Menyikapi Kesalahan ‘Ulama Ahlus-Sunnah

1 komentar

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitaabusy-Syuruuth (Syarat-Syarat) dalam Shahih-nya tentang kisah peristiwa (perjanjian damai) Al-Hudaibiyyah dan perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ke tempat tersebut. Di dalamnya disebutkan[1] :
وسار النبي صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان بالثَّنِيَّةِ التي يهبط عليهم منها بَرَكَت به راحلتُهُ، فقال النَّاسُ : حَلْ حَلْ، فألَحَّتْ فقَلوا : خلأت القصواءُ. فقال النّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : ((ما خلأت القصواء وما ذاك لها بخلقٍ ولكن حَسَبَهَا حَابسُ الفيل))....الحديث
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berjalan.  Hingga ketika sampai di Bukit Tsaniyyah tempat mereka turun, tiba-tiba kendaraan onta yang beliau naiki menderum.  Para shahabat berkata : ‘Lepaskan, lepaskan…’.  Ternyata onta tersebut malah mogok tidak mau jalan.  Para shahabat berkata : ‘Onta belang itu mogok’.  Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ia tidak mogok, dan tidak biasanya ia seperti itu.  Tetapi ia ditahan oleh yang menahan gajah…..” [al-hadiits].
Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata tentang fiqh hadits ini :
جواز الحكم على الشيء بما عرف من عادته وإن جاز أن يطرأ عليه غيره فإذا وقع من شخص هفوة لا يعهد منه مثلها لا ينسب إليها ويرد على من نسبه إليها معذرة من نسبه إليها ممن لا يعرف صورة حاله لأن خلاء القصواء لو لا خارق العادة لكان ما ظنه الصحابة صحيحا ولم يعاتبهم النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك لعذرهم في ظنهم
”Diperbolehkan menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang diketahui dari kebiasaannya, meskipun kemudian yang terjadi berbeda (dari kebiasaan tersebut).  Apabila seorang melakukan sesuatu kekeliruan yang tidak biasa terjadi padanya, maka ia tidak boleh divonis atau dihakimi begitu saja.  Tetapi harus ditolerir dan dimaafkan. Hal itu dikarenakan onta belang dalam hadits di atas seandainya ia tidak menyalahi kebiasaan, maka dugaan shahabat pasti benar dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari mereka karena mereka salah menduga seperti itu” [selesai].

Sungguh, Nabi shallalaahu ‘alaihi wasallam saja memaafkan binatang-binatang yang memang tidak dibebani kewajiban syari’at.  Lebih-lebih lagi apabila kita melihat seorang ’aalim (orang yang berilmu) melakukan suatu perbuatan, kemudian ia berbuat kekeliruan (yang tidak biasanya ia berbuat kekeliruan), maka ia pun lebih pantas untuk dimaafkan, tidak boleh divonis, atau dihakimi begitu saja, atau dikecam tanpa mempedulikan kapasitasnya sebagai orang yang baik serta memiliki banyak ilmu dan keutamaan.  Sebab kalau tidak demikian, niscaya hal tersebut akan menjadi penyebab pemisahan seorang ’aalim dengan ilmunya.  Sementara kita dilarang membantu syaithan untuk mencelakakan sesama saudara kita. Istidlal seperti itu sangat cermat dan tepat.  Semoga Allah merahmati Al-Haafidh Al-Kinaaniy Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy yang begitu luas wawasannya dan dalam pemahamannya, sehingga mampu menghukumi sesuatu dengan sangat bijaksana seperti di atas.
Ash-Shan’aniy rahimahullaahu ta’ala berkata[2] :
وليس أحدٌ من أفرادِ العلماء إلا وله نادرةٌ ينبغي أن تُغْمَرَ في جَنبِ فَضلِهِ وَتُجْتَنَبَ
”Tidaklah setiap individu ulama itu melainkan ia mempunyai satu keanehan (kekeliruan) yang sudah sepatutnya untuk dilupakan (tidak diungkit-ungkit) dan tidak perlu dipermasalahkan karena keutamaan yang dimilikinya” [selesai].
Abu Hilaal Al-’Askariy berkata[3] :
لا يضع من العالم الذي برع في علمه زلة، إن كان على سبيل السَّهْوِ والإغفال، فإنه لم يعر من الخطأ إلا من عصم اللهُ جَلَّ ذِكْرُهُ. وقد قالت الحُكَمَاءُ : ((الفاضل من عُدَّتْ سقطاتُهُ، وليتنا أدركنا بعض صوابهم أو كنا ممن يميزُ خطأهم)).
”Seorang ’aalim yang dalam ilmunya bisa saja terjatuh dalam kesalahan karena lupa atau lalai. Tidaklah ada seorang manusiapun yang bisa lepas dari kesalahan kecuali orang yang telah di-ma'shum-kan oleh Allah Yang Maha Besar (yaitu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam). Telah berkata ahli hikmah : ’Orang yang mempunyai keutamaan yang dihitung kesalahan-kesalahannyanya, dan alangkah celakanya kita yang menjumpai sebagian kebenaran mereka namun kita justru termasuk orang yang memilih kesalahan mereka (untuk disebutkan)” [selesai].
Terdapat beberapa kalimat dari para ulama agar memberikan ’udzur kepada para aimmah (pemimpin umat). Betapapun mereka (para aimmah) yang telah melakukan kesalahan, jangan sampai hal itu menjadi halangan bagi kita untuk mengambil manfaat dari ilmu dan keutamaannya.
Dan inilah perkataan Al-Haafidh Adz-Dzahabi – rahimahullahu ta’ala – ketika beliau menjelaskan biografi seorang mufassir (ahli tafsir) besar yang bernama Qataadah bin Di’aamah As-Saduusiy (wafat tahun 117 H) rahimahulaahu ta’ala, yaitu setelah beliau meminta untuk memberikan ’udzur kepadanya[4] :
ثم إن الكبير من أئمة العلم إذا كَثُرَ صوابُهُ، وعُلِمَ تَحَرِّيه للحقِّ واتَّسع علمُهُ، وظهر ذكاؤُهُ، وعُرِفَ صَلَاحُهُ وورعُهُ يُغْفَرُ له زَلَلُهُ، ولا نضَلِّله وطرحه ونَنسَى مَحَاسنهُ، نعم : ولا نقتدي به في بدعته وخطئته ونرجو التَّوبة من ذلك
”Sesunguhnya para ulama besar jika telah dimaklumi banyak kebenarannya (yang ada padanya), diketahui kecenderungannya kepada al-haq, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, shalih, dan wara’; maka dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Kita tidak menyesatkannya, mencampakkannya, dan melupakan segala kebaikan yang ada padanya. Benar, bahwasannya kita tidak boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya. Kita berharap agar ia mau bertaubat atas hal tersebut” [selesai].
Beliau (Adz-Dzahabi) juga berkata ketika memberikan pembelaan kepada Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwaziy rahimahullah dari serangan orang-orang yang mencelanya[5] :
ولو إنا كلما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفوراً له، قمنا عليه، وبدَّعناه وهجرناه، لما سَلِمَ معنا لا ابنُ نَصر ولا ابن منده، ولا من هو أكبرُ منهما، والله هو هادي الخلْق إلى الْحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة
”Seandainya setiap perkataan imam yang keliru dalam ijtihadnya pada permasalahan-permasalahan yang sebenarnya hal itu masih bisa diampuni; lantas kita kecam ia, kita bid’ahkan ia (sebagai ahlul-bid’ah), dan kita hajr ia,.... maka tidak akan ada (seorang ulama pun) yang selamat. Tidak Ibnu Nashr (Al-Marwaziy), tidak Ibnu Mandah, tidak pula ulama yang lebih besar dari keduanya. Allah adalah Pemberi Petunjuk makhluk-Nya kepada kebenaran, dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang. Kita berlindung kepada Allah dari bisikan hawa nafsu dan berkata kasar” [selesai].
Ketika memaparkan biografi Ibnu Khuzaimah rahimahullaahu ta’ala (wafat tahun 311 H), Adz-Dzahabi berkata :
وكتابُهُ في التوحيد، مُجَلِّدٌ كبيرٌ، وقد تأوَّل في ذلك حديث الصُّورة، فلْيُعْذَرْ من تَأَوَّلَ بعضَ  الصِّفاتِ، وأمَّا السَّلف فما خاضوا في التأويل، بل آمنوا وكفُّوا، وَفَوَّضُوا عِلْمَ ذلك إلى الله ورسوله، ولو أن كلَّ من أخطأ في اجتهاده - مع صِحَّةِ إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحق - أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ من يَسلَم من الأئمة معنا. رحم الله الجميع بمنِّهِ وكَرَمِهِ
”Kitabnya yang berbicara tentang masalah tauhid cukup besar (tebal). Ia telah melakukan ta’wil dalam hadits ash-shuurah. Maka hendaknya diberikan ’udzur orang yang menakwilkan sebagian shifat Allah, kendatipun (kita tahu bahwa) salaf tidak mau melakukan ta’wil. Akan tetapi, (dalam masalah shifat Allah) mereka mengimaninya, menahan diri, dan menyerahkan ilmu (kaifiyat) tentang hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila setiap orang yang melakukan kesalahan dalam ijtihadnya – sementara itu telah dipersaksikan kebenaran imannya dan mempunyai komitmen tinggi untuk mengikuti kebenaran – kemudian kita kecam dan kita bid’ahkan ia (sebagai ahlul-bid’ah), niscaya sangat sedikit ulama yang akan selamat dari tindakan kita tersebut. Semoga Allah merahmati mereka semua dengan anugerah dan kedermawanan-Nya” [selesai].
Dalam biografi Ibnu ’Abdil-Hakam, Adz-Dzahabi menjelaskan[6] :
قلتُ : له تصانيفُ كثيرةٌ، منها : كتاب في الردِّ على الشافعي. وكتاب أحكام القرآن، وكتاب الرّد على فقهاء العراق، وما زال العلماء قديماً وحديثاً يَرُدُّ بعضهم على بعضٍ في البحث وفي التَّواليف، وبمثل ذلك يَتَفَقَّهُ العالمُ، وَتَتَبَرْهَنُ له المشكلات، ولكن في زماننا قد يُعاقَبُ الفقيهُ إذا اعتنى بذلك لسوءِ نيته، ولطلبه للظهور والتَّكثُّر، فيقوم عليه قضاة وأضداد، نسأل الله حسن الخاتمة وإخلاص العمل
”Aku katakan : ia mempunyai banyak karya tulis, diantaranya kitab dalam rangka bantahan kepada Asy-Syaafi’iy. Juga kitab Ahkaamul-Qur’aan dan Ar-Radd ’alaa Fuqahaa’ Al-’Iraaq. Dan hal itu terus-menerus berlangsung dimana para ulama dahulu hingga sekarang memberikan bantahan sebagian kepada sebagian yang lain dalam beberapa pembahasan/permasalahan. Mereka terus berlomba memperdalam ilmu dan menjelaskan beberapa permasalahan (kepada umat). Namun (sunguh memprihatinkan) di jaman kita sekarang ini, dimana ada seorang faqih yang melakukan hal tersebut langsung divonis salah dengan tuduhan jeleknya niat yang ada pada dirinya, sehingga ia dikecam habis-habisan dan bahkan berurusan dengan pengadilan. Kita memohon kepada Allah husnul-khaathimah dan ikhlashnya ’amal” [selesai].
Telah berkata Asy-Syaikh Thaahir Al-Jazaairi (wafat tahun 1338 H) saat di tempat tidurnya menjelang kematiannya[7] :
عدُّوا رجالكم، واغفروا لهم بعضَ زَلَّاتِهم، وعضّوا عليهم بالنواجذ لتستفيد الأُمة منهم، ولا تُنَفِّرُوهم لئلا يزهدوا في خدمتكم
”Kembalilah kepada ulama kalian dan maafkanlah sebagian kesalahan mereka. Gigit erat mereka dengan gigi gerahammu agar umat bisa mengambil manfaat dari mereka. Jangan kalian menjauhi mereka agar supaya mereka dapat belaku zuhud dalam berkhidmat kepada kalian” [selesai].
Hal di atas perlu disebutkan mengingat bala’ yang telah menimpa para ulama (Ahlus-Sunnah) akibat ulah sebagian orang-orang yang bodoh yang cenderung membesar-besarkan permasalahan. Hanya Allah lah tempat dimintai pertolongan dari apa-apa yang mereka lakukan.
Adapun mubtadi’, maka perkaranya berbeda. Kita harus bersikap waspada dan hati-hati terhadap mereka. Wajib atas kita untuk menjelaskan dan men-tahdzir mereka atas kebid’ahan yang mereka lakukan. Kita peringatkan umat agar tidak bergaul dan berkumpul dengan mereka, karena hal itu merupakan racun yang membunuh.

--- selesai, diambil dengan peringkasan dari buku Al-Majmuu’atul-’IlmiyyahAt-Ta’aalum, karya Asy-Syaikh Dr. Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid rahimahullaahu ta’ala, hal. 100-108; Daarul-’Aashimah, Cet. Thn. 1416 H ----

NB : Dan itulah keprihatinan kita sekarang dimana banyak orang juhaal yang menodai kehormatan ’ulamaa dan asaatidzah Ahlus-Sunnah berdasarkan taqliid, suu’udh-dhann, dan suu’ul-fahm. Nas-alullaaha as-salaamah wal-’aafiyah. [Abul-Jauzaa’, Bogor – Shaffar 1430]


[1]   Fathul-Baariy 5/335-336.
[2]  Subuulus-Salaam, sebagaimana dinukil oleh Abu Madyan Asy-Syinqithiy dalam Ash-Shawaarimul-Asinnah, hal. 12.
[3]   Syarh Maa Yaqa’u fiihit-Tashhiif, hal. 6.
[4]   As-Siyar 5/271.
[5]   Idem, 14/40.
[6]   Idem, 12/500-501.
[7]   Kunuuz Al-Ajdaad.

Lafadh Takbir dan I'tidal Imam Tidak Lengkap ?

5 komentar

Tanya : Di dalam shalat berjama’ah saya sering mendengar imam dalam perpindahan dari rukun satu ke rukun yang lain (takbir intiqal), hanya mengucapkan “Allah” saja dan i’tidal “sami’allaah” saja. Bagaimana hukumnya ?

Jawab : Lafadh takbir dalam shalat haruslah dibaca lengkap, yaitu Allaahu Akbar [اللهُ أَكْبَر], karena hal tersebut adalah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh dibaca “Allaah” saja.

أن بن عمر قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام للصلاة رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبر فإذا أراد أن يركع فعل مثل ذلك وإذا رفع من الركوع فعل مثل ذلك ولا يفعله حين يرفع رأسه من السجود

Ibnu ‘Umar berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam jika berdiri melakukan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua pundaknya, lalu bertakbir. Apabila akan ruku’, beliau lakukan seperti itu. Apabila akan bangun dari ruku’, beliau lakukan seperti itu. Beliau tidak melakukan yang demikian itu ketika mengangkat kepalanya saat bangun dari sujud” [HR. Muslim nomor 390, lihat Muskhtashar Shahih Muslim nomor 272].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

إنه لا تتم صلاة لأحد من الناس حتى يتوضأ، فيضع الوضوء مواضعه، ثم يقول: الله أكبر

“Sesungguhnya tidaklah sempurna shalat salah seorang di antara manusia hingga ia berwudlu dan meletakkan wudlu pada tempatnya, lalu berkata : Allaahu akbar (yaitu pada takbiratul-ihram)” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir nomor 4526 dengan sanad shahih].

Demikian pula tentang ucapan bangkit dari ruku’. Yang benar adalah ucapan “sami’allaahu liman hamidah” [سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ].

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا قال الإمام سمع الله لمن حمده فقولوا اللهم ربنا لك الحمد

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Apabila imam berkata sami’allaahu liman hamidah ; maka katakanlah : Allaahumma rabbanaa lakal hamdu “ [HR. Muslim nomor 409].

Dari hadits-hadits di atas jelaslah bahwa kondisi ucapan imam sebagaimana yang ditanyakan adalah tidak benar dan menyalahi contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jika imam tersebut hanya membaca “Allah” saja dalam Takbiratul-Ihram, maka shalatnya tidak sah. Sebab Takbiratul-Ihram (takbir permulaan shalat) termasuk rukun shalat. Dan jika takbir seperti itu dilakukan pada takbir perpindahan rukun (takbir intiqal), maka tidak sampai membatalkan shalatnya (akan tetapi ia tetap menyalahi sunnah dan merusak pahala kesempurnaan shalatnya).

Akan tetapi jika keadaannya adalah imam tersebut ketika bertakbir hanya menyuarakan “Allah” saja, sedangkan “Akbar”-nya tetap dibaca (namun tidak dikeraskan); maka ini merupakan tindakan menyelisihi sunnah, walaupun tidak sampai membatalkan shalatnya. Allaahu a’lam. [Abul-Jauzaa' - Shaffar, 1430].

Kedudukan As-Sunnah dalam Islam - Manziilatus-Sunnah fil-Islaam

1 komentar

Oleh : Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah
Alhamdulillaah, wash-shalaatu was-salaamu ’alaa Rasuulillah wa aalihi wa shahbihi wa man waalaahu, wa ba’d :
Ini merupakan muhadlarah yang pernah aku (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah) sampaikan di kota Dauhah ibu kota Qatar, pada bulan Ramadlan tahun 1342 H. Namun sebagian ikhwan meminta kepadaku agar ceramah tersebut ditulis menjadi sebuah buku; karena muhadlarah tersebut mengandung banyak faedah yang penting.
Maka akupun memenuhi permintaan tersebut untuk menyebarkan manfaatnya. Sebagai peringatan, aku tambahkan pula sebagian judul untuk membantu pembaca dalam memahami inti permasalahan setiap pembahasannya. Aku berharap Allah agar mencatatku termasuk orang yang membela agama-Nya, membela syari’at-Nya, serta menuliskan pahala untukku. Dia adalah semulia-mulianya tempat meminta.

Hukum "Nitip Absen"

0 komentar

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah


Soal : Kadangkala teman kuliah saya meminta bantuan saya saat pertemuan kuliah dilangsungkan untuk mencantumkan tanda kehadirannya (nitip absen)[1] padahal ia tidak hadir. Yaitu, ketika lembar kehadiran diedarkan, dan kemudian saya tulis namanya. Apakah hal ini termasuk bantuan yang bersifat kemanusiaan, ataukah termasuk kecurangan dan penipuan ?

Jawab : Itu memang bantuan,… tapi bantuan syaithaniyyah. Syaithan menyukai perbuatan ini yaitu mengabsenkan orang yang tidak hadir. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu diwaspadai :

Pertama, kebohongan/dusta; kedua, khianat terhadap penanggung jawab perkuliahan; ketiga, ia telah menjadikan orang yang tidak hadir ini mendapatkan tunjangan kehadiran yang dengan itu ia mengambil dan memakan tunjangan tersebut secara bathil. Salah satu saja dari ketiga hal ini telah cukup untuk menyatakan keharaman perbuatan tersebut dimana dhahir pertanyaan yang diajukan dipandang sebagai bagian dari perkara (bantuan) kemanusiaan.

Bantuan kemanusiaan tidaklah terpuji secara mutlak. Apa-apa yang sesuai dengan syari’at, maka itu terpuji; dan apa-apa yang menyelisihi syari’at, maka ia tercela. Pada hakekatnya, segala sesuatu yang menyelisihi syari’at dari apa-apa yang disebut sebagian orang sebagai perbuatan kemanusiaan, maka itu adalah penamaan yang bukan pada tempatnya. Segala sesuatu yang menyelisihi syari’at maka itu adalah perbuatan hewani. Karena itulah Allah menyifati perbuatan orang-orang kuffar dan musyrikin seperti perbuatan binatang; sebagaimana firman-Nya :

يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

”Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” [QS. Muhammad : 12].

Dan juga firman-Nya :

إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِي

”Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [QS. Al-Furqaan : 44].

Maka, setiap hal yang menyelisihi syari’at adalah perbuatan hewani, bukan perbuatan manusiawi.[selesai]

 

[Fataawaa Islaamiyyah, oleh Ibnu ’Utsaimin (4/329-340) – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ pada tanggal 29 Muharram 1430 di Ciomas Permai, Bogor].

 

 

Teks asli :

السؤال : أحياناً يطلب مني زميلي في المحاضرة أن أقوم بتحضيره مع أنه غائب حيث تمر ورقة التحضير فأكتب اسمه. فهل هذه خدمة إنسانية، أم أنه نوع من الغش والخداع ؟.

الجواب : هي خدمة ولكنها خدمة شيطانية يمليها الشيطان على هذا الذي فعل وحضّر من ليس بحاضر وفي ذلك ثلاثة محاذير :

المحذور الأول : الكذب، والمحذور الثاني : خيانة المسؤولين في هذه المسلحة، والمحذور الثالث : أنه يجعل هذا الغائب مستحقاً للراتب المرتب على الحضور، فيأخذه ويأكله بالباطل. وواحد من هذه المحاذير يكفي بالقول في تحريم هذا التصرف الذي ظاهر سؤال السائل أنه من الأمور الإنسانية.

والأمور الإنسانية ليست محمودة على الإطلاق بل ما وافق الشرع منها فهو محمود وما خلف الشرع فهو مذموم. والحقيقة أن ما خالف الشرع مما يقال عنه عمل إنساني فإنه اسم على غير مسماه. لأن ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي، ولهذا وصف الله الكفار والمشركين بأنهم كالأنعام : (يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ) [سورة محمد، الأٓية : ١٢] وقال : (إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا) [سورة الفرقان، الأٓية : ٤٤]. فكل ما خالف الشرع فهو عمل بهيمي لا إنساني.

 

[فتاوى إسلامية، ابن عثيمين (٤/٣٢٩،٣٣٠)]



[1]     Yang lebih tepat secara bahasa adalah nitip presensi (kehadiran).

Petunjuk Praktis Hukum dan Kaifiyah Shalat Beserta Dalil-Dalilnya

29 komentar

Shalat adalah satu ibadah ’amaliy terbesar yang harus dilakukan muslim yang pernah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Ia merupakan tiang agama. Namun sayangnya, banyak diantara kaum muslimin yang menyia-nyiakannya. Ini adalah musibah bagi dirinya dan juga kaum muslimin seluruhnya......
Diantara yang telah mengerjakannya (dan kita ucapkan alhamdulillah atas hal ini), masih banyak yang tidak mengerti akan hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat. Bagaimana cara yang benar dalam shalat. Oleh karena itu, di sini saya akan mencoba meringkaskannya tentang bahasan ini..... Semoga Allah ta’ala menjadikannya satu kemanfaatan bagi diri saya (di dunia dan di akhirat), juga bagi kaum muslimin semua.

Yahudi Bukan Israail (Israel)

0 komentar

Oleh : Asy-Syaikh Dr. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah
Israiliyyuun :
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Aalu Mahmud mempunyai satu risalah yang berjudul : Al-Ishlaah wat-Ta’diil fiimaa Thara-a ‘alaa Ismil-Yahuud wan-Nashaaraa minat-Tabdiil, dimana di dalamnya terdapat satu penelitian/penjelasan yang menyinggung bahwasannya “Yahudi” telah terlepas dari Bani Israil akibat kekufuran mereka di jaman Bani Israil; seperti halnya terlepasnya Ibrahim Al-Khaliil ‘alaihis-salaam dari bapaknya yang bernama Azar. Kekufuran itu memutus loyalitas antara kaum muslimin dengan kafirin, sebagaimana terdapat dalam kisah Nuh bersama anaknya (yang kafir). Oleh karena itu, keutamaan itu ada pada Bani Israail, bukan pada Yahudi sedikitpun. Karenanya, pemutlakan istilah Bani Israail untuk Yahudi akan mengkonsekuensikan penyematan keutamaan-keutamaan bagi mereka dan (sebaliknya justru) menutupi kejelekan-kejelekan yang ada pada mereka. Hal itu menyebabkan hilangnya perbedaan antara Bani Israail dengan Yahudi yang dimurkai dan dihinakan oleh Allah dimana saja mereka berada.
Hal itu sebagaimana tidak diperbolehkannya mengganti nama ”Nashara” dengan ”Masiihiyyin” sebagai nisbat kepada pengikut Al-Masiih (’Isa) ’alaihis-salaam. Ini merupakan perkara yang baru yang tidak ada asal-usulnya dalam sejarah dan dalam pengamalan para ulama. Hal itu (sebagaimana telah maklum), disebabkan kaum Nashara telah mengganti dan mengubah ajaran agama yang dibawa oleh Al-Masiih ’alaihis-salaam, sama seperti perbuatan Yahudi terhadap agama Musa ’alaihis-salaam. Segala penamaan adalah tidak ada asalnya. Allah hanya menamakan ”Nashara”, bukan ”Al-Masiihiyyin”. (Allah telah berfirman) : ”dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai (nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al-Anfaal : 34).
Dan dikarenakan kekafiran Yahudi dan Nashrani atas syari’at yang dibawa Muhammad shallallaau ’alaihi wasallam menjadi sebab penyebutan diri mereka sebagai orang-orang kafir. Allah ta’ala telah berfirman : ”Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. Al-Bayyinah : 1). Sesungguhnya Yahudi adalah nama bagi orang-orang-orang yang tidak beriman kepada Musa ’alaihis-salaam. Adapun yang beriman kepadanya, maka dinamakan Bani Israaiil. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi sendiri merasa tidak senang dengan penyebutan ”Yahudi” kepada mereka.
[selesai – Mu’jam Al-Manaahiyyil-Lafdhiyyah, oleh Asy-Syaikh Dr. Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid, hal. 93-94, Daarul-’Aashimah, Cet. 3/1417 H – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’].
Teks Asli :
إسرائيليون :
للشيخ عبد الله بن زيد آل محمود رسالة باسم : ((الإصلاح والتعديل فيما طرأ على اسم اليهود والنصارى من التبديل)) فيها تحقيق بالغ بأن ((يهود)) انفصلوا بكفرهم عن بني إسرائيل زمن بني إسرائيل، كانفصال إبراهيم الخليل، عليه السلام، عن أبيه آزر، والكفر يقطع الموالاة بين المسلمين والكافرين، وكما في قصة نوح مع ابنه؛ ولهذا فإن الفضائل التي كانت لبني إسرائيل ليس ليهود منها شيء؛ ولهذا فإن إطلاق اسم بني إسرائيل على ((يهود)) يكسبهم فضائل ويحجب عنهم رذائل، فيزول التميز بين بني إسرائيل وبين ((يهود)) المغضوب عليهم، الذين ضربت عليهم الذلة والمسكنة.
كما لا يجوز إبدال اسم ((نصارى)) بالمسيحيين نسبة إلى أتباع المسيح، عليه السلام، وهي تسمية حادثة لا وجود لها في التاريخ، ولا استعمالات العلماء؛ لأن النصارى بدَّلُوا دينا المسيح وحرَّفوه، كما عمل يهود بدين موسى عليه السلام. وهذه تسمية ليس لها أصل، وإنما سمَّاهم الله ((النصارى)) لا ((المسيحيين)) (وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ).
ولكفر اليهود والنصارى بشريعة محمد صلى الله عليه وسلم صار التعبير عنهم بالكافرين، قال الله تعالى : (لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ) الأٓية،
إن ((يهود)) عَلَمٌ لمن لم يؤمن بموسى عليه السلام، فأما من آمن به فهم ((بني إسرائيل)) ولهذا فهم يشمئزون من تسميتهم بهذا ((يهود))

Tidak Ada Permusuhan Antara Muslim (Umat Islam) dengan Yahudi

16 komentar

Itulah yang dikatakan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradlawi sebagaimana yang diberitakan oleh eramuslim beberapa waktu lalu pada pertemuannya dengan tiga orang rabi Yahudi di rumahnya (di Qatar). Katanya, kita (muslim) hanya menentang gerakan zionis yang ekspansif dan menyebarkan permusuhan.
Jika berita itu benar, maka ini bukanlah hal yang terlalu baru untuk kita dengar. Dalam beberapa kesempatan beliau seringkali mengulang-ulang perkataannya ini yang intinya adalah bahwa permusuhan kaum muslimin dengan Yahudi bukan karena masalah agama/’aqidah. Semakna dengan itu, dalam kitab Al-Halaal wal-Haraam fil-Islaam (hal. 47) beliau berkata :
وقد شرعت لنا موادتهم - أي أهل الكتاب - بمواكلتهم ومعاهدتهم وحسن معاشرتهم
”Sungguh telah disyari’atkan bagi kita untuk berkasih-sayang dengan mereka – yaitu Ahli Kitab – dengan cara saling mempercayai, mengadakan perjanjian dengan mereka, dan berbuat baik bersama mereka”.[1]
Tentu saja ini sangat kita ‘maklumi’, karena pendahulu beliau – yakni Al-Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah – telah mengatakan perkataan yang serupa :
أن خصومتنا لليهود ليست دينية لأن القران حض على مصافاتهم ومصادقتهم
“Sesungguhnya permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah karena perkara agama, karena Al-Qur’an telah menganjurkan untuk bershahabat dan berteman dengan mereka”.[2]
إن الإسلام الحنيف لا يخاصم ديناً ولا يهضم عقيدة
“Sesungguhnya Islam yang hanif (lurus) itu tidaklah memusuhi satu agamapun, juga tidak menyerang/menganiaya satu ‘aqidahpun”.[3]
Tidak bisa tidak, perkataan-perkataan di atas adalah perkataan yang bathil dan faasid. Sangat bertentangan dengan nash-nash yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah ta’ala telah menjelaskan karakter orang-orang yang beriman sebagai orang yang tidak berkasih-sayang kepada orang kuffar :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadilah : 22].
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas :
لا تجد يا محمد قوماً يصدقون اللهَ، ويُقِرُّون باليوم الاخر، يوادُّ من عادى اللهَ ورسولَه وشاقَّهما، وخالفَ أمرَ اللهِ ونهيَه
”(Yaitu : ) Tidaklah akan engkau temui wahai Muhammad, satu kaum yang membenarkan Allah dan hari akhir berkasih-sayang dengan orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta menyelisihi perintah dan larangan Allah”.[4]
Orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya ini mutlak, baik ia seorang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala, atau yang sejenisnya. Baik ia memerangi kaum muslimin atau tidak. Hal itu dikarenakan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya adalah orang yang menentang syari’at Allah yang diturunkan melalui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hal itu sebagaimana tercermin dalam penjelasan Al-Imam Ibnu Jarir di atas.
Allah ta'ala berfirman :
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ * وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
"Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 80-81].
Ikhwah muslimin,....... bagaimana kita bisa mengatakan bahwa permusuhan Yahudi dan Nashrani bukan berdasarkan agama dan ‘aqidah ? Bukan perwujudan ’aqidah al-walaa’ wal-baraa’ kita adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci serta memusuhi apa yang dibenci dan dimusuhi Allah ? Allah ta’ala mencintai keimanan dan orang-orang yang beriman. Atas dasar itu kita mencintai keimanan dan orang-orang yang beriman. Allah ta’ala membenci dan memusuhi kekafiran/kemaksiatan dan orang-orang kafir. Atas dasar itu pulalah kita membenci kekafiran dan orang-orang kafir.
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
”Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” [QS. Al-Hujuraat : 7].
Orang-orang kafir (Yahudi, Nashrani, penyembah berhala, dan yang semisalnya) adalah jenis-jenis orang yang harus kita berikan kebencian/permusuhan secara total – selama-lamanya.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ لأسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali” [QS. Al-Mumtahanah : 4].
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menandaskan kesempurnaan iman seseorang yang mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Cinta dan bencinya hanya karena Allah semata. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إن أوثق عرى الإيمان أن تحب في الله وتبغض في الله
”Sesungguhnya ikatan iman yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.[5]
من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان
”Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah; sungguh telah sempurna imannya”.[6]
Asy-Syaikh Shaalih bin Fauzaan hafidhahullah pernah ditanya :
”Apa komentar Anda terhadap orang yang mengatakan : ’Sesungguhnya permusuhan kita (kaum muslimin) dengan orang Yahudi bukan karena masalah dien. Sesungguhnya Al-Qur’an menganjurkan untuk berteman dan bershahabat dengan mereka ?”.
Beliau pun menjawab :
هذا الكلام فيه خلط وتضليل، اليهود كفار، وقد كفَّرهم الله – تعالى – ولعنهـم، وكفّـرهم رسـول الله  ولعنهم، قال – تعالى - : ] لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيل [ . وقال e: (( لعنـة الله على اليهـود والنصارى )) . وقال تعالى : ] إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ [. وقال تعـالى: ] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَـاءُ بَعْضٍ [. فعداوتنا لهم دينية، ولا يجوز لنا مصادقتهم، ولا محبتهم؛ لأن القرآن نهانا عن ذلك، كما في الآية التي سبق ذكرها .
”Perkataan ini kacau dan menyesatkan. Yahudi adalah orang kafir. Mereka telah dikafirkan dan dilaknat Allah ta’ala. Dan mereka telah dikafirkan dan dilaknat pula oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Allah ta’ala telah berfirman : ”Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil”.[7] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Allah telah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani”.[8] Allah t’ala telah berfirman : ”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.[9] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.[10] Maka, permusuhan kita dengan mereka adalah karena perkara agama. Tidak diperbolehkan bagi kita untuk membenarkan dan mencintai mereka, dikarenakan Al-Qur’an telah melarang kita akan hal itu sebagaimana ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya”.[11]
Namun, kebencian dan permusuhan yang kita berikan kepada orang kafir Yahudi ini tidaklah mengkonsekuensikan kita boleh berlaku dhalim terhadap mereka. Kita tetap boleh bermuamalah secara ma’ruf serta tetap dituntut berlaku ’adil dengan mereka selama mereka tidak berbuat dhalim kepada kita.
Allah ta’ala berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Ayat di atas merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها "فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم" [التوبة: 5]. وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى.
”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah bagi orang-orang (kafir) yang tidak memerangi kaum mukminin dan tidak memusuhinya. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap semacam ini terjadi di permulaan Islam dan pada waktu perdamaian dan gencatan senjata lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dimansukh oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5). Ada pula yang mengatakan : ’Ayat di atas tadi berlaku karena ada sebab tertentu, yaitu perdamaian. Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah hukumnya, tinggal bacaannya’”.[12]
Dan yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak)[13]. Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Sebab, kecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh ulama. Dan itu terlarang secara asal dalam Islam. Allah ta’ala telah berfirman :
لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. [QS. Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ثم البر والصلة والإحسان لا يستلزم التحابب والتوادد المنهي عنه في قوله تعالى ‏:{ لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ}  الآية فإنها عامة في حق من قاتل ومن لم يقاتل والله أعلم‏.‏ ا هـ‏.
”Kemudian,... kebajikan, hubungan, dan kebaikan tidak mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan seperti yang terkandung dalam firman Allah : ”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya”.  Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam”.[14]
Permusuhan antara kaum muslimin dengan Yahudi ini akan terus abadi hingga hari kiamat kelak. Bahkan, tidak akan tegak hari kiamat hingga kaum muslimin memerangi dan menghabisi kaum Yahudi (yang kafir) sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تقوم الساعة حتى يقاتل المسلمون اليهود فيقتلهم المسلمون حتى يختبئ اليهودي من وراء الحجر والشجر فيقول الحجر أو الشجر يا مسلم يا عبد الله هذا يهودي خلفي فتعال فاقتله إلا الغرقد فإنه من شجر اليهود
”Kiamat tidak akan terjadi sehingga kaum muslimin memerangi Yahudi, lalu kaum muslimin akan membunuh mereka sampai-sampai setiap orang Yahudi yang bersembunyi di balik batu dan pohon, namun batu dan pohon itu berkata : ’Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ada orang Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia !’. Kecuali pohon Gharqad, karena ia adalah pohon Yahudi”.[15]
Peperangan ini adalah peperangan antara keimanan dan kekafiran.[16] Bukankah bendera Yahudi ini akan berada di belakang Dajjal ? Bukankah Dajjal ini adalah fitnah yang paling besar yang muncul di akhir jaman ? Bukankah tidak ada fitnah yang lebih besar daripada fitnah kekafiran yang dibawanya ? Tidaklah ’Isa bin Maryam kelak memerangi dan membunuh Dajjal dan orang-orang Yahudi (juga Nashrani) melainkan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah dan menghancurkan kekafiran dan segala simbolnya.
Dan yang lebih mengherankan lagi dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, Dr. Al-Qaradlawi menyebutkan Muslim dan Yahudi adalah sama-sama pengikut dua agama Ibrahim yang meyakini kitab suci Taurat yang asli yang sangat dekat dengan umat Islam. Tambahnya lagi, umat Islam dan Yahudi mempunyai kesamaan ritual keagamaan yang khitan bagi laki-laki, larangan memakan daging babi, dan yang lainnya. Itu semua beliau katakan untuk menguatkan bahwa antara Muslim dan Yahudi tidak ada permusuhan hakiki (karena agama/’aqidah) karena banyak persamaan di antara mereka.
Apakah mungkin beliau yang dikatakan sebagai ketua International Union for Muslims Scholar (UIMS) lupa tentang ayat :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
”Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata : "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula) : "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) : "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan : "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis” [QS. An-Nisaa’ : 46].
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ * وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلا بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ عِنْدَ رَبِّكُمْ أَفَلا تَعْقِلُونَ * أَوَلا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ * وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ * فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: "Kami pun telah beriman," tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: "Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujahmu di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti?" Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan? Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan” [QS. Al-Baqarah : 75-79].
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Baqarah : 145].
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
”Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas” [QS. Al-Maaidah : 78].
Perhatikan ayat-ayat di atas !! Apa yang beliau katakan bahwa Yahudi beriman kepada Taurat, sebenarnya telah dibantah oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an. Orang-orang Yahudi telah mengubah Taurat dengan tangan-tangan mereka, menyembunyikan kebenaran dan tidak mengamalkan kebenaran yang ada (dalam Taurat). Jika Dr. Al-Qaradlawi mengatakan bahwa Yahudi mengakui satu Tuhan, namun apakah beliau lupa bahwa Allah telah menegaskan bahwa orang Yahudi mengatakan ‘Uzair itu anak Allah yang dengan itu menyebabkan kekafiran mereka ? Jikalau ada orang Yahudi yang tidak meyakini bahwa ‘Uzair itu bukan anak Allah, cukuplah pengingkaran dan penolakan mereka terhadap risalah Islam yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai satu kekafiran yang sangat besar. Allah berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [QS. Aali ‘Imraan : 85].
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
”Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” [QS. Aali ‘Imraan : 19].
Jika Dr. Al-Qaradlawi kagum atas kebaikan yang dilakukan Yahudi di Mesir atau di negerinya sekarang (Qatar), bukankah Allah ta’ala telah berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [QS. Al-Furqaan : 23] ????
Semuanya itu tidak akan banyak bermanfaat jika tidak diikuti dengan keimanan, ketauhidan, dan ittiba’ kepada risalah yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hanya kepada Allah ta’ala kita memohon petunjuk.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Abul-Jauzaa’ – Muharram 1430 H.


Kutipan dari eramuslim : http://www.eramuslim.com/berita/dunia/syaikh-yusuf-qaradawi-umat-islam-tidak-memusuhi-yahudi-tapi-zionis.htm :
Cendikiawan dan Ulama Muslim dunia, Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa umat Islam tidak memusuhi orang-orang Yahudi. Umat Islam, kata Qaradawi, hanya menentang gerakan orang-orang Zionis yang ekspansif dan menyebarkan permusuhan.Qaradawi yang juga mengetuai International Union for Muslims Scholars (IUMS) mengungkapkan hal tersebut saat menerima kunjungan tiga Rabbi Yahudi Neturei Karta yang anti gerakan Zionisme.Menurut Qaradawi, selama berabad-abad orang-orang Yahudi hidup damai di negara-negara Muslim. "Orang-orang Yahudi adalah orang-orang paling kaya di Mesir dan banyak negara Muslim lainnya. Tidak ada permusuhan antara Muslim dan Yahudi, " tukas Qaradawi saat menerima ketiga Rabbi itu di rumahnya di Qatar.Pernyataan Qaradawi dibenarkan oleh Rabbi Aharon Cohen, yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi yang tinggal di negeri-negeri Muslim tidak mengalami banyak masalah. Para Rabbi Yahudi Neturei Karta yang mengunjungi Qaradawi, mengenakan lencana bertuliskan "Saya orang Yahudi, bukan Zionis."Lebih lanjut Syaikh Qaradawi mengatakan bahwa Muslim dan Yahudi adalah sama-sama pengikut dua agama Ibrahim. Yahudi yang meyakini kitab suci Taurat yang asli, sangat dekat dengan umat Islam. "Pengikut dua agama ini memiliki ritual dan ajaran agama yang sama seperti, kewajiban sunat bagi laki-laki, memotong hewan dengan cara yang halal, melarang daging babi dan melarang patung-patung diletakkan di dalam masjid atau sinagog, " papar Qaradawi. Umat Islam dan Yahudi, tambah Qaradawi, sama-sama diburu ketika kekuasaan Islam di Andalusia jatuh.Di masa kini, kata Qaradawi, umat Islam dan Yahudi yang sama-sama meyakini satu Tuhan, selayaknya bekerjasama untuk memerangi ateisme, pornografi, lesbian dan homoseks serta ketidakadilan.Ia juga menekankan pentingnya memperkuat hubungan antara Muslim dan Yahudi, untuk menghadapi ancaman Zionisme dan negara Israel yang didirikan di atas puing kehancuran bangsa Palestina. "Umat Islam menentang penjajahan dan gerakan Zionisme yang menindas, bukan orang-orang Yahudinya, " tegas Qaradawi.Rabbi Cohen menambahkan, "Yudaisme, yang berdasarkan pada ajaran Taurat yang benar, tidak mengakui Zionisme. Taurat dan Yudaisme tidak membenarkan penjajahan, pembunuhan dan pengusiran orang dari rumah-rumah mereka."Zionisme adalah gerakan politik internasional yang berambisi untuk menciptakan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Gerakan ini berhasil mendirikan negara Yahudi, Israel pada 15 Mei 1948 dengan merampas tanah dan mengusir bangsa Palestina.Juru Bicara Neturei Karta, Rabbi Yisrael Weiss menyatakan, praktek-praktek yang dilakukan Israel bertentangan dengan ajaran Yudaisme.Neturei Karta sendiri adalah organisasi yang mewakili ratusan ribu penganut Yahudi Ortodoks di seluruh dunia yang menentang gerakan Yahudi Zionis. Neturei Karta meyakini, berdirinya negara Palestina dan dihapusnya negara Israel akan membawa perdamaian di Timur Tengah."Taurat dan sejarah Yahudi mengatakan bahwa suatu hari negara Israel akan runtuh, " tandas Rabbi Weiss. 



[1]     Dinukil melalui perantaraan kitab Al-I’laam bin-Naqdi Kitaab Al-Halaal wal-Haraam fil-Islaam oleh Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 5, Maktabah Al-Misykah.
[2]     Al-Ikhwaanul-Muslimuun Ahdaats Shana’at At-Taariikh 1/409.
[3]     Mawaaqifun fid-Da’wati wat-Tarbiyyah hal. 163.
[4]     Tafsir Ath-Thabariy 22/493 (tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy).
[5]     Dikeluarkan oleh Ahmad 4/286 dan Ibnu Abi Syaibah 11/41, 13/229. Berkata Al-Arna’uth : Hasan bi-syawahidihi.
[6]     Dikeluarkan Abu Dawud no. 4681, At-Tirmidzi no. 2521, Ahmad 3/438, dan yang lainnya; shahih.
[7]     QS. Al-Maaidah : 78.
[8]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 425 dan Muslim no. 531.
[9]     QS. Al-Bayyinah : 6.
[10]    QS. Al-Maaidah : 51.
[11]    Al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an As-ilatil-Manaahijil-Jadiidah oleh Jamaal bin Furaihaan Al-Haaritsi, Cet. 2, soal no. 20.
[12]    Tafsir Al-Qurthubiy 20/407 (tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy).
[13]    Yaitu bolehnya bermuamalah dan berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum muslimin atau terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
[14]    Fathul-Baariy 5/233.
[15]    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2926 dan Muslim no. 2922.
[16]    Bukan semata-mata perebutan sejengkal tanah sebagaimana was-was yang dihembuskan orang-orang belakangan.