Secara bahasa, ath-thalaaq (الطَّلاقُ) sama dengan ath-thaaliq (الطَّالِقُ), yaitu unta yang talinya dilepas dan dibiarkan bebas di tempat penggembalaan. Ibnu Hajar berkata :
الطلاق في اللغة : حل الوثاق مشتق من الإطلاق وهو الإرسال والترك
“Ath-Thalaaq secara bahasa maknanya adalah melepaskan ikatan, kata asalnya adalah al-ithlaaq, yang maknanya melepaskan dan membebaskan.[1]
Ibnul-Mandzur mengatakan : thalaaqun-nisaa’ (طَلاقُ النِّسَاءِ), maka ini mempunyai dua makna :
(1) bermakna melepas ikatan pernikahan (hallu ‘uqdatin-nikaah); dan
(2) bermakna melepaskan dan membebaskannya (at-takhliyatu wal-irsaalu).[2]
حلّ قيد النكاح بلفظ الطلاق ونحوه، أو رفع قيد النكاح في الحال (أي : بالطلاق البائن) أو في المآل (أي : بعد العدة بالطلاق الرجعي) بلفظ مخصوص
“Melepaskan ikatan pernikahan dengan lafadh thalaq, atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga (melalui thalaq ba’in) atau pada masa mendatang (yaitu : setelah masa ‘iddah melalui thalaq raj’iy) dengan ucapan tertentu”.[3]
Disyari’atkannya thalaq ini didasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.[4]
Allah ta’ala berfirman :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” [QS. Al-Baqarah : 229].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ’iddahnya (yang wajar)” [QS. Ath-Thalaq : 1].
عن بن عباس عن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طلق حفصة ثم راجعها
طلق النبي صلى الله عليه وسلم حفصة، ثم راجعها
Dari Ibnu ’Abbas, dari ’Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menthalaq Hafshah dan kemudian merujuknya kembali.[5]
Tanbih : Adapun hadits { أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق } “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ta’ala adalah thalaq” ; maka ini adalah hadits dla’if, tidak bisa dipakai sebagai hujjah.[6]
Menjurus pada pokok bahasan dalam tulisan ini, thalaq ditinjau dari shighah (lafadh) yang digunakan, maka ini terbagi menjadi dua : Thalaq dengan menggunakan lafadh yang jelas dan Thalaq dengan menggunakan lafadh kinayah/metafora.
Thalaq yang diucapkan dengan kalimat yang jelas (sharih) adalah thalaq yang diucapkan dengan kalimat yang tidak dapat dipahami dari kalimat tersebut selain makna cerai, termasuk semua lafadh yang berlaku pada masyarakat tertentu yang hanya digunakan untuk menthalaq, bukan untuk yang lainnya. Thalaq ini sah dan jatuh pada saat diucapkan oleh si suami.
Jenis kalimat sharih itu seperti : ”aku menceraikanmu” (طلقتك), “engkau cerai” (أنت طالق), “engkau telah diceraikan” (أنت مطلقة), dan yang semisalnya. Termasuk dalam bahasa kita (di Indonesia), jika ada seseorang yang mengatakan : ”aku ceraikan kamu” atau ”kowe ta’ pegat” – bahasa Jawa; maka dalam hal ini hukumnya adalah sama.[7] Jika seseorang mengatakan kata-kata thalaq kepada istrinya, kemudian ia meralat bahwasannya ia tidak bermaksud menthalaq, maka tidak diterima perkataannya (thalaq tetap sah dan jatuh pada istrinya).[8]
Tidak ada perbedaan apakah ia mengucapkannya dengan serius atau main-main. Hal ini didasarkan oleh hadits :
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاث جدهن جد وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Tiga hal yang jika dikatakan dengan sungguh-sungguh ataupun main-main hukumnya adalah sungguh-sungguh, yaitu : nikah, thalaq, dan rujuk”.[9]
Hal ini dikecualikan jika memang ada bukti yang sangat kuat bahwa orang yang mengatakan kata ”thalaq” tidak ada maksud untuk menthalaq/menceraikan istrinya, seperti seseorang yang mengatakan ketika melihat istrinya terikat pada sebuah tiang :
سأطلقك من هذا الوثاق
“Saya men-thalaq-mu (melepaskanmu) dari ikatan ini”.
Maka dalam hal ini, tidak jatuh thalaq.
Sedangkan thalaq dengan kalimat kinayah adalah thalaq yang diucapkan dengan kalimat yang dipahami bahwa kalimat tersebut mengandung kemungkinan makna thalaq atau selain thalaq.
Jenis kalimat ini seperti : “Aku memisahkanmu (dariku)” (فرقتك), “aku telah melepaskanmu” (سرحتك), “engkau telah berpisah denganku” (أنت مفرقة), pulanglah kamu ke keluargamu” (الحقي بأهل), dan yang sejenisnya. Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan lafadh ini dalam thalaq. Yang rajih adalah bahwa lafadh itu jatuh jika orang yang mengucapkan (suami) berniat untuk men-thalaq istrinya. Namun jika ia tidak berniat, maka tidak jatuh thalaq padanya.[10]
Oleh karena itu, kita (para laki-laki dan suami) diperintahkan untuk selalu berhati agar lisan kita tidak bermurah-murah mengobral kata thalaq terhadap istri tercinta.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abul-Jauzaa’ Al-Bogoriy – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – http://abul-jauzaa.blogspot.com].
[1] Fathul-Bari 9/346 – dinukil melalui perantaraan Ahkaamuth-Thalaaq fisy-Syarii’atil-Islamiyyah oleh Mushthafa Al-‘Adawy, hal. 9; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1409 H, Cairo dan Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam oleh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Alu Bassam, 2/403; Daar Ibnil-Haitsam, Cet. Tahun 1425, Cairo.
[2] Lisaanul-‘Arab oleh Ibnul-Mandzur, hal. 2693, tahqiq : ‘Abdullah ‘Ali Al-Kabiir, Muhammad Ahmad Hasbullah, dan Haasyim Muhammad Syadzaliy; Daarul-Ma’aarif; Cairo.
[3] Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 3/232; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo dan Al-Fiqhul-Islamiy wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, 7/356; Daarul-Fikr, Cet. 2/1405, Damaskus.
[4] Al-Mughniy oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, 10/323 (7/182), tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy dan ‘Abdul-Fattah Muhammad Al-Halawi; Daarul-‘Aalamil-Kutub, Cet. 3/1418, Riyadl.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2283, An-Nasa’i no. 3560, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/34; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419, Riyadl.
[6] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2177-2178, Ibnu Majah no. 2018, Al-Hakim 2/169 secara maushul dan mursal. Lihat Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Hatim 4/117-118 no. 1297, tahqiq : Dr. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Humaid dan Dr. Khalid bin ‘Abdirrahman Al-Juraisiy; Cet. 1/1427, Riyadl dan Irwaaul-Ghalil oleh Al-Albani 7/106-108 no. 2040; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1399, Beirut.
[7] Para ulama sebenarnya berbeda pendapat mengenai jenis-jenis lafadh sharih ini. Para ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa jenis lafadh sharih ini hanyalah kata “thalaq” dan semua kata yang terambil darinya, termasuk semua lafadh yang dalam adat kebiasaan masyarakat tertentu hanya digunakan untuk menthalaq (menceraikan), bukan untuk hal yang lainnya. Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa lafadh sharih itu adalah tiga, yaitu “thalaq” (cerai), “saraah” (berpisah), dan “firaaq” (berpisah). Ulama Hanabillah dan Malikiyyah mengatakan bahwa lafadh sharih hanya terbatas pada kata “thalaq” saja dan semua kata yang terambil darinya. Yang rajih adalah madzhab Hanafiyyah sebagaimana ditegaskan di atas. Wallaahu a’lam.
[8] Mausu’ah Fiqh Ibni Taimiyyah oleh Dr. Muhammad Rawwaas Al-Qal’ahjiy 2/981; Daarun-Nafaais, Cet. 2/1422, Beirut dan Al-Fiqhul-Islamiy wa Adillatuhu 7/380.
[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2194, At-Tirmidzi no. 1184, dan Ibnu Majah no. 2039. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/9.
Lihat perincian pembahasannya dalam At-Tibyaan fii Takhriiji wa Tabwiibi Ahaadiitsi Buluughil-Maraam oleh Khaalid bin Dlaifullah Asy-SYalaahiy, 10/153-159; Muassasah Ar-Risalah, Cet. Thn. 1427].
Catatan : Sebagian ulama ada yang mendla’ifkan ini karena seluruh jalan tersebut tidak selamat dari kelemahan.
[10] Al-Lubaab fii Fiqhis-Sunnah wal-Kitaab oleh Muhammad Shubhiy bin Hasan Hallaq, hal. 409; Maktabah As-Shahaabah, Cet. 1/1423, Al-Imaarat, Shahih Fiqhis-Sunnah 3/254, Ahkaamuth-Thalaaq fisy-Syarii’atil-Islamiyyah hal. 36, dan At-Ta’liqatur-Radliyaah ‘alar-Raudlatin-Nadiyyah oleh Al-Albani, hal. 263; Daar Ibni ‘Affaan, Cet. 1/1423, Riyadl.
Comments
Afwan, ana ada kebingungan mengenai NIAT. Hadits (cat. kaki no. 9) main-main dengan tiga hal: nikah, talak dan rujuk jadinya sungguhan walaupun hanya NIAT main-main. Sementara, perkataan (cat. kaki no. 10) talak jika tidak NIAT, tidak jatuh talaknya. Bukankah ini kontradiktif yaa akhiy Abul Jauzaa?
Mohon penjelasannya. Jazakallaahu khoiron.
-- Abu `Abdullaah --
Jika dengan lafadh sharih (jelas), maka walaupun dengan main-main thalaqnya jatuh. Ini yang dimaksud dalam hadits.
Jika menggunakan lafadh ghairu shaarih (tidak jelas/kinayah/metafora), maka ini tergantung niatnya.
Tidak ada kontradiksi, karena ini dilihat dari jenis lafadh thalaq yang diucapkan.
Wallaahu a'lam.
Misalkan seseorang saking marahnya pada istrinya sampai mengucapkan cerai , namun setelah marahnya mereda dan dia berfikir jernih dapat ruju' kembali .
Bagaimana dengan hadits yang menceritakan bahwa syetan itu mempunyai kedudukan paling dekat dengan iblis bilamana dapat memisahkan pasangan suami istri ?
Sukron ustad
Anang dwicahyo
Para ulama membedakan jenis-jenis marah dalam kasus ini :
1. Marah hingga sampai menutup pikirannya dimana ia tidak mengerti/menyadari ucapannya saat ia marah. Maka dalam hal ini, thalaq tidak jatuh.
2. Marah namun masih dalam batas normal dan ia paham atas apa yang ia ucapkan. Dalam hal ini thalaq jatuh.
3. Marah dalam kondisi antara 1 dan 2. Maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Selengkapnya, silakan lihat Shahih Fiqhis-Sunnah 3/244-245.
Wallaahu a'lam.
assalamuaikum pak
saya mau bertanya
bagaimana bila suami menjelaskan pada istri ttg maksud dari kata thalaq yang jelas
dan dalam penjelasannya dia mngucapkan
" misal kata thalaq itu adalah,saya thalaq kamu"
apakah ini jatuh thalaq?, karena suami saya hanya ingin memberi penjelasan mengenai perbedaan kata yang jelas dan tidak jelas
terima kasih pak
wasalam
Assalamu'alaikum ustadz..
saya mau bertanya tentang :
sepasang suami istri sedang bertengkar hebat, namun sang istri hanya diam. kemudian sang suami pergi mandi. dlm jeda tersebut sang istri berpikir hendak meminta cerai dan kemudian setelah sang suami selesai mandi dan bersiap-siap hendak pergi ke Masjid menunaikan sholat Maghrib, sang istri berkata kepada suaminya, "kalau begitu lebih baik kita pisah aja" dan sang suami yang sedang tergesa-gesa hendak pergi sholat maghrib menjawab, "ya udah kalau memang maunya begitu"..
kemudian sang suami pulang dari sholat diam aja tidak membahsa apapun dan tidak bertanya lagi pada sang istri apa maksudnya berpisah itu...?
secara garis besarnya sang suami tidak menginginkan perpisahan. Apakah sudah jatuh thalaq bagi sang istri pak Ustadz???? terima kasih atas jawabannya.
Posting Komentar