'Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dalam Sifat Allah ta'ala

22 komentar

Allah ta’ala berfirman :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [QS. Al-Maaidah : 64].
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [QS. Az-Zumar : 67].
Setelah menyebutkan dua ayat tersebut, Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
وقال بشر بن موسى: ثنا الحميدي، وذكر حديث " إن الله خلق آدم على صورته " .
فقال: لا تقول غير هذا على التسليم والرضا بما جاء القرآن والحديث. لا تستوحش أن تقول كما القرآن والحديث.
“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia (Al-Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’.[1] Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini dikarenakan sikap taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits” [Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
وأن له يدين بقوله (بل  يداه مبسوطتان) وأن له يميناً بقوله (والسموات مطويات بيمينه) , وإن له وجهاً بقوله (كل شيء هالك إلا وجهه), وقوله (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام) وأن له قدماً بقول النبي صلى الله عليه وسلم (حتى يضع الرب عز وجل فيها قدمه) يعني جهنم ...
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64).  Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419].
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :
وأن له سبحانه وجها بلا كيف، كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام). وأن له سبحانه يدين بلا كيف، كما قال سبحانه: (خلقت بيدي)، وكما قال: (بل يداه مبسوطتان). وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه: (تجري بأعيننا).
“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27).  Dia jga mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-Nya : “Yang telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-Nya : “…..tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dan Dia subhaanahu juga mempunyai dua mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil firman Allah subhaanahu : “Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :
ولا يعتقدون تشبيهاً لصفاته بصفات خلقه ، فيقولون: إنه خلق آدم بيديه ، كما نص سبحانه عليه في قوله عزّ من قائل: قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ، ولا يحرفون الكلم عن مواضعه ، بحمل اليدين على النعمتين أو القوتين ، تحريف المعتزلة والجهمية أهلكهم الله ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة خذلهم الله
“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan Adam ‘alaihis-salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Allah berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak menyimpangkan Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya, dengan mengartikan kedua tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak me-reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-makhluk, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah menghinakan mereka –“  [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin ‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Dapat juga dilihat syarahnya yang ditulis oleh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih yang dapat didownload dari www.Almoshaiqeh.com].
Al-Imam Juwaini (ayah Imam Al-Haramain) rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada aqidah shahihah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah tenggelam dalam aqidah Asy’ariyyah yang menyimpang. Beliau mengatakan dalam pendahuluan risalahnya : Al-Istiwaa’ wal-Fauqiyyah setelah beliau menetapkan sifat Allah seperti mendengar, melihat, berbicara, dua tangan, dan menarik sebagai berikut :
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil, takyif, dan tamtsil, serta mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka mereka tidak menafikkan dari-Nya sifat-sifat yang Allah tetapkan buat diri-Nya dan tidak menyelewengkan kalimat dari lafadh/makna aslinya, dan tidak membuat ilhad (penentangan/penyelewengan) nama-nama Allah, tidak men-takyif (menanyakan bagaimana bentuknya) serta tidak men-tamtsil (menyerupakan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada yang sama bagi-Nya dan tidak boleh diqiyaskan dengan makhluk-Nya. Dan Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang lainnya (dari makhlukNya). ‘Aqidah ini merupakan kesepakatan para ulama salaf Ahlus-Sunnah mutaqaddimiin (terdahulu).
Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :
اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب (على) الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في صفة الرب عزّ وجلّ من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئًا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا لكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا. فمن قال بقول جهم فقد فارق الجماعة لأنه قد وصف بصفة لا شيء.
“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah (ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya. Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia telah keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak menafsirkan (tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kemudian diam. Barangsiapa yang berkata dengan perkataan orang Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :
أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك . وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أقر بها نافون للمعبود
“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz. Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat tersebut. Adapun golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah) sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun mereka (yang mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah adalah golongan orang yang meniadakan Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :
وعلى هذا دَرَجَ السَّلَفُ وأَئِمَّةُ الخَلَفِ، كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ على الإقْرارِ، والإمْرارِ والإثْباتِ لما وَرَدَ مِن الصِّفاتِ في كتابِ اللهِ وسُنَّةِ رسولِهِ، مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لتأْوِيلِهِ.
“Dan atas dasar inilah para salaf dan imam generasi khalaf setelahya berjalan. Semuanya sepakat untuk menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun As-Sunnah, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya” [Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Shaalih Aalusy-Syaikh; http://www.islamway.com].
Menetapkan sebagaimana dhahir makna dan lafadhnya tanpa ta’wil bukanlah tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana tuduhan orang-orang bodoh dari kalangan Asy-ariyyah dan yang semisal dengannya. Maka, perhatikanlah perkataan Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah”.
Mereka mengatakan itu karena pemahaman yang sakit, rusak, serta sikap permusuhan abadi kepada Ahlus-Sunnah – walau mereka juga mengaku sebagai ‘Ahlus-Sunnah’.
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga penyebutan beberapa dalil, riwayat, dan penjelasan para ulama di atas dapat memberikan satu gambaran gamblang tentang ‘aqidah Ahlus-Sunnah dalam masalah sifat Allah. Sekaligus menerangkan kekeliruan paham Asy’ariyyah yang sering mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah dalam perkara ‘aqidah ini. Allahul-Musta’an……

Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – 4 jumadits-tsaniy 1430


[1]     Sebagian ulama mengatakan bahwa dlamir (kata ganti) ‘hi’ tidak kembali pada Allah. Namun ini keliru. Yang benar, dlamir tersebut kembali kepada Allah ta’ala. Inilah pemahaman yang ditempuh oleh para ulama salaf.
عن عبد الله بن أحمد بن حنبل قال : كنا بالبصرة عند شيخ فحدثنا بحديث النبي : إن الله عز وجل خلق آدم على صورته. فقال الشيخ : تفسيره خلقه على صورة الطين. فحدثت بذلك أبي رحمه الله تعالى، فقال : هذا جهمي. وقال : هذا كلام الچحمية.
Dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata : “Kami pernah berada di Bashrah bersama seorang Syaikh. Ia membawakan kepada kami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’. Ia (Syaikh tersebut) berkata : ‘Tafsirnya adalah (menciptakan) dengan bentuk (dari) tanah’. Maka aku ceritakan perihal tersebut kepada bapakku (Al-Imam Ahmad bin Hanbal) rahimahullah, dan beliau berkata : ‘Orang ini adalah Jahmiy. Ini adalah perkataan Jahmiyah’ [Ibthaalut-Ta’wiilaat, q : 55-56, melalui perantaraan kitab Al-Masaailu war-Rasaailul-Marwiyatu ’anil-Imam Ahmad fil-’Aqidah oleh ’Abdullah bin Sulaiman bin Saalim Al-Ahmadiy, 1/358-359; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya dlamir di dalam hadits shahih mengenai penciptaan Adam dalam bentuk-Nya adalah kembali pada Allah, dan hal itu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam hadits Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman’.
Hadits tersebut telah dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Ajuriiy, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan imam-imam lainnya. Banyak dari para imam yang menjelaskan kesalahan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam penolakan terhadap pengembalian dlamir tersebut kepada Allah Yang Maha Suci di dalam hadits Ibnu ‘Umar. Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam yang telah disebutkan dan juga yang lainnya mengenai kembalinya dlamir kepada Allah ta’ala tanpa disertai cara dan penyerupaan. Tetapi bentuk Allah ta’ala itu sesuai dengan-Nya dan sejalan dengan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang serupa dengan makhluk-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash : 1-4). Allah ta’ala juga berfirman : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuura : 11). Dia juga berfirman : ‘Apakah kamu mengetahui ada orang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)’ (QS. Maryam : 65). Demikian juga firman-Nya : ‘Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui’ (QS. An-Nahl : 74). Dan cukup banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hal tersebut.
Yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan beriman adalahmengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang sifat-sifat Allah persis seperti keberadaannya dengan tidak menafsirkannya yang bertentangan dengan dhahirnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum salaf dan para imamnya, dengan keimanan penuh bahwa Allah itu Maha Suci, yang tidak ada sesuatupun serupa dengan-Nya bak dalam bentuk, wajah, tangan, dan seluruh sifat-Nya, tetapi Dia Dzat yang Maha Suci yang memiliki kesempurnaan mutlak dari segala sisi dalam semua sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak dapat disejajarkan/diserupakan dengan sifat-sfat makhluk-Nya, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh generasi salaf dan para imamnya dari para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat kepada mereka serta menjadikan kita bagian dari pengikut mereka dengan baik” [‘Aqiidah Ahlil-Iman fii Khalqi Adam ‘alaa Shuuratir-Rahmaan oleh Hamud At-Tuwaijiri, bagian sambutan awal kitab; Daarul-Wafaa’, Cet. 2/1409].

Al-Imam Asy-Syafi'iy rahimahullah dan Bid'ah Hasanah

26 komentar

Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu : bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghulluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dlalalah) dalam terminology syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.

Allah ta’ala berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun”  [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].

Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :

فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.

Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata : ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an ? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an !’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].

عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ

Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].

عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا

Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].

عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].

Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa :

وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)

“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].

Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ

”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].

Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.

عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال

Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan : “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].

Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan :

سمعت مالكا يقول : "من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا"

”Aku mendengar Imam Malik berkata : ”Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].

Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :

مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].

Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas :

معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع

“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].

Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :

إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ

“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).

Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :

فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).

“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].

Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?

Harmalah bin Yahya meriwayatkan :

سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )

”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].

Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417].

Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.

 

Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, 2 Jumadits-Tsaaniy 1430

Ibnu Taimiyyah dan Maulid Nabi - Menyingkap Kedustaan Salafytobat

142 komentar

Ada sebuah tulisan yang cukup menggelitik dari pemilik Blog salafytobat [lihat : http://salafytobat.wordpress.com/2009/05/11/pemalsuan-pendapat-salaf-oleh-wahhaby-dengan-kedok-takhrij-dan-mukhtarat-meringkas/] yang mengulas tentang Ibnu Taimiyyah dan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam tulisan tersebut – dengan yakinnya – ia mengatakan bahwa Salafy-Wahabi telah melakukan kecurangan dalam peringkasan kitab Ibnu Taimiyyah. Dan ia menyiratkan satu kesimpulan bahwa Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah membolehkan dan ‘merestui’ pelaksanaan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan sedikit disertai satu atau dua lembar scan buku yang berhasil ia dapatkan, pemilik blog Salafytobat hendak mengelabuhi pembaca – seperti biasa ia lakukan – untuk meyakinkan bahwa apa yang ia tulis adalah benar.

Saya ajak ikhwan semua untuk meneliti apakah yang dikatakan oleh yang bersangkutan memang benar atau hanya sebuah pengkelabuhan. Kitab yang ia gunakan sebagai sandaran dalam hal ini adalah kitab Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim karya Ibnu Taimiyyah yang dikatakan terbitan Daarul-Hadiits Mesir. Adapun kitab yang berjudul sama yang saya gunakan sebagai perbandingan adalah terbitan Maktabah Ar-Rusyd – Riyadl (terdiri dari dua jilid), tahqiq : Prof. Dr. Naashir bin ‘Abdil-Karim Al-‘Aql hafidhahullah, yang covernya bisa dilihat di bawah. Selain itu, saya juga memperbandingkannya dengan Free Program Maktabah Ibnu Taimiyyah yang diterbitkan oleh Maktabah Ruuhul-Islam (yang mengacu pada hard copy terbitan Daar ‘Aalamil-Kutub, Beirut -  Cet. 7/1419).

Pemilik blog Salafytobat berkata :

Wahhaby ini memanipulasi fatwa ibnu taymiyah, sehingga seoalh-olah ibnu Taymiyah membid’ahkan amalan maulid Nabi. Seharusnya dalam kitab yang asli tertulis :

Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

[perhatikan yang tercetak tebal di atas !!]

Mari kita cek kitab dimaksud, apa sebenarnya yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah perihal Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata :

(( فصل . ومن المنكرات في هذا الباب : سائر الأعياد والمواسم المبتدعة ، فإنها من المنكرات المكروهات سواء بلغت الكراهة التحريم، أو لم تبلغه؛ وذلك أن أعياد أهل الكتاب والأعاجم نهي عنها؛ لسببين:

أحدهما : أن فيها مشابهة الكفار .

والثاني : أنها من البدع . فما أحدث من المواسم و الأعياد هو منكر ، وإن لم يكن فيها مشابهة لأهل الكتاب ؛ لوجهين :

أحدهما : أن ذلك داخل في مسمى البدع والمحدثات ، فيدخل فيما رواه مسلم في صحيحه عن جابر – رضي الله عنهما – قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ خطب احمرت عيناه ، وعلا صوته ، واشتد غضبه ، حتى كأنه منذر جيش يقول صبحكم ومساكم ، ويقول : (( بُعثت أنا والساعة كهاتين – ويقرن بين أصبعيه : السبابة والوسطى – ويقول : (( أما بعد ،فإن خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة )) وفي رواية للنسائي : ((وكل بدعة ضلالة في النار))

وفيما رواه مسلم – أيضاً – في الصحيح عن عائشة – رضي الله عنها – عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد )). وفي لفظ في الصحيحين :(( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد )).

وفي الحديث الصحيح الذي رواه أهل السنن عن العرباض بن سارية عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (( إنه من يعش منكم فسير اختلافاً كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ،تمسكوا بها، وعضُّو عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة )).

وهذه قاعدة قد دلت عليها السنة والإجماع ، مع ما في كتاب الله من الدلالة عليها أيضاً . قال الله تعالى: {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ...}. فمن ندب إلى شيء يتقرب به إلى الله أو أوجبه بقوله أو بفعله ، من غير أن يشرعه الله ، فقد شرع من الدين ما لم يأذن به الله ، ومن اتبعه في ذلك فقد اتخذ شريكاً لله ، شرع من الدين ما لم يأذن به الله.........

”Pasal : Di antara kemunkaran yang terjadi pada bab ini adalah adanya perayaan dan upacara-upacara bid’ah. Semua itu merupakan kemunkaran yang dibenci, baik kebencian itu mencapai derajat haram atau tidak. Semua perayaan itu dilarang karena dua hal :

Pertama, Menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Kedua, termasuk bid’ah. Oleh karena itu, walaupun tidak ada keserupaan dengan Ahli Kitab, segala perayaan dan upacra itu adalah munkar karena dua hal :

1.    Karena semua upacara itu termasuk dalam katagori bid’ah dan sesuatu yang baru, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Diriwayatkan Jabir bin Abdillah radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam apabila berkhutbah, maka matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya meluap hingga seakan-akan beliau seperti penasihat tentara yang berkata : ’Semoga Allah memberkahi kalian di waktu pagi dan sore’. Kemudian beliau melanjutkan : ’Aku diutus dan hari kiamat seperti ini’ – sambil mendekatkan antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah seraya bersabda : ’Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan. Dan setiap yang bid’ah adalah sesat’. Dalam riwayat An-Nasa’i : “Setiap bid’ah adalah sesat yang ada di neraka”.

Muslim juga meriwayatkan dari Shahih-nya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa beliau berkata : “Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak”.

Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits lain yang senada : “Barangsiapa yang mebuat-buat suatu yang baru dalam perkara kami yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia ditolak”.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Semua ini adalah kaidah yang ditunjukkan oleh As-Sunnah dan ijma’, yang dikuatkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara adalah firman Allah : ”Apabila mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk agama mereka yang tidak diijinkan Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka tekal dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih” [Asy-Syuuraa : 21].

Oleh karena itu, barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah, baik berupakan perkataan atau perbuatan yang tidak disyari’atkan oleh Allah, maka dia telah membuat syari’at sendiri dalam agama, yang tidak diijinkan Allah. Barangsiapa yang mengambilnya, berarti telah menjadikan sekutu bagi Allah dan membuat syari’at agama yang tidak diijinkan oleh-Nya” [Iqtidlaa Ash-Shiraathil-Mustaqiim 2/581-583].

........ فصل : قد تقدم أن العيد يكون اسماً لنفس المكان ، ولنفس الزمان ، ولنفس الاجتماع ، وهذه الثلاثة قد أحدث منها أشياً :

أما الزمان فثلاثة أنواع ، ويدخل فيها بعض أعياد المكان والأفعال :

أحدها : يوم لم تعظمه الشريعة الإسلامية أصلاُ ، ولم يكن له ذكر في السلف ولا جرى فيه ما يوجب تعظيمه ، مثل : أول خميس من رجب ، وليلة تلك الجمعة التي تسمى الرغائب.......

النوع الثاني : ما جرى فيه حادثة كما كان يجري في غيره ،من غير أن يوجب ذلك جعله موسماً، ولا كان السلف يعظمونه: كثامن عشر ذي الحجة الذي خطب النبي صلى الله عليه وسلم فيه بغدير خم مراجعة من حجة الوداع .....

وكذلك ما يحدثه بعض الناس: إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى-عليه السلام-،وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع – من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً مع اختلاف الناس في مولده ، فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص،وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته،وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار،والذين اتبعوهم بإحسان،وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة - تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها))  ا.هـ .

Pasal : Telah dijelaskan di muka bahwa hari raya adalah sebutan untuk mengingat nama tempat, waktu, dan persitiwa secara bersama-sama. Ketiga hal ini telah menyebabkan banyak hal.

Tentang hari raya yang berkaitan dengan waktu sendiri terdiri dari tiga hal, yang masuk di dalamnya sebagian hari raya tempat dan peristiwa :

Pertama : Hari yang sama sekali tidak diagungkan syari’at Islam, tidak istimewa menurut para salaf, dan tidak terjadi peristiwa yang seharusnya diagungkan, seperti awal Kamis bulan Rajab, malam Jum’at pertama bulan Rajab yang disebut dengan malam Raghaaib…… [idem, hal. 617].

Kedua : Hari yang di dalamnya terjadi satu peristiwa yang juga terjadi pada hari-hari lainnya sehingga tidak bisa dijadikan sebagai musim tertentu, dan tidak diagungkan oleh para salaf. Misalnya, tanggal 18 Dzulhijjah dimana pada hari itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Ghadir Khum, ketika beliau pulang dari haji Wada’…… [idem, hal. 618].

Begitu pula yang diadakan oleh sebagian manusia, baik yang tujuannya untuk menghormati orang-orang Nashrani atas kelahiran ‘Isa ataupun karena mencintai Nabi. Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan dalam hal bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan  tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara mengikutinya, mentaatinya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya – baik secara lahir maupun batin – menyebarkan apa yang diwahyukan kepadanya, dan berjihad di dalamnya dengan hati, kekuatan, tangan, dan lisan. Itulah cara yang digunakan oleh para salaf, baik dari golongan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dalam mencintai dn mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang-orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya” [idem, hal 619-620].

Silakan ikhwah perhatikan perkataan Ibnu Taimiyyah secara lebih luas di atas. Apakah yang dikatakan beliau ini untuk melegalkan dan meridlai amalan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bahkan beliau rahimahullah mencelanya !! Adapun yang dikatakan bahwa para pelaku perayaan Maulid Nabi mendapatkan pahala karena kecintaannya adalah bagi ulama-ulama yang berijtihad dan kemudian mereka salah dalam ijtihadnya. Bukankah Ibnu Taimiyyah mengatakan : Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Bukankah ijtihad itu hanya berlaku bagi para ulama yang memang layak berijtihad ? Lantas bagaimana keadaannya dengan para fanatikus, muqallid, dan pengekor hawa nafsu yang semangat keagamaan mereka enggan untuk mengikuti as-salafush-shaalih ? Enggan mengikuti al-haq hanya dikarenakan fanatikus madzhab ? Sungguh aneh ada orang yang memlintir ucapan Ibnu Taimiyyah agar sesuai dengan madzhabnya ! Mungkin dia melewatkan (atau menyembunyikan ?) perkataan Ibnu Taimiyyah di bagian akhir kutipan di atas : Adapun orang-orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Apalagi jika dikaitkan secara komprehensif pembahasan di awal perkataan beliau sebagai nukilan di atas.

Dan ternyata, pemilik blog @salafytobat memalsukan terjemahan dengan mengatakan :

“Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya”

Di kalimat mana Ibnu Taimiyyah mengatakan ini ? Padahal yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah :

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا

“Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan  tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita…”.

Jelas beda antara perkataan beliau di atas dengan apa yang dipalsukan oleh Salafytobat. Atau memang Salafytobat tidak bisa berbahasa Arab ?

Salafytobat ternyata juga memotong kalimat, dimana ia menuliskan : dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”. Padahal kalimat yang lengkap adalah :

“Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan dalam hal bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.

Ini satu khianat !

Bahkan Ibnu Taimiyyah tetap memperingatkan bahwa amalan perayaan Maulid Nabi itu adalah amalan yang menyelisihi sunnah dan wajib untuk ditinggalkan. Amalan tersebut adalah amalan bid’ah yang tertolak menurut syari’at. Lebih jelasnya lagi, mari kita perhatikan perkataan beliau rahimahullah dalam kitab yang lain :

وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم

“Adapun mengadakan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti malam-malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau malam-malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau awal Jum’at bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam [Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].

Dr. Muhammad Rawwas Al-Qal’ahjiy telah melakukan penelitian di kitab-kitab Ibnu Taimiyyah untuk merumuskan faedah fiqh yang terkandung di dalamnya telah mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi termasuk perayaan bid’ah yang tidak disyari’atkan dalam Islam [lihat Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah oleh Dr. Muhammad Rawwaas Qal’ahjiy, hal. 1040-1041; Daarun-Nafaais, Cet. 2/1422, Beirut].

Semoga sedikit tulisan ini ada manfaatnya, terutama untuk menjawab syubhat (trik) yang sedang dijalankan oleh orang yang menamakan dirinya Salafytobat. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

Berikut saya sertakan scan kitab yang menjadi rujukan dalam tulisan ini.

 

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 581 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 582 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 583 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 617 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 618 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 619 :

Kitab Al-Iqtidlaa’ hal. 620 :

Kitab Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298 :

Kitab Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah Cover :

Kitab Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah hal. 1040 :

Kitab Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah hal. 1041 :

 

Abu Al-Jauzaa’ – Ciomas Permai, 2 Jumadits-Tsaniy 1430.