456].


Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5429) dari jalan Abu Nu’aim.

Ahmad bin Yahyaa, ia adalah Ibnu Zakariyyaa Al-Audiy, Abu Ja’far Al-Kuufiy Ash-Shuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 101 no. 125].
Abu Nu’aim, ia adalah ‘Amr bin Hammaad bin Zuhair bin Dirham Al-Qurasyiy At-Taimiy Ath-Thalhiy, Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabt [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].
Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 760 no. 5272].
‘Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yaziid bin Qais An-Nakha’iy, Abu Hafsh; seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 570 no. 3827].
Jadi, sanad riwayat di atas adalah shahih.
Abu Nu’aim dalam sanad di atas mempunyai mutaba’ah dari : Al-Qaasim bin Al-Hakam sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2294) dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5428) : Telah menceritakan Al-Husain bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad At-Tubba’iy : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Al-Hakam : ….. selanjutnya seperti sanad di atas.
Ad-Daaruquthniy mengatakan sanad riwayat tersebut hasan.
Al-Qaasim bin Al-Hakam, ia adalah Ibnu Katsiir bin Jundab bin Rabii’ bin ‘Amr, Abu Ahmad Al-Kuufiy. Abu Shaalih Ahmad bin Khalaf berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Abu Khaitsamah, Khalaf bin Saalim Al-Mukharrimiy, dan ‘Abdurrahman bin Numair tentangnya, mereka menjawab : ‘tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran, ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”. An-Nasa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Nu’aim berkata : “Padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”. Al-‘Uqailiy berkata : “Terdapat pengingkaran dalam haditsnya, dan tidak punya mutaba’ah pada banyak haditsnya”. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib : Jujur, padanya terdapat kelemahan (shaduuq, fiihi layyin)”. Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya. Al-Albaaniy berkata : “Hasanul-hadiits, insya Allahu ta’ala, kecuali jika terdapat penyelisihan”.
Penghukuman yang benar terhadap Al-Qaasim adalah seperti perkataan Al-Albaaniy (yaitu hasanul-hadiits). Pen-tautsiq-an para imam menunjukkan kelalaian yang ada pada diri Al-Qaasim adalah ringan; dan pengingkaran dalam haditsnya sebagaimana dikatakan Al-‘Uqailiy adalah sedikit. Adapun jarh Abu Haatim, tetap tidak menurunkan derajatnya dari hasan. Selain beliau termasuk imam yang ketat dalam pemberian jarh terhadap perawi, di sini Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Abu Nu’aim sebagaimana telah lewat penyebutannya.
[lihat Tahdziibul-Kamaal 23/342-346 no. 4785, Tahdziibut-Tahdziib 8/311-312 no. 565, Man Tukullima fiihi wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 429-430 no. 284, dan Irwaaul-Ghaliil 8/187].
Ahmad bin Muhammad bin Sa’iid bin Abaan Al-Qurasyiy Al-Hamdzaaniy At-Tubba’iy; seorang yang tsiqah. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Al-Khaathib telah mentsiqahkannya. Adapun Adz-Dzahabiy berkata : “Al-imaam ats-tsiqah, muhaddits Hamdzaan”. [selengkapnya lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 2/72 no. 138, Taariikh Baghdaad 6/145-146 no. 2632, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/612 no. 236].
Terakhir, Al-Husain bin Ismaa’iil bin Muhammad bin Ismaa’iil bin Sa’iid bin Abaan Adl-Dlabbiy Al-Baghdaadiy Al-Muhaamiliy, seorang yang tsiqah [lihat Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy fii Sunanihi oleh Muqbil Al-Wadi’iy hal. 194 no. 466].
Kesimpulan sanad mutaba’ah ini adalah hasan, namun menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya.
Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2293) dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5427) membawakan sanad lain dimana antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dan ‘Aisyah terdapat perantara ayah ‘Abdurrahman. Oleh karena itu, sebagian huffadh menyatakan riwayat ini idlthirab. Namun ta’lil idlthirab ini tidak bisa diterima dengan alasan :
a.      Sanad riwayat pertama lebih kuat dibandingkan sanad kedua.
b.      Abu Bakr An-Naisabuuriy, salah satu perawi hadits, berkata saat mengomentari sanad Al-Baihaqiy (3/142 no. 5429) : “Begitulah yang dikatakan Abu Nu’aim, dari ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah. Barangsiapa yang mengatakan ‘dari ayahnya’[1] dalam (sanad) hadits ini, maka ia telah keliru”.
Maka, yang raajih dari dua sanad di atas adalah sanad pertama tanpa perantaraan ayah ‘Abdurrahman bin Al-Aswad.
Sebagian muhadditsin juga men-ta’lil sanad pertama dengan inqitha’ antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dengan ‘Aaisyah. Mereka mengambil perkataan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal tentang kemursalannya. Juga, dengan perkataan Ibnu Abi Haatim : “Aku mendengar ayahku berkata : ‘Abdurrahman bin Al-Aswad masuk menemui ‘Aaisyah saat masih kecil, dan ia tidak mendengar darinya” [Al-Maraasil, no. 129].
Namun perlu dicatat bahwa dalam As-Sunan, Ad-Daaruquthniy memberikan penghukuman yang berbeda, yaitu sanad riwayat tersebut hasan – sehingga mengandung pengertian tidak ada inqitha’ antara ‘Abdurrahman dengan ‘Aaisyah. Ad-Daaruquthniy sendiri mengatakan : “’Abdurrahman bertemu dengan ‘Aaisyah, dan ia pernah masuk menemuinya yang saat itu ia hampir baaligh (muraahiq) bersama ayahnya. Dan ia mendengar dari ‘Aaisyah” [As-Sunan, 3/162].
Adapun terhadap perkataan Abu Haatim, Al-‘Alaa-iy memberikan sanggahan dengan membawakan perkataan ‘Abdurrahman bin Al-Aswad sendiri bahwa ketika telah ihtilaam (baligh), ia meminta idzin dan memberikan salam kepada ‘Aisyah, dan ‘Aisyah pun mendengar suaranya” [Jaami’ut-Tahshiil no. 422]. Tentu saja, yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan, sebagaimana telah ma’ruf dalam kaedah. Apa yang dikatakan Al-‘Alaa’iy ini disebutkan pula oleh Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (5/252-253 no. 815) dimana ‘Abdurrahman memang benar-benar telah mendengar dari ‘Aisyah dan bercakap-cakap dengannya.
Tidak diragukan lagi bahwa hadits ‘Aaisyah ini adalah shahih.
Fiqh Hadits
Hadits ini menjadi dalil yang terang bagi pendapat jumhur ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah[2] bahwa menyempurnakan shalat (4 raka’at) ketika safar adalah diperbolehkan, dan qashar hukumnya merupakan rukhshah yang diberikan Allah ta’ala kepada hamba-Nya.
Dalil lain yang memperkuat pendapat jumhur adalah firman Allah ta’ala :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” [QS. An-Nisaa’ : 101].
Peniadaan dosa (falaisa ‘alaikum junaah) menunjukkan bahwa mengqashar shalat itu adalah satu kebolehan, bukan kewajiban.
عن يعلي بن أمية؛ قال: قلت لعمر بن الخطاب: {ليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا} [4/النساء/ الآية-101] فقد أمن الناس! فقال: عجبت مما عجبت منه. فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك. فقال "صدقة تصدق الله بها عليكم. فاقبلوا صدقته".
Dari Ya’laa bin Umayyah, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab tentang ayat : ‘Maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir’ (QS. An-Nisaa’ : 101) : “Sungguh orang-orang telah berada dalam kondisi aman”. Maka ia berkata : “Aku juga sempat heran seperti keherananmu itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Beliau bersabda : ‘Itu adalah shadaqah yang telah Allah shadaqahkan kepada kalian. Terimalah shadaqah-Nya itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 686].
Pengungkapan qashar dengan kata ‘shadaqah’ menunjukkan kebolehan, bukan wajib. Dan shadaqah jika disebutkan secara mutlak, maka maknanya menunjukkan shadaqah sunnah – bukan shadaqah wajib.
عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع النبي صلى اللّه عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن حفص: ومع عثمان صدراً من إمارته ثم أتمّها، ثمَّ تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، قال الأعمش: فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً قال: فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.
Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata : ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”. Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Khilaaf (perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].
‘Utsmaan telah mengqashar shalat di awal pemerintahannya, namun kemudian menyempurnakannya kemudian. Walau sempat protes, Ibnu Mas’uud dan kemudian diikuti semua shahabat yang lain tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan sempurna (4 raka’at). Jika melakukan shalat tamam (sempurna 4 raka’at) itu tidak diperbolehkan, tentu Ibnu Mas’ud akan menjelaskannya dan tidak sekedar beralasan menghindari khilaf.
Kita tidak mengatakan bahwa ‘Utsmaan sengaja melanggar apa yang telah diwajibkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Justru perbuatannya itu (dan juga perbuatan shahabat lain yang mengikutinya) menunjukkan pemahamannya bahwa qashar dalam safar bukanlah sesuatu yang diwajibkan ketika safar.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1431 H].


[1]      Maksudnya : “Dari ‘Abdurahman bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah”.
[2]      Asy-Syarhul-Kabiir (1/358), Al-Majmuu’ (4/337), Kasyful-Qanaa’ (1/324), Al-Mughniy (2/197), Bidayatul-Mujtahid (1/241), Nailul-Authaar (3/239), dan Al-Haawiy oleh Al-Mawardiy 2/363-365.

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum,

terima kasih, artikel yg bagus lengkap dengan takhrij haditsnya. Beginilah indahnya sunnah dengan hujjah.

Btw, akhi jauzaa. Apakah bisa dibahas takhrij hadits berikut? apakah shahih?
"Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Sa'id. Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun. Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad. Telah menceritakan kepada kami Shalih bin Kaisan dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah dia berkata; Pada suatu hari, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sakit, beliau berkata kepada saya: Panggillah Ayahmu Abu Bakr dan saudara laki-lakimu ke sini, agar aku buatkan sebuah surat (keputusan khalifah). Karena aku khawatir jika kelak ada orang yang ambisius dan berkata; Akulah yang lebih berhak menjadi khalifah. Sementara Allah dan kaum muslimin tidak menyetujuinya selain Abu Bakr." HR Muslim no. 4399.

Terima kasih banyak. Wassalamu'alaikum

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum.

Yth. Ustadz .. adakah dalil hadist yg menerangkan syarat jarak ( brp farsakh / km ) sehingga sholat sunnat / boleh di qoshar / jamak.

Wassalamu'alaikum

ABU FARAH

Anonim mengatakan...

bos, maksud perjalanan jauh itu apa dihitung garis lurus ? Sebab kl keliling DKI ujung juga 80 km lebih tuh... boleh jamak ga tu ? Trus perjalanan dalam rangka jalan2 gmn ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Abu Farah, para ulama berbeda pendapat tentang jarak qashar ini, karena hadits-hadits nya pun beraneka ragam.

@Anonim, perjalanan jauh itu menurut pendapat yang kuat adalah sesuai dengan 'urf bahwa perjalanan tersebut disebut sebagai safar, keluar dari tempat asal. Wallaahu a'lam.

abdullah mengatakan...

saya bepergian ke kota lain selama 1 minggu dan berencana pulang lagi. apakah selama 1 minggu di kota tujuan, saya masih mendapat hak keringanan Shalat qasar ? apakah mendatangi adzan shalat berjamaah, tetap wajib di saat perjalanan dan di kota tujuan , ato boleh shalat sendiri di kamar hotel ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Ya.

2. Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini - dan ini tidak lepas dari khilaf di awal tentang hukum shalat berjama'ah (di masjid) itu sendiri. Jika antum memegang pendapat wajibnya shalat berjama'ah di masjid, maka sebaiknya antum mendatangi jama'ah saat mendengar adzan tidak ada halangan yang menghalangi.

Wallaahu a'lam.

eutass mengatakan...

@ jawaban abul jauzaa di atas
ustadz, mo nanya tentang khilaf wajibnya shalat jama'ah di masjid. adakah artikel yang membahas tentang hal itu? secara selama ini saya kira hal itu sudah merupakan ijma..

barokallohufiik

abdullah mengatakan...

saya berencana pulang kampung selama 1 minggu setelah bertahun2 berada di jawa. Apakah selama di kampung halaman 1 minggu itu, saya dianggap musafir yg mendapat keringanan qashar ? dan apakah saya ada sholat sunnat rawwatib bagi saya ? bingung juga. dulu waktu awal2 pergi ke jawa, saya anggap saya musafir, setelah sekian lakma kuliah, maka saya anggap mnetap di jawa meskipun ada rencana suatau saat pulang kampung. bagaimana ini ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, perjalanan Anda 1 minggu dihukumi perjalanan safar (musafir), sehingga tidak ada shalat rawatib sebegaimana dijelaskan para ulama. Wallaahu a'lam.

abu farraya mengatakan...

Assalamu'alaykum,

Ustadz, ana mau tanya dengan contoh kasus, dalam hal qashar apakah bisa:

1.jakarta jogja lewat darat dapat di qashar sedangkan
2. kalau naik pesawat (1 jam) jogja jkt tidak bisa di qashar?

dengan dalil "“tidak boleh seorang wanita safar sehari semalam kecuali bersama mahrom” bisa di jadikan batasan jarak safar" maksudnya sehari semalam di jadikan batasan jarak waktu untuk dapat di qashar.

jika tdk bisa di jadikan dalil, bagaimana dengan contoh yg ana sebutkan di atas?

Sukron Ustadz

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

saya tidak ada ilmu tentang batasan qashar berdasarkan waktu perjalanan. Yang saya tahu dari perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah jarak.

Anonim mengatakan...

ustadz bagaimana cara melakukan jamak takhir? shalat yang mana yg harus didahulukan?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika antum, misalnya, mengerjakan shalat maghrib di waktu ‘isya’, maka antum harus mendahulukan shalat maghrib daripada shalat ‘isya’. Begitu pula jika ada sesuatu hal sehingga satu ketika kita tertunda melakukan shalat ‘asar hingga masuk waktu ‘isya’ (yang otomatis shalat maghrib kita juga tertunda), maka shalat tetap dikerjakan sesuai dengan tartib waktunya; yaitu dikerjakan ‘asar terlebih dahulu, baru kemudian maghrib, dan yang terakhir ‘isya’. Jika hal itu dalam keadaan mukim, maka dilakukan secara tamam (sempurna). Jika hal itu dalam keadaan safar, maka dilakukan secara qashar.

Dalilnya adalah :

عن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه قال حبسنا يوم الخندق عن الصلاة حتى كان بعد المغرب بهوى من الليل حتى كفينا وذلك قول الله تعالى { وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزً} قال فدعا رسول الله صلى الله عليه وسلم بلالا فأقام صلاة الظهر فصلاها وأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها ثم أمره فأقام العصر فصلاها وأحسن صلاتها كما كان يصليها في وقتها ثم أمره فأقام المغرب فصلاها كذلك قال وذلكم قبل ان ينزل الله في صلاة الخوف ......

Dari Abdirrahman bin Abi Sa’id Al-Khudri, dari ayahnya ia berkata : “Pada waktu perang Khandaq kami tertahan tidak sempat mengerjakan shalat hingga datang waktu malam, lama setelah waktu maghrib. Hingga kemudian kami tercukupi oleh hal itu oleh firman Allah : 'Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa' [QS. Al-Ahzab : 25]”. Abu Sa’id berkata : "Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal, maka ia pun kemudian beriqamat untuk shalat Dhuhur. Maka beliau shalat (bersama para shahabat yang lain secara berjama’ah) dengan baik sebagaimana beliau melakukannya tepat pada waktunya. Kemudian beliau memerintahkan kembali Bilal untuk beriqamat shalat ‘Asar, maka beliau pun shalat dengan baik sebagaimana beliau melakukannya tepat pada waktunya. Kemudian beliau memerintahkan kembali Bilal untuk beriqamat shalat Maghrib, maka beliau pun shalat dengan baik sebagaimana beliau melakukannya tepat pada waktunya. Dan hal itu terjadi sebelum Allah menurunkan (ayat tentang pensyari’atan) shalat khauf…..” [Diriwayatkan oleh Ahmad juz 3 hal. 49 no. 11483. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad : “Isnadnya adalah shahih sesuai dengan syarat Muslim. Rijal-rijalnya adalah tsiqah termasuk rijal Syaikhain kecuali Abdurrahman bin Abi Sa’id Al-Khudri, ia merupakan rijal Muslim].

Itu semua dengan catatan bahwa waktu shalat yang ada di hadapan masih longgar. Jika waktu shalat yang ada di hadapan sangat sempit – yang mana bila kita mengerjakan secara berurutan maka waktu tidak mencukupinya – maka kita mengerjakan shalat yang sesuai dengan waktunya terlebih dahulu (agar tidak kehilangan waktu), baru kemudian mengerjakan shalat-shalat yang tertinggal tadi. Contohnya begini : Kita terlewat shalat Dhuhur karena ketiduran hingga masuk waktu ‘Asar ketika matahari sudah hampir mencapai ufuk barat (hampir habis waktunya). Maka pada saat itu kita mengerjakan shalat ‘Asar terlebih dahulu agar sesuai dengan waktu yang diperintahkan sebagaimana keumuman ayat :

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktu-waktunya atas orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].

Mengerjakan shalat pada waktunya pada asalnya adalah wajib. Jika kita mengerjakan shalat Dhuhur terlebih dahulu, maka dalam hal ini kita kehilangan waktu ‘Asar yang otomatis kita mengerjakan dua shalat di luar waktunya sekaligus. Namun jika kita, mengerjakan shalat ‘Asar terlebih dahulu, maka shalat ‘Asar dapat kita kerjakan sesuai dengan waktunya. Ini semua – sekali lagi – dalam konteks jika waktunya sempit. Jika waktunya longgar, maka dikerjakan sesuai dengan urutan (karena konteks dalil pelaksanaan shalat waktu perang Khandaq adalah waktu ‘Isya’ dimana waktu tersebut adalah waktu yang longgar).

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaykum
Barakallahu fiikum
Ustad saya membaca fatawa bahwa jumhur ulama apabila seseorang bepergian dan telah meniatkan untuk menetap di tujuan lebih dari empat hari maka mereka harus melakukan sholat secara sempurna ( ditempat tujuannyakah??), sedangkan bila empat hari empat malam maka tidak mengapa di qasar..
Berbeda dengan orang yg bepergian tanpa ada niat untuk menetap yg jelas namun dia meniatkan akan pulang setelah urusan berakhir maka menqasharnya disunnahkan..
Yang ana baca ini disebutkan di fatwa lajnah ad dhaimah, syeikh bin Baz rahimahullah, juga disebutkan di al Mughni.. bagaimana terkait hal ini?
Semoga pertanyaan saya berfaedah.. amin
Sebelumnya jazakallahu khairan

Abu Zuhriy mengatakan...

Ustadz bagaimana tentang hadits berikut (yang digunakan ulama yang mewajibkan) :

إنَّ اللهَ يحبُّ أنْ تؤتَى رخصُه كما يحبُّ أنْ تؤتَى عزائمُه

Sesungguhnya Allah mencintai [orang-orang] yang mengambil rukhshah-Nya (keringananNya), sebagaiamana Dia mencintai [orang-orang yang] mendatangi kewajibanNya.

(HR Abu Nu'aym, dishahiihkan oleh Syaikh al Albaaniy dalam ashlu shifati shalaat)

Dalam hadits diatas Rasuulullaah menyamakan antara:

- "mengambil rukhshah"
- "mendatangi kewajiban"

Maka mengambil rukhshah adalah wajib. berdasarkan zhahir hadits diatas. dikaitkan dengan permasalahan ini, maka hukumnya wajib mengqashar shalat.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika kita hanya melihat dhahir hadits tersebut, maka memang benar bahwa mengambil rukhshah dan melaksanakan kewajiban itu berada dalam satu tingkatan (yaitu : wajib). Tapi jika kita melihat dalil-dalil yang lain, ternyata nampak bahwa keduanya tidaklah sama meskipun dibawakan dalam satu lafadh.

Misalnya : Kaum muslimin telah diberikan rukhshah (keringanan) untuk mendengarkan nyanyian yang diiringi duff saat pernikahan dan hari raya. Apakah kemudian akan dikatakan bahwa mendengarkan nyanyian dan duff saat hari raya dan pernikahan hukumnya wajib ?. Saya belum pernah membaca keterangan ulama yang mewajibkannya. Banyak contoh kasus yang lain.

Jadi yang disamakan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah kecintaan. Kecintaan Allah ta'ala pada orang yang melaksanakan sesuatu yang Ia syari'atkan.

Wallaahu a'lam.

Anonim mengatakan...

Tentang perkataan:

"Jika melakukan shalat tamam (sempurna 4 raka’at) itu tidak diperbolehkan, tentu Ibnu Mas’ud akan menjelaskannya dan tidak sekedar beralasan menghindari khilaf."

Bukankah ibnu mas'ud berkata:

فَلَيْتَ حَظِّي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ

kira kira pekrataan beliau: maknanya apa ustadz?

apa perkataan diatas menandakan beliau berpemahaman "kedua-duanya BOLEH"? yang zhahir darinya kok PENGINGKARAN, bahkan sampai MENGKHAWATIRKAN keabsahan dua raka'at terakhir?

hm..

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Seandainya dipahami maksudnya adalah kekhawatiran, maka tetap saja tidak bisa dipandang bahwa shalat empat raka'at itu tudak sah. Ketidakabsahan shalat itu lebih besar dibandingkan husnudhdhan Ibnu Mas'uud terhadap 'Utsmaan atau apa yang ia kerjakan mengikuti 'Utsmaan - seandainya Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berpendapat dua raka'at itu wajib dan tidak sah shalat empat raka'at.

prasetyo budi santoso mengatakan...

Ustadz, pendapat pailing kuat yang manakah yang bisa kita jadikan pegangan mengenai jumlah rakaat Shalt Qashar Maghrib? 2 atau 3 rakaat?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya malah baru mendengar kalau shalat Maghrib dikatakan bisa diqashar menjadi 2 raka'at.