Larangan Memberikan Bantuan untuk Menghalangi Penegakan Hukum Allah


Allah ta’ala berfirman :
وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا
“Dan barangsiapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. An-Nisaa’ : 85].
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من حالت شفاعته دون حد من حدود الله فقد ضاد الله في أمره ومن مات وعليه دين فليس ثم دينار ولا درهم ولكنها الحسنات والسيئات ومن خاصم في باطل وهو يعلم لم يزل في سخط الله حتى ينزع ومن قال في مؤمن ما ليس فيه حبس في ردغة الخبال حتى يأتي بالمخرج مما قال
“Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah, sungguh ia telah melawan perintah Allah. Barangsiapa yang mati dengan meninggalkan hutang, maka di akhirat tidak ada dinar dan dirham, akan tetapi yang ada hanyalah hitungan pahala dan dosa. Barangsiapa yang berdebat dalam membela kebathilan sementara ia mengetahuinya, maka ia berada dalam kemurkaan Allah hingga ia meninggalkannya. Barangsiapa yang berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, maka ia akan dibenamkan dalam ‘radghatul-khabal’ (= lumpur yang berasal dari perasaan keringat penduduk neraka) hingga keluar dari apa yang ia katakan itu” [HR. Abu Dawud no. 3597, Al-Baihaqi 6/82, Al-Hakim 2/27, dan Ahmad 2/70; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhuma ketika membantu seorang wanita Al-Makhzumiyyah :
أتشفع في حد من حدود الله ؟
“Apakah engkau akan memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan hukum Allah ?” [HR. Al-Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688].
Kandungan Bab :
1.    Haram hukumnya memberikan bantuan untuk menghalangi penegakan hukum Allah, karena itu adalah hak Allah, maka tidak boleh dipandang remeh.
2.    Barangsiapa yang bantuannya menghalangi penegakan hukum Allah, berarti ia tlah melawan perintah Allah dan kekuasaan-Nya.
3.    Hadits-hadits dalam bab ini berlaku apabila kasusnya sudah diangkat kepada imam (penguasa/sulthan). Adapun sebelum itu, dibolehkan memberikan bantuan, wallahu a’lam.
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus-Sunnah (10/329) :
وهذا بعد أن بلغ ذلك الإمام، فأما قبل بلوغ الإمام، فإن الشفاعة فيها جائزة حفظا للستر عليه، فإن الستر على المذنبين مندوب إليه
”(Hadits) ini berlaku apabila kasusnya sudah sampai kepada imam. Adapun jika kasusnya belum sampai kepada imam, maka bantuan tersebut diperbolehkan untuk menjaga kehormatan dan menutupi aibnya. Sebab menutupi (aib) orang-orang yang berbuat dosa adalah dianjurkan” [selesai].[1]
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
تعافوا الحدود فيما بينكم فما بلغني من حد فقد وجب
”Saling memaafkanlah diantara kalian dalam perkara hudud. Namun jika kasusnya telah sampai kepadaku, maka wajib untuk diproses” [HR. Abu Dawud no. 4376 dan Al-Hakim 4/383; shahih lighairihi].
4.    Diperbolehkan memberikan bantuan dalam hukuman ta’zir (bukan hukum hadd), berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم إلا الحدود
”Maafkanlah kesalahan orang-orang yang terpuji akhlaqnya, kecuali dalam masalah hudud” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 465, Abu Dawud no. 4375, Ahmad 6/181, Al-Baihaqi 8/334, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/43, dan lain-lain; shahih].
Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (10/330) berkata :
فيه دليل على جواز ترك التعزير، وإنه غير واجب. ولو كان واجبا كالحد، لاستوى فيه ذو الهيئة وغيره
”Dalam hadits tersebut terdapat dalil diperbolehkannya untuk meninggalkan hukum ta’zir, karena hukum ta’zir itu tidak wajib. Apabila hukum ta’zir itu wajib sebagaimana hukum hadd, maka akan sama dalam hukum ta’zir itu antara yang terpuji akhlaqnya dan yang lainnya” [selesai].
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul-Bari (12/88) berkata :
ويستفاد منه جواز الشفاعة فيما يقتضي التعزير وقد نقل بن عبد البر وغيره في الاتفاق ويدخل فيه سائر الأحاديث الواردة في ندب الستر على المسلم وهي محمولة على ما لم يبلغ الامام
”Dapat diambil faedah darinya bolehnya memberikan bantuan dalam hukum ta’zir. Ibnu ’Abdil-Barr dan selainnya telah menukil kesepakatan dalam masalah ini. Termasuk di dalamnya semua hadits yang berisi anjuran menutupi kehormatan seorang muslim. Namum semua itu berlaku apabila kasusnya belum sampai ke hadapan imam” [selesai].
5.    Sebagian ulama berpendapat bahwa bantuan hukum boleh diberikan kepada orang yang diketahui tidak suka mengganggu orang lain. Kesalahan yang dilakukannya itu dianggap sebagai sebuah kekeliruan.
Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : ”Hal itu didukung oleh makna tersirat yang diambil dari kata dzawil-haiaat (orang yang terpuji akhlaqnya). Imam Al-Baihaqi (dalam Sunan-nya 8/334) meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata :
وذوو الهيئات الذين يقولون عثراتهم الذين ليسوا يعرفون بالشر فيزل أحدهم الزلة
”Hanya orang-orang yang dikenal baik akhlaqnya sajalah yang dimaafkan dari kesalahannya. Yaitu orang-orang yang tidak dikenal sebagai orang jahat. Seseorang tentunya kadangkala tergelincir dalam satu kesalahan” [selesai].
[Selesai ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ dari Mausu’ah Al-Manahiyyisy-Syar’iyyah (3/703) karya Syaikh Salim Al-Hilaly (edisi Indonesia : Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan sedikit perubahan dan tambahan].


[1]     Ini adalah madzhab Al-Auza’i. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal : “Diberikan bantuan dalam masalah hadd selama perkaranya belum sampai kepada sulthan”. [Syarhus-Sunnah lil-Baghawi 10/329].

Comments

Anonim mengatakan...

Tapi ustadz kemaren kerajaan Saudi malah mengucapkan selamat atas kudeta militer Mesir Al-Sisi?

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Lantas, apa hubungannya dengan saya dan artikel saya ?