Tanya : Dalam beberapa buku sering disebut gelar khusus bagi ‘Ali bin Abi Thalib dengan Karamallaahu wajhah (Semoga Allah memuliakan wajahnya). Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman yang juga termasuk dalam Khulafaur-Rasyidiin tidak disebut dengan gelar ini. Apakah ini dapat dibenarkan dan sesuai dengan dalil ?
Jawab : Asy-Syaikh Abdulaziz bin Muhammad bin Abdillah As-Sadhan telah menjawab dengan jawaban yang sangat bagus sebagai berikut :
Ada yang memberikan 3 gelar atau sanjungan kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang tidak diberikan kepada shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain, yaitu : Karamallaahu wajhah, Al-Imam, dan ’Alaihis-salaam.
Biasanya gelar ini diberikan oleh orang-orang Syi’ah. Namun ada sebagian orang yang menuliskan gelar tersebut dengan alasan karena niat baiknya. Walaupun demikian tidak sepatutnya ketiga gelar tersebut diberikan secara khusus hanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib.” Kemudian beliau (Asy-Syaikh ‘Abdulaziz) membantah penyebutan gelar Al-Imam dan ‘Alaihis-Salaam. Setelah itu beliau melanjutkan :
“Adalagi orang yang memberinya gelar Karamallaahu wajhah. Dia beralasan bahwa gelar ini diberikan, karena ‘Ali tidak pernah sama sekali menyembah berhala. Pendapat ini dibela oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Kitab Al-Fatawaa Al-Haditsiyyah yang menyatakan : “Sesungguhnya ‘Ali berhak mendapatkan gelar ini, karena dia tidak pernah sama sekali menyembah berhala. Selain itu, Abu Bakar juga tidak pernah menyembah berhala, namun gelar ini lebih tepat diberikan diberikan kepada ‘Ali, karena berdasarkan ijma’. Ali masuk Islam ketika ia masih kanak-kanak, sehingga dapat diketahui secara pasti bahwa dia tidak pernah sama sekali menyembah berhala”.
Sekalipun alasan di atas benar, namun bukan berarti hanya ‘Ali saja yang tidak pernah menyembah berhala. Ada beberapa orang shahabat yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, ayah dan ibu mereka muslim, mereka ikut berjuang di jalan Allah, mereka juga mendapatkan cobaan berat, bahkan seharipun mereka tidak pernah meletakkan kening mereka kepada berhala. Walaupun demikian mereka tetap tidak diberikan gelar seperti di atas.
Di samping itu, ada di antara para shahabat yang lebih mulia dan utama dari ‘Ali, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman sekalipun mereka baru masuk Islam setelah dewasa. Namun berdasarkan keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad rahimahullah : “Bagi orang yang tidak menomor-empatkan ‘Ali hendaklah tidak mengunggulinya (dari ketiga shahabat di atas) dan juga tidak mengucapkan salam (seperti kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) kepadanya”. Oleh karena itu, gelar atau sanjungan yang sebaiknya diberikan kepada para shahabat adalah kalimat : radliyallaahu ‘anhum/radliyallaahu ‘anhu (semoga Allah meridlai mereka).
[Selesai - Ara Khathi’ah wa Riwayat Bathilah fii Siyar Al-Anbiyaa’ wal-Mursaliin; Maktabah Malik Fahd Al-Wathaniyyah, Cet. I, 1420 H ].
Gelar (doa) radliyallaahu ‘anhu/’anhaa/’anhum inilah yang sesuai dengan firman Allah ta’ala :
وَالسّابِقُونَ الأوّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالّذِينَ اتّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدّ لَهُمْ جَنّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
”Orang-orang yang terdahulu masuk lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At-Taubah : 100).
Comments
Bagaimana dengan hadits ttg penyebutan alaihi salam kepada anak rasulullah, dan ini menjadi dalil bolehnya gelar alaihissalam kpd keturunan rasulullaah??kalo gak salah ane mendengar msyayikh waktu dauroh di jakarta, para murid syiakh albani...pernah ditanya hal serupa dengan jawaban diperbolehkan terkait hadits di atas...
Apa yang saya tuliskan di sini adalah terkait “pengkhususan” penyebutan gelar kepada ‘Ali yang tidak diberikan kepada shahabat yang lain. Ada baiknya saya tuliskan ulasan Ibnu Katsir ketika beliau menjelaskan tafsir QS. Al-Ahzaab : 56. Beliau berkata ketika menukil penjelasan An-Nawawi dalam Al-Adzkar hal. 159-160) :
قال: وأما السلام ؟ فقال الشيخ أبو محمد الجويني من أصحابنا: هو في معنى الصلاة فلا يستعمل في الغائب ولا يفرد به غير الأنبياء فلا يقال علي عليه السلام وسواء في هذا الأحياء والأموات, وأما الحاضر فيخاطب به فيقال: سلام عليك, وسلام عليكم أو السلام عليك أو عليكم, وهذا مجمع عليه انتهى ما ذكره
(قلت) وقد غلب هذا في عبارة كثير من النساخ للكتب أن ينفرد علي رضي الله عنه بأن يقال عليه السلام من دون سائر الصحابة أو كرم الله وجهه, وهذا وإِن كان معناه صحيحاً, لكن ينبغي أن يسوى بين الصحابة في ذلك فإِن هذا من باب التعظيم والتكريم, فالشيخان وأمير المؤمنين عثمان أولى بذلك منه رضي الله عنهم أجمعين.
قال إِسماعيل القاضي حدثنا عبد الله بن عبد الوهاب [حدثنا عبد الواحد] بن زياد حدثني عثمان بن حكيم بن عبادة بن حنيف عن عكرمة عن ابن عباس أنه قال: لا تصلح الصلاة على أحد إِلا على النبي صلى الله عليه وسلم ولكن يدعى للمسلمين والمسلمات بالاستغفار
”Adapun masalah salam, maka Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini, (seorang ulama) dari kalangan shahabat kami berkata : Masalah ini adalah sama seperti pembahasan masalah shalawat, sehingga tidak boleh digunakan pada yang ghaib dan tidak pula kepada selain para nabi. Maka tidak boleh dikatakan : ’Ali ’alaihis-salaam, baik ia ketika ia masih hidup ataupun telah meninggal. Adapun bagi orang yang hadir, maka dikhithabkan dengan kalimat : Salaamun ’alaika, salaamun ’alaikum, assalaamu ’alaika atau assalaamu ’alaikum. Hal ini merupakan sesuatu yang telah disepakati.
(Aku katakan) : masalah ini telah mendomisasi ungkapan-ungkapan banyak penulis kitab dengan mengistimewakan ’Ali radliyallaahu ’anhu, dimana ia disebut dengan gelar : ’alaihis-salaam ; tanpa mengikutkan shahabat yang lainnya. Atau gelar : karamallaahu wajhah. Walaupun hal ini maknanya shahih, akan tetapi sudah selayaknya untuk menyamakan (penyebutan gelar) kepada seluruh shahabat, karena masalah ini adalah masalah penghormatan dan kemuliaan. Maka dua orang syaikh (yaitu Abu bakr dan ’Umar) dan Amirul-Mukminin ’Utsman lebih didahulukan daripadanya (’Ali) radliyallaahu ’anhum ajma’in.
Telah berkata Isma’il Al-Qadli : Telah menceritakan kepada kami ’Abdullah bin ’Abdil-Wahhab, [telah menceritakan kepada kami 'Abdul-Waahid] bin Ziyaad, telah menceritakan kepadaku ’Utsman bin Hakim bin ’Ubadah bin , dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhu : ”Tidak sepatutnya mengucapkan shalawat pada siapapun, kecuali kepada Nabi shallaahu ’alaihi wasallam. Namun begitu, sudah seharusnya ia mendoakan ampunan atas kaum musilimin dan muslimat".
[selesai – Tafsir Ibnu Katsir juz 11 hal. 238-239 - Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].
Kembali dari apa yang saya katakan sebelumnya tentang pengkhususan penyebutan 'alaihis-salaam kepada 'Ali, tidak kepada shahabat yang lain. Jika dikatakan bahwa penyebutan itu terkait dengan hubungan kekerabatan dengan Nabi (sebagai Ahlul-Bait) berdasarkan hadits :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, berilah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad dan kepada Ahli Baitnya, istri-istrinya, serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” [HR. Ahmad no. 23221; shahih].
serta keumuman kebolehan mengucapkan shalawat dan salam kepada Ahlul-Bait Nabi, maka...... mengapa mereka tidak mau mengucapkan hal yang serupa kepada 'Utsman bin 'Affan ? Bukankah beliau juga menantu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam ? (bahkan menikahi dua puteri Nabi sehingga dijuluki Dzunnurain - "yang memiliki dua cahaya"). Tidak lain adalah hal ini adalah karena sikap ghulluw kepada 'Ali bin Abi Thalib radliyallaahu 'anhu.
Maka, sebaik-baik sebutan dan doa adalah yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah, yaitu radliyallaahu 'anhu/haa/hum. Wallaahu a'lam bish-shawwab.
Yaa ustadz,
Saya tengah membaca kitab "Talbiis Ibliis" (Ibnul Jauziy), secara bersamaan antara buku terjemahan (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta) dengan versi elektronik berbahasa Arab (Dar Ibnu Khaldun). Disebutkan bahwa edisi terjemahan mengambil dari cetakan Maktabah al-Madani, Kairo.
Pada halaman 91 (bahasa Arab) dan 137, ada penyebutan كرم الله وجهه dan Karramallahu Wajhahu. Semuanya dalam pembahasan mengenai Talbis Iblis bagi kaum Khawarij.
Sebelumnya saya tidak mengetahui mengenai penyebutan dengan sebutan khusus tersebut kecuali sekadar mendengar dari speaker mushalla dekar rumah saja. Kemudian, saya mendapat keterangan yang senada dengan yang ada pada tulisan ini. Namun, baru saja saya mendapati penyebutan seperti itu di kitab yang setahu saya menjadi rujukan kita kaum muslimin.
Bagaimana pendapat Ustadz mengenai hal yang demikian ini?
Apakah barangkali ini juga ditemukan di cetakan lain, dan merupakan kekeliruan dari Ibnul Jauziy (rahimahullah)? Sehingga, kesimpulan sementara saya dengan pertimbangan tersebut, pada perkara ini kita tidak perlu mengikuti beliau rahimahullah.
Jazaakallahu khairan.
Posting Komentar