Artikel ini merupakan kelanjutan dari
artikel sebelumnya yang berjudul Memerangi Penguasa yang Fasiq atau Dhalim dan Bilamana Penguasa Tidak Menegakkan Shalat ?.
Para ulama telah sepakat bahwa jabatan
imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, sebagaimana dikatakan oleh
Al-Qadli ’Iyadl :
أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya
imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir” [Syarh Shahih Muslim juz
12 hal. 229].
Ibnu Hajar berkata :
انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم
القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه
الهجرة من تلك الأرض
”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin)
karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan
hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala.
Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia
mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka
ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz
13 syarah hadits no. 6725].
Al-Qadli Abu Ya’la Al-Hanbaly berkata :
”Jika pemimpin menjadi kufur setelah iman, berarti dia harus diturunkan dari
tampuk kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini,
karena dia sudah dianggap keluar dari agama. Bahkan dia harus dibunuh” [Al-Mu’tamad
fii Ushuuliddiin hal. 243].
عن جنادة بن أبي أمية قال دخلنا على عبادة
بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى
الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا
أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا
ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu
’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika
ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada
kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari
Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan
memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata :
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami
kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia
untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam
kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara
sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari
ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata
: ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang
kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Ibnu Hajar berkata :
قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى
الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم
منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق
حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على
السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر
”Telah berkata An-Nawawi : Yang
dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah :
Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka
dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran
yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk
sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat
yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian
berada” – selesai –.[1] (Ibnu
Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) :
”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran.
Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali
bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari juz
13 penjelasan hadits no. 6647].
Beliau melanjutkan :
والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت
المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل
رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية
نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك
إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في
أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن
بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا
في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه
”Dan yang jelas adalah membawa riwayat
(yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan,
sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai
kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat
(yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan.
Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain
ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan
pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa
kekerasan. Itu jika ia mampu.Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin
dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada
para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari
jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib
melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan
dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan
kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia
seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan
keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk
keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir.
Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].
Berkata Al-Kirmaniy sebagaimana dinukil
Badruddin Al-’Aini :
وقال الكرماني الظاهر أن الكفر على ظاهره
”Dan Al-Kirmany berkata secara dhahirnya,
yaitu bahwa kufur di sini adalah kufur secara dhahir (kufur akbar)” [’Umdatul-Qaari oleh
Al-’Aini juz 24 hal. 342; Maktabah Al-Misykah].
Para ulama menjelaskan bahwa bolehnya
untuk keluar dari ketaatan dan memerangi penguasa adalah karena penguasa
tersebut telah melakukan kekufuran (kufur akbar) yang menyebabkan ia menjadi
kafir. Itulah yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar setelah membawakan beberapa
riwayat tentang lafadh hadits (kufran bawaahan, kufran shuraahan, ma’shiyatallaahi
bawaahan, dan itsmin bawaahan). Lafadh-lafadh hadits itu saling
menjelaskan satu sama lain. Lafadh kufur lebih khusus/spesifik daripada lafadh
maksiat ataupun dosa. Perkataan An-Nawawi sebagaimana tertulis di atas (yaitu
perkataannya : ”kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata
dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam / min
qawaa’idil-Islaam”), maka itupun juga tidak bertentangan dengan makna
kufur. Orang yang mengerjakan kemaksiatan yang jelas yang termasuk dalam
sendi-sendi Islam, maka sudah dimaklumi bahwa ia bisa terjatuh dalam kekufuran.[2] Akan
tetapi hal ini memerlukan tafshil (perincian).
Telah berlalu perkataan para ulama yang
menyatakan bahwa sekedar kemaksiatan saja tidak boleh menjadi sebab mengangkat
senjata kepada penguasa. Dan telah menjadi kemafhuman bagi para ulama dan
penuntut ilmu, kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan tidaklah selalu
berkonsekuensi pada kekufuran.
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن
كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم
قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه
”Akan diangkat para penguasa untuk kalian.
Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah
berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan.
Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain
halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai
Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak,
selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan
mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854].
Hadits di atas memberikan satu pengetahuan
bagi kita bahwa penguasa yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam adalah penguasa muslim yang melakukan kemungkaran.
Kalimat fata’rifuuna wa tunkiruuna menunjukkan bahwa lafadh
umum, yaitu kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa itu terlihat, baik langsung
ataupun tidak langsung, oleh rakyat. Pemahaman ini sangat mudah terambil dari
hadits. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa kemunkaran yang terkandung
dalam hadits ini dibatasi oleh makna kemunkaran yang dilakukan sembunyi-sembunyi.[3] Apalagi
jika dikaitkan dengan hadits kemunculan atsarah (penguasa dhalim).
Sangat jelas dipahami bahwa kedhaliman para atsarah tersebut nampak secara dhuhuran (terang-terangan).
Bukan sembunyi-sembunyi. Bila sembunyi-sembunyi, tentu Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam tidak akan berpesan untuk bersabar terhadap
kedhaliman mereka.
Bagaimana halnya Jika Penguasa
Memberlakukan Undang-Undang Buatan dalam Menjalankan Pemerintahannya ?
Beberapa orang atau kelompok ketika
mengulas pembahasan tasyri’ ’aam dan tabdiil yang
bermuara pada pembuatan dan pemberlakukan undang-undang keduniaan menegaskan
akan kekafiran penguasa sehingga membolehkan adanya pemberontakan/keluar dari
ketaatan. Mereka menyatakan bahwa penguasa tersebut telah kafir karena membuat
dan/atau menjalankan hukum selain dari hukum Allah, dimana hal itu merupakan
kekufuran yang nyata dalam kaca mata syari’at.
Permasalahan ini telah dibahas oleh para
ulama ketika mereka membahas Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah (Berhukum
dengan hukum selain yang diturunkan Allah). Mereka membahas bahasan tasyri’
aam dan qadliyyah mu’ayyanah dalam satu lingkup
bahasan. Allah telah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
”Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].
Ayat-ayat hukum di atas berlaku pada semua
jenis manusia, baik aamir (pemimpin) ataupunma’mur (yang
dipimpin/rakyat). Tidak ada pengkhususan bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada
satu golongan manusia dan tidak bagi yang lain. Kita semua paham – insya
Allah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala
hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa
anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain
yang diturunkan Allah). Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan
kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum
Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin,
dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku
kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak
diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang
merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah. Al-Imam Ibnu Hazm telah
mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل
الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم
يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص
وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman
: Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan
setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku
kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz
3 hal. 234].[4]
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa
bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh
padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan
tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama
(tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).
Al-Imam Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy
berkata :
أجمع العلماء على أن الجور في الحكم من
الكبائر لمن تعمَّد ذلك عالماً به
”Para ulama telah sepakat bahwa kecurangan
dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya
dengan sengaja dalam keadaan mengetahui hukumnya (tanpa adanya pengingkaran dan
penghalalan)...”[5] [At-Tamhid juz
17 hal. 16].
Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri berkata :
ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز
وجل { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ} ويقرءون معها {ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ}
فإذا رأوا الإمام الحاكم يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر ، ومن كفر عدل بربه فقد
أشرك، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ؛ لأنهم يتأولون هذه الآية
”Di antara ayat-ayat mutasyaabihaat yang
diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij) adalah firman Allah ’azza
wa jalla : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [QS.
Al-Maaidah : 44]. Dan mereka juga menyertakan ayat : ”Namun orang-orang
yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka” [QS.
Al-An’aam : 1]. Jika mereka melihat seorang penguasa/hakim yang menghukumi
dengan tidak haq maka mereka berkata : ’Dia telah kafir, dan barangsiapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb-nya, maka sungguh ia telah musyrik. Para
penguasa ini merupakan orang-orang musyrikin”. Maka mereka memberontak dan
melakukan hal yang engkau lihat, karena mereka menakwilkan ayat ini” [Asy-Syari’ah hal.
18; Maktabah Al-Misykah].
Al-Imam Abu Hayyan Al-Andalusi berkata :
واحتجت الخوارج بهذه الآية على أن كل من عصى
الله تعالى فهو كافرٌ وقالوا هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل الله فهو كافر
”Orang-orang Khawarij berargumen dengan
ayat ini bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia telah kafir.
Dan mereka berkata : ”Ia adalah nash bagi setiap orang yang berhukum dengan
selain hukum yang diturunkan Allah, maka dia kafir” [Al-Bahrul-Muhithjuz
3 hal. 493].
Muhammad Rasyid Ridla berkata :
أما ظاهر الآية لم يقل به أحدٌ من أئمة
الفقه المشهورين . بل لم يقل به أحدٌ قط
”Adapun dhahir ayat ini, maka tidak ada
seorangpun dari para imam fiqh yang masyhur yang berpendapat dengannya. Bahkan
tidak ada seorangpun yang berpendapat dengannya”[6] [Tafsir
Al-Manar juz 6 hal. 406].
Para ulama di atas (dan masih banyak yang
lain) menjelaskan tentang manhaj Khawarij (dan Mu’tazillah) dimana mereka
menggunakan ayat tersebut untuk memutlakkan setiap orang yang berhukum dengan
selain hukum Allah tanpa perincian yang dikenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah.
Mereka menghantam kaum muslimin (terutama para penguasa) yang melakukan kabaair (dosa-dosa
besar) dengan kekafiran. Adapun para ulama Ahlus-Sunnah telah memberikan
penjelasan tentang tafsir ayat {وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } sebagai
berikut :
Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhu berkata
:
من جحد ما أنزل الله فقد كفر, ومن أقرّ به
ولـم يحكم فهو ظالـم فـاسق
”Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang
diturunkan Allah, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun
tidak berhukum dengannya, maka ia seorang yang dhalim dan fasiq” [Tafsir
Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abu Ja’far Ath-Thabari berkata :
وأولـى هذه الأقوال عندي بـالصواب, قول من
قال: نزلت هذه الاَيات فـي كافر أهل الكتاب, لأن ما قبلها وما بعدها من الاَيات
ففـيهم نزلت وهم الـمعِنـيون بها, وهذه الاَيات سياق الـخبر عنهم, فكونها خبرا
عنهم أولـى. فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من
لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر
بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم
الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل
الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس
”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan
ini menurutku adalah adalah, perkatan orang yang mengatakan bahwa : ”Ayat ini
turun pada orang-orang kafir dari Ahli Kitab, karena sebelum dan sesudah (ayat
tersebut) bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini.
Dan konteks ayat ini juga mengkhabarkan tentang mereka. Sehingga keberadaan
ayat ini sebagai khabar tentang mereka lebih didahulukan”. Apabila ada yang berkata
: ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip
orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan
ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan :
”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu
mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan
tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka
menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah
dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
’Abbas[7]....”
[Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].
Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru mufassir Abu
’Abdillah Al-Qurthubi penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata
:
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله
فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا
حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما
جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها .
وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛
فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان
عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ،
لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ،
وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه. وقد تقدم ذلك في كتاب الإيمان
؛ حيث بيَّنَّا : أن الكفر هو الجحد والتكذيب بأمرٍ معلوم ضروري من الشرع ، فما لا
يكن كذلك فليس بكفر . ومقصود هذا البحث : أن هذه الآيات المراد بها : أهل الكفر ،
والعناد . وأنها كانت ألفاظها عامة ، فقد خرج منها المسلمون ؛ لأنَّ ترك العمل
بالحكم مع الإيمان بأصله هو دون الشرك . وقد قال تعالى : { إن الله لا يغفر أن
يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء }. وترك الحكم بذلك ليس بشرك بالاتفاق ، فيجوز
أن يُغفر ، والكفر لا يُغفر ، فلا يكون ترك العمل بالحكم كفرًا
”Firman Allah ta’ala : Barang
siapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44].
Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang
berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi
mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang
menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits,
dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan
mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya
adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala
pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu
dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan
ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari),
maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui
pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi
dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan
perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini
seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah
madzhab Ahlus-Sunnah. Hal ini telah berlalu pembahasannya dalam Kitaabul-Iman dimana
kami telah menjelaskanya : Bahwasannya kekufuran itu adalah kufur juhd (pengingkaran)
dan takdzib (pendustaan) terhadap perkara-perkara yang telah
diketahui secara dlaruri dalam syari’at. Apabila keadaannya tidaklah seperti
itu, maka ia bukanlah kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam). Maksud dari
pembahasan ini adalah bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir
dan yang menentang, walaupun lafadhnya umum, tapi kaum muslimin tidak termasuk
dalam ayat ini. Hal itu dikarenakan tidak menjalankan hukum Allah bersamaan
dengan masih adanya iman terhadap pokok hukum tersebut, masih berada pada
posisi di bawah dosa syirik. Dan Allah telah berfirman : ”Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik tapi Dia mengampuni dosa
selain syirik bagi yang dikehendakinya” [QS. An-Nisaa’ : 48]. Adapun
meninggalkan hukum yang demikian bukanlah termasuk syirik menurut kesepakatan.
Oleh karena itu, dia berhak untuk mendapatkan ampunan. Adapun kekufuran, tidak
ada ampunan baginya. Maka meninggalkan berhukum dengan hukum Allah bukan
termasuk kekafiran” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim juz
4 hal. 150; Maktabah Al-Misykah].
Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata :
قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم
يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا
من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى
إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له
Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan :
"Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak
berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan
muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau
menghalalkan (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun
barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia
mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan
perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika
tidak, maka Dia akan mengampuninya” [Lihat Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an juz
6 hal. 190; tafsir QS. Al-Maidah : 44].
Ibnul-Jauzi berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحدا له، وهو
يعلم أن الله أنزله، كما فعلت اليهود، فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلا إلى الهوى من
غير جحود، فهو ظالم وفاسق. وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس أنه قال: من جحد
ما أنزل الله فقد كفر، ومن أقر به ولم يحكم به فهو فاسق وظالم
"(Kesimpulannya), bahwa barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan
mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa
Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena
condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim
dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas
bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah
maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum
dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir juz
2 hal. 366].
Dan lain-lain[8].
Semua menjelaskan adanya perincian, yaitu :
1. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan
hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan tetap meyakini kewajibannya dan
membenarkan hukum Allah, maka orang tersebut tidaklah kafir. Ia adalah
seseorang yang melakukan dosa besar atau kufur ashghar.
2. Jika orang tersebut berhukum/memutuskan
hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan mengingkari kewajibannya dan
menghalalkan dalam hati apa yang ia perbuat (berhukum dengan selain hukum
Allah), maka tidak syakk (ragu) tentang kekafirannya.[9]
Perkara pengkafiran dalam perkara ini
adalah masalah i’tiqady yang tidak bisa serta merta dihukumi
dengan dhahirnya saja. Tidak bisa orang hanya menilai dari apa yang tampak
sehingga ia mengatakan (misalnya) : ”Ia telah mengingkari hukum Allah” atau ”Ia
telah menghalalkan hukum sekuler” yang kemudian dengan itu ia menjustifikasi
kekafiran terhadap orang tersebut. Dari mana ia bisa tahu padahal semua itu
terkait dengan i’tiqad (keyakinan) dalam hati ? Maka,
penentuan hukum kafir ini tidaklah dengan serta merta. Harus ada tahapan
penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah), dihilangkannya syubhat (izaalatusy-syubuhaat),
dan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.[10]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan :
وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن
أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم
يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk
mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah – sampai
ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan.
Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah
hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali
setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmu’
Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah juz 12 halaman 135 – Maktabah Al-Misykah].[11]
Dan perlu menjadi catatan penting adalah
bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya.
Tapi hal itu mensyaratkan kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang
disampaikan). Nah, jika demikian, penerapan ataupun pelaksanaan beberapa hukum
selain hukum Allah (seperti banyak kita dapatkan kenyataannya pada jaman
sekarang) tidaklah selalu mengharuskan kekafiran pada pelakunya.
Konsekuensinya, perbuatan tidak berhukum dengan hukum Allah itu tidak selalu
ada dalam lingkup kufran bawaahan atau kufran
shuraahan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.
Ada satu hadits yang nampaknya perlu mendapatkan
perhatian kita bersama.
عن جابر رضى الله تعالى عنه قال النبي صلى
الله عليه وسلم حين مات النجاشي مات اليوم رجل صالح فقوموا فصلوا على أخيكم أصحمة
Dari Jabir radliyallaahu ’anhu :
Telah berkata Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pada waktu
raja Najasyi meninggal dunia : ”Sesungguhnya pada hari ini seorang
laki-laki yang shalih meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan shalatkanlah
saudaramu Ashhamah” [HR. Bukhari no. 3664 dan Muslim no. 952].
Dalam hadits tersebut terkandung suatu
hukum yang agung dimana seorang penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam pada
rakyatnya tidaklah selalu dikatakan kafir. Bahkan Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam menisbatkan keshalihan padanya. Mungkin ada sebagian
orang yang akan berkomentar :
( - ) An Najasyi tidak divonis kafir
karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan
pemerintahan yang ada pada jaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang
mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan
hukum islam.
Kita jawab : Bukankah para pemerintahan yang ada
sekarang juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh,
digulingkan, diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An-Najasyi takut
untuk digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk
digulingkan, dan bahkan diserang oleg negara lain. Bukankah kita pernah dengar
seorang yang bernama Zhiyaul-Haq (mantan Presiden Pakistan), dan kisah kenapa
ia dibunuh ? Terdapat kesamaan ’íllat syar’i antara keadaan
An-Najasyi dengan kebanyakan penguasa di jaman sekarang.
Jika ada orang yang berkata :
( - ) "Bukankah para penguasa kita
telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi
sehingga dengan itu mereka telah kafir ?".
Kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum
demokrasi merupakan hukum kufur. Namun tidaklah setiap orang yang terlibat
dalam demokrasi bisa disebut telah melakukan kekufuran yang nyata atau
pelakunya layak disebut kafir. Tidak seperti itu. Perlu dicatat bahwa «
mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan
para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum
selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti
hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang
menyebabkan kufur akbar). Imam Ibnu ‘Arabi berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند
الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على
أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum
dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia
adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya.
Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan
maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok
Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz
2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini
sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalamTafsir-nya (juz 6 hal.
191 – yang merupakan penjelasan Imam Thawus dan selainnya) dan Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa ( juz 3 hal. 268). Bisa jadi orang yang
berhukum dengan selain hukum Allah itu hanya melakukan kekufuran ashghar saja
(yang bukan termasuk kufran bawwaahan). Kita harus berhati-hati
dalam masalah ini. Tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari
seorang muslim tanpa hujjah dan alasan yang dibenarkan syari’at.[12]
Dan puncak penjelasan dari bagian ini
adalah hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ’anhu :
يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون
بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا
رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع
“Akan ada sepeninggalku nanti para
pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan
sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya
adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku
mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan
taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah
mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].
Hadits ini telah menjelaskan tentang
kemaksiatan yang dilakukan penguasa baik yang ia lakukan pada diri sendiri
ataupun pada orang lain (rakyatnya); baik kemaksiatan itu merupakan sebuah
sistem atau bukan merupakan sebuah sistem.
’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan
hadits di atas dalam penyebutan sifat-sifat pemimpin yang diisyaratkan
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا يهتدون بهداي أي من حيث العلم ولا يستنون
بسنتي أي من حيث العمل والمعنى أنهم لا يأخذون بالكتاب والسنة
”.... Tidak mengambil petunjuk dengan
petunjukku” ;
adalah dalam hal ’ilmu. ”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku” ;
adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak
mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih
Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113; Maktabah Al-Misykah].
Kapan Diperbolehkan Memberontak kepada
Penguasa ?
Dari hadits ’Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu
’anhu[13], sebagian ulama telah
merangkum beberapa syarat kapan diperbolehkan memberontak kepada penguasa,
yaitu :
1. Melihat, yang mempunyai makna mengetahui
dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
2. Apa yang dilakukan penguasa benar-benar
merupakan kekafiran. Apabila masih tergolong perbuatan kefasikan, maka tidak
diperbolehkan memberontak bagaimanapun besarnya kefasiqan tersebut.
3. Dilakukan dengan terang dan jelas tanpa
mengandung penafsiran lain.
4. Kita memiliki bukti di sisi Allah padanya,
yaitu hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
ijma’ umat.
5. Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam,
yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa, karena jika tidak
punya kemampuan maka akan terbalik sehingga malah mencelakakan rakyat sehingga
menimbulkan mudlarat ang lebih besar daripada mudlarat yang diakibatkan jika mendiamkan
penguasa tersebut. [Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 287-288].
Sebagai bahan perenungan akhir, mari kita
cermati untaian perkataan indah dari Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy (w. 792 H) yang
termuat dalam salah satu kitab syarah terbaik bagi kitab Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah :
وأما لزوم طاعتهم وإن جاروا ، فلأنه يترتب
على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم ، بل في الصبرعلى جورهم
تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم علينا إلا لفساد أعمالنا
، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار والتوبة وإصلاح العمل .
قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ
أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا
أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ نُوَلِّي
بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد الرعية أن
يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.
“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk
mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu
dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada
mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka.
Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai
kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan
karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari
jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah
bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah
ta’ala telah berfirman : ”Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30]. ”Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. An-Nisaa’ :
79]. ”Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang lalim
itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [QS.
Al-An’aam : 129].
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga”
[selesai perkataan Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy – lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy; tahqiq : Syaikh Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turky; takhrij : Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth; Muassasah Ar-Risalah; Cet. 9/1417 H/1996].
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga”
[selesai perkataan Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy – lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy; tahqiq : Syaikh Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turky; takhrij : Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth; Muassasah Ar-Risalah; Cet. 9/1417 H/1996].
Abul-Jauzaa'.
[1] Di sini (dalam kitab Fathul-Bari) Ibnu Hajar menukil perkataan
An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hanya sampai kalimat ini.
Kami tambahkan, dalam Syarah Shahih Muslimterdapat kalimat
setelahnya yang masih terkait dengan bahasan yaitu beliau berkata : ”Adapun
memerangi dan memusuhi mereka (pemimpin), tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’
ulama muslimin, meskipun penguasa itu termasuk orang-orang yang fasiq dan
dhalim” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 229].
عدم جواز
الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئًا من قواعد الإسلام
”(Hadits tersebut merupakan) peniadaan kebolehan untuk keluar dari ketaatan
penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka
(penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari sendi-sendi pokok Islam” [Syarah
Shahih Muslim juz 12 hal. 243].
Nah, An-Nawawi mengisyaratkan sendi pokok yang dimaksud adalah penegakan
shalat.
[3] Sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum takfiriyyun.
Perhatikan hadits Abu Bakrah berikut :
عن زياد بن
كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر بن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال
أبو بلال انظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله
Dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawy ia berkata : ”Aku bersama Abu Bakrah di
bawah mimbar Ibnu ’Amir. Sedangkan Ibnu ’Amir berkhutbah dengan pakaian yang
tipis (pakaian orang fasiq). Abu Bilal (salah seorang gembong Khawarij) berkata
: ”Lihatlah pemimpin kita, dia berpakaian dengan pakaiannya orang fasiq”.
Kemudian Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu berkata : ”Diam kamu !! Aku mendengar
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang
menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan hinakan orang itu” [HR.
Tirmidzi no. 2224 dan Ibnu Abi ’Ashim no. 1024; shahih].
Abu Bilal, ia adalah Mirdas bin Udayyah, salah seorang gembong Khawarij.
Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Mizzy (guru Ibnu Hajar) dalam catatan kaki
kitabnya : Tahdzibul-Kamal juz 7 hal. 399.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu ketika melihat
seorang pemimpin yang melakukan kefasiqan di muka umum (bahkan dilakukannya
ketika di depan rakyat banyak di atas mimbar) ? Dan apa pula yang dilakukan
ketika ada orang yang mencelanya secara terang-terangan terhadap kefasiqan
penguasa tersebut ? Mendorongnya untuk memberontak ? Tidak tercatat dalam
kitab-kitab tarikh (setahu kami) bahwa shahabat Abu Bakrah ini terlibat fitnah
peperangan dengan penguasa.
Contoh baik adalah sebagaimana fitnah yang terjadi di masa Imam Ahmad
dimana kefasiqan, kemunkaran, dan kemaksiatan merajalela secara
terang-terangan. Para imam pakar sejarah telah me-report apa yang
terjadi di masa Imam Ahmad (pada Dinasti ’Abbasiyyah). Bahkan aqidah Jahmiyyah
dilindungi oleh penguasa. Orang-orang dipaksa untuk mengakui aqidah ini. Namun,
adakah para ulama mu’tabar waktu itu yang memaklumkan
kebolehan untuk melawan penguasa. Tidak !! Sungguh picik jika ada orang yang
menganggap Imam Ahmad dan para ulama semasanya memerintahkan untuk memberontak
kepada penguasa. Penguasa melakukan berbagai kemunkaran tersebut berdasarkan
kebodohannya akibat pengaruh para pembantunya dari kalangan Mu'tazillah. Belum
terpenuhi syarat-syarat kekafiran pada diri penguasa sehingga mengharuskan
jatuhnya vonis takfir serta fatwa kebolehan memberontak darinya.
[4] Namun anehnya, mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada
pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang
membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum
terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain
dengan hukum Allah ?
[5] Maksudnya, tidaklah dikatakan kafir orang berhukum dengan hukum Allah
karena adanya dorongan hawa nafsu dalam keadaan ia tetap mengakui kewajibannya
dan kebenaran hukum Allah. Misalnya : Seorang hakim yang memutuskan hukum
dengan selain hukum Allah secara sengaja karena alasan jabatan, namun ia tetap
meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itulah yang benar dan wajib. Kita
tidak mengatakan bahwa hakim tersebut adalah kafir. Sama halnya jika ada salah
bapak yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan hukum Allah hanya karena
adat dan tradisi dan tradisi yang berkembang -- seperti yang masih umum terjadi
di Sumatera Barat yang menganut garis ibu dimana warisan anak perempuan lebih
besar/banyak daripada anak laki-laki. Kita tidak mengatakan bahwa si ayah
tersebut adalah kafir lagi murtad. Dan kita tidak pula mengatakan bahwa
kebanyakan bapak/ayah yang masih menganut tradisi di daerah Sumatera Barat
adalah kafir/murtad. Namun kita katakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
kdua jenis orang tadi adalah termasuk perbuatan dosa besar (kabaair)
dan kufur ashghar. Lainnya halnya jika ia melakukan perbuatan
tersebut dengani’tiqad menghalalkannya, mengingkari dalam keadaan
tahu, atau meyakini bahwa hukum selain hukum Allah tersebut lebih baik. Ia bisa
terjatuh pada kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam. Dan itupun harus
melalui proses iqaamatul-hujjah (ditegakkannya hujjah), izaalatusy-syubuhaat (dihilangkannya
syubuhaat) dan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.
[6] Maksud perkataan Syaikh Muhammad Rasyid Ridla adalah bahwa tidak ada
seorang pun ulama yang memahami ayat sesuai dengan dhahirnya, yaitu memutlakkan
siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah dengan
kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari wilayah Islam.
[8] Masih banyak fuqahaa, ahli hadits, dan mufassirin yang menjelaskan hal yang
serupa sebagaimana yang disebutkan. Sebagai acuan, silakan dibuka dan dibaca
penjelasan pada kitab Tafsir Ath-Thabari, Tafsir
Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir
As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir
Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir
Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu
Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.
a. Meyakini bahwa selain hukum Allah itu
lebih baik daripada hukum Allah.
b. Meyakini bahwa berhukum dengan selain
hukum Allah itu boleh dan sama dengan hukum Alah.
c. Meyakini bahwa berhukum dengan selain
hukum Allah itu boleh walaupun meyakini bahwa hukum Allah lebih baik dari yang
selainnya.
a. mengetahui (dengan jelas)
b. dilakukan dengan sengaja
c. tidak ada paksaan.
Contohnya, seseorang tidaklah dikafirkan karena mengerjakan sesuatu yang
tidak diketahuinya. Bahkan pada perkara-perkara amali yang dapat menyebabkan
kafir. Misalnya sujud pada makhluk. Mu’adz bin Jabal pernah sujud kepada
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam hanya karena melihat
orang-orang kafir sujud pada pemimpinnya, sehingga Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam bersabda :
لَوْ كُنْتُ
آمِرًا أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh menyuruh
seorang manusia untuk bersujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku suruh
seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya" [HR. At-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban
no. 1291, dan Baihaqi 7/291; shahih lighairihi].
وَمَا كَانَ
اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا
يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan
suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
كُلّمَا
أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ *
قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ
مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ
Setiap kali dilemparkan ke dalamnya
sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada
mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi
peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah
datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan
kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah
di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].
[12] Sesuai dengan kaidah dalam syari’at : اليقين لا
يزول بالشك (sebuah keyakinan tidak hilang/berubah hanya karena
keraguan).
[13] Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia
berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan
sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah
– dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka
’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata :
دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على
السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر
أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami
kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia
untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam
kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara
sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari
ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata
: ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian
memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].
Comments
assalamualaikum.. bp ustad, kalo saya mengkopi artikel2nya, termasuk artikel ini, boleh g.??
ma'af sebelumnya, soalnya saya khawatir kalo saya g ada ijin dari yg punya trus saya malah mengkopi & menyebarluaskannya, bawa'annya g tenang/gelisah. mohon d'balas komentar saya ini ya bp ustad.
zaenal abidin (dari bandung)
Wa'alaikumus-salaam.
Silakan bapak, semua artikel di blog ini FREE. Dan mohon agar bapak sudi mendoakan saya agar Allah mengampuni dosa-dosa saya yang banyak.
Baarakallaahu fiik.
makasih y bp atas d'ijinkannya..^_^..
alhamdulillah dngn senang hati saya berdoa kpd Allah agar Allah mengampuni semua dosa2 bp & saya. hanya Allah yg dapat mengampuni semua dosa2 kita. kita saling mendo'akan y bp..^_^..
& semoga Allah memberikan kebaikan2 kpd para pemimpin di negri kita ini (khususnya)& umumnya para pemimpin dalam setiap negeri d'seluruh dunia. aamiin..>_<..
salam kenal y bp.
bp, gimana kalo panggil sayanya pake sebutan ade aja, cz sya masih muda bp (masii 21 thn lbih sedikit)& blm punya istri, apalagi anak sama cucu.. hhee.hhee..^_^.. (masii dlm khayalan..^_^.. hheee..) tp kalo bp ustad lebih nyaman panggil saya bapak,,, hmmmmm,,, y udah, gpp deeeh..^_^.. hhee...
zaenal abidin.
Assalaamu'alaikum, ya ustadz. Ana baca Artikel Amman Abdurrahman yang berjudul "Bantahan Seputar Udzur Jahil Seputar Tiga Atsar" yang di antaranya hadits Mu'adz bin Jabal ttg Sujud kepada Rasulullah. Penulis menukilkan pendapat syaikhul islam ibnu taimiyyah, Imam Asy Syaukani dan Imam Iibnu Katsir bahwasanya sujud itu terbagi menjadi 2 yaitu sujud ibadah dan sujud tahiyyah. dan singkatnya sujud Mu'adz radhiyallahu 'anhu tergolong sujud yang kedua sehingga tidak terjatuh kepada perbuatan syirik. Bagaimana pandangan ustadz dan apakah ada penjelasan lebih detail gambaran sujud yang telah dilakukan oleh sahabat Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu. Jazakallahu khairan.
Sebenarnya itu termasuk dalam bahasan 'udzur bil-jahl. Panjang jika didetailkan, karena sebagian ulama berbeda pendapat. Semoga lain waktu saya dapat menghadirkan ringkasan bahasannya di blog ini.
Jazaakallahu khairan. Syukran, ya ustadz
Afwan,ustadz. Apabila nanti berkesempatan menulis, mohon dibahas macam-macam SUJUD dan termasuk ke dalam sujud yang mana,hadits sahabat Muadz bin jabal radhiyallahu 'anhu?? Jazaakallahu khairan. Syukran.
ustadz,
mohon bila berkenan jika ada waktu untuk menjabarkan sanad hadits Abu Bakrah karena keshahihannya diperselisihkan. Jazakallahu khair.
afwan ustadz, walaupun mereka telah melakukan dosa KEKAFIRAN yang nyata mereka BELUM DIVONIS KAFIR karena hujjah belum tegak atas mereka, akan tetapi, mereka BUKAN PENGUASA KAUM MUSLIMIN.
Jika ustadz sepakat dengan komentar saya di atas, maka sudah waktunya meningkatkan dakwah tarbiyah dan tashfiyah dengan menyusun kemampuan untuk mengusahakan terbentuknya penguasa bagi kaum muslimin secara syar'i.
Posting Komentar