Posisi Tangan Setelah Bangun dari Rukuk : Bersedekap atau Irsal ? (Sebuah Sanggahan)


Telah dimafhumi bahwa dalam permasalahan ini terdapat 2 (dua) khilaf yang sangat masyhur di kalangan ulama. Satu pendapat mengatakan bahwa seorang yang berdiri ketika i’tidal setelah bangun dari rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya dan tidak sedekap di atas dada). Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa posisi tangan dalam berdiri setelah rukuk adalah bersedekap di atas dada.

Bahasan ini akan dimulai dengan hadits yang dijadikan hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa posisi tangan setelah rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya/tidak sedekap di atas dada), yaitu :

ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائماً؛ [فيأخذ كل عظم مأخذه] وفي رواية : وإذا رفعت فأقم صلبك، وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

“Kemudian, angkatlah kepalamu sehingga engkau berdiri lurus, dan setiap tulang (kullu ‘adhmin) dapat mengambil tempatnya”. (dan di dalam sebuah riwayat mengatakan : ) “Dan apabila engkau bangkit dari rukuk, maka luruskanlah tulang punggungmu (fa-aqim shulbaka) dan angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya [HR. Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Lihat dalam kitab Shifat Shalat Nabi hal. 138 oleh Syaikh Al-Albani].

Mereka yang berpendapat melepaskan tangan ketika berdiri setelah rukuk mengatakan :

“Maksud hadits ini jelas dan gamblang, yaitu thuma’ninah di dalam berdiri ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk meluruskan semua tulang, termasuk tulang lengan/tangan, ketika berdiri i’tidal. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa posisi tangan ketika berdiri i'tidal setelah rukuk adalah sedekap ?”.

Sanggahan (Ta’qib) atas pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

  1. Beberapa hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih telah menjelaskan kepada kita bagaimana posisi tangan ketika berdiri dalam shalat. Diantaranya adalah hadits :

    كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة

    “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu].

    إنا معشر الأنبياء أمرنا أن نؤخر سحورنا ونعجل فطرنا وأن نمسك بأيماننا على شمائلنا في صلاتنا

    “Sesungguhnya kami para nabi telah diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami, menyegerakan buka puasa kami, dan untuk mengeratkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami dalam shalat” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1770].

    صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

    “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu].

    رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم واضعا بيمينه على شماله في الصلاة

    “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat" [HR. Ad-Daruquthni 1/286 dari Wail Al-Hadlramy radliyallaahu ‘anhu].

    Empat hadits di atas (dan juga beberapa hadits yang lain) menjelaskan kepada kita bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (bersedekap) dalam shalat. Dan hal itu tentu tidak bisa dipahami kecuali beliau lakukan dalam keadaan berdiri ketika shalat (mencakup semua macam berdiri : berdiri sebelum rukuk dan setelah rukuk). Ini adalah lafadh umum.

    Jikalau ada yang bertanya : “Bukankah dalam hadits telah dijelaskan secara tafshil (rinci) dari keumuman hadits di atas bahwasannya bersedekap itu hanya dilakukan 4 keadaan :

    a) Berdiri setelah takbiratul-ihram, sebagaimana hadits :

    عن وائل بن حجر أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم رفع يديه حين دخل في الصلاة كبر وصف همام حيال أذنيه ثم التحف بثوبه ثم وضع يده اليمنى على اليسرى

    “Dari Wail bin Hujr radliyallaahu anhu : "Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika masuk dalam shalatnya………… kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya” [HR. Muslim no. 401 dimana Imam Muslim meletakkan hadits ini pada bab yang berjudul : وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام...... = Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah takbiratul ihraam] .

    b) Berdiri ketika bangun dari sujud

    c) Berdiri ketika bangun dari at-tahiyat awal; dimana butir a dan b berdasarkan keumuman hadits yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pada waktu berdiri pada raka’at dua, tiga, atau empat adalah sama dengan apa yang dilakukan pada saat raka’at pertama. (HR. Muslim, Ahmad, dan lainnya).

    Hal itu kita jawab :

    Penyebutan 3 (tiga) kondisi sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan perincian dan batasan yang menyeluruh. Banyak contoh serupa yang terdapat dalam hadits. Contohnya adalah, ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sucinya kulit yang telah disamak dengan sabdanya :

    إذا دبغ الإهاب فقد طهر

    “Apabila telah disamak kulit binatang, maka, maka ia menjadi suci” [HR. Muslim no. 366, Ahmad no. 1895, dan yang lainnya].

    Pemahaman yang didapat dari hadits adalah semua kulit yang telah disamak adalah suci. Akan tetapi, konteks yang dibicarakan dalam hadits hanyalah kulit bangkai kambing. Tidak semua kulit binatang disebutkan dalam hadits. Namun, ini bukan berarti kulit yang lain yang tidak disebutkan dalam hadits – seperti misal : kulit kerbau, kulit kelinci, atau kulit sapi – tidak termasuk dalam keumuman hadits kesucian kulit yang telah disamak. Bahkan semua kulit binatang yang telah disamak adalah suci. Tegasnya, sesuatu yang telah ada asalnya atau pokoknya, bila perinciannya tidak disebutkan disebutkan dalam riwayat, tidak otomatis bahwa “yang tidak disebutkan” itu tidak ada. Begitu juga dengan bersedekap ketika berdiri setelah rukuk. Walaupun tidak disebutkan secara sharih oleh riwayat, maka hal itu termasuk keumuman dari berdiri dalam shalat yang di dalamnya diperintahkan untuk bersedekap. Dan hal itu akan lebih jelas pada penjelasan berikutnya.

  2. Ketika menyebutkan keadaan waktu berdiri setelah rukuk, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan meluruskan punggung sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Hal ini sebagaimana hadits :

    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه

    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang kembali kepada tempatnya” (HR. Al-Bukhari no. 827 dari Abu Humaid As-Saidi radliyallaahu ‘anhu].

    ثم قال سمع الله لمن حمده ورفع يديه واعتدل حتى يرجع كل عظم إلى موضعه معتدلا

    Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : Sami’allaahu liman hamidah dan mengangkat kedua tangannya dan berdiri i’tidal sehingga setiap tulang mengambil posisi di tempatnya dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 587 dari Abu Haumaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu].

    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

    (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :) “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya” [HR. Ahmad no. 19017 dari Rifa’ah bin Rafiq Az-Zarqi radliyallaahu 'anhu].

    ثم يمكث قائماً حتى يقع كل عضو موضعه

    “…Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menunggu sambil berdiri hingga setiap anggota badan terletak (kembali) pada tempatnya” [Subulus-Salam, Kitaabush-Shalah].

    Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa posisi tangan/tulang tangan sebelum rukuk (yaitu ketika berdiri) adalah bersedekap. Pemahaman yang didapatkan adalah, ketika ada perintah untuk mengembalikan tulang (العظم) pada posisinya/tempatnya/sendinya semula, maka hal ini tentu merujuk pada posisi bersedekap.

    Jikalau ada yang bertanya : “Bagaimana bisa dikatakan bersedekap jikalau hadits di atas menyuruh kita untuk mengembalikan tulang dengan lurus (sehingga menunjukkan posisi tangan adalah irsal) sebagaimana riwayat Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi berikut :

    واعتدل حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلا

    “Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdiri tegak hingga setiap tulang kembali kepada tempatnya masing-masing dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 677 dan At-Tirmidzi no. 304 dari Abu Humaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu, dan ia berkata : hadits hasan shahih].

    Maka kita jawab : “Lurus yang dimaui dalam hadits tersebut bukan lurusnya tangan, akan tetapi lurusnya punggung sehingga seseorang berdiri dengan tegap ketika i’tidal dalam shalat setelah rukuk”. Dalam beberapa hadits yang telah dituliskan di atas disebutkan dengan menggunakan lafadh [كل عظم] dan [العظام]. Bentuk kalimat ini adalah muthlaq, yaitu lebih umum yang meliputi semua tulang, tiap-tiap tulang, atau tulang-tulang. Setelah itu, coba kita perhatikan riwayat Abu Humaid di atas dari Al-Bukhari :

    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه

    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang (فقار) kembali kepada tempatnya”.

    Dan juga hadits dari Rifa’ah :

    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

    “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu (صلبك) hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya”.

    Dua hadits di atas telah membatasi (men-taqyid) dari ke-muthlaq-an kalimat [كل عظم] dan [العظام]. Jadi yang dimaksud dengan “setiap tulang” yang hendaknya diluruskan adalah tulang punggung. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah bahwa penafsiran atau pen-taqyid-an (pembatasan) ke dalam makna tulang punggung ini merupakan ucapan dan perintah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dilihat dan didengar oleh para shahabat. Adapun lafadh-lafadh {[كل عظم] dan [العظام]} merupakan perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikhabarkan oleh para shahabat dari apa yang mereka lihat. Tentu pengkhabaran ini sesuai dengan pemahaman dan bahasa dari orang yang mengkhabarkan, walaupun mereka ini (para shahabat) merupakan thabaqat yang paling tsiqah. Kedudukan yang terakhir ini tidak bisa mengalahkan kedudukan yang pertama dalam hal pengambilan pemahaman sebagaimana mafhum diketahui.

KESIMPULAN : Posisi tangan ketika berdiri setelah rukuk adalah bersedekap, bukan irsal (melepaskan/meluruskan kedua tangan ke bawah). Allaahu a’lam.




Abul-Jauzaa'

Comments

arief nur mengatakan...

Kalo imam irsal, apakah kita ikuti?
atau tetap bersedekap?

syukran

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Bersedekap.

Hamba Allah mengatakan...

Assalamu'alaykun ustadz,,
bolehkah meninggalkan sunnah bersedekap dikarenakan kondisi masyarakat, takut terjadi fitnah?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika kita telah meyakini bahwa hal itu merupakan sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam shalat, hendaknya kita tidak meninggalkannya. Adapun jika ada sebagian masyarakat ada yang menanyakan atau tidak sepakat tentang hal itu, maka kita jelaskan duduk permasalahannya sebaik mungkin. Wallaahu a'lam.

noto mengatakan...

bagaimana hukumnya jika kita meyakini sesuatu yang beda dengan yang dikerjakan imam, padahal ma'mum harus mengikuti setiap gerakan sholat sang imam?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

lihat di bagian kolom komentar : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/qunut-shubuh.html.

Anonim mengatakan...

Untuk tambahan pengetahuan dalam maslah ini silahkan kunjungi

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=10423

إسدال اليدين بعد الرفع من الركوع (كلام الألباني رحمه الله و إقرار البازمول حفظه الله لما ذهب إليه)

Unknown mengatakan...

Abu Jauzaa' berkata :

صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu].


Ada yang mengatakan bahwa lafadz على صدره (di atas dada) ini merupakan idraj

Cek disini akh http://an-nashihah.com/?p=89

Bagaimana penjelasannya ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas masukannya.

Mungkin yang dimaksud adalah paragraf :

Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam..

Definsi syaadz dalam ilmu hadits adalah penyelisihan perawi maqbul terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya. Di sini, termasuk bahasan ziyaadatuts-tsiqaat. Ziyaadatuts-tsiqaat bisa termasuk katagori syaadz jika tambahan tersebut menyelisihi riwayat jama'ah. Di sini Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan tidak menyelisihi. Hanya saja, ia meriwayatkan lafadh yang tidak diriwayatkan oleh jama'ah. Maka ini dilihat, jika perawi tersebut termasuk seorang imam tsiqah yang terjaga hapalannya, maka diterima tambahannya itu. Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan adalah yang tsiqah, mutqin, haafidh, imam, lagi qudwah (teladan) (120-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].

Karenanya, sampai saat ini dengan kadar ilmu dan pemahaman yang saya miliki, tambahan lafadh itu bukan termasuk syaadz.

Jika dikatakan mudraj, maka ini sebenarnya juga berpijak pada asumsi tambahan tersebut adalah syaadz.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

Unknown mengatakan...

Antum katakan : Ziyaadatuts-tsiqaat bisa termasuk katagori syaadz jika tambahan tersebut menyelisihi riwayat jama'ah. Di sini Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan tidak menyelisihi. Hanya saja, ia meriwayatkan lafadh yang tidak diriwayatkan oleh jama'ah

Seorang teman mengatakan bahwa penyelisihan lafadz tsb karena ziyadah rawi yang tsiqah tsb bertentangan dengan kemutlakan hadits yang tanpa ziyadah, seperti menambahkan riwayat lain yang tidak diriwayatkan oleh rawi lain.

Mafhum hadits sedekap adalah umum, bisa diletakkan disembarang tempat (dada, perut, atau antara keduanya), sedangkan mafhum hadits dengan ziyadah "di atas dada" tsb bersifat khusus. Karens sifatnya berbeda, maka hukumnya berbeda pula maka telah terjadi perselisihan dalam hal hukumnya.

Bagaimana jawabannya akh ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ibnu Shalah telah mencontohkan jenis ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima, yaitu apa yang diriwayatkan dari Maalik, dari Naafi', dari Ibnu 'Umar :

أن رسول الله صلى اله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين

"Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin".

Abu 'Iisaa (At-Tirmidziy) mengatakan bahwa Maalik telah bersendirian di antara pra perawi tsiqaat dengan tambahan : minal-muslimiin. Hadits ini juga diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar, Ayyub (As-Sikhtiyaaniy), dan yang lainya dari Naafi', dari Ibnu 'Umar; tanpa tambahan tersebut. Namun para imam telah berhujjah dengan tambahan tersebut seperti Asy-Syaafi'iy dan Ahmad [selesai].

Nah, bukankah tambahan minal-muslimiin di situ juga merupakan tambahan lafadh yang membatasi kemutlakan hadits tanpa tambahan ? Nakun kenyataannya, para ulama mutaqaddimiin menerimanya - karena tambahan tersebut tidak menyelisihi riwayat jama'ah.

Wallaahu a'lam.

Unknown mengatakan...

Al-Jauzaa' berkata : Nah, bukankah tambahan minal-muslimiin di situ juga merupakan tambahan lafadh yang membatasi kemutlakan hadits tanpa tambahan ? Namun kenyataannya, para ulama mutaqaddimiin menerimanya - karena tambahan tersebut tidak menyelisihi riwayat jama'ah.

Katanya, tambahan minal-muslimiin dalam hadits yang antum sebutkan tidak dikatakan syadz (oleh karena itulah Ibnu Shalah telah mencontohkan jenis tsb sebagai ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima) karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.

Maka tambahan lafadz minal-muslimiin dalam hadits :


أن رسول الله صلى اله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين

"Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin"

tidak menimbulkan pertentangan/perlawanan hukum dengan hadits lain yang tanpa tambahan (ziyadah) tsb. Contoh tsb berbeda dengan hukum sedekap dalam sholat, dimana ziyadah "di atas dada" meniadakan posisi sedekap selain pada lafadz yang ditunjukka oleh ziyadah tsb.

Bagaimana tanggapannya akhi ?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebenarnya bahasannya menurut saya adalah : Apakah bentuk taqyid dari lafadh muthlaq bisa dikatakan sebagai syaadz ?.

Tambahan minal-muslimin itu merupakan pentaqyid dari kemutlakan lafadh sebelumnya.

Oleh karenanya, taqyid ini merupakan jawaban atas pertanyaan, misalnya : Apakah wajib seseorang mengeluarkan zakat dari budak kafir yang ia miliki (yang masih dalam tanggungan nafkahnya) ?. Dalam hadits disebutkan :

ليس على المسلم في عبده صدقة إلا صفقة الفطر

"Tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim pada budak yang ia milki zakat, kecuali zakat fithri".

Karena itu, kok kurang pas (bagi saya) jika alasan tambahan minal-muslimin itu tidak syaadz karena :

karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.

Justru tambahan itu memberikan keterangan dan kejelasan (baca : taqyid) dari lafadh yang semula mutlak, yang kemudian menjadi pemutus hukum atas pertanyaan yang merupakan konsekuensi dari lafadh mutlak itu :

- apakah wajib membayar zakat fithri budaknya yang kafir ?

- apakah wajib membayar zakat fithri istrinya yang kafir ?

- apakah wajib membayar zakat fithri anak yang kafir yang menjadi tanggungannya ? (misal : anak bawaan dari istri yang kafir).

- apakah wajib membayar zakat fithri atas kerabat-kerabat dekatnya yang kafir yang masuk dalam tanggungan nafkahnya (karena kefaqirannya) ?

Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada. Oleh karenanya, tambahan ini bukan masuk dalam katagori syaadz. Wallaahu a'lam.

abu faadhilah mengatakan...

usatadz, Jazakumullahu khairan atas artikelnya, untuk hal ini ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan

1. adakah atsar dari para shabat untuk menguatkan kesimpulan diatas?

2. boleh tahu Ulama mana saja yang menguatkan kesimpulan diatas

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Sampai saat ini, saya belum tahu atsar shahih dan sharih yang menjelaskan posisi tangan pada waktu berdiri setelah rukuk. Baik yang berpendapat sedekap atau irsal. Dalil yang dijadikan hujjah sifatnya dalil umum. Kalau ada ikhwan Pembaca yang mengetahui apa yang ditanyakan akh Abu Fadlillah, jangan segan-segan menuliskannya di kolom komentar ini.

2. Ulama yang berpendapat irsal adalah (dengan menukil penjelasan Dr. Anis bin Ahmad bin Thaahir) :

- Abu Hanifah, Abu Yuusuf, dan Muhammad bin Al-Hasan.

- Ahmad telah memilih antara meletakkan tangan dan melepaskan tangan.

- Ibnu Hazm.

Secara persis bagaimana kalimat para imam yang disebtkan Dr. Anis tersebut, saya belum meneliti/mencarinya.

Wallaahu a'lam bish-shawwab.

Unknown mengatakan...

al-Jauzaa berkata : Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada.

Bolehkah saya mendapat contoh ziyadah yang di tolak (syadz) sebagai pembading ziyadah yang diterima ?

Dan 1 lagi, kalo boleh saya mendapat contoh perbedaan antara ziyadah dan idraj.


Kalo tidak via bloq ini, mungkin akh bisa kirim via email saja.


Syukron

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Untuk contoh hadits syaadz : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/hadits-kewajiban-saksi-dalam-pernikahan.html

Contoh idraaj adalah hadits :

أسبغوا الوضوء ويل للأعقاب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka".

kalimat أسبغوا الوضوء ; adalah idraaj dari perkataan Abu Hurairah, sebab dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata :

أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال ويل للعقب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka'".

Wallaahu ta'ala a'lam.

Unknown mengatakan...

Abul Jauzaa'mengatakan : Untuk contoh hadits syaadz : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/hadits-kewajiban-saksi-dalam-pernikahan.html

Contoh idraaj adalah hadits :

أسبغوا الوضوء ويل للأعقاب من النار

"Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaanlah bagi tumit-tumit akan masuk neraka".


Dari contoh yang antum sebutkan, nampaknya bahwa dalam hadits yang dikatakan syadz dengan tambahan "dua orang saksi yang ‘adil". bersumber dari rawi yang Dla'if bukan rawi Tsiqah.

Apakah contoh tsb cocok disebut sebagai Ziyadatuts-Tsiqah ?

Bukankah perbedaan syadz dan munkar bersumber pada kekuatan hapalan rawi, maka jika rawi tsiqah menyelisihi rawi tsiqah lainnya atau lebih tsiqah maka disebut syadz, sedangkan jika rawi yang lemah ingatan/hapalannya menyelisi rawi tsiqah disebut munkar.

Jika tambahan "dua orang saksi yang ‘adil" bersumber dari rawi tsiqah, lalu apa bedanya dengan contoh hadits sedekap ?

CMIIW

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dikarenakan CMIIW adalah Corect Mi If I'm Wrong, maka saya katakan : Yes, I'll Corect You 'Cause You're Wrong (sorry, I'm kiddin' my brother....).

Coba antum perhatikan hadits 'Aaisyah. Di situ saya katakan bahwa tiga orang - atau lebih tepatnya dua orang - telah menyelisihi riwayat jama'ah dengan menyebutkan tambahan dan dua orang saksi yang 'adil. Mereka adalah Yahyaa bin Sa'iid dan Hafsh bin Ghiyaats. Adapun 'Iisaa bin Yuunus, dalam riwayat Ishaaq bin Rahawaih tidak meriwayatkan tambahan tersebut.

Yahyaa bin Sa'iid, ia adalah Ibnu Farrukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy. Seorang yang tsiqah lagi mutqin.

Hafsh bin Ghiyaats, ia adalah Ibnu Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik bin Al-Haarits An-Nakha’iy, Abu ‘Umar Al-Kuufiy, seorang yang tsiqah lagi faqih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya.

Kira-kira, mereka itu tsiqah gak pak ?

Nah, dua orang perawi ini telah menyelisihi banyak perawi (saya menyebutkan 23 orang). Sedikit keterangan tentang 22 orang tersebut (saya acu dari At-Taqriib) :

1. 'Abdullah bin Al-Mubaarak, seorang yang tsiqah, tsabt, 'aalim.

2. Ismaa'iil bin Zakariyyaa, seorang yang shaduuq, sedikit keliru.

3. 'Abdulah bin Wahb, seorang yang tsiqah lagi haafidh.

4. 'Abdullah bin Rajaa' Al-Makkiy, seorang yang yang tsiqah, namun sedikit berubah hapalannya.

5. 'Abdurrazzaaq bin Hammaam, seorang yang tsiqah lagi haafidh.

6. Adl-Dlahhaak bin Makhlad Abu 'Aashim, seorang yang tsiqah lagi tsabt.

.......

dan lain-lain silakan antum teruskan sendiri.

I hope it's clear for U brother...

Anonim mengatakan...

Assalamu alaikum Pak Ustad sy yang sangat awam ini mau bertanya..1)jika hendak sujud yg mana ddahulukan kedua tangan atau lutut? begitu jg ketika bangun dari sujud utk berdiri ke rakaat selanjutnya? 2) minta pendapat :jika sesorang berniat kurban untuk tdk mencukur rambut dan memotong kuku sejak 1 zulhijjah sampai hewan korban disembelih?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

1. Ketika mau sujud, tangan dulu. Ketika mau bangkit, lutut dulu diangkat.

2. Ya benar.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

al-ikhwan mengatakan...

Assalamu'alaikum Ust Abul Jauzaa

mohon bantuannya tentang takhrij beserta jalur sanad hadits berikut ini:

عن وائل بن حجر قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم حين كبّر رفع يديه خِذاء اُذنيه ثم حين قال سمع الله لمن حمده رفع يديه ورأيتُه مُمْسِكًا بيمينه على شماله فى الصلاة . أحمد

saya mendapatinya dalam risalah Ust A. Qodir Hassan dalam buku "Cara Berdiri I'tidal"

Jazakumullah

Abu Zuhriy mengatakan...

Sesungguhnya akar permasalahannya, adalah:

"hadits sedekap dalam shalat, apakah ia merupakan hadits yang bersifat MUTLAK. ataukah hadits yang bersifat UMUM?"

bagi yang berpendapat hadits tersebut bersifat UMUM, maka jelas baginya i'tidal adalah sedekap. karena berdiri dalam shalat itu ada dua, sebelum atau sesudah ruku'.. barangsiapa yang membedakan posisi tangan pada kedua kondisi tersebut, maka hendaknya mendatangkan dalil khusus yang membedakannya. karena tidak ada dalil khusus yan membedakannya, maka kembalikanlah ia kepada KEUMUMAN HADITSnya.

Oleh karenanya berkata Syaikh Ibnu Bazz:

"Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan antara keduanya (yakni antara berdiri sebelum ruku dan berdiri setelah ruku, keduanya kembali kepada keumuman hadits "berdiri didalam shalat", dan "berdiri didalam shalat itu adlaah BERSEDEKAP"), (maka) oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya" -pent)"

Sebaliknya, bagi yang berpendapat bahwa hadits tersebut bersifat MUTLAK, maka jelas pendapatnya adalah irsal (tangannya tidak diapa-apakan). Karena kita tidak boleh me-MUQAYYAD-kan sesuatu tanpa ada dalil yang me-muqayyad-kannya. Jika seseorang menetapkan sedekap pada i'tidal, justru inilah yang keliru; karena memuqayyadkan sedekap pada i'tidal. sedangkan tidak ada hadits secara tersendiri yang menyebutkan hal ini.

Oleh karenanya Syaikh al Albaaniy berkata:

"tidak ada dalil sama sekali dari hadis-hadis kaifiyah salat Nabi (tentang sedekap ketika i'tidal). Kalaulah ada contohnya dari Nabi, maka tentu akan diriwayatkan kepada kita walaupun hanya satu riwayat! (dengan tidak adanya dalil) bahkan itu adalah penguat bahwa tidak ada sedekap waktu I’tidal... "

Oleh karenanya beliau menganggap ini adalah termasuk bid'ah..

Hal ini dijelaskan Syaikh Muhammad Bazmul sebelum membahas perkara ini... Sangat bagus penjelasan beliau, sehingga dapat mengubah cara pandang -ana pribadi- dalam hadits "sedekap ketika berdiri dalam shalat" diatas..

(ustadz kayana, tadi ana salah kamar ngomentari... yang salah kamar nggak usa di-approve stadz, yang ini aja.. hehe)

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Warahmatullah,
Apakah ketika turun sujud kita bertakbir lagi (mengangkat tangan ke telinga)atau langsung melepaskan sedekap kita dan turun sujud

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Warahmatullah,
Apakah ketika turun sujud kita bertakbir lagi (mengangkat tangan ke telinga)atau langsung melepaskan sedekap kita dan turun sujud
Syukran atas jawabannya ustadz..

Afriza H

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Wa'alaikumus-salaam.

Dua-duanya boleh.

Moch Nasrullah mengatakan...

dari penjelasan terkait di atas tidak ada yang mengatakan bahwa setelah ruku' harus bersedekap hanya menyuruh untuk meluruskan sendi2 agar kembali semula ke tempat awalnya.
jadi dimana hadits yang secara gamblang menerangkan setelah ruku' harus bersedekap ??

sulukdolopo.com mengatakan...

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabaro katuh? bagaimana caranya kita bangun dari rukuk ke i'tidal, ada yang mengangangkat tangan seperti takbiratul ikhrom dan ada juga yang tidak? dan ada yang mengangkat tangan seperti takbiratul ikhrom tp tangan seperti berdo'a.

Anonim mengatakan...

sbenarnya dr pendapat tentang permasalahan bersedekap dan tidak stelah ruku' itu jangan trlalu d permasalahkan, msing2 punya dalil yg dapat dijadikan acuan.. masalah ini telah dikatakan oleh Imam Ahmad,
إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ : إنْ شَاءَ أَرْسَلَ يَدَيْهِ ، وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَمِينَهُ عَلَى شِمَالِهِ
“Jika seseorang bangkit dari ruku’, maka jika ia mau, ia bisa melepaskan tanggannya (tidak sedekap). Jika mau, ia pun bisa meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (sedekap).” (Al Inshaf, 2: 412, Asy Syamilah).
Imam Ahmad mengatakan demikian karena tidak ada dalil tegas yang membicarakan masalah sedekap setelah ruku’. Sehingga Imam Ahmad pun mengatakan,
أرجو أن لا يضيق ذلك
“Aku harap, jangan terlalu mempermasalahkan hal tersebut.” (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Ath Thorifi, hal. 86).
Semoga bermanfaat, hanya Allah yang memberi taufik.