Rumah Tangga Sakinah Bagi Seorang Wanita


Pendahuluan
Bagi seorang wanita mukminah, pernikahan adalah salah satu perwujudan salah satu Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sarana untuk mencapai keridlaan-Nya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain di hari kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu penekan hawa nafsunya” [HR. Ibnu Majah no. 1846; shahih].
Jika seseorang meniatkan di awal pernikahannya sebagai satu niat untuk beribadah kepada-Nya, meninggalkan zina, dan mendekatkan diri kepada-Nya; maka dia akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan itu. Sebaliknya, jika ia mempunyai niat di awal pernikahannya hanya sekedar untuk mencari harta, pangkat, kedudukan, atau popularitas; maka ia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Bahkan dosa jika yang ia niatkan tersebut merupakan maksiat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang niatkan” [HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907].
Sungguh bahagia siapa saja di antara wanita muslimah yang bisa merealisasikannya.
Tema rumah tangga sakinah adalah satu tema yang cukup luas pembahasannya yang tidak mungkin diselesaikan dalam satu sampai dua jam pertemuan. Hal itu disebabkan karena pembahasan ini akan dimulai dari awal terbentuknya rumah tangga sampai dengan berakhirnya rumah tangga alias kedua pasangan suami istri tersebut meninggal dunia.
Satu hal yang tidak dicapai secara keseluruhan tidaklah ditinggalkan secara keseluruhan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas secara ringkas tiga pokok permasalahan yaitu :
1.     Tanggung jawab istri pada diri sendiri.
2.     Tanggung jawab istri pada suami.
3.     Tanggung jawab istri pada anak.
Tanggung Jawab Istri pada Diri Sendiri
Diantara tanggung jawab istri kepada diri sendiri diantaranya adalah :
a)     Menuntut ilmu syar’i
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” [HR. Ibnu Majah no. 224; shahih].
1.      Ilmu tentang prinsip-prinsip ‘aqidah dan keimanan (Rukun Iman)
2.      Ilmu tentang apa-apa yang diwajibkan dalam rukun Islam, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
3.      Ilmu-ilmu penunjang yang bermanfaat lainnya.
Seorang ibu rumah tangga wajib mengetahui tentang pembatal-pembatal syahadat, wajib mengetahui bagaimana cara thaharah dan shalat yang benar, dan yang lain sebagainya. Tidak boleh terjadi pada seorang ibu bahwa ia tidak mengetahui tentang hukum-hukum haidl, padahal haidl adalah sesuatu yang rutin mendatanginya.  
Bagaimana seorang ibu rumah tanga bisa menuntut ilmu di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga ? Hal yang pertama bahwa ia harus menumbuhkan perasaan butuh dan cinta kepada ilmu. Jika seseorang telah mampu menumbuhkan perasaan itu pada dirinya, maka ia akan memanfaatkan semua kesempatan dimana ia bisa memperoleh ilmu, baik dalam majelis-majelis ilmu atau membaca buku-buku. Dalam seminggu, usahakanlah untuk dapat bermajelis ilmu minimal satu kali. Bisa ia menghadiri majelis-majelis ilmu secara khusus, atau bermajelis dengan suaminya untuk saling membacakan satu pembahasan dalam buku agama. Selain itu, ia bisa memanfaatkan beberapa waktu luang dengan membaca buku agama saat kesibukan belum menderanya seperti :
o   15 – 20 menit menit sebelum shalat shubuh;
o   15 – 20 menit setelah ‘isya’ di saat anak-anak telah tidur di pembaringannya.
b)     Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Adalah menjadi hal yang mutlak lagi wajib untuk mengamalkan ilmu. Amal adalah buah ilmu. Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, ia laksana tumbuhan yang tidak memberikan manfaat bagi makhluk hidup di sekitarnya. Ilmu bisa menjadi pembela atau malah jadi bencana bagi diri kita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur’an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana bagimu” [HR. Muslim no. 223].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
وعليك إن لم تعمل به، وكذلك يكون العمل بما صح عن النبي صلى الله عليه وسلم  بتصديق الأخبار وامتثال الأحكام
"Menjadi pembela bagimu jika engkau mengamalkannya dan akan menjadi bencana jika engkau tidak mengamalkannya. Demikian pula pengamalan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih dilakukan dengan cara membenarkan berita dan menjalankan hukum-hukumnya" [Kitaabul-‘Ilm hal. 32 ; Daaruts-Tsurayaa].
Contoh mudah yang bisa kita lakukan adalah ketika kita tahu bagaiamana cara wudlu yang benar dari penjelasan Ustadz atau hasil membaca buku; maka dengan tidak menunda-nunda kita praktekkan pada diri kita jikalau mau melaksanakan shalat. Jika kita tahu tentang bahaya syirik, maka dengan segera kita bersihkan diri dan rumah tangga kita dari hal-hal yang berbau syirik seperti membuang segala macam jimat, rajah, gambar makhluk hidup, atau benda pusaka keramat peninggalan leluhur (yang tentunya harus dikomunikasikan secara bijaksana dengan suami). Dan yang lain sebagainya.
Tanggung Jawab Istri pada Suami
Tanggung jawab istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-hak suami oleh istri. Harus menjadi satu pemahaman bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Seorang suami adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya di rumahnya. Allah ta’ala berfirman :
الرّجَالُ قَوّامُونَ عَلَى النّسَآءِ بِمَا فَضّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىَ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنْفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)" [QS. An-Nisaa’ : 34].
Pada ayat di atas, Allah telah menegaskan kepemimpinan seorang laki-laki atas wanita dalam segala aspek kehidupan karena dua hal :
1.     Kekhususan yang telah diberikan Allah kepada laki-laki yang tidak diberikan kepada wanita.
Sebab ini merupakan sebab syar’iyyah yang mutlak merupakan kehendak Allah tanpa kita diwajibkan untuk mengetahui « kenapa ». Allah berkehendak sesuai dengan rububiyyah-Nya, ilmu-Nya, hikmah-Nya, dan hukum-Nya yang kauni. Kekhususan ini tercermin pada beberapa hal dimana Allah membebani beberapa kewajiban khusus kepada laki-laki dan tidak bagi wanita seperti kewajiban berjihad, shalat Jum’at dan yang lainnya.
2.     Kekhususan dengan sebab nafkah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan keagungan hak suami yng harus dipenuhi oleh istrinya dengan sabdanya :
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
"Gambaran hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya adalah seandainya pada kulit suaminya itu ada borok (luka), lalu dia (istri) menjilatinya, maka dia belum benar-benar memenuhi hak suaminya" [HR. Ibnu Abi Syaibah 4/2/303 no. 17407; hasan – Daarul-Kiblah, Cet. 1/1427].
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya" [HR. At-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban no. 41621, dan Al-Baihaqi 7/291 ; shahih lighairihi].
Ketaatan istri kepada suaminya merupakan salah satu faktor yang akan membawanya masuk surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصُنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
"Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : ‘Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau sukai" [HR. Ibnu Hibban no. 4163 ; shahih].
Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada suaminya antara lain adalah :
a)     Patuh kepada perintah suami
Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya bibinya pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam untuk satu keperluan. Setelah menyelesaikan keperluannya, maka Nabi berkata kepadanya : ‘Apakah engkau bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau melanjutkan : ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah membantahnya/menolaknya kecuali pada perkara yang tidak sanggup aku lakukan’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
"Maka perhatikanlah sikapmu terhadapnya, karena sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu" [HR. Ahmad 4/341; An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 8963, 8964, 8967, 8968, 8969; Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 25/448, 449, 450 dan Al-Ausath no. 532; Al-Hakim Al-Hakim 2/189; Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 8729-8731; dan no. 19025. Hadits ini hasan – dari takhrij hadits Al-Arna’uth terhadap Musnad Imam Ahmad 31/341 no. 19003].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang model wanita yang paling baik, maka beliau menjawab :
الَّتِيْ تُطِيْعُ إِذَا أَمَرَ وَتَسُرُّ إِذَا نَظَرَ وَتَحْفَظُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Dia dalah seorang wanita yang patuh saat suaminya menyuruhnya, menarik saat suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan suami dengan memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 8961; shahih].
Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal yang ma’ruf bukan dalam kemaksiatan.
لا طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَّةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya boleh dilakukan dalam kebaikan” [HR. Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain.]
Maka, seorang istri tidak boleh taat kepada suaminya jika ia menyuruh untuk membuka jilbab, menemani seorang laki-laki yang bukan mahram tanpa ada suaminya, berbohong, dan lain-lain. Namun bukan pula berarti ia membatalkan ketaatannya secara keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada hal-hal yang mubah dan yang disyari’atkan.
b)     Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali setelah mendapat ijin dari suami.
Allah ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ وَلاَ تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الْجَاهِلِيّةِ الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33].
Tinggal di dalam rumah adalah hukum asal bagi seorang wanita. Ia tidak boleh keluar melainkan dengan sebab dan syarat. Sebabnya adalah karena hajat, dan syaratnya adalah ijin dari suami, berpakaian syar’i, tidak memakai wangi-wangian, dan yang lainnya (yang akan dijelaskan kemudian).
Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia telah mendapatkan ijin dari suami secara umum, maka ia boleh keluar tanpa seijin suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik). Misalnya : keluar rumah untuk belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan salah satu sebab mengapa wanita tinggal di dalam rumah :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Apabila ia keluar rumah, maka akan dibanggakan oleh syaithan” [HR. At-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah no. 1685-1687, Ibnu Hibban no. 5598-5599, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir no. 10115, dan Ibnu ‘Adiy dalam At-Kaamil 3/1259; shahih].
Hingga dalam permasalahan ibadah (shalat di masjid), rumah tetap lebih baik bagi seorang wanita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi].
c)     Menerima ajakan suami.
Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَعَا الرَجُلُ امْرَأَتِهِ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلائكَةُ حَتَى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa udzur yang dibenarkan syari’at) maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh tiba” [HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436].
d)     Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan seijin suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لا يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُوْنَهُ
“Sesungguhnya kalian (para suami) memiliki hak yang harus dipenuhi mereka (para istri), agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kamu sukai” [HR. Muslim no. 1218].
وَلا تَأْذَنُ فِيْ بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ
“Dan janganlah seorang wanita mengijinkan seseorang masuk ke dalam rumah suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin suaminya tersebut” [HR. Muslim no. 1026].
Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang suaminya tidak meridlainya. Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang diridlai – semisal kaum kerabat -, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke rumahnya dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut laki-laki bukan termasuk mahram (semisal : teman kerja suami atau tetangga), maka ia diperbolehkan untuk menerima dengan catatan aman dari fitnah dan menghindari khalwat (berdua-duaan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya” [HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341].
Namun lebih baik, wanita tersebut tidak menerimanya dan menyuruhnya kembali setelah suaminya dating.[1]
e)     Tidak bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin darinya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئاً مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلا بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” [HR. Abu Dawud no. 3565, At-Tirmidzi no. 670, dan Ibnu Majah no. 2295; shahih].
f)      Berterima kasih kepada suami dan tidak mengingkari kebaikannya, serta memperlakukan suami dengan baik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia tidak mungkin lepas dari ketergantungan padanya” [HR. Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 9135; shahih].
Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi terwujud pada penampakan rasa bahagia dan nyaman selama mendampingi suami dan melayani kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak mengeluh dengan segala kondisi yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.
g)     Tidak mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jika kebetulan dia menafkahi suami dan anak-anaknya. Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa sakit, cacat, atau yang semisalnya sehingga ia tidak bisa memberi nafkah sebagaimana mestinya; yang dengan itu istri menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Haram hukumnya mengungkit-ungkit kebaikannya itu.
Allah ta’ala telah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنّ وَالأذَىَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” [QS. Al-Baqarah : 264].
h)     Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقاً مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada masalah yang berarti (menurut kacamata syari’at), maka diharamkan baginya wangi bau surga” [HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055, Ahmad 5/277; shahih].
i)       Dan lain-lain.
Dan ingatlah wahai para wanita bahwa engkau telah Allah jadikan salah satu perhiasan dunia. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah” [HR. Muslim no. 1467].
Tanggung Jawab Istri pada Anak
a)     Menyusui anak hingga usia dua tahun.
Allah ta’ala berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمّ الرّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” [QS. Al-Baqarah : 233].
b)     Mengasuh, memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah yang diberikan oleh suami.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kepada Hindun radliyallaahu ‘anha :
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah dengan baik (dari harta suamimu) sebatas mencukupi keperluanmu dan anakmu” [HR. Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714].
Hadits ini mengandung faedah bahwasanya pemeliharaan anak adalah dilakukan oleh ibu dari harta (nafkah) yang diberikan oleh suami.[2]
c)     Mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan Islamy.
Hal pertama dan utama yang harus diberikan dan diperhatikan adalah pendidikan agama, sebab pendidikan ini merupakan dasar yang akan membentuk tingkah laku anak di kemudian hari. Penanaman aqidah tauhid yang kuat adalah mutlak diberikan. Anak harus tahu kewajiban dan tugas mengapa ia dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.[3] Juga dengan penanaman prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian diikuti dengan penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang beriman dan beramal shalih, tentu saja harapan kita kelak ia menjadi sesuatu yang berharga yang dapat bermanfaat bagi kita di akhirat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” [HR. Muslim no. 1631].
Bukan menjadi satu larangan jika pendidikan agama telah diberikan, si anak kemudian diberikan pendidikan keduniaan yang akan memberi manfaat kepadanya dan kaum muslimin secara umum. Bahkan bisa jadi ilmu-ilmu keduniaan ini merupakan fardlu kifayah bagi kaum muslimin. Pendidikan keduniaan ini diperbolehkan jika tidak ada hal yang dilarang oleh syari’at. Contoh bagian dari ilmu ini adalah ilmu pasti (sains), biologi, bahasa, dan yang lainnya. Adapun ilmu keduniaan yang mengandung kesia-siaan dimana ia dibenci atau bahkan diharamkan oleh syari’at seperti ilmu musik, menggambar makhluk hidup, ekonomi kuffar (misalnya ilmu ekonomi berbasis riba), hukum kuffar (misalnya ilmu hukum pidana, perdata, dan yang semisal yang bersumber dari hukum-hukum kuffar), dan yang lainnya; maka ia tidak boleh untuk dipelajari.
Jika hal-hal tersebut di atas dapat dipahami dan dilaksanakan oleh seorang istri dalam kehidupan rumah tangganya, satu faktor penyebab terciptanya keluarga sakinah telah terpenuhi. InsyaAllah, hal itu dapat sebagai pendorong terciptanya keluarga sakinah dalam kehidupan kita.
Akan tetapi, semua itu tentu akan terwujud jika seorang ibu/istri benar-benar mencurahkan waktu, tenaga, dan perhatiannya di rumahnya. Namun jika dzat sang ibu/istri tidak ada di rumah, maka bagaimana bisa ia melaksanakan kewajiban terhadap dirinya, suaminya, dan anak-anaknya dengan sempurna ? Dan malah kehadirannya digantikan oleh wanita lain yang sama sekali bukan merupakan bagian dari keluarganya ? Maka di sini perlu kami sampaikan bahwa : berbicara mengenai keluarga sakinah tidaklah akan lepas dari keberadaan seorang wanita di rumah suaminya. Dan itu adalah mutlak. Adalah teori belaka jika ada orang yang berkata : Yang penting kualitas, bukan kuantitas (pertemuan anggota keluarga). Tidak ada satupun pakar psikologi atau konsultan keluarga – setahu kami – yang mengatakan bahwa keberadaan seorang ibu/istri di luar rumah adalah lebih baik bagi keluarganya (anak dan suaminya) dibandingkan berada di dalam rumah. Sungguh, betapa banyak musibah ini menimpa pada keluarga-keluarga muslim yang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat dimana para ibu tersibukkan oleh karir “membantu nafkah” [?] suami……
Bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban bagi suami. Allah ta’ala berfirman :
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” [QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لا يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَداً تَكْرَهُوْنَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرباً غَيْرَ مُبَرِّح وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya kalian telah ambil mereka dengan amanah Allah, dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan bagimu ada hak yang harus mereka penuhi yaitu agar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kamu sukai. Apabila mereka melanggarnya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Dan mereka memiliki hak yang harus engkau tunaikan, yaitu mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang baik” [HR. Muslim no. 1218].
Jika suami telah memenuhi nafkahnya (sesuai dengan kemampuannya), maka istri tidak boleh keluar rumah untuk bekerja, karena pada hakekatnya apa yang ia butuhkan telah diberikan oleh suami. Istri wajib qana’ah/menerima dengan lapang dada tanpa mengeluh dan merasa kurang dengan apa yang telah diberikan suami. Hukum asal bagi seorang wanita adalah di rumahnya (sebagaimana telah kami singgung sebelumnya).
Larangan untuk bekerja keluar rumah tanpa alasan syar’i ini semakin keras jika suami melarangnya (dan istri tetap ‘nekad’ untuk keluar rumah dan bekerja).
(-) Lantas, bagaimana jika suami mengijinkannya ?
Setidaknya, dalam hal ini ada 3 (tiga) keadaan :
1.     Suami tidak mampu memberi nafkah karena sebab-sebab kauni seperti sakit, cacat, dan yang semisalnya. Maka dalam hal ini boleh bagi istri untuk bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu (yang akan ditulis kemudian). Bahkan bisa menjadi wajib baginya.
2.     Suami mampu dan telah memberi nafkah kepada istri. Hal ini diperinci :
a)     Apabila pekerjaan istri adalah syar’i[4] dan memenuhi syarat-syarat syar’i, maka diperbolehkan. Syarat-syarat tersebut adalah (dan syarat ini juga berlaku untuk nomor 1) :
a.1      Memenuhi adab wanita jika keluar rumah seperti : berhijab/berpakaian syar’i[5], tidak memakai wangi-wangian[6], tidak bertabarruj (berdandan)[7], dan menundukkan pandangan.[8]
a.2      Tidak ada percampuran antara laki-laki dan wanita (ikhtilath). Allah ta’ala telah berfirman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوْهُنّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ
“Apabila kalian meminta pada mereka satu keperluan, maka mintalah dari balik hijab” [QS. Al-Ahzab : 53].
a.3      Tidak berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki dan wanita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya” [HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341].
a.4      Tidak menimbulkan fitnah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَاتَّقُوا الدُّنيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah pada kaum wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita” [HR. Muslim no. 2742, At-Tirmidzi no. 2191, dan lainnya].
a.5      Tetap bisa mengerjakan kewajiban yang dibebankan kepada dirinya dan keluarganya. Inilah kewajiban asasi bagi seorang wanita.
Jika memenuhi beberapa persyaratan di atas, maka ia boleh bekerja. Jika tidak, maka tidak boleh.
b)     Jika pekerjaan istri bukan pekerjaan syar’i, maka keharamannya bertambah keras dibandingkan yang pertama (butir a).
Bagi para suami yang mengijinkan istrinya bekerja sementara jenis pekerjaan bukanlah pekerjaan syar’i dan syarat-syaratnya pun tidak terpenuhi, maka kedudukannya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُ وَالِدَيْهِ وَالْمَرأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُوْثُ
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat : 1) Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya; 2) Wanita yang menyerupai laki-laki; dan 3) Ad-Dayuts [HR. Nasa’i no. 2562, Ahmad 2/134, dan lainnya; hasan].
Siapakah Dayuts itu ? Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menjelaskan :
الذي يقر في أهله الخبث
“Yaitu suami yang membiarkan kejelekan/kemunkaran dalam keluarganya” [HR. Ahmad 2/69].
3.     Suami mampu bekerja, namun ia tidak mau bekerja mencari nafkah (malah bergantung pada istri).
Maka kedudukan suami seperti ini lebih jelek daripada seorang Dayuts. Ia adalah pangkal kejelekan dalam rumah tangganya. Seorang istri diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan rumah tangganya atau mengajukan khulu’  (gugatan cerai – karena tidak diberikan nafkah oleh suami – dengan memberikan ‘iwadl/pengganti pada suami). Sebagian ulama mengatakan bahwa lebih utama baginya untuk bersabar jika ia melihat perceraian mengakibatkan fitnah yang lebih besar baginya dan anak-anaknya. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk bekerja untuk mencukupi kebutuhannya (dengan tetap memberikan nasihat kepada suami agar takut kepada Allah dan mau bekerja). Dia tetap wajib untuk memperhatikan batasan-batasan syar’i yang telah ditetapkan.[9]
Selesai – Wallaahu a’lam bish-shawwab.
[Abu Al-Jauzaa’ – Blok D17/15 – 0815698***] – disampaikan dalam pengajian ibu-ibu Perum Ciomas Permai.



[1]     Atau wanita tersebut menanyakan kepada si tamu apakah ada pesan yang dapat ia sampaikan kepada suaminya (jika orang tersebut mempunyai keperluan dengan suami) tanpa ia mempersilakan masuk ke rumahnya.
[2]     Tapi bukan berarti suami tidak boleh berperan serta. Ini hanya menjelaskan hukum asal saja. Adapun dalam kehidupan riil, maka kerjasama antara suami dan istri sangat dibutuhkan dalam upaya mendekatkan jiwa antara ayah, ibu, dan anak.
[3]     Allah ta’ala telah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإِنسَ إِلاّ لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” [QS. Adz-Dzariyaat : 56].
[4]     Seperti bidan, dokter khusus wanita, pengajar bagi wanita, pengasuh anak, dan yang lainnya yang memang membutuhkan peran wanita secara khusus.
[5]     Allah ta’ala berfirman :
يَأَيّهَا النّبِيّ قُل لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنّ مِن جَلاَبِيبِهِنّ ذَلِكَ أَدْنَىَ أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Ahzab : 59].
[6]     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَة اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْم لِيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
”Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melewati satu kaum agar mereka mencium bau harumnya, maka ia (sama saja) dengan seorang pezina” [HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 5126 dengan sanad hasan].
[7]     Allah ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ وَلاَ تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الْجَاهِلِيّةِ الاُولَىَ
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33].
[8]     Allah ta’ala berfirman :
وَقُل لّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya” [QS. An-Nur : 31].
[9]     Walau mungkin mengharuskannya tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban rumah tangga secara sempurna karena alasan dlarurat. Kita berharap Allah memberikan maaf pada kondisi seperti ini. 

Comments

Anonim mengatakan...

akh, apakah dokter khusus wanita, pengajar wanita, dll yang dijelaskan pada [4] adalah pekerjaan yang syar'i? mengapa ditetapkan demikian, padahal belum tentu kondisinya mendukung syarat2 yang akhi jelaskan diatas. bukankah sekarang sudah banyak dokter2 wanita, pengajar2 wanita, sehingga hukumnya tidak dosa jika tidak ada yang melakukan? seperti sholat mayyit.

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mohon maaf, jika jawaban ini telah lewat setahun...

Ya benar.

Karena pekerjaan itu adalah pekerjaan yang memang membutuhkan penanganan wanita.

Kan telah diberikan beberapa syarat dalam artikel di atas.

Saya tidak mengatakan seorang wanita jika tidak bekerja pada bidang tersebut adalah dosa. Di sini, hukumnya adalah fardlu kifaayah. Jika telah ada dokter wanita, guru wanita, dan sejenisnya untuk menangani dan melayani para wanita, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain.

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum warahmatullah..usttadz,bagaimana agar istri bisa taat dan patuh kepada suami,mohon kiat-kiatnya ustadz? syyukran,jazaakallahu khairan..

Anonim mengatakan...

* asalamuaialikum, maaf yg sy tau zaman skrg istri krng peduli adanya izin atw tdk ada izin dr suami selama itu positif buat suami dan kluarga tdk dipermasalahkan bgitu jg dgn suami.
* bagaimana menyikapi suami yg lalai ibadahnya atw jarang sholat dan selalu beda dlm pemikiran.

mohon penjelasanya dan terima kasih.
wasalam.

Anonim mengatakan...

ustadz, bagaimana hukum suami yang mewajibkan istrinya bekerja dikarenakan penghasilan dan status pekerjaan istri lebih besar dari suami? istri tersebut sudah tidak tahan lagi dipaksa bekerja karena ingi menjadi ibu yang merawat anaknya dengan tangannya sendiri (bukan pembantu). tapi yang terjadi suami malah keluar dari pekerjaannya untuk mengasuh anak dan mencari nafkah dengan berdagang, agar istrinya tiadk keluar dari pekerjaannya. istri tersebut tidak ikhlas bekerja, tapi suami jika tidak ridho jika istri berhenti bekerja. bagaimana menyikapinya ustadz?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaiumus-salaam.

@Anonim 2 Januari 2013 16.04,.... selalu menasihatinya denhan baik dan kita memberikan contoh yang baik dalam praktek sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga.

----------

@Anonim 27 Maret 2014 15.49,.... senaniasa menasihatinya dan jangan lupa mendoakannya. Coba sediakan beberapa buku agama di rumah, barangkali suatu saat ia (suami) akan membacanya. Jadikan suasana rumah se-Islami mungkin, mulai dari bacaan Al-Qur'an sampai dengan menghidupkan shalat berjama'ah - meski suami belum mau ikut. Semoga dengan melihat hal-hal tersebut, dan juga dengan nasihat dan doa yang kita panjatkan, suami akan sadar dan mau untuk shalat.

------------

@Anonim 13 Maret 2015 16.13,...... seperti hal-hal di atas, nasihat dan doa. Jangan bosan, dan cari waktu yang tepat.

Suami yang seperti itu dikhawatirkan masuk dalam klasifikasi dayyuts.