Benarkah Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy Seorang Mufawwidlah ?


Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq Al-‘Afifiy rahimahullah pernah berkata ketika ditanya sebagian perkataan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul-I’tiqaad :

“Madzhab salaf adalah tafwidl dalam kaifiyyah shifat. Bukan dalam makna. Ibnu Qudamah telah keliru dalam Lum’atul-I’tiqaad, dan ia berpendapat tafwidl. Akan tetapi, madzhab Hanabilah selalu ber-ta’ashub (fanatik) kepada sesama madzhab Hanabilah. Oleh karena itu, ada sebagian syaikh yang ber-ta’ashub dalam membela Ibnu Qudamah. Padahal yang benar adalah Ibnu Qudamah merupakan seorang mufawwidlah”.[1]

Perkataan beliau rahimahullah yang menyatakan bahwa madzhab salaf adalah tafwidl dalam kaifiyyah shifat (Allah) - bukan dalam makna - adalah benar. Hal itulah yang sangat jelas dipahami dari perkataan para imam semisal Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah :

كل ما وصف الله تعالى به نفسه في القرآن فقراءته؛ تفسيره لا كيف، ولا مثل

“Semua yang Allah ta’ala shifatkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an, maka bacaannya adalah tafsirnya; tanpa perlu menanyakan bagaimana dan membuat permisalan-permisalan bagi-Nya”.

[2]

Hal yang serupa didapatkan pada perkataan Al-Imam Malik bin Anas yang masyhur tentang shifat istiwaa’ :

الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

Kaifiyah-nya (bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk mengetahuinya), namun istiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (= maksudnya : maknanya telah jelas). Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah”.[3]

Adapun tafwidl makna, maka ini sama sekali tidak dikenal di kalangan as-salafush-shaalih. Terlebih lagi di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum bukanlah orang-orang yang bodoh (tidak mengerti) akan makna ayat-ayat shifat, sebab Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling ‘alim di antara umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adalah mustahil jika mereka tidak mengetahui sama sekali makna yadd (tangan), wajh (wajah), qadam (kaki), istiwaa’ (bersemayam), nuzuul (turun), dan yang lainnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah; padahal di sisi mereka ada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana Allah berfirman tentang diri beliau :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur'an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [QS. An-Nahl : 44].

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mencela keras orang-orang Mufawwidlah dan yang mengklaim bahwa ‘aqidah tafwidl (dalam makna) merupakan ‘aqidah as-salafush-shaalih dengan perkataannya :

وأما الصنف الثالث ـ وهم ‏[‏أهل التجهيل‏]‏ ـ فهم كثير من المنتسبين إلى السنة، واتباع السلف، يقولون‏:‏ إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعرف معاني ما أنزل اللّه إليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني الآيات، ولا السابقون الأولون عرفوا ذلك‏.‏

وكذلك قولهم في أحاديث الصفات‏:‏ إن معناها لا يعلمه إلا اللّه، مع أن الرسول تكلم بها ابتداءً

“Adapun golongan yang ketiga, yaitu Ahlut-Tajhil (orang-orang bodoh), mereka banyak berasal dari kalangan orang-orang yang menisbatkan diri kepada sunnah dan mengikuti salaf. Mereka berkata : ‘Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui makna-makna dari ayat-ayat shifat yang Allah turunkan kepadanya. Malaikat Jibril juga tidak mengetahui makna ayat-ayat tersebut. Dan, para pendahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam (dari kalangan shahabat) juga tidak mengetahui hal itu’. Demikian pula perkataan mereka tentang hadits-hadits shifat, bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah, walaupun Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali mengucapkannya…”.[4]

وأما التفويض : فإن من المعلوم أن الله – تعالى – أمرنا أن نتدبر القرآن، وحضنا على عقله وفهمه؛ فكيف يجوز مع ذلك أن يُراد منا الإعراض عن فهمه، ومعرفته، وعقله

”Adapun tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah), sesungguhnya telah diketahui bahwa Allah ta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal, memahami dan memikirkan ?”.

Hingga beliau berkata dengan tegas dalam permasalahan ini :

فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد

”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti As-Sunnah dan As-Salaf adalah seburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad”.[5]

Kembali pada permasalahan awal yang ingin diperbincangkan, apakah Ibnu Qudamah seorang Mufawwidlah ?

Permasalahan yang diperselisihan dalam hal ini adalah apa yang ternukil dari beliau rahimahullah dalam kitab Lum’atul-I’tiqaad, dimana beliau berkata :

وكلُّ ما جاءَ في القرآنِ أو صَحَّ عنِ المصطفى عليه السلامُ منْ صفاتِ الرحمنِ وَجَبَ الإيمانُ بِهِ وتَلَقِّيهِ بالتَّسْليمِ والقَبُولِ، وتَرْكِ التَّعَرُّضِ لَهُ بالرَّدِّ والتَّأْويلِ، والتَّشْبِيهِ والتَّمْثِيلِ. وما أَشْكَلَ مِنْ ذلك وَجَبَ إثْباتُه لفْظا، وتَرْكُ التَّعَرُّضِ لِمعْناه، ونرُدُّ عِلْمَه إلى قائله، ونجعلُ عُهْدَتَهُ على ناقِلِه، ....

”Setiap ayat yang ada di dalam Al-Qur’an atau hadits yang benar riwayatnya dari Al-Mushthafa (yaitu Rasulullah) shallallaahu ’alaihi wa sallam tentang shifat-shifat Allah yang Maha Pengasih, maka wajib mengimaninya dan menerimanya dengan sikap tunduk dan pasrah, serta meninggalkan sikap penentangan terhadapnya. Baik penentangan tersebut dengan penolakan (radd), ta’wil, tasybih, dan tamtsil. Sedangkan hal-hal yang tidak dimengerti dari shifat-shifat Allah tersebut, maka wajib menetapkannya secara lafadh dan tidak menentangnya, serta menyerahkan maknanya kepada yang memberitakannya (yaitu Allah dan Rasul-Nya). Kemudian merasa memiliki tanggung jawab untuk menyampaikannya kepada umat sesuai dengan nashnya.....”.

Perkataan Ibnu Qudamah : ”wajib menetapkannya secara lafadh dan tidak menentangnya, serta menyerahkan maknanya kepada yang memberitakannya (yaitu Allah dan Rasul-Nya)” inilah yang kemudian menimbulkan polemik.

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah telah menjelaskan perkataan Ibnu Qudamah ini :

واما كلام صاحب اللمعة فهذه الكلمة مما لوحظ في هذه العقيدة، وقد لوحظ فيها عدة كلمات أخذت على المصنف، إذ لا يخفى ان مذهب أَهل السنة والجماعة هو الايمان بما ثبت في الكتاب والسنة من أَسماء الله وصفاته لفظًا ومعنى، واعتقاد أَن هذه الأَسماءَ والصفات على الحقيقة لا على المجاز، وأَن لها معاني حقيقة تليق بجلال الله وعظمته. وادلة ذلك أَكثر من أَن تحصر. ومعاني هذه الأَسماء ظاهرة معروفة من القرآن كغيرها لا لبس فيها ولا اشكال ولا غموض، فقد أخذ أَصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عنه القرآن ونقلوا عنه الأَحاديث لم يستشكلوا شيئًا من معاني هذه الآيات والأَحاديث لأَنها واضحة صريحة، وكذلك من بعدهم من القرون الفاضلة، كما يروى عن مالك لما سئل عن قوله سبحانه: (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) (222) قال: الاستواءُ معلوم، والكيف مجهول والايمان به واجب، والسؤال عنه بدعة. وكذلك يروى معنى ذلك عن ربيعة شيخ مالك، ويروى عن أُم سلمة مرفوعًا وموقوفًا.
أما كنه الصفة وكيفيتها فلا يعلمه إلا الله سبحانه، إذ الكلام في الصفة فرع عن الكلام في الموصوف، فكما لا يعلم كيف هو -إلا هو- فكذلك صفاته. وهو معنى قول مالك: والكيف مجهول.
أَما ما ذكره في ((اللعمة)) فانه ينطبق على مذهب المفوضة وهو من شر المذاهب واخبثها. والمصنف رحمه الله إمام في السنة ومن أَبعد الناس عن مذهب المفوضة وغيرهم من المبتدعة. والله أَعلم. وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم.

”Adapun perkataan penyusun kitab Lum’atul-I’tiqaad (yakni : ”wajib menetapkannya secara lafadh”), maka perkataan ini harus diperhatikan dan diteliti karena berkaitan dengan ’aqidah. Di dalam perkataan ini terdapat kekeliruan dalam perkataan beliau. Dimana tidak samar lagi bahwa madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah beriman terhadap apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berupa nama-nama Allah, baik secara lafadh maupun maknanya. Dan meyakini bahwa nama-nama dan shifat-shifat Allah merupakan perkara yang hakiki, dan bukan ungkapan secara majaz. Dan juga nama-nama Allah dan shifat-shifat-Nya memiliki makna-makna yang hakiki pula sesuai dengan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya. Sedangkan dalil-dalil dalam masalah ini terlalu banyak untuk dibatasi.

Dan makna-makna dari nama-nama Allah tersebut sangat jelas dan bisa diketahui dari Al-Qur’an, sebagaimana masalah yang lainnya. Tidak ada kesamaran, kekaburan, dan ketidakjelasan. Sungguh para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menerima Al-Qur’an dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan mereka telah menukil hadits dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam tanpa mereka mengalami ketidakjelasan sedikitpun dari makna ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut, karena semuanya sudah terang dan jelas. Demikian pula orang-orang setelah generasi yang utama ini (yaitu tabi’in dan tabi’ut-tabi’in), sebagaimana diriwayatkan dari Malik (bin Anas) rahimahullah ketika beliau ditanya tentang firman Allah ta’ala : ”Ar-Rahman ber-istiwaa’ di atas ’Arsy” (QS. Thaha : 5). Maka beliau pun menjawab : ”Al-Istiwaa’ adalah perkara yang telah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimana hakekatnya tidaklah diketahui, beriman kepadanya (shifat istiwa’) itu wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”. Demikian pula yang diriwayatkan semakna dengan itu Rabi’ah, guru dari Malik, dan dari Ummu Salamah secara marfu’ maupun mauquf.

Adapun hakekat dari shifat Allah dan bagaimana keadaan sebenarnya dari shifat tersebut, maka tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah subhaanhu (wa ta’ala). Dimana perbincangan tentang masalah shifat merupakan cabang dari pembicaraan tentang sesuatu yang dishifati itu. Maka sebagaimana tidak ada yang mengetahui hakekat Allah kecuali Allah sendiri, demikian pula terhadap shifat-shifat-Nya. Dan ini merupakan makna dari perkataan Malik : ”Sedangkan kaifiyah (bagaimana hakekat)-nya tidak diketahui”. Adapun yang disebutkan dalam kitab Al-Lum’ah, maka ini menyamai madzhab Al-Mufawwidlah. Dan ini merupakan sejelek-jelek dan seburuk-buruk madzhab. Akan tetapi penulis kitab ini (yaitu Ibnu Qudamah) – semoga Allah merahmatinya – merupakan seorang imam di dalam sunnah, orang yang sangat jauh dari madzhab Al-Mufawwidlah dan selain mereka dari kalangan ahlul-bid’ah. Allah-lah Dzat yang Maha Mengetahui. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga beliau, dan para shahabatnya”.[6]

Dari penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah di atas dapat dipahami bahwa sisi kesamaan dengan madzhab Al-Mufawwidlah adalah dalam kesamaan lafadh perkataan beliau saja. Bukan dari segi hakekat ’aqidah beliau. ’Aqidah beliau bukanlah tafwidl makna terhadap shifat Allah. Hal ini nampak dalam perkataan beliau (Ibnu Qudamah) yang lain dalam kitab Lum’atul-I’tiqaad :

فهذا وما أشْبَهَهُ مِمّا صَحَّ سَنَدُهُ، وعُدِّلَت رُوَّاتُه، نُؤْمِنُ بِهِ، ولا نَرُدُّهُ، ولا نَجْحَدُهُ، ولا نَتَأَوَّلُهُ بِتَأْوِيلٍ يُخالِفُ ظاهِرَه، ولا نُشَبِّهُهُ بصفاتِ المخلوقين، ولا بِسِماتِ المُحْدِثِينَ، ونعلَمْ أنَّ اللهَ سبحانَه وتعالى لا شبيهَ لَهُ، ولا نظيرَ {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ} [الشورى:11]،.....

”Hadits-hadits tersebut di atas dan yang sejenisnya dari riwayat-riwayat yang shahih sanadnya dan terpuji para periwayatnya, harus kita imani dan tidak boleh menolaknya maupun menentangnya. Dan tidak pula men-ta’wil-nya dengan ta’wil-an yang menyelisihi dhahirnya, maupun menyerupakan dengan shifat-shifat dan bentuk-bentuk dari makhluk. Sedangkan kita mengetahui bahwa Allah subhaanahu (wa ta’ala) tidak ada yang serupa dan sebanding dengannya”. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

فَهَذَا وَمَا أشْبَهَهُ مِمَّا أَجْمَعَ السَّلَفُ رَحِمَهم اللهُ على نَقْلِهِ وقَبُولِهِ ولم يَتَعَرَّضُوا لِرَدِّهِ ولا تَأْوِيلِهِ ولا تَشْبِيهِهِ ولا تَمْثِيلِه. سُئِلَ الإمامُ مالك بنُ أنسٍ رَحمه اللهُ فَقِيلَ: يا أبَا عبدِ الله {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه:5] كيْف استوى؟ فقال: الاسْتِواءُ غيْرُ مجهولٍ، والكيْفُ غيْرُ معْقولٍ، والإيمانُ به واجبٌ والسُّؤالُ عنْه بدعةٌ، ثُمّ أَمَرَ بالرَّجُلِ فأُخْرِجَ

Para salaf rahimahumullah telah ber-ijma’ atas semua shifat ini. Mereka mengambilnya, menerimanya, tidak menampakkan penolakan terhadapnya, tidak men-takwil-nya, tidak men-tasybih-nya, dan tidak pula men-tamtsil-nya. Al-Imam Malik bin Anas pernah ditanya : ”Wahai Abu ’Abdillah, Ar-Rahman ber-istiwaa’ di atas Al-’Arsy (QS. Thaha : 5); lantas bagaimana (cara) ber-istiwa’ Allah itu ?”. Maka beliau menjawab : ”Istiwaa’ itu bukanlah hal yang tidak diketahui[7], sedangkan bagaimana hakekatnya tidaklah diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, serta menanyakannya adalah bid’ah”. Kemudian orang tersebut diperintahkan untuk diusir dari majelis Al-Imam Malik” [selesai].[8]

Bagaimana beliau dikatakan sebagai seorang Mufawwidlah jika ’aqidah beliau dalam shifat Allah adalah sebagaimana ’aqidah Al-Imam Malik rahimahullah ? Apalagi beliau mempunyai karya tulis yang menetapkan shifat Al-’Ulluw bagi Allah ta’ala (yaitu kitab : Itsbaatu Shifaatil-’Ulluw – Maktabah ’Uluumil-Qur’an, Cet. 1, Thn. 1/1409 H) yang berselisihan dengan ’aqidah Al-Mufawwidlah.

Adapun kemungkinan yang Ibnu Qudamah maksud pada perkataannya : ”Sedangkan hal-hal yang tidak dimengerti dari shifat-shifat Allah tersebut, maka wajib menetapkannya secara lafadh dan tidak menentangnya, serta menyerahkan maknanya kepada yang memberitakannya (yaitu Allah dan Rasul-Nya)” ; adalah jika ada seseorang yang memang benar-benar sulit untuk memahami sebagian nash tentang shifat Allah – karena kemungkinan keterbatasan ilmu yang ia miliki - , maka ia tidak boleh menolaknya dengan tetap mengimaninya dan menyerahkan semuanya itu kepada Allah ta’ala.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan perkataan Ibnu Qudamah dimaksud :

تنقسم نصوص الكتاب والسنة الواردة في الصفات إلى قسمين:

1- واضح جلي.

2-ومشكل خفي.

فالواضح: ما اتضح لفظه ومعناه، فيجب الإيمان به لفظاً، وإثبات معناه حقاً بلا رد ولا تأويل، ولا تشبيه ولا تمثيل، لأن الشرع ورد به فوجب الإيمان به، وتلقيه بالقبول والتسليم.

وأما المشكل: فهو مالم يتضح معناه لإجمال في دلالته، أو قصر في فهم قارئه فيجب إثبات لفظه لورود الشرع به، والتوقف في معناه وترك التعرض له لأنه مشكل لا يمكن الحكم عليه، فنرد علمه إلى الله ورسوله.

”Nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berkaitan dengan shifat-shifat Allah terbagi menjadi dua :

1. Nash-nash yang terang dan jelas.

2. Nash-nash yang samar maknanya dan tersembunyi.

Adapun nash-nash yang terang dan jelas adalah nash yang lafadh dan maknanya sangat jelas untuk dimengerti, maka wajib mengimani lafadhnya dan menetapkan maknanya secara hakiki dengan tanpa ada penolakan (ar-radd), ta’wil, tasybih, dan tamtsil. Karena syari’at ini telah menetapkannya, maka wajib untuk beriman kepadanya dan mengambilnya dengan sikap menerima dan tunduk.

Adapun nash-nash yang samar adalah nash yang belum jelas maknanya karena dalilnya umum atau karena pendeknya pemahaman orang yang membacanya. Maka dalil-dalil yang seperti ini wajib ditetapkan lafadhnya, karena syari’at telah menetapkannya. Kemudian diam (dan tidak berkomentar) terhadap maknanya dan meninggalkan sikap penentangan terhadapnya. Karena dalil-dalil tersebut samar maknanya yang tidak memungkinkan penetapan hukum terhadapnya, maka kita kembalikan pengetahuannya kepada Allah dan Rasul-Nya” [selesai].[9]

Dengan keterangan di atas, maka tertolaklah tuduhan terhadap Ibnu Qudamah sebagai seorang Mufawwidlah. Menetapkan tuduhan itu termasuk kedhaliman terhadap beliau rahimahullahu ta’ala.

Semoga hal ini dapat bermanfaat untuk menjawab sebagian artikel yang terpasang di internet (baik yang berbahasa Arab, Inggris, dan Indonesia) mengenai ’aqidah Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah.

Hanya kepada Allah-lah kita meminta, dan hanya kepada Dia-lah kita memohon pertolongan.

Abul-Jauzaa’, Ciomas Permai, 8 Rabi’ul-Awwal 1430 H.


[1] Fataawaa wa Rasaail, oleh Samahatusy-Syaikh ‘Abdurrazzaq Al-‘Afifiy rahimahullah, 1/153-154.

[2] Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/436; tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411.

[3] Idem, 2/398.

[4] Majmu’ Al-Fataawaa, oleh Syaikhul-Ilam Ibnu Taimiyyah, 5/34.

[5] Lihat selengkapnya dalam Dar’ut-Ta’arudl Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 – dinukil melalui perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan nomor 40.

[6] Maktabul-Ifta’, no. 328, tanggal 28-7-1385 H; Mausu’ah Fataawaa wa Rasaail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim – Maktabah Ruuhul-Islam (http://www.islamspirit.com).

[7] Maksudnya, maknanya diketahui.

[8] Dinukil melalui perantaraan Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Asy-Syaikh Shaalih bin ‘Abdil-‘Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah.

[9] Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin – Maktabah Al-Misykah.

Comments

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum,

kiranya kalau ada waktu Abul Jauzaa bisa membahas mengenai tauhid asma' wa shifat terkhususnya masalah tafwidh.

bagaimanapun juga banyak antara acuan salaf dan as asyairiyah sama. Misal kita memakai Al Uluw mereka juga menggunakan Al Uluw akan tetapi kesimpulan berbeda. Oleh karena itu mungkin bisa membuat semacam ebook kecil untuk menjelaskan :
1. misal ada ulama yang mengatakan tafwidh ala ma'na maksudnya apa
2. atau menyerahkan makna dan semisal karena sepertinya banyak ulama yang menuliskan demikian (misal Ad Dzahabi dalam Siyah Alam Nubala sepanjang saya ketahui)

semoga hal itu bisa menjadi pegangan untuk yang lainnya

Anonim mengatakan...

salam..
maaf akh..
apa makna tafwidh??

Anonim mengatakan...

yang dimaksud tafwidh disini menyerahkan arti kata/makna dan bagaimana-Nya sekaligus (arti dan bagaimana-Nya tidak diketahui)

Anonim mengatakan...

seperti Alif laammiim...bgitu kah maksud tafwidh..arti dan maknanya tidak diketahui?