Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya :
1. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : "Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka" [HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang lainnya].
Abul-Jauzaa’ berkata :
"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung".
2. Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor 4087, At-Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya].
3. Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu :
عن هبيب الغفاري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وطئ على إزاره خيلاء وطئ في نار جهنم
Dari Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka Jahannam” [HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ nomor 6592].
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Isbal itu pada kain (sarung), pakaian, dan imamah (surban). Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR. Abu Dawud nomor 4049; Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 5327,5328; dan Ibnu Majah nomor 3576; dengan sanad shahih].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam As-ilah Mihimmah halaman 29-30 : ‘“Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila tidak diniatkan sombong, maka hukumnya adalah yang dibawah mata kaki akan disiksa dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin) menyebutkan hadits Abu Dzar. Kemudian beliau melanjutkan : “Hadits ini adalah hadits muthlaq, akan tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : { من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة}”Barangsiapa yang melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR. Al-Bukhari].
Kemutlakan hadits Abu Dzar dirinci oleh hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sekali lagi, jika dia melakukan karena sombong, Allah tidak akan melihatnya, membersihkannya, dan dia akan mendapat adzab yang pedih. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman orang yang menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki tanpa niat sombong. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : { ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار} ”Apa saja yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka”.
Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru apabila membatasinya dengan kesombongan, berdasarkan hadits terdahulu. Hal ini ditegaskan lagi dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : {إزرة المؤمن إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة} ”Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan sampai kedua mata kaki, dan yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Dan barangsiapa melabuhkan/menyeret-nyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” [HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya.
Dan jika hukum dan sebab berbeda, tidak boleh membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad, karena kaidah membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad harus memenuhi syarat diantaranya adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam hukum. Adapun jika terdapat perbedaan hukum, maka tidak boleh membatasi nash muthlaq dengan nash muqayyad. [:: selesai nukilan saya dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:::].
Abul-Jauzaa’ berkata :
“Hadits Abu Dzarr menjelaskan secara muthlaq bahwa semua Musbil akan mendapat sanksi yang berat berupa Allah tidak mengajaknya bicara, tidakmelihat mereka, tidak mensucikan mereka, dan diberikan siksa yang pedih. Ini adalah jenis adzab “ekstra” daripada sekedar dimasukkan ke neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar dijelaskan bahwa yang mendapat adzab seperti itu adalah orang yang melakukan isbal secara sombong.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
5. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak mengapa atau tidak berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya” [HR. Abu Dawud nomor 4093 dan Ibnu Majah nomor 3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 518].
Telah berkata Al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah hadits tersebut :
والحديث فيه دلالة على أن المستحب أن يكون إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين , وما كان أسفل من الكعبين فهو حرام وممنوع .
"Hadits ini menunjukkan atas disukainya keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-apa di bawah dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang” [Lihat kitab ‘Aunul-Ma’bud, pada Kitaabul-Libaas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini menyebutkan dua permasalahan dan dua hukum sekaligus sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebelumnya. Yaitu : Larangan keumuman isbal dengan konsekuensi “neraka”; dan larangan isbal dengan sombong dengan konsekuensi hukum tidak akan dilihat Allah di hari kiamat”.
Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum. Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan isbal itu hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa untuk mengatakan seperti itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadh { من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه} dalam hadits tersebut seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyid kesombongan di kalimat sebelumnya yaitu pada { ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار }. Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima.
6. Hadits ‘Amr bin Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم تبع رجلا من ثقيف حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك قال فكشف الرجل عن ركبتيه فقال يا رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل خلق الله عز وجل حسن قال ولم ير ذلك الرجل الا وإزاره إلى أنصاف ساقيه حتى مات
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakannya (karena isbal). Maka beliau bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua lutut seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [HR. Ahmad nomor 19490, Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-Thahawi Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah ?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1441].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut di atas sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dilakukan semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah engkau melakukannya dengan sombong ?”. Tapi beliau memutlakkan perintahnya ketika behasil memegang kain yang dikenakannya dengan perkataan : “Angkatlah kainmu !”. Alasan sakit dan cacat yang ada di dua lututnya tidak menghalangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan sakit dan cacat pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam syari’at untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.
Tegasnya, hadits ini mengingkari adanya pembolehan isbal dengan alasan tidak sombong.
7. Hadits Abu Juray Jabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu
عن أبي جري جابر بن سليم قال رأيت رجلا يصدر الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال لا تقل عليك السلام فإن عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك قال قلت أنت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن أصابك عام سنة فدعوته أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فلاة فضلت راحلتك فدعوته ردها عليك قلت اعهد إلي قال لا تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا ولا عبدا ولا بعيرا ولا شاة قال ولا تحقرن شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك إن ذلك من المعروف وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم فيك فلا تعيره بما تعلم فيه فإنما وبال ذلك عليه
Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku melihat seorang laki-laki yang pemikirannya senantiasa diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “Siapa ini ?”. Mereka menjawab : “Ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan : “Alaikas-Salaam ya Rasulullah”. Sebanyak dua kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan kamu ucapkan ‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan selamat terhadap orang yang mati. Tapi ucapkanlah : Assalamu ‘alaika”. Aku bertanya : “Apakah engkau Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka bumimu akan kembali subur. Apabila kamu berada di sebuah padang tandus lalu kendaraanmu hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu itu”. Aku katakan : “Berikan kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda :“Jangan cela siapapun”. Maka ia (Juray bin Salim) berkata : “Maka mulai saat ini tidak ada seorang pun yang aku cela, baik orang merdeka, budak, unta, maupun kambing”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan engkau sepelekan perbuatan baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila ada seseorang yang mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu, maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya. Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” [HR. Abu Dawud nomor 4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 515-516].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة } “Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.
Di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung. Dua diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah penegasan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : irfa’ izaarak !! . Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti dengan satu keadaan yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan : wa iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal). Kalimat ini adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan jika tanpa kesombongan.
Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah :
¯ sampai pertengahan betis (dianjurkan)
¯ dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan)
¯ melebihi mata kaki (dilarang).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan tartib :
¯ sampai pertengahan betis (dianjurkan).
¯ dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan).
¯ melebihi mata kaki jika sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang dalam hadits tersebut dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak bukan ? Ini menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang keadaan kain yang tidak diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di atas disebutkan bahwa isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya berniat untuk sombong atau tidak sombong.
Saya kira, dalil ini secara sharih menolak pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak sombong.
8. Hadits ‘Ubaid bin Khalid
أنه كان بالمدينة يمشي فإذا رجل قال ارفع إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت فإذا إزاره على نصف الساق
Bahwasannya ia sedang berjalan di Madinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah) dan ketika itu ada seseorang yang menegurku : “Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh, dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apakah engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis” [HR. Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah nomor 97 halaman 69 – Maktabah Al-Islamiyyah ‘Amman].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits ini terdapat perintah untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong. Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan orang. Perkataan ‘Ubaid : { إنما هي بردة ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja” ; bukankah bisa kita kiaskan dengan alasan : “Bukankah ia hanya perkara adat keduniawian saja” ? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak sombong) Ternyata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menerima alasan tersebut dan bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan pakaian yang beliau kenakan.
9. Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhuma
عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” [HR. Al-Bukhari nomor 3465 dan Muslim nomor 2085].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini sering dijadikan dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat kesombongan. Hal ini tertolak dari beberapa segi :
a. Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang diharamkan, baik dengan atau tanpa niat sombong.
b. Abu Bakar selalu menjaganya agar tidak melorot. Hal ini tercermin dari perkataannya : { إلا أن أتعاهد } “kecuali jika aku terus menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Bakar tidak berniat isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena tubuhnya yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : { قوله الا أن أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar : Kecuali jika aku terus menjaganya ; maknanya adalah selalu melorot/turun apabila ia terlupa darinya” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276 – Maktabah Sahab].
c. Jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam { إنك لست تصنع ذلك خيلاء} “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah sebagai pengakuan bahwa isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai satu jawaban yang menenangkan hati tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia termasuk katagori orang yang sombong (sebagaimana Abu Juray di Nomor 7 tentang makhiilah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu Bakar sering menjaganya, namun akhirnya sering melorot.
d. Perbedaan antara keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang membolehkan isbal dengan niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua :
- Abu Bakar selalu menjaga pakaiannya agar tidak melorot (isbal), sementara mereka melakukan isbal dengan sengaja dan menjadi satu kebiasaan.
- Yang menegaskan bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk orang yang sombong dalam berpakaian adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; sedangkan mereka tidak.
Hadits tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai berikut :
عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء لم ينظر الله عز وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم
Dari Zaid bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang dikenakannya yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah ini”. Aku berkata : “Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila engkau adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia pun mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambahkan : “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat lagi hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar kemudian bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu Bakar berkata : “Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang sombong)” [HR. Ahmad juz 2 nomor 6340].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits tersebut ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada kesempatan pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar. Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang bersamaan akan kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong sehingga beliau tetap menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya ? Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja melakukannya.
Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara mutlak (dengan lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :
عن بن عمر قال مررت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم قال زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abdullah, angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda lagi : “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka semenjak saat itu aku selalu menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar : “Sampai batas mana kain sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Sampai batas pertengahan kedua betis” [HR. Muslim nomor 2086].
Kata istirkhaa’ di sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan yang disegaja ? (walau dengan alasan tidak sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk membawa ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله لست ممن يصنعه خيلاء في رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang pakaiannya melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata : “Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (kepada Abu Bakar) adalah bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu menaikkannya, dia tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong, karena dia tidak melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu terkadang melorot lalu ia naikkan. Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….” [Al-Isbal li-Ghairi Khuyalaa’ halaman 23].
Hal yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.
10. Hadits Ummu Salamah (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhum.
حديث ابن عمر ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول الله : (( مَنْ جرّ ثوْبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة )) .
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Ummu Salamah berkata : “Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan para wanita di bagian belakang/bawahnya ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya ia memanjangkannya sejengkal”. Ummu Salamah menimpali : “Jika begitu, kaki mereka masih tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab : “Maka hendaknya mereka menambah sehasta dan tidak boleh lebih dari itu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan pakaian mereka) satu jengkal. Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi kami yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)” [HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas Bab Man Jarra Tsaubuhu Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal hadits khususnya bagian pertanyaan Ummu Salamah. Diriwayatkan juga secara sempurna oleh At-Tirmidzi Abwaabul-Libaas : Bab Maa Jaa-a fii Jarri Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223 nomor 1731 dan ia berkata : Hadits ini hasan shahih. Selengkapnya, lihat catatan kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin oleh Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah Al-Misykah halaman 14].
Hadits ini terdapat dalil tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh Masyhur menjelaskan sebagai berikut :
أنّه لو كان كذلك لما كان في استفسار أم سلمة عن حكم النّساء في جرّ ذيولهنّ معنى ، بل فهمت الزّجر عن الإسبال مطلقاً ، سواء كان عن مخيلة أم لا ، فسألت عن حكم النساء في ذلك لاحتياجهنّ إلى الإسبال من أجل ستر العورة ، لأن جميع قدمها عورة ، فبيّن لها : أن حكمهنّ في ذلك خارج عن حكم الرّجال في هذا المعنى فقط .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
“Bahwasannya apabila benar klaim mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu Salamah tidak akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang memanjangkan bagian bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah adalah bahwa isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena sombong. Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum wanita yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu dikarenakan seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keterangan bahwa hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Kesimpulannya, ada dua keadaan pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai pertengahan betis.
b. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata kaki (dan tidak boleh lebih).
Begitu pula bagi wanita ada dua keadaan :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari batas yang diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya : dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki).
b. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’) [Fathul-Baari 10/259]
Atas dasar inilah dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau setelahnya. [selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah].
11. Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu
عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi juz 2 halaman 290].
Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis sampai kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa minal- haqq (ini redaksi saya – Abul-Jauzaa’, sedangkan redaksi hadits : Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita pahami bahwa memanjangkan kain di bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa tidak ada setelah al-haqq itu melainkan kebathilan.
Hadits ini juga merupakan pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di situ tidak ada qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan kesombongan.
12. Hadits
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya” [HR. Ahmad nomor 17659; hasan lighairihi].
Pendalilan dari hadits ini bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghukumi Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada masalah rambut dan isbal. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan [لولا طول جمته وإسبال إزاره خيلاء] “jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya dengan sombong”. Sebab, jika yang dimaksud kesombongan di sini adalah kesombongan bathin, tentu adalah tidak mungkin beliau mengatakannya. Kesombongan jenis itu tidakmungkin dihukumi dari sekedar melihat rambut dan pakaian saja.
Kesimpulannya, hadits ini menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa kesombongan.
13. Atsar Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :
الازار إلى نصف الساق أو إلى الكعبين ، لا خير فيما هو أسفل من ذلك
“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)” [Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan sanad shahih].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam atsar tersebut terdapat dua kalimat, yaitu :
a. Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki.
b. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”
Kalimat pertama menunjukkan tentang batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua menunjukkan sisi hukum yang menyertai.
Di sini tidak ada qarinah bahwa kalimat { لا خير} “tidak ada kebaikan” dibatasi oleh alasan sombong. Bahkan itu umum, dengan dan tanpa sombong. Dan adalah menjadi aneh jika hadits tersebut dimaknakan dengan kesombongan, sehingga lafadh hadits tersebut ekuivalen dengan kalimat :
“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika disertai kesombongan”.
Jika memang makna di atas yang ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak berfungsi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dua keadaan ‘izar (kain sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu : 1) Sampai pertengahan betis, 2) Di bawah pertengahan betis sampai mata kaki. Di sinilah letak kebaikan. Di luar keadaan ini, maka tidak ada nisbah kebaikan. Jika ada orang yang menginginkan bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan pakaian di bawah mata kaki, maka dimana letak kebaikannya di sini ? Al-Jawab : "Tidak ada !". Tidak ada hukum yang bisa dibawa kepada keadaan ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata kaki/isbal dengan tidak sombong), kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua keadaan diperbolehkannya panjang ‘izar (kain sarung).
Wallaahu a'lam.
Comments
Assalamu alaikum y said,,, pertanyaan saya adalah,, bagaimana hukumnya kalau seandainya saya melipat/menggulung celana saya karena isbal?? syuqron wassalam
ustadz,
kan ini adalah perselisihan pendapat yg biasa terjadi diantara ulama islam. nich saya kirimin artikel yg menjelaskan secara detail juga tentang khilafiyyah dalam isbal. Bahkan didalam artikel ini dijelaskan bhw ulama2 yg menjadi rujukan utama salafi-pun telah membolehkan isbal, seperti : imam ahmad bin hambal dan syaikh ibnu taimiyyah. nich sumbernya dari ust. farid nu’man :
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/108
semoga menjadi pelajaran dan nasehat bagi antum….
@Taufiq,....maaf baru kali ini direspon. Pada asalnya tidak mengapa. Namun, apa salahnya jika celana kita langsung kita potong sehingga tidak perlu repot-repot lagi untuk memotongnya ?
********
@Anonim,..... benar. Ini memang khilaf di antara ulama. Jumhur ulama mengatakan tidak haram asalkan tidak disertai kesombongan, sedangkan sebagian ulama mengatakan haram secara mutlak.
Saya sedang tidak membahas hukum isbal secara menyeluruh beserta pendapat-pendapat yang beredar. Lha wong judulnya saja : Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal. Harap antum pahami...
Adapun link yang antum berikan, maka saya ucapkan terima kasih. Namun jika niat antum adalah mencari kebenaran, maka silakan bandingkan antara tulisan di atas dengan tulisan yang antum link-an tersebut. Silakan timbang-timbang mana yang lebih raajih dengan melihat dalil-dalil yang ada.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah kepada kita semua....
Ustadz, saya ketemu artikel yang menarik tentang isbal:
http://rendyasylum.wordpress.com/2011/01/11/hukum-isbal
Jika ada kesempatan bisakah ditelaah? Syukran.
saya perhatikan di foto-foto banyak syaikh-syaikh dan para pemimpin di Arab Saudi sana kain rompinya atau bahkan gambisnya melebihi mata kaki. itu bagaimana ya, yang mentafwakan kok juga melanggar?
Anda harus cermat,... tidak semua orang Saudi satu suara tentang masalah isbal. Termasuk ulamanya.
Dan satu lagi,... di Saudi itu juga banyak orang awamnya meskipun memakai gamis putih dan peci putih.
di arab sono kan dulu juga ada abu jahal, abu lahab, abdulloh bin saba' ...
kalo masalah agama, tentu kita ikut apa kata Alloh Ta'ala, apa kata Rosul kita, dan bagaimana salafus sholeh... syukron artikelnya ustadz... jelas banget, tapi.. terasa nonjok banget buat sebagian orang... padahal hadits ya ustadz...
"Adapun gugatan terhadap penggunaan kaidah ini, yakni klaim bahwa dalam kasus Isbal, hukum dan Sababnya berbeda dengan mengatakan; untuk Isbal hukumannya adalah Neraka sementara meyeret pakaian hukumannya adalah tidak dilihat Allah. Oleh karena Sabab dan Hukumnya berbeda maka kaidah maka;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf yang membuat hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal. Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman (العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai kesombongan."
Bagaimana tanggapan ustadz ?
Yang menjadi perbedaan hukum adalah bukan isbal dan menyeretnya, akan tetapi keberadaan kesombongannya. Isbal haram secara mutlak, dan kemudian jika ia dilakukan dengan kesombongan, maka hukumannya lebih berat dari yang pertama. Inilah maksudnya.
Hukum yang dimaksud di situ bukanlah sebatas pengertian wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah; akan tetapi lebih dari itu. Misalnya ayat :
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku" [QS. Al-Maaidah : 6].
dengan :
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
"Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu" [QS. Al-Maaidah : 6].
Dua ayat di atas sebabnya satu, yaitu keinginan melaksanakan shalat dengan adanya hadats; namun hukum keduanya beda. Yang pertama, yaitu dalam wudlu, adalah membasuh tangan. Adapun yang kedua, yaitu tayammum, adalah menyapu tangan. Maka menurut ulama ushul yang seperti ini tidak dapat diterapkan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad.
Itu pertama.
Kedua,.. terdapat banyak hadits yang menghalangi penerapan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad tersebut. Antara lain :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عَمْرَو بْنَ الشَّرِيدِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فِي أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ قَالَ فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ وَتَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ قَالَ وَلَمْ يُرَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَّا وَإِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ حَتَّى مَاتَ
Telah menceritakan kepada kami Rauh : Telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Maisarah : Bahwasannya ia pernah mendengar ‘Amr bin Syariid menceritakan dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqiif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakan orang tersebut. Lalu beliau bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua lututnya seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [Al-Musnad, 4/390].
Silakan baca beberapa faedah yang ada dalam hadits di atas di artikel :
Beberapa Faedah Hadits ‘Amru bin Syariid tentang Pengharaman Isbaal.
Wallaahu a'lam.
NB : Masalah hukum isbal merupakan khilaf mu'tabar yang dibicarakan para ulama kita semenjak dulu.
Tentang riwayat yang dikatakan menunjukkan sifat pakaian Abu Bakr :
الطبقات الكبرى (3/ 188)
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm 1288)
Maka sanad riwayat ini sangat lemah karena keberadaan Al-Waqidiy, seorang yang matruuk.
Ustadz bagaimana dengan kedua atsar sahabat ini ?
"Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Isbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki. Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash. Menafsirkan Isbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)
عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya“
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbal yang melebihi mata kaki. Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri. Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya."
(Afwan kalo ini doble post..)
Maaf ustadz ana nanya2.. soalnya ana kesulitan membawa pemahaman kedua atsar diatas (kalo shahih) pada pengharaman isbal tanpa sombong..
Tentang atsar Ibnu Mas'uud, maka itu tidak bisa menjadi dalil kebolehan isbal. Ibnu Mas'uud melakukan isbal karena untuk menutupi cacatnya, dan itu boleh. Pembolehan ini dengan adanya sebab, seperti misal pembolehan salah seorang shahabat memasang emas di hidungnya yang cacat. Padahal, emas dilarang dipakai oleh laki-laki. Apakah dengan riwayat ini akan dikatakan bahwa emas boleh hukumnya dipakai laki-laki secara mutlak ?.
Riwayat Ibnu 'Abbaas yang dibawakan Ath-Thabaraaniy (9/89) adalah lemah karena faktor Syariik bin 'Abdillah Al-Kuufiy, seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
Adapun riwayat Ibnu 'Abbaas yang terdapat dalam As-Sunan Al-Kubraa selengkapnya berbunyi :
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ إِذَا اتَّزَرَ، أَرْخَى مُقَدَّمَ إِزَارِهِ، حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمِهِ، وَيَرْفَعَ الإِزَارَ مَمَا وَرَاءَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: لَمْ تَتَّزِرُ هَكَذَا؟ قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّزِرُ هَذِهِ الأَزْرَةَ "
Bahwasannya Ibnu 'Abbaas apabila memakai sarung, ia menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh belakang kakinya. Dan ia mengangkat kain sarung yang di belakangnya. Aku katakan kepadanya : "Mengapa engkau mengenakan seperti itu ?". Ibnu 'Abbaas menjawab : "Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenakan kain sarung ini (seperti yang aku kenakan)".
Perhatikan riwayat tersebut. Perkataan bahwa ujung sarung Ibnu 'Abbaas menyentuh belakang kakinya itu makna bukanlah isbal, akan tetapi ia masih sebatas mata kaki. Makna itu sangat memungkinkan. Bagaimana bisa ditafsirkan bahwa sifat sarung Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah mata kaki, sementara Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah :
هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
“Ini (yaitu pertengahan betis) adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].
wallaahu a'lam.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...
ustd, sata mendapatkan pada salah satu artikel dengan teks :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbal dan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 85)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisah Isbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “ (H.R.Ibnu Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. Artinya Isbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbal beliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwa Isbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam larangan Isbal karena sombong.
bagaimana tanggapan ustd dengan hadist ini?, krn penulis menjadikan hadist tersebut sebagai dalil bahwa isbal itu hukumnya mubah
jazaakallahu khairan
Tentang hadits Abu Bakrah sudah dijawab oleh Ust. Firanda di http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/273-isbal-no-apa-sih-susahnya-wong-tinggal-ninggikan-celana-sedikit-kan-masih-tetap-keren
Hal tersebut termasuk ketidaksengajaan sebagaimana hadits Abu Bakar (tepatnya Ibnu Umar)
= 1 =
tentang perkataan nabi terhadap abu bakar yang melorot celananya: "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan"
kalau misalkan illat larangannya adalah isbal secara dzatnya, bukankah yang lebih tepat bagi nabi untuk mengatakan kepada abu bakar: "ikatlah celanamu sehingga ia tidak isbal" atau "potonglah celanamu, sehingga kalaupun melorot, maka tidak isbal"... akan tetapi yang dikatakan nabi adalah "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan".
secara nyatanya kita demikian kan? kalau misalkan kita dapati seorang yang -pada asalnya atau pada awal pakai celana yg- tidak isbal, kemudian sering melorot (sehingga ia isbal)... maka bukankah nasehat kita kepadanya untuk memotong, atau untuk mengikatnya sehingga tidak melorot?
maka jelas sekali hadits diatas mengutarakan kepada kita illat larangannya. yaitu "dengan kesombongan", bukan semata-mata hanya karena "isbal"-nya.
adapun "fa innaha minal makhiilah", maka telah berlalu penjelasan jumhur tentang makna "min" dalam makhiilah tersebut.
= 2 =
Adapun tentang perkataan syaikh utsaimin, yang menyatakan dalam hal ini ada "dua hukum, karena ada perbedaan sangsi"
maka ini jelas keliru. dua hadits tersebut hukumnya sama; sama-sama melarang.
yang dilihat bukan sangsinya, tapi hukum perbuatannya.
sabda beliau "maka tidak dilihat Allaah, tidak disucikan, dan baginya adzab yang pedih", dan sabda beliau: "apa-apa yang berada dibawah mata kaki dari kain, maka tempatnya dineraka" maka ini adalah HUKUMAN, bukan HUKUM. Adapun dari sisi hukum, maka hukumnya SAMA, yaitu haram. maka tidak tepat mengatakan hal ini "dua hukum" hanya karena "beda sangsi"; kalau dikatakan "dua hukum" maka hukum apa saja? halal dan haram? makruh dan haram?!
maka jelas, ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat, BUKAN HUKUM (الحُكْمُ) DALAM PEMBAHASAN Muthlaq-Muqoyyad... Akan tetapi ia adalah hukuman (العقوبات).
Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, BUKAN HUKUM ITU SENDIRI.
maka jelas hukumnya cuma satu, yaitu haram. dan yang membedakan keduanya adalah
- yang satu haditsnya muthlaq (tanpa ada keterkaitan kesombongan),
- yang satu lagi muqayyad (dengan keterkaitan kesombongan).
dan telah kita ketahui bahwa hadits muthlaq harus dibawa kepada muqayyad. menandakan, bahwa keduanya satu hukum, yaitu haram; dengan dikaitkan kepada sesuatu yang mengaitkannya yaitu "karena kesombongan"
=3=
Kemudian juga,
Disatukannya lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dengan lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal secara mulak.
Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama.
artinya...
lafadz;
"Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"
Menjelaskan lafadz;
"apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka"
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong.
Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ } [لقمان: 19]
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman;19)
lafadz;
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai
Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
lunakkanlah suaramu; Yang mana ini melarang bersuara keras.
Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua hal (yang terpisah), karena lafadz kedua hal tersebut saling menerangkan, yang mana lafazh yang kedua membuat lebih jelas lafadz sebelumnya.
Tambahan lagi; petunjuk nabi untuk menaikkan pakaian setinggi tengah betis dalam riwayat2 di atas lebih dekat dengan maksud syariat dengan melihat nash2 yang muqoyyad bahwa maksud Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam adalah petunjuk bagi mereka yang berisbal karena sombong.
(faidah dari ustadz abu haura muafa)
Alhamdulillah dapat artikel ini.. Sangat membantu terutama dari komentar komentar nya.. Maaf saya awam dan sangaat sanggat miskin ilmu.. Namun dengan adanya ulasan ini mampu menjawab keragu raguan saya.. Intinya JANGAN SOMBONG.. Karna org sombong lah yg pasti akan masuk neraka.. Mau dia isbal atau tisak isbal jika ada sebijj dzahrah kesombongan pd dirinya maka dia lah penghuni neraka.. Na'udzubillah.. Ulasan ini sangat membantu agar tidak memandang remeh muslim lain.. Menurut saya isbal atau non isbal qt tetep 1 yaitu saudara sesama MUSLIM.. Jd jgn ributkan mslh ini hingga membenci saudara sesamanya.. Dan jangan mengharamkan dan mengatakan telah melakukan doaa besar kepada muslim lainnya krna beda pemahaman.. Hindarkanlah perdebatan..
Tambahan: Kesamaan di dalam hukuman tidak mengharuskan kesamaan di dalam konsekuensi hukum bagi pelaku, Contohnya: Orang yang meninggalkan sholat dikumpulkan bersama Haman dan tokoh-tokoh kafir lainnya, padahal tidak ada kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang meninggalkan sholat, artinya status pelakunya beda, namun hukumannya bisa disamakan.
Kemudian mencermati hadits Ibnu Umar, yang nampak bahwa yang dimaksud orang yang tidak melakukannya karena sombong adalah adanya sebab yang menghalangi selama sebab itu bukan sebab yang tidak dibenarkan oleh Nabi,bukan tanpa sebab dan buktinya ada hadits bahwa isbal itu sendiri termasuk kesombongan.
Adapun perbuatan Nabi, maka ada kaidah bahwa jika berbeda antara ucapan dan perbuatan Nabi, maka yang diambil adalah perkataan, sebab perbuatan Nabi bisa merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu alaihi wasllam.
Intinya tidak isbal itu sunnah yang sebaiknya diikuti, namun tidak sampai derajat haram, wallahu a'lam.
Demikian, semoga bermanfaat.
Posting Komentar