Hadits-Hadits Dla’if yang Terdapat dalam Kitab At-Tauhid karya Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab


Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah adalah salah satu ‘ulama besar yang pernah dilahirkan di jamannya. Dikatakan, beliau adalah seorang mujaddid yang mengikuti pendahulunya – yaitu Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – dalam menegakkan kembali dakwah tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan bid’ah, khususnya di daerah Hijaz dan sekitarnya. Beliau rahimahullah adalah seorang ulama yang mempunyai pengetahuan yang luas. Banyak sudah karya tulis yang dilahirkan melalui pena yang beliau genggam. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ‘alal-‘Abiid. Dalam buku tersebut, beliau menjelaskan point-point ringkas dan padat tentang tauhid dan keutamaannya, serta hal-hal yang merusaknya dari perkara-perkara kesyirikan. Tidak ada seorang pun yang membacanya dengan hati terbuka, kecuali ia akan mendapatkan faedah yang sangat banyak dari kebenaran yang beliau sampaikan. Tidak lain, karena dalam buku tersebut dipenuhi dengan perkataan : qaalallaah wa qaalar-rasuul (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Namun, sebagaimana buku-buku yang lain, buku ini pun tidak lepas dari ‘kritikan’. Dalam buku tersebut masih termuat beberapa hadits dla’if – walau jumlahnya tidak banyak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mencoba mengumpulkan hadits-hadits tersebut berdasarkan penghukuman atau takhrij dan tahqiq para ‘ulama ahli hadits yang tersebar dalam beberapa kitab.. Harapan saya, apa yang saya tulis ini (semoga) dapat bermanfaat bagi para Pembaca; menambah faedah bagi mereka yang akan, sedang atau telah mempelajari Kitaabut-Tauhiid.

 

BAB 2 : KEISTIMEWAAN TAUHID DAN DOSA-DOSA YANG DIAMPUNI KARENANYA - فضل التوحيد وما يكفر من الذنوب

Muallif (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab) berkata :

وعن أبي سعيد الخدري عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "قال موسى: يا رب علمني شيئا أذكرك وأدعوك به. قال: قل يا موسى: لا إله إلا الله ; قال: يا رب كل عبادك يقولون هذا. قال: يا موسى لو أن السموات السبع وعامرهن غيري والأرضين السبع في كفة، ولا إله إلا الله في كفة، مالت بهن لا إله إلا الله". رواه ابن حبان والحاكم وصححه

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Musa berkata : “Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu”. Allah berfirman : “Katakanlah wahai Musa : Laa ilaaha illallaah”. Musa berkata : Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini”. Allah pun berfirman : ”Hai Musa, seandainya ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang ’Laa ilaaha illallaah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain; maka ’Laa ilaaha illallaah’ niscaya lebih berat timbangannya”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Haakim, dan ia menshahihkannya.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6218) dan Al-Mawaarid (no. 2324), serta Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (1/528). Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/327-328), An-Nasa’i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 834, 1141), Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat (102-103), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if karena perawi yang bernama Darraaj bin Sam’aan. Al-Imam Ahmad berkata : “Hadits-hadits Darraj dari Abu Al-Haitsam, dari Abu Sa’id Al-Khudriy adalah lemah”.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (9/54-55 no. 6185), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (1/718 no. 1988), dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban (no. 6218).

 

BAB 7 : TERMASUK SYIRIK; MEMAKAI GELANG, BENANG, DAN SEJENISNYA SEBAGAI PENGUSIR ATAU PENANGKAL MARA BAHAYA - من الشرك: لبس الحلقة والخيط ونحوهما لرفع البلاء أو دفعه

1.    Hadits ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

عن عمران بن حصين رضي الله عنه: "أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا في يده حلقة من صفر فقال: ما هذه؟ قال من الواهنة. فقال: انزعها، فإنها لا تزيدك إلا وهنا؛ فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا". رواه أحمد بسند لا بأس به

Dari ‘Imraan bin Hushain radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan. Maka beliau bertanya : “Apakah ini ?”. Orang itu menjawab : “Penangkal sakit”. Nabi pun bersabda : “Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Sebab jika kamu mati sedangkan gelang itu masih ada di tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad laa ba’sa bih (tidak mengapa/bisa diterima).

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (4/445), Ibnu Majah (no. 3531), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (18/172 no. 391), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6085) dan Al-Mawaarid (no. 1410-1411), serta Al-Haakim (4/216).

Sanad hadits ini dla’if karena :

a)    Adanya inqitha’ (keterputusan), karena Al-Hasan (Al-Bashriy) tidak mendengar hadits dari ‘Imran bin Hushain. Tashriih Al-Hasan dalam hadits di atas adalah tidak benar menurut Ibnul-Madini, Abu Hatim, dan Ibnu Ma’in.

b)    Adanya ’an’anah dari Al-Mubaarak bin Fudlaalah, sedangkan ia adalah seorang mudallis.

Hadits ini dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (8/448 no. 6053) dan Adl-Dla’ifah (3/101-104), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/341 no. 7582 – beliau menegaskan adanya inqitha’ dalam sanadnya), serta Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (33/2-4-205).

2.    Hadits ’Uqbah bin ’Aamir radliyallaahu ’anhu :

Muallif berkata :

وله عن عقبة بن عامر مرفوعا: "من تعلق تميمة فلا أتم الله له، ومن تعلق ودعة فلا ودع الله له" 

Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad pula, dari ’Uqbah bin ’Aamir secara marfu’ : “Barangsiapa menggantungkan tamiimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya. Dan barangsiapa menggantungkan wada’ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (4/154), Abu Ya’la (no. 1759), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6086) dan Al-Mawaarid (no. 1413), Al-Haakim (4/216), Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (4/325), serta yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena Khaalid bin ’Ubaid. Ia seorang perawi yang majhul ’ain.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqaatul-Hisaan (8/448-449 no. 6054) dan Adl-Dla’iifah (3/427 no. 1266) serta Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/579-580 no. 8358).

 

BAB 10 : MENYEMBELIH BINATANG DENGAN NIAT BUKAN KARENA ALLAH - ما جاء في الذبح لغير الله

Muallif berkata :

وعن طارق بن شهاب: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب. قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟ قال: مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئا، فقالوا لأحدهما: قرب. قال ليس عندي شيء أقرب. قالوا له: قرب ولو ذبابا. فقرب ذبابا، فخلوا سبيله. فدخل النار. وقالوا للآخر: قرب. فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئا دون الله ، فضربوا عنقه؛ فدخل الجنة" رواه أحمد.

Dari Thaariq bin Syihaab : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula”. Para shahabat bertanya : “Bagaimana hal itu wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari dua orang tersebut : ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Ia menjawab : ‘Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya’. Merekapun berkata kepadanya lagi : ‘Persembahkanlah, sekalipun seekor lalat’. Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankannya untuk meneruskan perjalanan. Maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain : ‘Persembahkanlah kurban kepadanya’. Dia menjawab : ‘Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah’. Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga”.

Diriwayatkan oleh Ahmad.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd (hal. 22), Ibnu Abi Syaibah (12/358) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/203).

Hadits yang benar adalah mauquf shahih pada Salmaan Al-Farisiy. Bukan marfu’ sebagaimana dikatakan oleh Muallif (Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab). Lihat Takhrij wa Tahqiq ’alaa Kitaab Al-Jawaabul-Kaafiy li-Ibnil-Qayyim oleh ’Amr bin ’Abdil-Mun’im Saliim (hal. 84-85).

 

BAB 14 : TERMASUK SYIRIK : ISTIGHTSAH ATAU BERDOA KEPADA SELAIN ALLAH - من الشرك أن يستغيث بغير الله أو يدعو غيره

Muallif berkata :

وروى الطبراني بإسناده "أنه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق يؤذي المؤمنين، فقال بعضهم: قوموا بنا نستغيث برسول الله صلى الله عليه وسلم من هذا المنافق، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: إنه لا يستغاث بي، وإنما يستغاث بالله".

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanadnya : ”Pernah terjadi di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada seorang munafiq yang selalu mengganggu orang-orang mukmin. Maka berkatalah salah seorang di antara mereka : ”Marilah kita bersama-sama ber-istighatsah kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam supaya dihindarkan dari tindakan orang munafiq ini. (Ketika mendengar khabar ini), Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah kepadaku, akan tetapi istighatsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (melalui perantaraan Majma’uz-Zawaaid no. 17276) dan Ahmad (5/317).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena :

1.    Ibnu Lahi’ah, ia seorang perawi yang dla’if dalam hafalan.

2.    Adanya perawi yang mubham (tersembunyi identitasnya) sebelum ’Ubadah bin Ash-Shaamit radliyallaahu ’anhu.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (37/380-381).

 

BAB 16 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. SABA’ : 23 - قول الله تعالى: {حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}

Muallif berkata :

وعن النواس بن سمعان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا أراد الله تعالى أن يوحي بالأمر تكلم بالوحي أخذت السموات منه رجفة - أو قال رعدة - شديدة خوفا من الله (؛ فإذا سمع ذلك أهل السموات صعقوا، وخروا لله سجدا. فيكون أول من يرفع رأسه جبريل، فيكلمه الله من وحيه بما أراد. ثم يمر جبريل على الملائكة، كلما مر بسماء سأله ملائكتها: ماذا قال ربنا يا جبريل؟ فيقول جبريل قال الحق وهو العلي الكبير فيقولون كلهم مثل ما قال جبريل فينتهي جبريل بالوحي إلى حيث أمره الله)

Dari Nawwaas bin Sam’aan radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Apabila Allah ta’ala hendak mewahyukan perintah-Nya, maka Dia firmankan wahyu itu, dan langit-langit bergetar dengan keras karena rasa takut kepada Allah. Lalu apabila para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut, pingsanlah mereka dan bersimpuh sujud kepada Allah. Maka malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril, dan ketika itu Allah firmankan kepadanya apa yang Dia kehendaki dari wahyu-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap dia melalui satu langit ditanyai oleh malaikat penghuninya : ’Apakah yang telah difirmankan Tuhan kita wahai Jibril ?’. Jibril menjawab : ’Dia firmankan yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Dan seluruh malaikat pun mengucapkan seperti yang diucapkan oleh Jibril tersebut. Demikianlah, sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang telah diperintahkan Allah”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (no. 206), Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah (no. 515), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/152), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena :

1.    Nu’aim bin Hammaad, ia seorang perawi yang jelek hafalannya. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqriib : ”Shaduuq, yukhthi’ katsiiran (jujur, namun banyak salahnya”.

2.    Al-Waliid bin Muslim. Ia seorang mudallis yang melakukan tadlis taswiyah dengan periwayatan secara ’an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah (hal. 226-227 no. 515) dan Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 359-360 no. 527).

 

BAB 21 : SIKAP BERLEBIHAN TERHADAP KUBURAN ORANG-ORANG SHALIH, AKAN MENJADIKANNYA SEBAGAI BERHALA YANG DISEMBAH SELAIN ALLAH - ما جاء أن الغلو في قبور الصالحين يصيرها أوثانا تعبد من دون الله

Muallif berkata :

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: "لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم زائرات القبور، والمتخذين عليها المساجد والسرج"  رواه أهل السنن.

Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan serta orang-orang yang membuat tempat ibadah dan memberi penerangan lampu di atas kuburan”.

Diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 320), An-Nasa’i (no. 2043), Abu Dawud (no. 3236), Ibnu Majah (no. 1575), Ahmad (1/229, 287, 324, 337), Ath-Thayaalisiy (no. 2733), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 12725), Al-Haakim (1/374), dan yang lainnya.

Hadits ini dla’if dengan lafadh di atas, dikarenakan ke-dla’if-an Abu Shaalih Baadzaan, Maula Umu Haanii’. Al-Haafidh berkata dalam At-Talkhiish (2/137) bahwa jumhur ’ulamaa menyatakan bahwa Abu Shalih Maula Ummu Haanii’ adalah dla’if (mudallis) dimana ia tidak mendengar hadits dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adl-Dla’iifah (1/393-396 no. 225), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (1/524 no. 1385), Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/471-472 no. 2030), Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (12/148), dan Dr. Muhammad bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy dalam Tahqiq ’alaa Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy (4/454 no. 2856).

 

BAB 24 : HUKUM SIHIR - ما جاء في السحر

Muallif berkata :

وعن جندب مرفوعا: "حد الساحر ضربه بالسيف"  رواه التزمذي،

Dari Jundab secara marfu’ : ”Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal lehernya dengan pedang”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1464), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (no. 1665), Ad-Daaruquthniy (3/114), Al-Haakim (4/360) dan Al-Baihaqi (8/136).

Sanad hadits ini adalah dla’if. Hadits ini mempunyai dua jalan.

Jalan pertama dari Isma’il bin Muslim Al-Makkiy, dari Al-Hasan Al-Bashriy, dari Jundab. Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sangat dla’if. Adz-Dzahabi mengatakan dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin bahwa ia merupakan perawi yang disepakati ke-dla’if-annya.

Jalan kedua dari Khaalid bin ‘Abdirrahman Al-‘Abd, dari Al-Hasan Al-Bashriy, dari Jundab. Khaalid Al-‘Abd juga dla’if, sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabi dalam Al-Mughni fidl-Dlu’afaa’.

Dua jalan di atas berporos pada Al-Hasan Al-Bashriy. Ia seorang perawi mudallis yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adl-Dla’iifah (3/641-643 no. 1446), Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam At-Tatabbu’ (4/512 no. 8155), dan Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (2/161).

 

BAB 25 : PENJELASAN MENGENAI MACAM-MACAM SIHIR - بيان شيء من أنواع السحر

1.    Hadits Ibnu Qabishah radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

قال أحمد: حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا عوف، عن حيان بن العلاء، حدثنا قطن بن قبيصة عن أبيه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إن العيافة والطرق والطيرة من الجبت"

Telah berkata Ahmad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf, dari Hayyaan bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Qaththan bin Qabiishah, dari ayahnya : Bahwasannya ia mendengat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya ‘iyaafah, tharq, dan thiyarah adalah termasuk jibt”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (3/477, 5/60), Abu Dawud (no. 3907), An-Nasa’i dalam Al-Kubraa (no. 11108), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (18/369 no. 941,942,943,945), ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 19502), Ibnu Hibban dalam Shahih­-nya (no. 6131) dan Al-Mawaarid (no. 1426), serta yang lainnya.

Sanad hadits ini adalah dla’if karena jahalah Hayyaan bin Al-‘Alaa’. Juga ada idlthirab rawi setelah Hayaan dalam penyebutan nama Hayaan. Dalam beberapa riwayat disebutkan Hayyan saja (tanpa nisbah), Hayyan bin Al-‘Alaa’, Hayyaan bin ‘Umair, dan Hayyaan bin Mukhaariq. Ini menunjukkan tidak dlabth-nya rawi.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayaatul-Maraam (hal. 183-184 no. 301), disepakati oleh Asy-Syaikh Hamdiy As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (18/369), dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (34/208 no. 20603-20604).

2.    Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

Muallif berkata :

وللنسائي من حديث أبي هريرة رضي الله عنه: "من عقد عقدة ثم نفث فيها فقد سحر، ومن سحر فقد أشرك. ومن تعلق شيئا وكل إليه"

Oleh An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Barangsiapa yang membuat satu buhulan, lalu meniup padanya (sebagaimana dilakukan tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka dirinya dijadikan Allah bersandar kepadanya”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (no. 4079) dan Ibnu ’Adiy dalam Al-Kaamil (238/2).

Sanad hadits ini adalah dla’if  karena dua ’illat. Pertama, adanya inqitha’ antara Al-Hasan dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Kedua, ‘Abbaad bin Maisarah adalah layyinul-hadiits, sebagaimana dikatakan oleh Al-Haafidh.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayaatul-Maraam (hal. 175 no. 288).

 

BAB 28 : HUKUM TATHAYYUR - ما جاء في التطير

1.    Hadits ’Uqbah bin ’Aamir :

Muallif berkata :

ولأبي داود بسند صحيح عن عقبة بن عامر قال: "ذكرت الطيرة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أحسنها الفأل، ولا ترد مسلما؛ فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل: اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت، ولا يدفع السيئات إلا أنت، ولا حول ولا قوة إلا بك"

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad shahih dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Disebutkan tentang thiyarah dihadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda : “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaknya ia berdoa : ‘Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tidak ada daya upaya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau”.

Keterangan :

Nama ‘Uqbah bin ‘Aamir di atas, yang betul adalah ’Urwah bin ’Aamir.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3719), Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa (8/139), dan Ibnus-Sunniy dalam ’Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 293).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena ’Urwah bin ’Aamir diperselisihkan status ke-shahabat-nya. Yang rajih – menurut Ibnu Hajar – ia bukan merupakan shahabat, sehingga status hadits ini mursal. Selain itu, Hubaib bin Abi Tsaabit adalah mudallis yang membawakan riwayat dengan ’an’anah.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adl-Dla’iifah (4/123 no. 1619) dan Basyiir Muhammad ’Uyuun dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabi ’Amalil-Yaum wal-Lailah li-Ibnis-Suniiy (hal. 144).

2.    Hadits Al-Fadhl bin ’Abbas Radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

وله من حديث الفضل بن عباس رضي الله عنه: "إنما الطيرة ما أمضاك أو ردك"

Al-Imam Ahmad meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl bin ’Abbas radliyallaahu ’anhu : “Sesungguhnya thiyarah itu adalah yang menjadikamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari keperluanmu)”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (1/213).

Sanad hadits ini adalah dla’if karena Ibnu ‘Ulaatsah. Al-Bukhari mengatakan bahwa ada masalah dalam hafalannya (fii hifdhihi nadhar). Juga, adanya inqitha’ dari Maslamah bin ‘Abdillah, dimana ia tidak pernah bertemu dengan Al-Fadhl bin ‘Abbas.

Hadits ini di-­dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad (2/411-412 no. 1824) dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/327-328 no. 1824).

 

BAB 32 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AALI-‘IMRAAN : 175 - قول الله تعالى: إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Muallif berkata :

عن أبي سعيد رضي الله عنه مرفوعا: "إن من ضعف اليقين أن ترضي الناس بسخط الله، وأن تحمدهم على رزق الله، وأن تذمهم على ما لم يؤتك الله. إن رزق الله لا يجره حرص حريص، ولا يرده كراهية كاره".

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu secara marfu’ : “Sesungguhnya termasuk lemahnya keyakinan apabila kamu mencari kerelaan manusia dengan kemurkaan Allah, memuji mereka atas rizki Allah yang diberikan lewat mereka, dan mencela mereka atas sesuatu yang belum diberikan Allah kepadamu lewat mereka. Sesungguhnya rizki Allah itu tidak dapat didatangkan oleh ketamakan orang yang tamak dan tidak pula dapat digagalkan oleh kebencian orang yang membenci”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/106) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman (no. 203).

Sanad hadits ini adalah dla’if jiddan, karena Muhammad bin Marwaan As-Suddiy adalah perawi yang tertuduh berdusta (muttaham bil-kidzb) sebagaimana dikatakan oleh Al-Haafidh dalam At-Taqrib. Selain itu, ’Athiyyah Al-’Aufiy juga seorang perawi dla’if. Dikatakan : ”Jujur, namun banyak salah” (shaduuq, yukhthi’ katsiran).

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab dalam Fathul-Majid (hal. 346-347). Isyarat pen-dla’if-an juga dikatakan oleh Dr. ’Abdul-’Aliy bin ’Abdil-Hamid Al-Haamid dalam Tahqiq wa Takhrij ’alaa Kitaab Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman lil-Baihaqiy (1/382-383).

 

BAB 38 : BARANGSIAPA YANG MENTAATI ’ULAMA DAN UMARAA’ DALAM MENGHARAMKAN APA YANG DIHALALKAN ALLAH, ATAU MENGHALALKAN APA YANG DIHARAMKAN ALLAH, BERARTI IA TELAH MEMPERTUHANKAN MEREKA - من أطاع العلماء والأمراء في تحريم ما أحل الله أو تحليل ما حرم الله فقد اتخذهم أربابا من دون الله

Muallif berkata :

وقال ابن عباس: "يوشك أن تنْزل عليكم حجارة من السماء أقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، وتقولون قال أبو بكر وعمر؟".

Ibnu ’Abbas berkata : ”Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan : ’telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, sedangkan engkau (membantahnya) dengan mengatakan : ’telah berkata Abu Bakr dan ’Umar”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ahmad (1/337) dan Ibnu ’Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi (no. 2378 dan 2381).

Sanad atsar ini adalah dla’if karena Syuraik Al-Qaadliy adalah orang yang jelek hafalannya (suu’ul-hifdhy).

Atsar ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (5/228 no. 3121) dan Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam Tahqiq ’alaa Kitaab I’laamil-Muwaqqi’iin li-Ibnil-Qayyim (3/539).

 

BAB 39 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AN-NISAA’ : 60-62 - أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَاناً وَتَوْفِيقاً

1.    Hadits ’Abdullah bin ’Amr radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به"

Dari ’Abdullah bin ’Amr radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda : “Tidak sempurna iman salah seorang diantara kalian hingga hawa nafsunya tunduk/mengikuti pada apa yang aku bawa (dari Allah)”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 15), Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah (no. 279), Al-Khathiib dalam At-Taariikh (4/369), dan Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (1/213).

Sanad hadits ini dla’if karena Nu’aim bin Hammaad. Al-Haafidh dalam At-Taqrib berkata : ”Jujur, namun banyak salah (shaduuq, yukhthi’ katsiiran)”.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Al-Haafidh Ibnu Rajab dalam Jaami’ul-Uluum wal-Hikaam (hal. 495-496 no. 41), Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykaatul-Mashaabih (1/59-60 no. 167), Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 1/46 no. 15).

2.    Hadits dari Asy-Sya’biy rahimahullah :

Muallif berkata :

وقال الشعبي: "كان بين رجل من المنافقين ورجل من اليهود خصومة فقال اليهودي: نتحاكم إلى محمد - لأنه عرف أنه لا يأخذ الرشوة. وقال المنافق: نتحاكم إلى اليهود لعلمه أنهم يأخذون الرشوة. فاتفقا أن يأتيا كاهنا في جهينة فيتحاكما إليه، فنَزلت: {أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ}" الآية.

Telah berkata Asy-Sya’biy : ”Pernah terjadi pertengkaran antara seorang munafiq dan seorang Yahudi. Berkatalah orang Yahudi itu : ’Mari kita beritahukan kepada Muhammad’ ; karena ia mengerti bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengambil risywah (uang sogok). Sedangkan orang munafiq itu berkata : ’Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi’ ; karena ia tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk datang berhakim dengan seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat : ”Tidaklah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku...” (QS:4:60)”.

Keterangan :

Sanad hadits ini shahih sampai kepada Asy-Sya’biy. Namun sebagaimana yang tampak, bahwa hadits ini mursal.

Lihat Fathul-Baariy (5/37).

 

BAB 40 : BARANGSIAPA YANG MENGINGKARI SEBAGIAN DARI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH - من جحد شيئا من الأسماء والصفات

Muallif berkata :

ولما سمعت قريش رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر " الرحمن " أنكروا ذلك، فأنزل الله فيهم: {وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَن}

Ketika orang-orang Quraisy mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyebut ‘Ar-Rahmaan’, mereka mengingkarinya. Maka terhadap mereka itu, Allah menurunkan firman-Nya : "Dan mereka kafir kepada Ar-Rahmaan" (QS. Ar-Ra’d : 30).

Keterangan :

Riwayat tentang sababun-nuzul QS. Ar-Ra’d : 30 tersebut dibawakan oleh Ath-Thabari dalam Tafsir-nya (13/101).

Sanad hadits tersebut adalah dla’if karena status ke-mursal­-annya. Asal riwayat ini ada dalam Shahih Al-Bukhari (no. 2731-2732), Musnad Ahmad (4/323,328), Sunan Abi Dawud (no. 2765,4655), dan Sunan An-Nasa’i (5/169-170) tanpa menyebutkan sababun-nuzul ayat.

 

BAB 50 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AL-A’RAAF : 190 - قول الله تعالى: فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Atsar Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma :

Muallif berkata :

وعن ابن عباس في الآية: "قال لما تغشاها آدم حملت فأتاهما إبليس فقال: إني صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة لتطيعاني  أو لأجعلن له قرني أيل، فيخرج من بطنك فيشقه، ولأفعلن ولأفعلن يخوفهما، سمياه عبد الحارث. فأبيا أن يطيعاه فخرج ميتا، ثم حملت فأتاهما فقال مثل قوله، فأبيا أن يطيعاه، فخرج ميتا. ثم حملت فأتاهما فذكر لهما فأدركهما حب الولد فسمياه عبد الحارث، فذلك قوله {جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا}" رواه ابن أبي حاتم.

Dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat tersebut (QS. Al-A’raaf : 190) ia berkata : ”Setelah Adam menggauli istrinya Hawaa’, maka ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada mereka berdua dan berkata : ”Sunguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkanmu dari surga. Demi Allah, hendaknya kamu mentaatiku. Kalau tidak, niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dengan merobeknya. Demi Allah, pasti akan aku lakukan”. Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. Iblis melanjutkan : ”Namailah anakmu itu ’Abdul-Haarits”. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya. Ketika bayi mereka lahir, lahirlah ia dalam keadaan mati. Kemudian Hawwa’ hamil lagi. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan mengatakan seperti yang pernah ia katakan sebelumnya. Tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan mati. Selanjutnya, Hawwa’ hamil lagi. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa’ lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama ’Abdul-Haarits. Itulah tafsiran firman Allah : ’Mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia karuniakan kepada mereka”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (5/1634 no. 8654). Dibawakan pula oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (6/483),

Sanad hadits ini adalah dla’if karena perawi yang bernama Syuraik dan Khashiif.

Hadits ini dilemahkan oleh para muhaqqiqiin Tafsir Ibni Katsir (6/483). Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Mahmud Syaakir juga mengingkari riwayat-riwayat yang mempunyai matan sebagaimana di atas dalam Tahqiq wa Takhrij ’alaa Tafsir Ath-Thabariy (13/309-310). Beliau mengatakan bahwa tidaklah mungkin bagi Nabi Adam ’alaihis-salaam berbuat kesyirikan menuruti perintah Iblis hanya demi seorang anak. Asy-Syaikh Al-Albani juga men-dla’if-kan hadits serupa dari jalur yang lain sebagaimana terdapat dalam Silsilah Adl-Dla’ifah (1/516-517 no. 342).

Catatan : Tidak dipungkiri bahwa riwayat sebagaimana di atas telah ternukil dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma dari para shahabatnya, diantaranya Mujaahid, Sa’id bin Jubair, dan ’Ikrimah. Juga dari ulama pada thabaqah kedua seperti Qataadah, As-Suddiy, dan banyak yang lainnya dari ulama salaf. Begitu juga jama’ah dari ulama khalaf. Ibnu Katsir (6/484) memberi penjelasan tentang ini bahwa sepertinya riwayat tersebut berasal dari ahli kitab, yaitu dimana Ibnu ’Abbas mengambilnya dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ’anhum sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsir-nya (5/1633 no. 8653).

 

BAB 55 : TIDAK BOLEH DIMOHON DENGAN MENYEBUT WAJAH ALLAH, KECUALI SURGA - لا يُسأل بوجه الله إلا الجنة

Muallif berkata :

عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :"لا يُسأل بوجه الله إلا الجنة" رواه أبو داود.

Dari Jaabir ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Tidak boleh dimohon dengan menyebut Wajah Allah, kecuali surga”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1671), Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa (4/199) dan Al-Asmaa’ wash-Shifaat (2/93-94 no. 661), serta Ibnu ’Adiy dalam Al-Kaamil (3/1107).

Sanad hadits tersebut adalah dla’if, karena perawi yang bernama Sulaiman bin Qarm bin Mu’aadz. Ia seorang perawi yang dla’if dari segi hafalannya yang buruk (suu’ul-hifdhi). Dalam hal ini, ia menyendiri dalam periwayatan sebagaimana dikatakan Ibnu ’Adiy.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykaatul-Mashaabih (1/605 no. 1944) dan ’Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidi dalam Tahqiq wa Takhrih ’alaa Kitaab Al-Asmaa’ wash-Shifaat lil-Baihaqi (2/93-94).

 

BAB 65 : TIDAK DIBENARKAN MEMINTA ALLAH SEBAGAI PERANTARA KEPADA MAKHLUKNYA - لا يستشفع بالله على خلقه

Muallif berkata :

عن جبير بن مطعم رضي الله عنه قال: "جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، نهكت الأنفس وجاع العيال وهلكت الأموال، فاستسق لنا ربك، فإنا نستشفع بالله عليك، وبك على الله. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: سبحان الله ! سبحان الله ! فما زال يسبح حتى عرف ذلك في وجوه أصحابه. ثم قال: ويحك أتدري ما الله؟ إن شأن الله أعظم من ذلك، إنه لا يستشفع بالله على أحد" . وذكر الحديث، رواه أبو داود.

Dari Jubair bin Muth’im radliyallaahu ’anhu ia berkata : Ada seorang Arab badui datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian berkata : ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kehabisan tenaga, anak-anak kelaparan, dan harta benda musnah. Maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Tuhanmu. Sungguh, kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah”. Ketika itu bersabdalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Subhaanallaah, subhaanallaah”. Beliau pun tetap bertasbih sampai tampak pada raut muka para shahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau). Kemudian beliau bersabda : ”Kasihanilah dirimu. Tahukah kamu siapakah Allah itu ? Sungguh, kedudukan Allah jauh lebih agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya, tidak dibenarkan Allah diminta sebagai perantara kepada siapapun dari makhluk-Nya”. Dan seterusnya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4726), Ibnu Abi ’Aashim dalam As-Sunnah (no. 575,576), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kubraa (no. 1547), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (no. 147), Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah (1/175 no. 92), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if karena perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq). Ia seorang mudallis dimana membawakan riwayat dengan ’an’anah. Juga, Jubair bin Muhamad bin Jubair, ia seorang perawi majhul.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilaalul-Jannah (1/252-253), Asy-Syaikh Hamdiy bin ’Abdil-Majid As-Salafiy dalam Takhrij ’alal-Mu’jamil-Kabiir lith-Thabarani (2/128), Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawaabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 393), dan Dr. ’Abdul-’Aziz bin Ibrahim Asy-Syahwan dalam Tahqiq wa Takhrij Kitaabit-Tauhid li-Ibni Khuzaimah (1/240).

 

BAB 67 : FIRMAN ALLAH TA’ALA QS. AZ-ZUMAR : 67 - ما جاء في قول الله تعالى : وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Muallif berkata :

1.    Hadits Zaid bin Aslam radliyallaahu ’anhu :

وقال ابن جرير: حدثني يونس أخبرنا ابن وهب قال: قال ابن زيد: حدثني أبي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما السماوات السبع في الكرسي إلا كدراهم سبعة ألقيت في ترس".
وقال: قال أبو ذر رضي الله عنه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "ما الكرسي في العرش إلا كحلقة من حديد ألقيت بين ظهري فلاة من الأرض".

Telah berkata Ibnu Jarir : Telah menceritakan kepadaku Yunus : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Ketujuh langit itu berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagaikan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai”.

Zaid berkata : Telah berkata Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Kursi itu berada di ‘Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir”.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (5/8).

Sanad bagian pertama hadits adalah mursal, karena Zaid (bin Aslam) seorang tabi’iy yang langsung meriwayatkan langsung pada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tanpa melalui perantaraan shahabat.

Sanad di bagian kedua adalah munqathi’, namun ada sanad maushul yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Shifatul-’Arsy (no. 58) secara marfu’ dari Abu Dzarr radliyallaahu ’anhu dengan sanad shahih (lihat Ash-Shahihah no. 109).

Ke-mursal-an hadits di atas ditegaskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah (1/24) yang kemudian disepakati oleh Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy dalam Tahqiq ’alaa Tafsir Ath-Thabari (5/539).

2.    Hadits Al-’Abbas radliyallaahu ’anhu :

وعن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هل تدرون كم بين السماء والأرض؟) قلنا: الله ورسوله أعلم قال: (بينهما مسيرة خمسمائة سنة، ومن كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة سنة وكثف كل سماء خمسمائة سنة، وبين السماء السابعة والعرش بحر بين أسفله وأعلاه كما بين السماء والأرض، والله سبحانه وتعالى فوق ذلك، وليس يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم). أخرجه أبو داود وغيره.

Dari Al-’Abbas bin ’Abdil-Muthallib radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah 500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

Keterangan :

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4723), At-Tirmidzi (no. 3320), Ibnu Maajah (no. 193), Ahmad (1/206-207), dan yang lainnya.

Sanad hadits ini dla’if, karena perawi yang bernama ’Abdullah bin ’Amiirah. Adz-Dzahabi berkata : ”Padanya terdapat jahalah”. Al-Bukhari berkata : ”Tidak diketahui penyimakannya dari Al-Ahnaf bin Qais”. Al-Haafidh berkata : ”Maqbul”.

Selain itu, terdapat perselisihan dalam sanad dan matannya pada beberapa jalannya.

Hadits ini di-dla’if-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilaalul-Jannah (1/254) dan Silsilah Adl-Dla’iifah (3/398-402 no. 1247); Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawaabirah dalam Tahqiiq wa Takhriij ’alaa Kitaabis-Sunnah li-Ibni Abi ’Aashim (hal. 395-396); serta Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij wa Ta’liq Musnad Al-Imam Ahmad (3/292-293 no. 1770).

 

***

[Alhamdulillah, telah selesai penulisan risalah ini semenjak tiga hari yang lalu. Diselesaikan pada hari Kamis, 1-1-2009, pukul 03.21 WIB oleh Abu Al-Jauzaa’.

Dan kemudian direvisi pada hari Sabtu, 2 Mei 2009, ba’da ’Ashar atas masukan al-akh al-fadlil Ibn ’Aabid – jazaahullaahu khairan katsiiran].

 

Maraaji’ :

1.              Al-Asmaa’ wash-Shifaat, karya Al-Haafidh Al-Baihaqi (tahqiq, takhrij, & ta’liq : Asy-Syaikh ’Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy, taqdim : Asy-Syaikh Muqbil Al-Wad’iy); Penerbit : Maktabah As-Suwadiy, Cet. Thn. 1412.

2.              Al-Jawaabul-Kaafiy liman Sa-ala Dawaa-siy-Syaafiy, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim (Takhrij & tahqiq : Asy-Syaikh ’Amr bin ’Abdil-Mun’im Saliim); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1417, Cairo.

3.              Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iimaan, karya Al-Haafidh Al-Baihaqiy (tahqiq & takrij : Dr. ’Abdul-’Aliy bin ’Abdil-Hamid Al-Haamid); Penerbit : Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423, Riyadl.

4.              Al-Mu’jamul-Kabiir, karya Al-Imam Ath-Thabarniy (tahqiq & takhrij : Asy-Syaikh Hamdiy bin ’Abdil-Majid As-Salafiy); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1404, Cairo.

5.              Al-Musnad, karya Al-Imam Ahmad bin Hanbal (tahqiq, takhrij, & ta’liq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dan ’Aadil-Mursyid); Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Cet. 1/1416, Beirut.

6.              Al-Musnad, karya Al-Imam Ahmad bin Hanbal (syarh :  Asy-Syaikh Ahmad Syaakir); Penerbit : Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416, Cairo.

7.              Al-Mustadrak ’alash-Shahihain, karya Al-Imam Al-Hakim An-Naisaburiy (tahqiq : Asy-Syaikh Muqbil bin Haadiy Al-Wadi’iy – Tatabbu’u Auhaamil-Haakim Allatii Sakata ’Alaihadz-Dzahabi); Penerbit : Daarul-Haramain, Cet. 1/1418, Cairo.

8.              ’Amalul-Yaum wal-Lailah, karya Al-Haafidh Abu Bakr Muhammad Ad-Dinauriy, Ibnus-Sunniy (tahqiq : Basyiir Muhammad ’Uyuun); Penerbit : Maktabah Daaril-Bayaan, Cet. 1/1407.

9.              As-Sunan Al-Kubraa, karya Al-Haafidh Al-Baihaqiy (tahqiq : Muhammad bin ‘Abdil-Qadir Athaa); Penerbit : Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 4/1424, Beirut.

10.           As-Sunnah, karya Al-Haafidh Ibnu Abi ’Aashim (takhrij : Asy-Syaikh Al-Albani – Dhilaalul-Jannah fii Takhriij As-Sunnah); Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1400, Beirut.

11.           As-Sunnah, karya Al-Haafidh Ibnu Abi ’Aashim (tahqiq & takhrij : Dr. Baashim bin Faishal Al-Jawabirah); Penerbit : Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1419, Riyadl.

12.           At-Ta’liqaatul-Hisaan ’alaa Shahih Ibni Hibban, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Daarul-Baawaziir, Cet. 1/1424, Jeddah.

13.           Fathul-Baariy, karya Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalaniy (tahqiq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Daarul-Ma’rifah, Beirut.

14.           Fathul-Majiid fii Syarhi Kitaabit-Tauhiid, karya Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ’Abdil-Wahhab (ta’liq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo.

15.           Ghayaatul-Maraam fii Takhriiji Ahaadiitsi Al-Halaal wal-Haraam, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1400, Beirut.

16.           Hilyatul-Auliyaa’, karya Al-Haafidh Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy; Penerbit : Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409, Beirut.

17.           I’laamul-Muwaqqi’iin ’an Rabbil-’Aalamiin, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim (tahqiq : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman); Penerbit : Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1423, Riyadl.

18.           Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi, karya Al-Haafidh Ibnu ’Abdil-Barr (tahqiq : Abu Asybal Az-Zuhairiy); Penerbit : Daar Ibni Jauziy, Cet. 1/1414, Riyadl.

19.           Jaami’ul-Bayaan ’an Ta’wiili Ayil-Qur’an, karya Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy (tahqiq : Asy-Syaikh Mahmud Syaakir, takhrij : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir); Penerbit : Maktabah Ibni Taimiyyah, Cairo.

20.           Jaami’ul-Bayaan ’an Ta’wiili Ayil-Qur’an, karya Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy (tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy); Penerbit : Markaz li-Buhuuts wad-Diraasaat Al-’Arabiyyah wal-Islamiyyah, Cet. 1/1422.

21.           Jaami’ul-’Uluum wal-Hikam fii Syarhi Khamsiina Hadiitsan min Jawaami’il-Kalim, karya Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy (takhrij & ta’liq : ’Ishaamuddin Ash-Shabaabithiy); Penerbit : Daarul-Hadiits, Cet. Thn. 1424, Cairo.

22.           Kitaabul-’Adhamah, karya Al-Imam Abusy-Syaikh Al-Ashbahaniy (tahqiq & takhrij : Ridlaaullah bin Muhammad Al-Kafuriy); Penerbit : Daarul-’Aashimah, Riyadl.

23.           Kitab Tauhid (terjemahan), karya Syaikh Muhammad At-Tamimi; Penerbit : Yayasan Al-Sofwa, Cet. 3/1420, Jakarta.

24.           Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ‘alal-‘Abiid, karya Syaikhul-Islam Muhammad bin ’Abdil-Wahhab (tahqiq : ’Abdul-’Aziz bin ’Abdirrahman As-Sa’iid); Penerbit : Univ. Al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadl – melalui perantara Maktabah Asy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab, Free Program from : http://www.islamspirit.com.

25.           Kitaabut-Tauhiid, karya Al-Imam Ibnu Khuzaimah (tahqiq : Dr. ’Abdul-’Aziz bin Ibrahim Asy-Syahwan); Penerbit : Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408, Riyadl.

26.           Majma’uz-Zawaaid wa Manba’ul-Fawaaid, karya Al-Haafidh Nuuruddin Al-Haitsami (tahqiq : ’Abdullah Muhammad Darwiisy - Bughyatur-Raaid); Penerbit : Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1414, Beirut.

27.           Mawaaridudh-Dham’aan ilaa Zawaaidi Ibni Hibban, karya Al-Haafidh Nuuruddin Al-Haitsami (tahqiq & takhrij : Husain Saliim Asad Ad-Daaraniy); Penerbit : Daarust-Tsaqafah Al-’Arabiyyah, Cet. 1/1411, Beirut.

28.           Miizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Haafidh Adz-Dzahabiy (tahqiq : ’Ali Muhammad Al-Baajawiy), Daarul-Ma’rifah, Beirut.

29.           Misykatul-Mashaabih, karya : Al-Imam Muhammad bin ’Abdillah Ath-Thibriziy (tahqiq : Asy-Syaikh Al-Albani); Penerbit : Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 2/1399, Beirut.

30.           Mukhtashar Silsilah Al-Ahaadiits Adl-Dla’iifah, karya Asy-Syaikh Al-Albani - Free Program from http://www.alalbany.net/.

31.           Mukhtashar Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, karya Asy-Syaikh Al-Albani - Free Program from http://www.alalbany.net/.

32.           Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy, karya Al-Imam Sulaiman bin Dawud bin Al-Jaaruud (tahqiq : Dr. Muhammad bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy); Penerbit : Markaz li-Buhuuts wad-Diraasaat Al-’Arabiyyah wal-Islamiyyah – Daarul-Hajar, Cet. 1/1419.

33.           Shahih Al-Bukhari (tahqiq : Asy-Syaikh Muhibbudiin Al-Khathib, tarqim : Asy-Syaikh Muhammad Fuad ’Abdul-Baqi); Penerbit : Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Cet. 1/1400, Cairo.

34.           Shahih Ibni Hibban (takhrij, tahqiq, & ta’liq : Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth); Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Cet. 2/1414, Beirut.

35.           Silsilah Al-Ahaadiits Adl-Dla’iifah, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412, Riyadl.

36.           Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, karya Asy-Syaikh Al-Albani; Penerbit : Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. Thn. 1415, Riyadl.

37.           Sunan Abi Dawud bi-ahkaamil-Albaniy – Free Program from http://www.alalbany.net/.

38.           Sunan An-Nasa’i bi-ahkaamil-Albaniy – Free Program from http://www.alalbany.net/.

39.           Sunan At-Tirmidzi bi-ahkaamil-Albani - Free Program from http://www.alalbany.net/.

40.           Sunan Ibni Majah bi –ahkaamil-Albani - Free Program from http://www.alalbany.net/.

41.           Tafsir Al-Qur’anil-’Adhiim, karya Al-Haafidh Ibnu Katsiir (tahqiq : Mushthafaa As-Sayyid Muhammad, dkk); Penerbit : Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421.

42.           Tafsir Al-Qur’anil-’Adhiim Musnadan ’an Rasuulillah shallallaahu ’alaihi wasallam wash-Shahaabati wat-Taabi’iin, karya Al-Imam Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy (tahqiq : As’ad Muhammad Ath-Thayib); Penerbit : Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417, Riyadl.

43.           Takhriij Ahaadiits Muntaqadah fii Kitaabit-Tauhidlisy-Syaikh Muhammad bin ’Abdil-Wahhab, karya : Fariih bin Shaalih Al-Bahilaal (taqdim : Asy-Syaikh Ibnu Baaz); Penerbit : Daarul-Atsar, Cet. 1/1415, Riyadl.

44.           Taqriibut-Tahdziib, karya Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalaniy (tahqiq & ta’liq : Abu Asybal Shaghiir Ahmad Al-Baakistaaniy, taqdim : Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid); Penerbit : Daarul-’Aashimah, Riyadl.

Comments

Anonim mengatakan...

Sejujurnya saya hanya membaca secara murur al-kiram (scanning) tulisan di atas.

Dalam hadits dha`if pada Bab 14, disebutkan bahwa salah satu sebab ke-dha`if-annya adalah perawi bernama Ibn Lahi`ah, yang oleh penulis dikatakan sebagai lemah dalam hafalan.

Sekedar catatan ringan, mudah-mudahan bisa menjadi tambahan faidah, sependek pengetahuan saya tentang Ibn Lahi`ah ini ada tiga pendapat:

Pertama, men-dha`if-kan haditsnya secara mutlak karena ia lemah hafalan, seperti yang dilakukan ash-Shan`ani (sebagaimana dalam kitabnya, Subul as-Salam), dan juga penulis.

Kedua, meng-hasan-kan haditsnya secara mutlak, sebagaimana pendapat Syaikh Ahmad Syakir, dan hukum beliau terdapat Musnad Imam Ahmad.

Ketiga, dirinci, dan inilah pendapat yang lebih tepat, in sya-aLlah, sebagaimana pendapat Syaikh al-Albani. Alasannya, mulanya Ibn Lahi`ah adalah perawi yang dhabt al-kutub (periwayatannya bagus namun melalui media buku). Akan tetapi, setelah perpustakaannya terbakar, periwayatan haditsnya pun galat karena hafalannya kacau. Namun, terdapat tiga orang perawi bernama `Abdullah (al-`Ubadalah ats-Tsalatsah) yang meriwayatkan dari beliau sebelum perpustakaannya terbakar. Dan apabila al-`Ubadalah ats-Tsalatsah tersebut meriwayatkan dari Ibn Lahi`ah maka sanadnya dapat diterima.

WaLlahu a`lam bish shawab. Mohon maaf apabila ada kesalahan, soalnya apa yang saya tuliskan di atas adalah dari ingatan saya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Benar yang antum katakan. Ibnu Lahi’ah awalnya adalah perawi yang tsiqah lagi dlabth (dlabth kutub). Namun setelah kitabnya terbakar pada tahun 170 H, maka hafalannya setelah itu menjadi kacau. Ia menceritakan kepada murid-muridnya dari hadits-hadits yang ia punyai tanpa kitab yang biasa ia gunakan. Di sinilah kemudian timbul ‘masalah’.

Oleh karena itu, tepat yang antum katakan bahwa tentang riwayat Ibnu Lahi’ah ini ada perincian. Jika yang meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah itu adalah salah satu dari Al-‘Abadillah (empat orang yang bernama ‘Abdullah), maka riwayat itu diterima (karena mereka meriwayatkan sebelum kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar). Al-‘Abaadillah tersebut adalah : ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdullah bin Yazid Al-‘Adawiy Al-Makkiy, dan ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy. Keempat orang ini termasuk para perawi Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahihnya.

Nah,…. dalam riwayat yang dibawakan Imam Ahmad tersebut, orang yang meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah bukan dari kalangan Al-‘Abaadillah. Berikut sanadnya :

حدثنا موسى بنُ داودَ، حدثنا ابن لَهيعة، عن الحارث بن يزيد، عن عُلَيِّ بن راباح أَنَّ رجلاً سمع عُبادة بن الصَّامت يقول : خرج علينا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم، فقال أبو بكر

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Dawud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Al-Haarits bin Yaziid, dari ‘Ulayy bin Raabaah : Bahwasannya ada seseorang mendengar ‘Ubaadag bin Ash-Shaamit berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar bersama kami, maka Abu Bakr berkata : “…. (disebutkan haditsnya)….”.

Perawi yang menerima hadits dari Ibnu Lahi’ah bernama Musa bin Dawud. Oleh karena itu, riwayat adalah dla’if.

Catatan : Dalam Al-Majma’, Al-Haafidh Al-Haitsami menghasankan Ibnu Lahi’ah sekaligus menghasankan pula riwayat di atas.

Terima kasih atas masukan pak ustadz. InsyaAllah menambah faedah dari apa yang telah dituliskan sebelumnya. Jazakumullahu khairan katsiiran.

Anonim mengatakan...

JazakaLlahu khairan Pak Ustadz atas tambahan ifadahnya....

Dalam Fatawa al-Madinah (manuskrip, ghair al-mathbu`), Syaikh al-Albani hanya menyebutkan tiga `AbduLlah, seingat saya, dan Antum menambahkan satu lagi.

Secara etimologis, sepertinya pembacaan yang lebih pas adalah `IbaduLlah (bentuk jamak dari `abd), namun entah kenapa lisan saya sedari kuliah dulu kok senengnya malah ngaco dan membaca lafal seperti itu dengan `Ubadalah. Kesalahan lisan (sabq al-lisan) yang berujung pada kesalahan tulisan (sabq al-qalam) ^_^

Kalo boleh request tulisan Pak Ustadz, tolong dibahas secara detil (teori dan praktek, tapi jangan hanya sekedar permukaan namun pembahasan mendalam), perbedaan antara Ziyadah ats-Tsiqah dan Syadzz dalam disiplin ilmu hadits.

Hal ini untuk meng-clear-kan masalah "tahrik al-usbu`" dalam tasyahhud, antara pendapat Syaikh al-Albani dan lain-lain di satu sisi, dan Syaikh Abul Hasan dan kawan-kawan di sisi yang lain.

Saya pernah ngobrol mengenai hal ini dengan seorang mahasiswa Universitas Islam Madinah jur. hadits, katanya untuk klasifikasi antara ziyadah ats-tsiqah dan syadzz tersebut, merupakan pembahasan yang pelik dan tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.

Karena itu, kiranya patut dipertimbangkan dan sangat menggelitik ucapan Syaikh Abul Hasan, dalam kompetensi beliau sebagai seorang yang cukup mengetahui lika-liku ilmu hadits, ketika membahas hadits "tahrik". Beliau berkata (yang maknanya): "Sekiranya hadits 'tahrik' itu bukanlah hadits syadzz, niscaya tidak ada lagi yang namanya hadits syadzz di dunia ini!"

WaLlahu a`lam bish shawab.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Memang sih,.... beberapa orang asatidzah yang pernah menuntut ilmu di Yaman kebanyakan menghukumi tambahan lafadh dalam tahrik itu syadz. Perkataan Abul-Hasan yang antum katakan itu persis yang dikatakan adik saya ketika saya bincang-bincang tentang masalah tahrik. Soalnya dia pernah ngangsu kaweruh pada salah seorang muridnya Syaikh Abul-Hasan yang ada di Indonesia. Dan kasusnya bukan hanya pada hadits tahrik saja.

Dan jika dicermati lagi, metodologi Syaikh Abul-Hasan dalam penghukuman hadits mirip sekali dengan SYaikh Muqbil. Ya tentu kita tidak heran, karena Syaikh Abul-Hasan muridnya Syaikh Muqbil.

Anyway,..... yang "ada" pada saya sekarang adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Shalah bahwa tidak setiap tambahan lafadh itu bisa dihukumi syadz. Harus dirinci. JIka memang berasal dari perawi yang maqbul dan tambahan lafadh tersebut TIDAK BERTENTANGAN dengan lafadh jama'ah, maka ini bukan syadz. Tapi ziyaadatuts-tsiqah. Wallaahu a'lam.

Nah, terakhir..... membahas secara 'lebih dalam' sebagaimana permintaan antumn itu sepertinya bukan tugas saya. Melanggar tupoksi itu namanya. Tepatnya,... itu tugas antum lah pak ustadz.... atau pak ustadz yang lainnya yang lebih berkompeten. Setuju ? Setuju lah.....

Anonim mengatakan...

Akh, bagaimana dengan hadits Al-Abbas di bab terakhir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang dibawakan dengan diringkas oleh Syaikh?
Dalam hadits lengkap yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (4723) dan lain-lain, Syaikh al-Albani mendhaifkannya dalam Dhaif Sunan Abi Dawud, juga di Zhilalul Jannah (577). Namun, dalam Fathul Majid dinukil penilaian hasan untuk hadits ini oleh Adz-Dzahabi, tetapi Adz-Dzahabi sendiri mendhaifkannya dalam Al-Uluw (49-50) [dari catatan kaki Fathul Majid tahqiq Asyraf bin Abdil Maqshud, hal 754]

Ini matan haditsnya:
حدثنا محمد بن الصباح البزاز حدثنا الوليد بن أبي ثور عن سماك عن عبد الله ابن عميرة عن الأحنف بن قيس عن العباس بن عبد المطلب قال كنت في البطحاء في عصابة فيهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فمرت بهم سحابة فنظر إليها فقال ما تسمون هذه قالوا السحاب قال والمزن قالوا والمزن قال والعنان قالوا والعنان قال أبو داود لم أتقن العنان جيدا قال هل تدرون ما بعد ما بين السماء والأرض قالوا لا ندري قال إن بعد ما بينهما إما واحدة أو اثنتان أو ثلاث وسبعون سنة ثم السماء فوقها كذلك حتى عد سبع سماوات ثم فوق السابعة بحر بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماء إلى سماء ثم فوق ذلك ثمانية أوعال بين أظلافهم وركبهم مثل ما بين سماء إلى سماء ثم على ظهورهم العرش ما بين أسفله وأعلاه مثل ما بين سماء إلى سماء ثم الله تبارك وتعالى فوق ذلك

Yang mana ya yang lebih tepat?
Jazakallahu Khairan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Yang tepat, hadits tersebut adalah dla'if. Telah terlewatkan hadits tersebut dalam pandangan saya.

Terima kasih atas masukannya, dan langsung akan saya masukkan dalam artikel di atas.

Jazakumullaahu khairan katsiiran.

Abul Fudhail mengatakan...

assalamu 'alaykum waråhmatullåhi wabaråkaatuh

ustadz, sepengetahuan ana (yang masih sangat minim) ada sebagian ulama yang memberikan kelonggaran terhadap atsar-atsar (baik tidak mencantumkan sanad, atau sanadnya lemah), selama atsar tersebut tidak menyelisihi kaedah baku syari'at.

mohon penjelasannya ustadz.

Penanya mengatakan...

Assalamu'alaikum

Ustadz, mulai sekarang insya Allah ana ingin mengambil faidah dari artikel2 antum yang ada di blog ini dengan cara bertanya jawab dengan antum soalnya ana cuma bisa baca buku pengantar ilmu hadits yang terjemahan, baru ini kemampuan ana, tidak lebih tapi ana ingin belajar ilmu hadits lebih jauh lagi. Jadi masih banyak hal yang belum ana dapatkan dari buku hadits tsb.

Pertanyaan pertama:

1. Pada hadits pertama dari 'Imran bin Hushain yakni yang antum nukil:

"عن عمران بن حصين رضي الله عنه: "أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلا في يده حلقة من صفر فقال: ما هذه؟ قال من الواهنة. فقال: انزعها، فإنها لا تزيدك إلا وهنا؛ فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا". رواه أحمد بسند لا بأس به"

Dikatakan bahwa ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dll tapi setelah ana gunakan software ternyata lafazh hadits yang tepat seperti ini tidak ada di riwayat Ahmad, bahkan hadits dengan lafazh seperti ini hanya ada di riwayat Ibnu Majah, itupun tanpa tambahan kalimat "فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا":

3530)- [3531] حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي الْخَصِيبِ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ مُبَارَكٍ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ، أَنّ النَّبِيَّ رَأَى رَجُلًا فِي يَدِهِ حَلْقَةٌ مِنْ صُفْرٍ، فَقَالَ: " مَا هَذِهِ الْحَلْقَةُ؟ "، قَالَ: هَذِهِ مِنَ الْوَاهِنَةِ، قَالَ: " انْزِعْهَا فَإِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا "

Adapun riwayat Ahmad adalah:

(19549) حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ، أَنّ النَّبِيَّ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ، فَقَال: " وَيْحَكَ مَا هَذِهِ؟ " قَالَ: مِنَ الْوَاهِنَةِ، قَالَ: " أَمَا إِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا، انْبِذْهَا عَنْكَ، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا "

Jadi yang benar tambahan:

فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا

Ini dari Ahmad. Nah yang jadi pertanyaan saya, emang kalo dalam ilmu hadits itu dibolehkan ya menulis:

"Diriwayatkan oleh Ahmad (4/445), Ibnu Majah (no. 3531), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (18/172 no. 391), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (no. 6085) dan Al-Mawaarid (no. 1410-1411), serta Al-Haakim (4/216)."

Padahal lafazh hadits yang benar2 pas itu cuma ada di Ibnu Majah {itupun dengan tanpa tambahan kalimat semisal yang telah saya jelaskan diatas}? Boleh ya ustadz? apa memang sudah tradisi di kalangan ahli hadits menulis dengan cara seperti ini? ana belum paham tentang metode penulisan takhrij hadits secara ringkas sebab saya baru tamat satu buku ilmu pengantar hadits saja, itupun terjemahan.

Trus, kalau boleh seperti ini maka batasannya apa? apakah setiap hadits yang masih satu tema? Kalau hadits yang masih satu tema {maksud saya, lafazhnya berdekatan} itu memang iya yakni hadits2 yang lafazhna semisal in diriwayatkan dalam:

Sunan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Hibban, Musnad Ahmad, Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi, Mu'jam Al-Kabir lith Thabraniy, dll.

Bagaimana tanggapan antum? tolong dijawab ya ustadz...Suatu saat ana juga ingin bikin tulisan seputar takhrij hadits secara ringkas, makanya ana tanya sama antum.

2. Masih dalam hadits pertama antum tuliskan:

"Tashriih Al-Hasan dalam hadits di atas adalah tidak benar menurut Ibnul-Madini, Abu Hatim, dan Ibnu Ma’in."

Memang dalam Musnad Ahmad terdapat cuplikan sanad begini:

عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ

yg antum maksud dengan tashrih itu kalimat yang ini kan? --> أَخْبَرَنِي ?

Nah, yang ana bingung, kenapa kita lebih mendahulukan perkataan para Imam Jarh Wa Ta'dil semisal diatas daripada perkataan si rawi {dalam hal ini adalah Hasan Al-Bashri} sendiri? Tolong dijelaskan kaidahnya ustadz? Ana belum paham.

Trus, apakah dengan hal ini, Hasan Al-Bashri dapat dikatakan pendusta {setidaknya} dalam satu sanad yang ini?

Sekian dari ana ustadz, insya Allah pertanyaan ana akan terus bersambung sampai ana "bosan" belajar ilmu hadits...

Penanya mengatakan...

Maaf ustadz, ana dah dua kali kirim komen berisi pertanyaan, apa komen ana dah masuk? dari tadi kok gagal terus ya tulisannya, ada tulisan semacam 404 not found gitu...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Boleh. Karena hadits tersebut lafadhnya masih semakna dan masih satu sanad, yaitu semuanya diriwayatkan dari Mubaarak bin Fudlaalah, dari Al-Hasan, dari 'Imraan bin Al-Hushain.

[sebenarnya, Mubaarak ini mempunyai mutaba'ah. namun yang disebutkan di artikel ini hanyalah jalan sanad dari Mubaarak, dari Al-Hasan, dari 'Imraan].

Tentang penyimakan Al-Hasan, maka kekeliruan itu berasal dari Mubaarak, bukan dari Al-Hasan; sebagaimana dikatakan Ahmad dan yang lainnya dalam At-Tahdziib (lihat komentar Syaikh Al-Arna'uth dalam Musnad Ahmad 33/204).

Penanya mengatakan...

1. Setelah ana gunakan software. Mungkin mutaba’ah yang antum maksud untuk Mubaarak adalah Abu ‘Aamir Al-Khazzaaz ya tadz? berdasarkan sanad berikut yang ana dapat di Shahih Ibnu Hibbaan:
(6222)- [13 : 453] أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
حَيَّانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْخَزَّازُ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَفِي [ ج 13 : ص 454 ] عَضُدِهِ حَلَقَةٌ مِنْ
صُفْرٍ، فَقَالَ: " مَا هَذِهِ؟ " قَالَ: مِنَ الْوَاهِنَةِ؟ قَالَ: أَيَسُرُّكَ أَنْ تُوكَلَ إِلَيْهَا؟ ! انْبِذْهَا عَنْكَ "

Juga Yuunus bin ‘Ubaid bin Diinar berdasarkan sanad berikut dalam Al-Bahru Az-Zukhaar ‘Ala Musnad Al-Bazzaar:
(3020)- [3545] حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ، قَالَ: نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ، قَالَ: نَا يُونُسُ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ[ ج 9 : ص 32 ] رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ دَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ وَفِي يَدِهِ حَلْقَةٌ مِنْ صُفْرٍ، فَقَالَ: " مَا هَذِهِ؟ " قَالَ: نَعَتَهُ لِي مِنَ الْوَاهِنَةِ، قَالَ: " انْبِذْهَا عَنْكَ أَتُحِبُّ أَنْ تُوَكَلَ إِلَيْهَا "، وَهَذَا الْحَدِيثُ قَدْ رَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ، وَلا نَعْلَمُ يُرْوَى مِنْ حَدِيثِ يُونُسَ، عَنِ الْحَسَنِ إِلا مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَلَمْ نَسْمَعْهُ إِلا مِنْ عَمْرٍو.حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْقَطَّانُ، قَالَ: نَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: نَا أَبُو حُرَّةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ

2. Setelah ana buka2 Musnad Ahmad versi Syaamilah yang ditahqiq Syu’aib Al-Arnauth, ‘Adil Mursyid, dll, ana dapatkan komentar sebagai berikut:
إسناده ضعيف، مبارك - وهو ابن فضالة- مدلس، وقد عنعن ولم يصرح بسماعه من الحسن، لكنه قد توبع، والحسن- وهو البصري- لم يسمع من عمران، والذي في هذا الحديث من تصريح الحسن بسماعه من
-----------------------------------------------------------------------
عمران خطأ من مبارك كَما قال الإمام أحمد وغيره كما في "التهذيب"،
-----------------------------------------------------------------------
Dan setelah ana buka Tahdziib Al-Kamaal versi Syaamilah, maka ana dapatkan Jarh dari Imam Ahmad- untuk Mubaarak bin Fudhaalah berkaitan dengan penyimakan dia dari Al-Hasan sebagai berikut:
و قال أبو طالب عن أحمد بن حنبل : كان مبارك بن فضالة يرفع حديثا كثيرا ، و يقول فى غير حديث عن الحسن : " قال : حدثنا عمران " ، " قال : حدثنا ابن مغفل " ، و أصحاب الحسن لا يقولون ذلك غيره .
Apakah betul itu yang antum maksud tadz? mengenai tidak benarnya penyimakan Al-Hasan dari ‘Imraan karena kesalahan Mubaarak? Atau ana salah? Namun ana tidak menemukan perkataan selian dari Imam Ahmad mengenai khata’nya Mubaarak bin Fudhaalah di Tahdziib Al-Kamaal –mungkin karena ana tidak teliti-. Mohon tanggapan antum...

Penanya mengatakan...

Begini ustadz, sengaja ana buka2 langsung kitab yang antum katakan supaya ana belajar langsung untuk melihat kitab2 hadits [walau bukan dalam bentuk PDF atau kitab asli tapi Ebook versi .bok]. Dan ternyata memang benar, disana ana dapatkan banyak bahan yang bisa ana gunakan untuk bertanya kepada antum sembari mengharap faedah dari jawaban2 antum terhadap pertanyaan2 ana. Jadi begini, ketika ana buka Tahdziib Al-Kamaal berkaitan dengan biografi Mubaarak bin Fudhaalah, ana dapatkan beberapa pertanyaan yang ingin ana tahu jawabannya –semoga antum berkenan menjawab-:
1. Disana ada tulisan berikut:
و قال أبو بكر بن أبى خيثمة : سمعت يحيى بن معين : و سئل عن المبارك ، فقال : ضعيف . و سمعته مرة أخرى يقول : ثقة .
و قال معاوية بن صالح ، عن يحيى بن معين : ليس به بأس
Dalam hal ini Ibnu Ma’in memiliki tiga perkataan tentang Mubaarak bin Fudhaalah, yang mana yang benar tadz? dan apa sebabnya bisa terjadi perbedaan lafazh semisal ini? bagaimana dhabith untuk membedakan mana perkataan Ibnu Ma’in yang mahfuzh dan yang bukan?
2. Ana ga tahu tentang ilmu jarh wa ta’dil melainkan hanya namanya saja atau sedikit sekali yang ana tahu. Maka timbul pertanyaan berikut dari benak ana:
a. Dari nukilan tiga perkataan Ibnu Ma’in diatas dan lain2 Imam yang ada dalam Tahdziib Al-Kamaal ana tidak dapati sanad dari Al-Mizzi yang sampai ke Ibnu Ma’in dan Imam2 lain2nya –sejauh apa yang tadi ana baca di biografi Mubaarak-. Nah ini bagaimana tadz? Kan Inqithaa’ jadinya antara Al-Mizzi dengan Ibnu Ma’in dan lain2 Imam? Ana belum ngerti.
b. Kenapa kita terima perkataan para Imam Jarh Wa Ta’dil? Apakah telah menjadi ijma’ di kalangan muhadditsin untuk menerima perkataan para Imam Jarh wa Ta’dil? Atau apa argumentasinya sehingga kita harus menerima perkataan mereka? Ana benar2 belum paham.
c. Bagaimana cara para Imam Jarh Wa Ta’dil mengetahui ‘adalah dan dhabt nya si Rawi? Apa ditemui langsung satu per satu face to face terus diuji hafalannya dan diamati berhari2 sehingga diketahui ‘adalah nya? Atau bagaimana? Kalau dikatakan {semisal di buku yang ana baca} bahwa dengan cara membandingkan hafalan si rawi dengan rawi lain yang tsiqah tapi tetap timbul pertanyaan di benak ana: bagaimana cara mengetahui ketsiqahan [‘adalah dan dhabt] rawi tsiqah yang dijadikan pembanding tersebut? mudah2an pertanyaan ana jelas.
Maaf ustadz, ana kebanyakan nanya tapi gimana lagi, ana sudah berusaha baca buku tapi belum mendapat jawaban atas pertanyaan2 ana di atas entah karena ana tidak teliti ketika membaca atau karena sebab2 lainnya. yang jelas, ana benar2 penasaran, inilah satu2nya alasan kenapa ana banyak bertanya di blog antum yakni karena “rasa penasaran” ana.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Tentang mutaba'ah : Ya.

2. Ya, itu dari kekeliruan Mubaarak. Apa yang saya tulis dalam jawaban di komentar sebelumnya adalah berasal dari penelitian Syaikh Al-Arna'uth dkk. Adapun pernyataan bahwa Al-Hasan tidak pernah mendengar hadits dari 'Imraan bin Hushain, silakan antum baca dalam Jamii'ut-Tahshiil karya Al-'Alaaiy (hal. 163 no. 135).

3. Tentang perkataan Ibnu Ma'iin, maka beliau ini memang terkenal mempunyai perkataan yang berbeda dalam satu perawi. Jika memang dihadapkan dalam satu pertentangan yang tidak bisa ditarjih, maka kita katakan : "Ibnu Ma'iin dalam satu riwayat mengatakan demikian, namn dalam riwayat lain demikian".

4. Al-Mizziy meringkas perkataan itu dengan mengambil dari kitab-kitab rijaal. Misal tentang Ibnu Ma'iin, maka ia banyak mengambil dari kitab At-Taariikh riwayat Ad-Duuriy atau riwayat Ad-Daarimiy. Dan yang lainnya. Perkataan Imam Ahmad berasal dari Al-'Ilal atau Al-Jarh wat-Ta'dil-nya Ibnu Abi Haatim. Dan itu bisa ditelusuri kebanyakannya. Mudahnya, antum baca aja di kitab Tahdziibul-Kamaal tahqiq-an Dr. Basyaar 'Awwaad yang saya berikan tempo hari. Sangat membantu.

5. Ini terkait dengan khabarits-tsiqaat. Dalilnya : "In jaa-akum faasiqun bi-nabain fatabayyanuu". Mafhumnya, jika kabar itu berasal dari orang yang bukan fasiq (baca : tsiqah), maka diterima.

6. Tidak selalu para imam mengetahui ihwal perawi dengan pertemuan (walau banyak di antara mereka menyimpulkan dari pertemuan). Akan tetapi pengetahuan itu bisa berasal dari liqa'-liqa' para imam tersebut dari gurunya yang menceritakan hadits dengan sanadnya, lalu mereka menjelaskannya. Bisa juga melalui pengetahuan mereka akan riwayat-riwayat dari seorang perawi yang saling berselisihan, sehingga kemudian itu menandakan ketidakdlabithannya. Dan yang lainnya.

[ada sebagian pertanyaan antum yang susah untuk diringkas jawabannya dalam komentar di sini].

Penanya mengatakan...

Ana sudah buka2 Jaami’ At-Tahshiil versi Syaamilah, dan Alhamdulillah ana dapati keterangan berikut:
وقال علي بن المديني رأى الحسن أم سلمة ولم يسمع منها ولا من أبي
موسى الأشعري ولا من الأسود بن سريع ولا من الضحاك بن سفيان ولا من جابر ولا من أبي سعيد الخدري ولا من بن عباس ولا من عبد الله بن عمر ولا من عمرو بن تغلب ولم يسمع من أبي برزة الأسلمي
-------------
ولا من عمران بن حصين
-------------
Juga keterangan penting berikut:
قال علي بن المديني سمعت يحيى يعني القطان وقيل له كان الحسن يقول سمعت عمران بن حصين فقال أما عن ثقة فلا
-------------------------------------
وذكر صالح بن أحمد أنه أنكر على من يقول عن الحسن حدثني عمران بن حصين أي أنه لم يسمع عنه
-------------------------------------
وقال عباد بن سعد قلت ليحيى بن معين الحسن لقي عمران بن حصين قال أما في حديث البصريين فلا وأما في حديث الكوفيين فنعم

Ana juga iseng2 buka kitab2 berikut sebagai latihan pembiasaan diri saja untuk melihat kitab2 khusus yg memuat nama2 mudallis, dan ana dapati keterangan sbb:

المبارك بن فضالة قال فيه أبو زرعة يدلس كثيرا وقال أبو داود شديد التدليس
{Jaami’ At-Tahshiil}
قال أبو زرعة: يدلس كثيراً. وقال أبو داود: شديد التدليس.
{Asmaa”u Al-Mudallisiin}
مبارك بن فضالة البصري مشهور بالتدليس وصفه به الدارقطني وغيره وقد أكثر عن الحسن البصري
{Thabaaqah Al-Mudallisiin}

Nah, pertanyaan ana:
Kesalahan Mubaarak ini terhitung sebagai kesalahan jenis apa -dalam ilmu hadits-? Masalahnya beliau mengatakan bahwa Al-Hasan berkata: Akhbaraniy, padahal Al-Hasan tidak mengatakan hal tsb, Apakah ini yang namanya dusta? Atau ini hanya sekedar kesalahan biasa yang manusiawi? Sebab setelah ana baca2 kitab2 rijal, ana tak dapati –wallahua’lam- satu Imam pun yang menjuluki beliau dengan “muttaham bil kadzib” apalagi mendustakan beliau, tapi yg jelas ini namanya bukan tadlis kan tadz? Ana belum paham.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Coba antum perhatikan pernyataan Al-'Alaaiy tentang Al-Hasan. Telah dinyatakan bahwasannya Al-Hasan ini tidak pernah bertemu dengan 'Imraan.

2. Tentang riwayat Mubaarak. Ia seorang yang disifati banyak tadlisnya. Coba antum buka thabaqah al-mudallisiin. Ada pada tingkatan berapa Mubaarak ini ? Ia ada ditingkat ketiga. Ibnu Hajar mengatakan :

مبارك بن فضالة البصري مشهور بالتدليس وصفه به الدارقطني وغيره وقد أكثر عن الحسن البصري

[sebagaimana yang telah antum nukil].

Artinya, ia banyak melakukan tadlis, terutama dalam periwayatan dari Al-Hasan Al-Bashriy.

Nah, coba antum tuliskan apa makna tadlis itu di sini.....

Penanya mengatakan...

Ana kutip dari Taysir Mushthalah Al-Hadiits karya syaikh Ath-Thahaan ,definisinya, tadlis adalah:

إخفاء عيب في الإسناد. وتحسين لظاهره.

Menyembunyikan aib dari sanad dan menampakkan zhahir sanadnya baik.

Tadlis ini terbagi dua yakni tadliis Al-Isnaad dan tadliis Asy-Syuyuukh. Tadlis isnad penjelasannya adalah sebagai berikut:

ومعنى هذا التعريف أن تدليس الإسناد أن يروي الراوي عن شيخ قد سَمِعَ منه بعض الأحاديث، لكن هذا الحديث الذي دلسه لم يسمعه منه ، وإنما سمعه من شيخ آخر عنه ، فيٌسْقِطٌ ذلك الشيخَ ويرويه عنه بلفظ محتمل للسماع وغيره ، كـ " قال " أو " عن " ليوهم غيره أنه سمعه منه ، لكن لا يصرح بأنه سمع منه هذا الحديث فلا يقول : " سمعت " أو " حدثني " حتى لا يصير كذاباً بذلك ، ثم قد يكون الذي أسقطه واحداً أو أكثر

Tadlis isnad adalah ketika si rawi meriwayatkan dari seorang syaikh –syaikh A misalnya- yang memang dia mendengar sebagian hadits dari syaikh tsb , tapi khusus hadits ini yang dia melakukan tadlis didalamnya, dia ga dengar dari syaikhnya tadi –si syaikh A itu-, dia mendengar dari syaikh lain –syaikh B misalnya- dari syaikhnya – yakni syaikh A-. Maka dia menggugurkan syaikh yang jadi perantara ini –yakni syaikh B- dan meriwayatkan dari syaikh A dengan sebuah lafazh yang mencakup kemungkinan As-Samaa’ [kesaksian yang didasarkan atas pendengaran-ed] atau selainnya semisal lafazh: “Dia telah berkata” atau “Dari” untuk menggambarkan bahwasannya dia memang telah mendengar dari Syaikh A tapi dia ga melakukan tashriih [dengan lafazh yang jelas] bahwasannya dia telah mendengar hadits ini, maka dia ga berkata: “Aku telah mendengar” atau “Telah menceritakan kepadku” sehingga dia ga bisa dicap sebagai pendusta dalam hal ini. Syaikh yang dia gugurkan ini bisa satu atau terkadang bahkan lebih.

Adapun tadlis syuyukh maka berikut adalah penjelasannya:

هو أن يَرْوي الراوي عن شيخ حديثاً سمعه منه، فيُسَمِّيهُ أو يَكْنَيِهُ أو يَنْسِبَهُ أو يَصِفهٌ بما لا يُعْرَفُ به كي لا يُعْرَفُ

Si rawi meriwayatkan dari syaikh sebuah hadits yang memang dia telah mendengar dari syaikhnya tersebut secara langsung lalu dia menamai –si syaikh ybs- atau menkunyahinya atau menisbahkannya atau menyifatinya dengan sesuatu yang si syaikh ini ga terkenal dengan sebutan tersebut tujuannya supaya si syaikh ini ga dikenali.

Selesai definisi tadlis.

Trus lanjutannya gimana tadz? Intinya Mubaarak ini masuk ke jenis kesalahan yang mana? Inti kesalahan Mubaarak kan karena beliau salah menyebut lafazh sehingga mengatakan bahwa Al-Hasan berkata: “Akhbaraniy”, gimana tadz? ana belum paham2 juga...maaf tadz, harus ana akui ana memang rada2 lemot untuk memahami kasus ini...

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tingkat ketiga dalam thabaqah mudallisiin adalah tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia menjelaskan penyimakan riwayatnya. Jelasnya, Mubaarak ini jika menggunakan shighah periwayat : 'an al-Hasan al-Bashriy, maka tidak diterima.

Jenis tadlis yang dilakukan Mubaarak adalah tadlis isnad. Ada kemungkinan ia menggugurkan seorang perawi, dan kemudian ia menyambungkannya langsung kepada al-Hasan al-Bashriy. Nah, perawi yang digugurkan inilah yang kemungkinan memberikan tashrih sama' Al-Hasan al-Bashriy dari 'Imraan. Padahal, para ulama telah menegaskan bahwa al-Hasan itu tidak mendengar dari 'Imraan.

Semoga yang sedikit ini dapat memberi kejelasan.

Penanya mengatakan...

Ooo begitu, berarti gambarannya seperti ini: Mubaarak--> Rawi X--> Al-Hasan. Nah si rawi X ini yang memberikan tashrih samaa' Al-Hasan Al-Bashriy dari 'Imraan.

Oke, ana mulai paham. Sekarang ana akan berganti ke topik lain insyaa Allah.

Jazaakallahu khairan.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya, ada kemungkinan seperti itu. Jenis tadlis yang dilakukan Mubaarak ini adalah tadlis taswiyyah. Wallaahu a'lam bish-shawwaab....

A.JML mengatakan...

Assalamu'alikum
Ustadz mau tanya bagaimana derajat hadits yang menyatakan bahwa Rasul pertama adalah Nabi Adam ?
Krn kl baca Tsalatsatul Ushulnya Syeikh Muhammad, disitu disebutkan kl Rasul pertama adalah Nabi Nuh.
Terima Kasih sebelumnya.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Hadits yang mana ?.

Tentang Rasul yang pertama, silakan baca : Adam : Rasul atau Nabi ?.

fajar nohir mengatakan...

Pada bab 10, hadits tsb dinisbatkan kepada perkataan sahabat Salman Al-Farisi, bukan sabda Nabi صلى ا لله عليه وسلم.
Ketika ngaji, ustadz ana bilang, & mungkin ucapan beliau menukil dari perkataan ulama, ustadz ana berkata bahwa secara sanad hadits tsb lemah, & secara matan hadits tsb bertentangan dengan kisah sahabat Ammar bin Yasir yg mana Rosululloh membolehkan Ammar untuk mengucapkan perkataan kufur.

& 1 lagi, jika itu sohih perkataan Salman, apakah itu berarti umat terdahulu sebelum Islam tidak diberikan keringanan dalam perkara tauhid?

Misalnya, kalo kita sekarang disuruh mengucapakan Nabi Isa adalah anak Tuhan, kalo tidak maka kita dibunuh. Maka kita tidak berdosa jika mengatakannya. Kalo umat terdahulu jika dihadapkan pada pilihan semisal itu, maka tidak ada keringanan.

Jika memang memahaminya seperti itu, berarti semakin bersyukur kita terlahir sebagai umat Islam. Tidak seperti syari‘at umat terdahulu yg jika pakaian terkena najis, harus digunting pakaian yg terkena najis, harta gonimah harus dibakar.

& juga do‘a di ayat terakhir surat Al-Baqoroh
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ ۥ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا