Sekilas tentang Israiliyyaat
Diposting oleh
Abu Al-Jauzaa' :
di
10.32
1 komentar
Label:
Al-Qur'an dan Tafsir
Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut Ilmu ?
Diposting oleh
Abu Al-Jauzaa' :
di
07.26
13
komentar
Label:
Manhaj
Tanya : Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?
Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat. Allah ta’ala telah berfirman :
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [QS. Al-Baqarah : 201].
Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”. Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].
Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS. Al-Kahfi : 65-66]
Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. [1]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه
”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].
Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].
’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :
انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين
”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].
Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].
Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :
من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث
”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].
Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i. Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا
”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan.
Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan.................
Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.[5]
Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil al-walaa' wal-baraa' tidak berdasar atas nama Islam.
Kesimpulan : Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa' 1429
====================
Catatan kaki :
[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.
[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka” [HR. Bukhari dan Muslim].
[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
[4] Allah ta’ala berfirman : {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". [QS. Al-Ahzaab : 59].
[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.


Percaya Sama Mbah Dukun ? haram lah...
Diposting oleh
Abu Al-Jauzaa' :
di
08.33
6
komentar
Label:
'Aqidah
Tanya : Apa hukumnya mempercayai ramalan seorang paranormal ? Saya perhatikan, kadang ramalan seorang paranormal itu benar sebagaimana ramalan Mama Loren tentang musibah beruntun di awal tahun 2007 ?
Jawab : Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada beberapa hal yang perlu diketahui sebagai berikut :
Yang mengetahui urusan ghaib hanyalah Allah ta’ala sebagaimana firman-Nya :
إِنّ اللّهَ عِندَهُ عِلْمُ السّاعَةِ وَيُنَزّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنّ اللّهَ عَلَيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Luqman : 34).
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَآ إِلاّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An’am : 59).
Perkara ghaib yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah semua perkara yang tidak mungkin dijangkau oleh akal dan indera manusia, seperti menentukan hari Kiamat, kapan kepastian lahir dan mati seseorang, apa yang akan dilakukan manusia atau makhluk lain esok hari, dan yang lainnya.
- Allah ta’ala hanya memberikan sebagian pengetahuan ghaib tersebut kepada para utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Allah berfirman :
مّا كَانَ اللّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىَ مَآ أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتّىَ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطّيّبِ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنّ اللّهَ يَجْتَبِي مِن رّسُلِهِ مَن يَشَآءُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَإِن تُؤْمِنُواْ وَتَتّقُواْ فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar” (QS. Aali ‘Imran : 179).
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَىَ غَيْبِهِ أَحَداً * إِلاّ مَنِ ارْتَضَىَ مِن رّسُولٍ فَإِنّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya” (QS. Al-Jin : 26-27).
Ibnu ‘Abbas berkata,”Ayat ini maksudnya : Allah hanya memberi tahu kepada para utusan-Nya perkara ghaib melalui wahyu. Selanjutnya mereka (para utusan-Nya – yaitu para Nabi dan Rasul) memperlihatkan kepada umatnya perkara ghaib ini dan hukum Allah lainnya, sedangkan selain utusan-Nya tidak ada yang mengetahui” (lihat Tafsir Ad-Durrul-Mantsur 8/309 oleh As-Suyuthi).Meskipun demikian, tidaklah para utusan Allah dari kalangan Nabi dan Rasul itu mengetahui perkara ghaib secara mutlak, melainkan sebatas yang diberitahukan Allah kepadanya. Allah berfirman :
قُل لاّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلآ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآ أَقُولُ لَكُمْ إِنّي مَلَكٌ إِنْ أَتّبِعُ إِلاّ مَا يُوحَىَ إِلَيّ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” (QS. Al-An’am : 50).
قُل لاّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاّ مَا شَآءَ اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسّنِيَ السّوَءُ إِنْ أَنَاْ إِلاّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS. Al-A’raf : 188).
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata :ومن حدثك أنه يعلم ما في غد فقد كذب ثم قرأت { وما تدري نفس ماذا تكسب غدا }
“Dan barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengetahui apa yang terjadi waktu besok, maka sungguh dia berkata dusta”. Lalu ‘Aisyah membecakan ayat : “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok” (HR. Bukhari nomor 4574 Bab Tafsiri Suratin-Najm).
Dari apa yang telah dijelaskan di atas, nyatalah bagi kita semua bahwa perkara ghaib mutlak menjadi hak Allah, dan Dia hanya memberikan sebagian pengetahuan tersebut kepada para Nabi dan Rasul untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawanya.
Jikalau ada orang yang mengaku bahwa ia mengetahui sebagian perkara/urusan ghaib, maka dapat dipastikan bahwa ia berdusta berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka lah orang-orang yang disebut sebagai dukun (kahin - alias mbah dukun).
Terkadang, memang, perkataan dukun tersebut secara kebetulan mencocoki kebenaran. Ada hadits shahih yang menjelaskan fenomena ini. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم ناس عن الكهان فقال ليس بشيء فقالوا يا رسول الله إنهم يحدثوننا أحيانا بشيء فيكون حقا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم تلك الكلمة من الحق يخطفها الجني فيقرها في أذن وليه فيخلطون معها مائة كذبة
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang berita-berita yang disampaikan para dukun. Beliau menjawab : “Berita-berita tersebut bohong belaka”. Mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya berita-berita yang mereka sampaikan itu terkadang sesuai kenyataan?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Itulah kebenaran yang dicuri oleh jin, lalu dibisikkannya ke telinga pengikutnya. Lalu ia mencampurkannya dengan seratus kebohongan” (HR. Bukhari nomor 5429 Bab : Al-Kahaanah dan Muslim nomor 2228 Bab : Tahriimil-Kahaanah).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا قضى الله الأمر في السماء ضربت الملائكة بأجنحتها خضعانا لقوله كالسلسلة على صفوان قال علي وقال غيره صفوان ينفذهم ذلك فإذا { فزع عن قلوبهم قالوا ماذا قال ربكم قالوا } للذي قال { الحق وهو العلي الكبير } فيسمعها مسترقو السمع ومسترقو السمع هكذا واحد فوق آخر ووصف سفيان بيده وفرج بين أصابع يده اليمنى نصبها بعضها فوق بعض فربما أدرك الشهاب المستمع قبل أن يرمي بها إلى صاحبه فيحرقه وربما لم يدركه حتى يرمي بها إلى الذي يليه إلى الذي هو أسفل منه حتى يلقوها إلى الأرض وربما قال سفيان حتى تنتهي إلى الأرض فتلقى على فم الساحر فيكذب معها مائة كذبة فيصدق فيقولون ألم يخبرنا يوم كذا وكذا يكون كذا وكذا فوجدناه حقا للكلمة التي سمعت من السماء
“Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar) itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata. Hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan). Maka apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata : “Apa yang difirmankan Tuhanmu ?”. Mereka menjawab : “(Perkataan) yang benar. Dan Dial ah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Ketika itulah, (syaithan-syaithan) penyadap berita (wahyu) mendengarnya. Keadaan penyadap berita itu seperti ini : sebagian mereka di atas sebagian yang lain – digambarkan oleh Sufyan (perawi hadits – Abul-Jauzaa') dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya – maka ketika penyadap berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikannyalah kepada yang di bawahnya. Kemudian disampaikan lagi kepada yang ada di bawahnya, dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal. Akan tetapi, kadangkala syaithan penyadap berita itu terkena syihab (meteor) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadangkala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab. Lalu dengan satu kalimat yang didengarnya itulah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam kebohongan. Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan : “Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa pada hari begini akan terjadi begitu (dan itu benar terjadi)”; sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari langit” (HR. Bukhari nomor 4424 dan 4522).
Pada hakikatnya, dukun tersebut telah menjadi wali syaithan dalam berbuat makar kepada Allah untuk menyesatkan manusia. Khabar-khabar yang disampaikan syaithan tersebut mengharuskan dirinya berbuat maksiat kepada Allah, termasuk mengerjakan kesyirikan yang merupakan dosa besar yang paling besar di sisi Allah.
Haram hukumnya bagi kita mempercayai perkataan dukun yang mengkhabarkan perkara ghaib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu lalu ia membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam” (HR. Muslim nomor 2230).
من أتى حائضا أو امرأة في دبرها أو كاهنا فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi (menggauli) istrinya yang sedang haidl atau mendatangi (menggauli) istrinya pada duburnya, atau mendatangi dukun lalu membenarkan perkataannya; maka sesungguhnya ia telah berlepas diri (kufur) dari ajaran yang diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Abu Dawud nomor 3904, At-Tirmidzi nomor 135, An-Nasa’i dalam Al-Kubra 10/124, dan yang lainnya; shahih).
Kesimpulan : Praktek perdukunan adalah haram. Bahkan ia termasuk dalam perkara-perkara yang dapat membatalkan ke-Islaman seseorang. Haram pula bagi kita untuk mendatangi, menanyakan sesuatu, dan mempercayai apa yang diucapkan oleh dukun/tukang ramal. Apabila yang ucapkan si dukun tersebut adalah benar, maka itu hanyalah sebuah kebetulan saja. Betapa banyak (baca : kebanyakan) ramalan seorang dukun meleset, tidak sesuatu dengan kenyataan. Allaahu a’lam.
Abul-Jauzaa' Al-Bogory
NB : Sebelum nulis ini, kebetulan saya melihat dan mendengar mbah dukun Dedy Corbuzier di sebuah stasiun TV (waktu berangkat kerja di bus) yang akan melakukan praktek kesyirikan dengan melakukan tebakan satu peristiwa akan datang di suatu negara yang ia rekam dalam sebuah tape recorder (tanggal terjadinya telah ia tentukan).
Bertaubatlah pak Dedy dari praktek perdukunan antum sebelum ajal menjemputmu.......... (semoga ia membaca Blog saya ini).


Surat buat tetangga : Shalawat Nariyyah
Diposting oleh
Abu Al-Jauzaa' :
di
08.59
18
komentar
Label:
Surat
==================
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، وبعد
Ukhti fillah yang dirahmati Allah ta’ala,
Kami panjatkan doa kepada Allah ta’ala agar Dia selalu memberikan kesehatan dan semangat dalam beribadah kepada ukhti. Dan juga tidak lupa kami katakan bahwa kami mencintai ukhti karena Allah ta’ala, saudara seagama dan seiman, insya allah.
Melalui surat ini kami akan menyampaikan hal-hal yang telah lama kami pendam dalam hati. Namun,…baru kali ini kami beranikan diri untuk menyampaikannya, agar……… kami bisa berhujjah kepada Allah ta’ala kelak bahwa kami tidak menyembunyikan apa-apa yang kami ketahui. Kami berharap ini menjadi pahala keikhlasan bagi kami, sekaligus merupakan perwujudan rasa cinta kami kepada ukhti dalam usaha saling menasihati untuk menetapi kebenaran dan kesabaran; yang mana kita akan terhindar cap sebagai golongan orang-orang yang merugi. Allah ta’ala telah berfirman:
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasihati untuk menetapi kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran“ (QS. Al-‘Ashr 1-3).
Ukhti fillah,……… ada dua timbangan dalam agama Islam agar amal ibadah kita diterima. Pertama adalah ikhlash; dan yang Kedua adalah mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam). Ikhlash merupakan timbangan hati dimana Allah ta'ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus“ (QS. Al-Bayyinah : 5).
Sedangkan mutaba’ah merupakan timbangan dhahir dimana Allah ta'ala berfirman :
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (QS. Al-Ahzab : 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada keterangan dari kami maka ia tertolak ” (Muttafaqun 'alaihi).
Kita diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Bahkan mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam merupakan tanda kecintaan kita kepada Allah ta’ala; sebagaimana firman-Nya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (QS. Ali-Imran : 31).
Perwujudan rasa cinta kita yang terbesar kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah dengan mengikuti petunjuk/sunnah-sunnah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam; dengan tidak menambahi dan tidak mengurangi. Islam telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari manusia.
Selain itu, sebagai tanda cinta kita kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, kita juga sangat dianjurkan untuk mengucapakan shalawat kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya “ (QS. Al-Ahzab : 56).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam menjelaskan maksud ayat di atas berkata bahwa Allah ta’ala mengabarkan kepada para hambanya tentang kedudukan hamba dan nabi-Nya di sisi makhluk-Nya yang tinggi. Dimana Allah ta’ala memujinya di hadapan para malaikat yang dekat, dan para malaikat pun bershalawat kepadanya. Kemudian (Allah ta’ala) memerintahkan penduduk jagad raya bagian bawah (penduduk bumi) agar bershalawat dan mengucapkan salam atasnya, sehingga berkumpul segala pujian atasnya dari dua penghuni alam jagad raya yang di atas dan yang di bawah (Tafsir Ibnu Katsir 3/508).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengabarkan tentang anjuran dan keutamaan bershalawat kepadanya, diantaranya melalui hadits :
- Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تجعلوا بيوتكم قبورا ولا تجعلوا قبري عيدا وصلوا على فإن صلاتكم تبلغني حيث كنتم
“Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai (tempat) hari raya dan jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah kepadaku dimanapun kalian berada karena sesungguhnya shalawat kalian (itu) sampai kepadaku“ (HR Abu Dawud no. 2042; shahih).
Dari Anas bin Malik radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحطت عنه عشر خطيئات ورفعت له عشر درجات
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh shalawat, dihapuskan darinya sepuluh kesalahan, dan diangkat untuknya sepuluh derajat “ (HR. Nasa’i 3/50; shahih).
Bahkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menggelari “kikir/bakhil” bagi orang yang ketika disebut nama beliau tidak mengucapkan shalawat. Dari hadits Ali bin Husain bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
البخيل الذي من ذكرت عنده فلم يصل علي
“Orang yang bakhil/kikir adalah orang yang ketika aku disebut di dekatnya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku“ (HR. At-Tirmidzi no. 3546, Ahmad no. 1736, dan selainnya; shahih).
Ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyebutkan tentang anjuran dan keutamaan bershalawat kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, tentu beliau tidak lupa menyebutkan bagaimana cara bershalawat tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Ka’ab bin Ujrah radliyallaahu ’anhu. Ia berkata : “Pada suatu hari kami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ‘Ya Rasulullah, bagaimana Ahlul-Bait bershalawat kepadamu? sebagaimana Allah ta’ala telah mengajari bagaimana bersalam.’ Mendengar pertanyaan itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ‘Katakanlah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ؛ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى] آلِ إِبْرَاهيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اللَّهمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آل مُحَمَّدٍ؛ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى] آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Juga riwayat lain dari Bukhari yang diambil dari hadits Abu Hamid As-Saidi radliyallaahu 'anhu dengan lafadh :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ [النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ]، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ؛ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [آلِ] إِبْرَاهيْمَ ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ [النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ] وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [آلِ] إِبْرَاهيْمَ فِيْ اْلعَالَمِيْنَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Dan masih banyak lafadh-lafadh lain sebagaimana terdapat lagi masyhur dalam kitab-kitab hadits.
Namun diantara lafadh-lafadh shalawat yang shahih tersebut, ada beberapa lafadh shalawat yang dla’if (lemah), maudlu’ (palsu), laa ashlaalahu (tidak ada asalnya dari kitab induk hadits); yang banyak beredar di kalangan masyarakat. Bila dilihat dari segi matan (isi), banyak diantaranya yang munkar, ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dan bahkan mengandung muatan syirik. Mungkin diantaranya dapat kami contohkan :
Shalawat Nariyyah
Shalawat ini sangat masyhur di tengah masyarakat dimana mereka berkeyakinan dengan membaca shalawat ini segala hajat dapat dikabulkan dan segala kesusahan dapat dihilangkan. Shalawat dan keyakinan ini bukanlah berasal dari dalil shahih sepengetahuan kami. Bahkan bila kita mencermati arti dari lafadh tersebut, niscaya akan diketahui beberapa ungkapan ghuluw dan syirik di dalamnya. Secara lengkap, lafadh shalawat tersebut adalah :اللَّهُمَّ صَلِّي صَلاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُ بِهِ اْلعُقََدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ اْلكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ اْلحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ اْلرَّغَائِبُ وَحُسْنُ اْلخَوَاتِيْمِ وَيَسْتَسْقَى اْلغَمَامُ بِوَجْهِهِ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كلِّ مُعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga, dan shahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui “.
==> Aqidah tauhid yang kepadanya Al-Qur’an menyeru, dan yang dengannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengajarkan kita, menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahwa hanya Allah ta'ala semata yang kuasa mengurai segala ikatan. Yang menghilangkan segala kesedihan. Yang memenuhi segala kebutuhan dan memberi apa yang diminta manusia ketika berdoa. Setiap muslim tidak boleh berdoa dan memohon kepada selain Allah ta'ala untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya, bahkan meski yang dimintanya adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat (kepada Allah ta'ala). Al-Qur’an mengingkari berdoa kepada selain Allah ta'ala, baik kepada rasul atau wali. Allah ta'ala berfirman :قُلِ ادْعُواْ الّذِينَ زَعَمْتُم مّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضّرّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً * أُولَـَئِكَ الّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىَ رَبّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنّ عَذَابَ رَبّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Katakanlah,’Panggilah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Israa’ : 56-57).
Para ahli tafsir mengatakan, ayat di atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdoa dan meminta kepada Isa Al-Masih, malaikat, dan hamba-hamba Allah yang shalih dari jenis makhluk jin.
==> Bagaimana mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam akan rela, jika dikatakan bahwa beliau dikatakan kuasa menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Qur’an turun menyeru kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memaklumkan :قُل لاّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاّ مَا شَآءَ اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسّنِيَ السّوَءُ إِنْ أَنَاْ إِلاّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah : ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudlaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudlaratan. Aku tidak lain hanya pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman “ (QS. Al-A’raf : 188).
أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ في بَعْضِ اْلأَمْرِ فَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَجَعَلْتَنِي للهِ عَدْلا قلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَه
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, lalu ia berkata kepada beliau,”Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,”Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah? Katakanlah : Hanya atas kehendak Allah semata“ (HR. Nasa’i no. 1085 dengan sanad hasan).
==> Apabila hal ini dimaksudkan sebagai tawassul terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dimana beliau telah wafat, maka tawasul seperti ini tidak dapat dibenarkan. Tidak pernah diriwayatkan satu atsar shahih pun dari para shahabat yang melakukan demikian setelah beliau wafat. Juga Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin yang terpercaya. Adapun yang dianggap dalil oleh sebagian orang sebagai dasar perbuatan mereka bertawasul terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, maka hal ini tidak terlepas dari dua kemungkinan :
a. hadits tersebut adalah dla’if, maudlu’, atau bahkan tanpa asal;
b. salah ber-istidlal dan ber-istimbat terhadap suatu dalil shahih.
Ada beberapa buku bagus yang membahas tentang hal tersebut, dan salah satu yang kami punyai adalah buku “Tawasul & Tabaruk” oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Dr. Al-‘Ulyani. Kalau ukhti ingin membacanya, pintu kami selalu terbuka untuk antunna, insya allah.- Dalam Kitab Dalaailul-Khairaat terdapat shalawat dengan lafadh sebagai berikut :
اللهم صل على محمد حتى لا يبقي من الصلاة شيء، وارحم محمدا حتى لا يبقي من الرحمة شيء
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad sehingga tidak tersisa sedikitpun rahmat”
==> Lafadh shalawat di atas, yaitu menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta'ala :قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku; meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (QS. Al-Kahfi : 109).
- Lafadh shalawat berikut dan yang semacam/semakna :
الصلاة والسلام عليك يا رسول الله ضاقت حيلتى فأدركنى يا حبيب الله
“Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku, maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah “.
==> Lafadh shalawat di atas sangat jelas dan nyata bertentangan dengan firman Allah ta'ala :أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya? (QS. An-Naml : 62).
Dan juga sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله
“Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah; dan jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolonganlah kepada Allah“ (HR. At-Tirmidzi no. 2516; shahih).
- Dan lain-lain.
Ukhti……, adapun maksud disampaikannya beberapa penjelasan di atas tidak lain adalah karena kami sering mendengar (dari rumah kami) lafadh-lafadh ‘shalawatan’ dari perkumpulan ibu-ibu yang membaca salah satu shalawat di atas; di rumah ukhti. Dan bila tidak salah,…pertemuan itu diadakan setiap Kamis sore (mohon dikoreksi bila ternyata tidak benar).
Ukhti fillah……… kami pernah membaca sebuah hadits yang dinisbatkan secara shahih dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallm tentang larangan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah : Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya“ (HR. Bukhari no. 3261).
Para shahabat radliyallaahu 'anhum ajma'in adalah contoh terbaik bagi kita tentang bagaimana sikap mereka dalam mencintai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tanpa harus berlebih-lebihan (apalagi dengan selain beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ?) Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu pernah mengabarkan tentang keadaan para shahabat :
لم يكن شخص أحب إليهم من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : وكانوا إذا رأوه لم يقوموا لما يعلمون من كراهيته لذلك
“Tak seorangpun yang lebih dicintai shahabat daripada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Tetapi bila mereka melihat Rasulullah (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut” (HR. At-Tirmidzi no.2754 ; shahih).
Marilah kita contoh para shahabat yang merupakan generasi terbaik ummat. Dan marilah kita bersihkan iman kita dari sikap ghuluw dalam agama. Karena…akibat dari sikap ghuluw inilah yang membinasakan umat-umat sebelum kita dan menjerumuskannya dalam lembah bid’ah serta kesyirikan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وإياكم والغلو في الدين فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
“Janganlah kamu ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sebab sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena ghuluw (melampaui batas) dalam agama“ (HR. An-Nasa’i no. 3057, Ahmad no. 1851, dan Ibnu Majah no. 3020; shahih).
Allah ta’ala berfirman :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu berbuat syirik (mempersekutukan Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi“ (QS. Az-Zumar : 65).
Ukhti yang disayang Allah ta’ala………, dalam hal ini kami tidak berusaha menghalang-halangi ukhti (atau yang lain) berbuat mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ataupun malah…… meremehkan beliau. Tidak sama sekali tidak…!! Tidak ada amal apapun dari kita yang akan mampu membalas jasa-jasa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam atas diri kita. Setelah hidayah dari Allah ta’ala, melalui perantaraan beliaulah kita dapat menikmati indahnya Islam dan iman. Kami hanya ingin mengajak bersikap pertengahan (terutama bagi diri kami sendiri) tanpa berlebihan dan meremehkan. Bila mengucapkan shalawat, hadits-hadits shahih dari beliau shallallaahu ’alaihi wasallam telah mencukupi kita. Dan itu adalah yang paling utama sebagai seorang muslim yang mengaku mencintai beliau shallallaahu ’alaihi wasallam sepenuh hati, yaitu dengan mengamalkan sunnah-sunnah yang beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wariskan kepada kita.
Terakhir wahai ukhti fillah,……janganlah surat ini menjadi sebuah awal keretakan hubungan persaudaraan kita. Kami sangat berharap bahwa kita dapat lebih saling “dekat” dan cinta. Saling cinta karena Allah ta’ala, dan membenci karena-Nya pula. Bila terdapat kebenaran itu datangnya dari Allah ta’ala, dan apabila terdapat kesalahan maka itu datangnya dari diri pribadi kami yang bodoh lagi lemah dan dari syetan; Allah ta’ala dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berlepas diri. Tegur sapa dari ukhti senantiasa kami harapkan…………wallaahu a’lam
صلى الله وسلم على نبينا محمد تسليما كثيرا، والحمد لله رب العالمين
أبو وأم عائشة
(...... dan .....)


Perkataan Ulama Mengenai Keharaman Nyanyian yang Disertai Alat Musik
Jumhur ulama mengharamkan nyanyian yang disertai alat musik. Hal itu telah menjadi kesepakatan imam empat.
1. ’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
2. ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].
3. ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
4. ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
الدف حرام ، والمعازف حرام ، والكوبة حرام ، والمزمار حرام
”Duff itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah itu haram, dan seruling itu haram” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 10/222; shahih].
5. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah.
Al-Auza’i berkata :
كتب مع عمر بن عبد العزيز إلى ( عمر بن الوليد ) كتابا فيه "....و إظهارك المعازف والمزمار بدعة في الإسلام ، ولقد هممت أن أبعث إليك من يَجُزُّ جُمَّتك جمَّة سوء".
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi : “….Perbuatanmu yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong rambut kepalamu dengan cara yang kasar” [Dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270) dengan sanad shahih. Disebutkan juga oleh Ibnu ‘Abdil-Hakam dalam Siratu ‘Umar (154-157) dengan panjang lebar. Juga oleh Abu Nu’aim (5/309) dari jalan yang lain dengan sangat ringkas].
6. Abu Hanifah rahimahullah.
Ibnul-Jauzi berkata :
أخبرنا هبة الله بن أحمد الحريري عن أبي الطيب الطبري قال كان أبو حنيفة يكره الغناء مع إباحته شرب النبيذ ويجعل سماع الغناء من الذنوب قال وكذلك مذهب سائر أهل الكوفة إبراهيم والشعبي وحماد وسفيان الثوري وغيرهم لا أختلاف بينهم في ذلك قال ولا يعرف بين أهل البصرة خلاف في كراهة ذلك والمنع منه
“Telah mengkhabarkan kepada kami Hibatullah bin Ahmad Al-Hariry, dari Abuth-Thayyib Ath-Thabary ia berkata : “Adalah Abu Hanifah membenci nyanyian dan memperbolehkan perasan buah. Beliau memasukkan mendengar lagu sebagai satu dosa. Dan begitulah madzhab seluruh penduduk Kufah seperti Ibrahim (An-Nakha’i), Asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan Ats-Tsauri, dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka mengenai hal itu. Dan tidak diketahui pula perbedaan pendapat akan hal yang sama di antara penduduk Bashrah dalam kebencian dan larangan mengenai hal tersebut” [1] [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 205 – Daarul-Fikr 1421].
7. Malik bin Anas rahimahullah.
Telah diriwayatkan dengan sanad shahih dari Ishaaq bin ‘Isa Ath-Thabbaa’ (termasuk perawi Muslim) oleh Abu Bakar Al-Khallal dalam Al-Amru bil-Ma’ruf (halaman 32) dan Ibnul-Jauzi dalam Talbis Iblis (halaman 244), bahwa ia berkata :
سألت مالك بن أنس عما يترخص فيه أهل المدينة من الغناء ؟ فقال: " إنما يفعله عندنا الفسّاق
“Aku bertanya kepada Malik bin Anas tentang nyanyian yang diperbolehkan oleh Ahlul-Madinah ?”. Maka ia menjawab : “Bahwasannya hal bagi kami hanya dilakukan oleh orang-orang fasiq” [selesai perkataan Imam Malik]. [2]
8. Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata :
إن الغناء لهو مكروه يشبه الباطل والمحال ومن استكثر منه فهو سفيه ترد شهادته
“Sesungguhnya nyanyian itu perkataan sia-sia lagi makruh, sama halnya dengan kebathilan. Barangsiapa yang sering mendengarkan nyanyian, maka dia itu bodoh, tidak diterima persaksiannya” [Adabul-Qadla’ - melalui perantara Al-I’laam bi-Naqdi Kitaab Al-Halal wal-Haram oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan – Maktabah Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Free Program from Islamspirit].
Beliau juga pernah berkata :
تركت بالعراق شيئا يسمونه التغبير وضعته الزنادقة يصدون به الناس عن القرآن
“Aku meninggalkan Baghdad karena munculnya sesuatu di sana yang mereka namakan dengan At-Taghbiir yang telah dibuat oleh kaum Zanadiqah. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur’an” [Nuzhatul-Asmaa’ fii Mas-alatis-Simaa’ oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly, Daaruth-Thayyibah 1407].
Para ulama telah menjelaskan makna At-Taghbiir di sini dengan : ”Bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan jenis lagunya”. Jumhur fuqahaa telah melarang taghbiir ini.
9. Sa’id bin Al-Musayib rahimahullah mengatakan :
إني لأُبغض الغناء وأحب الرجز
“Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai rajaz (semacam syi’ir)” [Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (11/6/19743) dengan sanad shahih].
10. Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : ”Aku pernah mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkomentar tentang seorang laki-laki yang kebetulan melihat (beberapa alat musik seperti) thanbur (gitar/rebab), ’uud, thabl (gendang), atau yang serupa dengannya, maka apa yang harus ia lakukan dengannya ?. Beliau berkata :
اذا كان مغطى فلا وان كان مكشوفا كسره
”Apabila alat-alat tersebut tidak tampak, maka jangan (engkau rusak). Namun bila alat-alat tersebut nampak, maka hendaknya ia rusakkan” [Masaailul-Imam Ahmad bin Hanbal no. 1174].
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pernah bertanya kepada ayahnya tentang nyanyian. Maka beliau menjawab :
يثبت النفاق في القلب........
”Menetapkan kemunafikan di dalam hati.......... [idem, no. 1175].
11. Syuraih Al-Qadli rahimahullah. Abu Hushain mengatakan :
أن رجلاً كسر طنبور رجل ، فخاصمه شريح ، فلم يضمّنه شيئاً
“Bahwasannya ada seorang laki-laki yang mematahkan thanbur (mandolin) milik seseorang. Maka hal itu diperkarakan kepada Syuraih (sebagai seorang Qadli pada waktu itu). Maka ia (Syuraih) memutuskan bahwa orang yang mematahkan thanbur tersebut tidak memberi jaminan ganti sedikitpun” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 7/312/3275 dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi 6/101 dan Al-Khallal halaman 26, dimana disebutkan bahwa sesuadah itu Abu Hushain berkata : Telah berkata Hanbal : Aku mendengar Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) berkata : “Hal tersebut adalah munkar, sehingga Syuraih tidak memberikan keputusan apa-apa (pada si pemilik thanbur)”.].
12. Asy-Sya’bi (‘Aamir bin Syaraahiil) rahimahullah. Diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Khaalid bahwa Asy-Sya’bi membenci upah penyanyi, dan ia (Asy-Sya’bi) berkata :
ما أحب أن آكله
“Aku tidak mau mmakannya” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (7/9/2203) dengan sanad shahih].
Beliau juga berkata :
إن الغناء ينبت النفاق في القلب ، كما ينبت الماء الزرع ، وإن الذكر ينبت الإيمان في القلب كما ينبت الماء الزرع
“Sesungguhnya nyanyian itu menumbuhkan emunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir itu menumbuhkan iman sebagaimana air menumbuhkan tanaman” [Dikeluarkan oleh Ibnun-Nashr dalam Qadrush-Shalah halaman 151/2 – 152/1 dengan sanad hasan dari riwayat Abdullah bin Dukain, dari Firaas bin Yahya (asalnya dari Ibnu Abdillah – dan hal itu keliru), dari Asy-Sya’bi].
13. Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahullah – seorang tsiqah yang berasal dari Madinah dan termasuk guru dari Al-Imam Al-Bukhari – pernah ditanya : “Apakah engkau membolehkan nyanyian ?”. Maka beliau menjawab :
معاذ الله ، ما يفعل هذا عندنا إلا الفسّاق
“Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah), tidaklah ada yang melakukannya di sisi kami kecuali orang-orang fasiq” [Diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan sanad shahih].
14. Abu ‘Umar bin Abdil-Barr (Ibnu Abdil-Barr) rahimahullah menjelaskan :
من المكاسب المجتمع على تحريمها الربا ومهور البغاء والسحت والرشاوي وأخذ الأجرة على النياحة والغناء وعلى الكهانة وادعاء الغيب وأخبار السماء وعلى الرمز واللعب والباطل كله
“Termasuk usaha-usaha yang haram ialah riba, hasil perzinahan, makanan haram, suap, upah ratapan, nyanyian, hasil perdukunan, peramal bintang, serta permainan bathil” [Al-Kaafi - Bab : Mukhtasharul-Qauli fil-Makaasib – Free Program from Maktabah Al-Misykah].
15. Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata dalam Fataawaa-nya ketika ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk tangan, serta mereka menganggapnya sebagai perkara yang halal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah :
لقد كذبوا على الله سبحانه وتعالى ، وشايعوا بقولهم هذا باطنية الملحدين ، وخالفوا إجماع المسلمين ، ومن خالف إجماعهم ، فعليه ما في قوله تعالى: ( ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
”Sungguh, mereka telah berdusta atas nama Allah subhaanahu wa ta’ala. Mereka mengiringi orang-orang bathiniyyah atheis dengan perkataan mereka. Mereka juga telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ mereka, maka baginya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala : ”Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ : 115) [Fataawaa Ibnish-Shalah hal. 300-301 – lihat At-Tahrim hal. 115; Maktabah Sahab].
16. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فمن فعل هـذه الملاهـي على وجه الديانة والتقرب فلا ريب في ضلالته وجهالته
“Barangsiapa yang memainkan alat-alat musik tersebut dalam keyakinannya menjalankan agama dan bertaqarrub kepada Allah, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya” [Majmu’ Fatawa 11/162 – Maktabah Al-Misykah].
17. ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
إن الاستماع إلى الأغاني حرام ومنكر , ومن أسباب مرض القلوب وقسوتها وصدها عن ذكر الله وعن الصلاة . وقد فسر أكثر أهل العلم قوله تعالى : سورة لقمان الآية 6 وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ الآية : بالغناء .
“Sesungguhnya mendengarkan nyanyian merupakan satu keharaman dan mekunkaran. Termasuk di antara sebab hati menjadi sakit dan keras. Mencegah dzikir kepada Allah dan menghalangi ditunaikannya shalat. Dan sungguh telah banyak ulama yang menafsirkan firman Allah dala QS. Luqman ayat 6 ”Dan diantara manusia ada yang membeli perkataan-perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah” [Al-Ayat]. Yaitu dengan nyanyian” [Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 3/432 – Free Program from Islamspirit].
18. Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata :
والذي نقول هنا : إن الذكر، والدعاء بالغناء، والتلحين، والتطريب، وإنشاد الأشعار، والأت اللهو، والتصفيق، والتمايل، كل ذلك بدع شنيعة، وأعمال قبيحة، هي من أقبح أنواع الإبتداء في الذكر والدعاء، فواجب على كل فاعل لها، أو لشيء منها، الإقلاء عنه، وأن لا يجعل نفسه مطية لهواه وشيطانه، وواجب على من رأى شيئاًَ من ذلك إنكاره، وواجب على من بسط الله يده علي المسلمين، منعه، وتأدبوهّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّ فاعله، وردعه، وتبصير لدينه
Dan sesungguhnya kami mengatakan di sini : ”Sesungguhnya dzikir dan doa dengan nyanyian, dengan lirik yang disertai tabuhan alat musik, melantunkan syair, tepuk tangan; semua itu termasuk perbuatan bid’ah, sangat menjijikkan dan perbuatan yang buruk. Lebih buruk daripada pelanggaran dalam berdzikir dan berdoa. Siapapun yang melakukan hal itu atau sebagian di antaranya harus segera melepaskan diri darinya, tidak membuat dirinya tunduk kepada hawa nafsu dan bisikan syaithan. Siapapun yang melihat dari sebagian hal-hal itu harus mengingkarinya. Siapapun di antara kaum muslimin yang mempunyai kekuatan terhadap harus mencegahnya, mencela pelakunya, meluruskannya, dan menjelaskan kedudukan hal tersebut dalam kaca mata agamanya” [Tashhiihud-Du’a hal. 78 – Daarul-’Ashimah 1419].
Nyanyian dan musik yang diperkecualikan…..
Ada saat-saat tertentu dimana nyanyian dan alat musik ini diperbolehkan untuk dimainkan dan didengarkan. Di antaranya adalah :
1. Pada saat hari raya.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sebagaimana telah lewat [HR. Bukhari no. 907 dan Muslim no. 892]. Selain itu, masih dalam riwayat ‘Aisyah yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya :
أن أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى وقالت عائشة رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يسترني وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون في المسجد فزجرهم عمر فقال النبي صلى الله عليه وسلم دعهم أمنا بني أرفدة يعني من الأمن
”Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya (’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina” . Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” [HR. Al-Bukhari no. 944].
2. Pada saat pernikahan.
قالت الربيع بنت معوذ بن عفراء جاء النبي صلى الله عليه وسلم فدخل حين بني علي فجلس على فراشي كمجلسك مني فجعلت جويريات لنا يضربن بالدف ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت إحداهن وفينا نبي يعلم ما في غد فقال دعي هذه وقولي بالذي كنت تقولين
Telah berkata Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ’Afraa’ : ”Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang ketika acara pernikahanku. Maka beliau duduk di atas tempat tidurku seperti duduknya engkau (yaitu Khalid bin Dzakwaan – orang yang diajak bicara Ar-Rubayi’) dariku. Datanglah beberapa anak perempuan yang memainkan/memukul duff sambil menyebut kebaikan-kebaikan orang-orang yang terbunuh dari orang-orang tuaku pada waktu Perang Badr. Salah seorang dari mereka berkata : ”Di antara kami terdapat seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Tinggalkan perkataan ini (karena perkataan anak-anak wanita tersebut tidak benar) dan ucapkanlah apa yang tadi engkau katakan (yaitu sebelum perkataan yang mengandung keharaman tadi)” [HR. Al-Bukhari no. 4852].
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan perkataannya :
قال المهلب في هذا الحديث اعلان النكاح بالدف وبالغناء المباح
”Telah berkata Al-Muhallab : Dalam hadits ini menunjukkan bahwa mengumumkan pernikahan dengan memainkan duff adalah diperbolehkan” [Fathul-Bari juz 9 no. 4852].
عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت في النكاح
Dari Muhammad bin Haathib Al-Jumahi berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Pembeda antara yang haram dan yang halal adalah duff dan suara dalam pernikahan” [HR. Ahmad no. 15489, Tirmidzi no. 1088, dan yang lainnya; hasan].
Hadits-hadits di atas tidak bisa dipahami bahwa pembolehan tersebut mutlak di semua waktu, semua orang, dan semua alat musik. Ini tidak benar. Hadits-hadits di atas sifatnya lebih khusus yang mentakhshish hadits-hadits yang telah disebut sebelumnya yang menyatakan keharamannya, sehingga yang ’aam (umum) dibawa kepada yang khaash (khusus). Pengkhususan tersebut meliputi :
a. Terkait dengan waktu, yaitu pada saat hari raya dan pernikahan.
b. Terkait dengan orang yang melakukan, yaitu wanita.
c. Terkait dengan alat musik yang dimainkan, yaitu duff (rebana).
Tidak diriwayatkan satupun hadits shahih selain dari sifat-sfat yang disebutkan, selain hadits Buraidah yang akan dibahas kemudian. Diperbolehkannya nyanyian dan memukul duff pada hari raya dan pernikahan merupakan rukhshah (keringanan). Hal ini sebagaimana jelas dalam riwayat :
عن عامر بن سعد قال : دخلت على قرظه بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس
Dari ’Amir bin Sa’d ia berkata : Aku masuk menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud Al-Anshary radliyallaahu ’anhuma dalam satu pernikahan yang di situ terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi. Maka aku berkata : ”Kalian berdua adalah shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan di sisi kalian ?”. Maka salah seorang dari mereka menjawab : ”Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam memberikan rukhshah (keringanan) kepada kami mendengarkan hiburan saat pernikahan” [HR. An-Nasa’i no. 3383, Al-Hakim no. 2752, dan yang lainnya; hasan].
Atsar di atas menunjukkan bahwa nyanyian dan musik di kalangan shahabat bukan merupakan fenomena yang lazim dimainkan, sehingga ketika Quradhah dan Abu Mas’ud mendengarkan nyanyian yang dimainkan oleh gadis kecil saat pernikahan, maka ’Amir bin Sa’d bertanya dengan penuh keheranan. Namun kemudian dua orang shahabat Nabi tersebut menjawab bahwa mendengarkan nyanyian dan pukulan duff (rebana) saat pernikahan merupakan satu keringanan (rukhshah) dalam syari’at Islam.
Kalimat rukhkhisha lanaa menunjukkan bahwa nyanyian dan memainkan duff merupakan pengecualian (takhshish) yang sangat jelas dari dalil yang bersifat umum (yang menjelaskan keharaman). Juga, kalimat tersebut memberikan pengetahuan bahwa perkara sebelum pemberian rukhshah adalah sesuatu yang patut untuk berhati-hati/diwaspadai – yaitu menunjukkan keharaman { الأمر قبل الترخيص محظور – أي محرّم }. Hal serupa adalah seperti yang terdapat dalam hadits :
عن أنس بن مالك أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رخص لعبد الرحمن بن عوف والزبير بن العوام في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah memberikan keringanan (rukhshah) kepada ’Abdurrahman bin ’Auf dan Az-Zubair bin ’Awwam untuk mengenakan baju dari sutera dalam safar karena mereka berdua terserang penyakit gatal atau penyakit yang lain” [HR. Al-Bukhari no. 2762 dan Muslim no. 2076].
Maka, hadits di atas merupakan takhshish dari keumuman larangan sutera bagi laki-laki sebagaimana sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تلبسوا الحرير فإنه من لبسه في الدنيا لم يلبسه في الآخرة
”Janganlah kalian mengenakan sutera, karena sesungguhnya jika ia mengenakannya di dunia maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat” [HR. Al-Bukhari no. 5310 dan Muslim no. 2069].
Rukhshah di sini datang setelah adalah pengharaman. Asy-Syaikh ’Abdurrahman As-Suhaim (dalam risalahnya : Hukmud-Duff lir-Rijaal wan-Nisaa’ fii Ghairil-A’rasy [3]) menukil perkataan Ibnu Hazm :
لا تكون لفظة الرخصة إلا عن شيء تقدم التحذير منه
”Tidak ada lafadh rukhshah kecuali berasal dari sesuatu yang didahului peringatan atas hal tersebut”
Al-Amidi berkata : { الرخصة ما شرع لعذر مع قيام السبب المحرم } ”Rukhshah itu adalah apa-apa yang disyari’atkan karena adanya udzur yang bersamaan dengan keberadaan sebab yang mengharamkan (jika ia mengerjakan atau melanggarnya ditinjau dari hukum asal). Banyak ulama yang mendefinisikan semisal.
Dan kaidah inilah yang berlaku secara umum, baik dalam masalah sutera, nyanyian dan musik, serta yang lainnya. Jika hukum asalnya adalah wajib, maka rukhshah ini berlaku dengan pembolehan untuk meninggalkan kewajiban atau mengerjakan penggantinya yang diperbolehkan oleh syari’at. Jika hukum asalnya adalah haram, maka rukhshah di sini berlaku untuk mengerjakan keharaman itu. [4] Tentunya, semua itu dengan batasan-batasan yang telah diberikan sesuai dengan penunjukan dalil.
Keharaman nyanyian dan musik dalam bahasan di sini adalah keharaman karena dzatnya. Tidak bisa kita katakan bahwa nyanyian dan alat musik itu hukum asalnya adalah mubah. Jika hukum asalnya adalah mubah, tentu para shahabat tidak akan mengatakan bahwa kebolehan mendengarkan nyanyian dan tabuhan rebana itu hanya dalam hari raya dan pernikahan. Hukum mubah itu menafikkan adanya rukhshah. Ringkasnya, tidak ada keringanan dalam perkara yang asalnya adalah mubah.
Hadits Buraidah
Sebagian orang yang membolehkan nyanyian dan musik berdalilkan dengan hadits Buraidah radliyallaahu ’anhu :
ان أمة سوداء أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجع من بعض مغازيه فقالت انى كنت نذرت ان ردك الله صالحا ان أضرب عندك بالدف قال ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي فضربت فدخل أبو بكر وهى تضرب ودخل غيره وهى تضرب ثم دخل عمر قال فجعلت دفها خلفها وهى مقنعة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الشيطان ليفرق منك يا عمر أنا جالس ها هنا ودخل هؤلاء فلما ان دخلت فعلت ما فعلت
”Bahwasannya ada seorang budak wanita hitam yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika beliau datang dari sebuah peperangan. Maka budak tersebut berkata kepada beliau : ”Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk memukul rebana di dekatmu jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat”. Beliau berkata : ”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”. Maka dia pun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr masuk, ia tetap memukulnya. Masuklah shahabat yang lain, ia pun masih memukulnya. Lalu ’Umar masuk, maka ia pun segera menyembunyikan rebananya itu di balik punggungnya sambil menutupi dirinya. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Sesungguhnya setan benar-benar takut padamu wahai ’Umar. Aku duduk di sini dan mereka ini masuk. Ketika engkau masuk, maka ia pun melakukan apa yang ia lakukan tadi” [HR. Ahmad no. 23039, Ibnu Hibban 10/4386, dan yang lainnya; hasan].
Mereka mengatakan bahwa jika memang nyanyian dan musik itu haram, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam akan melarangnya. Taqrir beliau atas apa yang dilakukan oleh budak wanita tersebut menunjukkan kebolehan nyanyian dan memainkan alat musik. Nyanyian dan alat musik dilarang jika sudah melalaikan. Jika tidak melalaikan maka itu boleh.
Saya katakan : Sungguh jauh apa yang mereka sangkakan itu. Tidak ada taqyid pengharaman dengan kata ”melalaikan” dalam nash. Itu hanyalah hal yang mereka buat-buat semata. Jika memang taqyid ”melalaikan” itu dipakai, maka itu akan membatalkan beberapa manthuq nash yang menjelaskan tentang keharaman nyanyian dan alat musik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Jika kita terima taqyid mereka, maka sifat melalaikan itu hakekatnya ada pada semua hal. Bukan hanya pada nyanyian dan alat musik. Maka taqyid mereka itu akan membawa konsekuensi hukum bahwa asal dari perkara nyanyian dan alat musik adalah mubah. Sebab, hanya perkara mubahlah yang dapat ditaqyid dengan sifat melalaikan. Ini adalah aneh dan janggal..... Bagaimana bisa dipakai taqyid ini padahal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah dengan tegas menjelaskan keharaman alat musik dan penyanyi. Bahkan dalam beberapa hadits ditegaskan jenis alat musiknya (seperti al-kuubah). Bahkan para shahabat besar dan tabi’in sangat tegas membenci nyanyian. Apalagi lafadh-lafadh hadits memakai lafadh celaan, laknat, atau kutukan. Maka tidak bisa tidak, lafadh-lafadh itu mengandung hukum asal yang menunjukkan keharaman.
Selain itu, jika kita terima taqyid ”melalaikan” dari mereka, maka atsar mauquf (namun dihukumi marfu) dari ’Aamir bin Sa’d akan sia-sia. Perkataan Abu Mas’ud/Quradhah tentang rukhshah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendengarkan nyanyian dan tabuhan duff ketika pernikahan menjadi tidak bermakna. Apa makna rukhshah jika hukum asalnya adalah mubah ? Ini menyalahi kaidah ushul.
Justru dalam hadits Buraidah itu terdapat lafadh yang menunjukkan tentang hukum asal keharamannya. Lafadh tersebut adalah : { ان كنت فعلت فافعلي وان كنت لم تفعلي فلا تفعلي} ”Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah. Dan jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan”.
Perkataan beliau ”jika engkau belum bernadzar, maka jangan engkau lakukan” ; menunjukkan bahwa pada asalnya perbuatan tersebut adalah tidak diperbolehkan. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak mau/ingin mendengarkannya. Namun kemudian beliau membolehkannya karena ia telah menadzarkannya karena besarnya rasa gembira dengan kepulangan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dari peperangan dalam keadaan selamat. Beliau membolehkan pelaksanaan nadzar budak perempuan itu yang pada asalnya tidak boleh sebagai satu kekhususan bagi dirinya yang tidak diberlakukan bagi selain dirinya. Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
وقد يُشكل هذا الحديث على بعض الناس ، لأن الضرب بالدف معصية في غير النكاح والعيد ، والمعصية لا يجوز نذرها ولا الوفاء بها .
والذي يبدو لي في ذلك أن نذرها لما كان فرحا منها بقدومه عليه السلام صالحا منتصرا ، اغتفر لها السبب الذي نذرته لإظهار فرحها ، خصوصية له صلى الله عليه وسلم دون الناس جميعا ، فلا يؤخذ منه جواز الدف في الأفراح كلها ، لأنه ليس هناك من يُفرح به كالفرح به صلى الله عليه وسلم ، ولمنافاة ذلك لعموم الأدلة المحرمة للمعازف والدفوف وغيرها ، إلا ما استثني كما ذكرنا آنفا
”Hadits ini telah membuat kerumitan bagi sebagian orang karena memukul duff (rebana) selain waktu pernikahan dan hari raya adalah kemaksiatan. Dan kemaksiatan itu tidak diperbolehkan dijadikan nadzar dan ditunaikan. Maka yang nampak bagiku adalah bahwa nadzar yang dilakukan oleh budak perempuan tersebut disebabkan kegembiraan karena kedatangan/kepulangan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan selamat, sehat, dan menang. Nabi pun memaafkan penyebab nadzarnya itu untuk meluapkan kegembiraan tersebut. Hal ini sebagai kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk seluruh manusia. Sehingga tidak boleh dijadikan dalil bolehnya memukul rebana pada setiap kegembiraan. Sebab, tidak ada yang lebih menggembirakan dari kegembiraan atas datangnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam” [Silsilah Ash-Shahiihah 4/142 dan At-Tahriim hal. 85].
Asy-Syaikh Al-Albani mengisyaratkan apa yang menjadi pendapatnya tersebut juga tersirat dalam penjelasan Al-Imam Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan (4/382).
Ada juga ulama lain yang membawa hadits Buraidah ini tentang kebolehan menabuh rebana (oleh wanita) karena ada orang yang datang. Dan ini merupakan pendapat dari sebagaian ulama Najd. ’Abdis-Salaam bin Taimiyyah (kakek dari Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah) membawa hadits Buraidah dalam pemahaman ini dimana dalam kitab Al-Muntaqaa min Akhbaaril-Musthafaa beliau meletakkannya dalam Bab : Dlarbun-Nisaa’ bid-Duff li Quduumil-Ghaaibi Wamaa fii Ma’naahu (Bab : Wanita yang Memukul Rebana karena Kedatangan Seseorang atau Alasan yang Semisalnya). Pemahaman dalil ini pun bisa diterima karena takhshish ini menunjukkan pada waktu, yaitu saat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pulang dari salah satu peperangan. Wallaahu a’lam.
Tanbih !
Di jaman sekarang muncullah istilah yang disebut an-nasyid. Sebagian ulama kontemporer membolehkan jika tidak disertai oleh alat musik, tidak berlebihan, tidak mengandung unsur-unsur yang haram. Namun jika dicermati sebagian diantara ulama yang membolehkan an-nasyid dengan model tersebut adalah yang mempunyai sifat seperti syi’ir, rajaz, atau hidaa’ (sebagaimana yang saya pahami dalam salah satu fatwa Asy-Syaikh Al-Albani (dalam kaset yang berjudul : Hukum Nasyid Islamy) dan Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin (yang terdapat dalam kaset Nuur ’alad-Darb no. 337 side B). Jika nasyid tersebut telah dilantunkan dengan gubahan dan aturan-aturan melodi ala Barat, maka dilarang. Tapi ada juga yang membencinya secara tegas seperti Asy-Syaikh Ibnu Fauzan (seperti dalam Majalah Ad-Da’wah edisi 1632, tgl 7 Dzulhijjah 1418 dan dalam Al-Khuthabul-Minbariyyah 3/184-185), Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh (dalam Al-Fataawaa hal. 28), Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri (dalam Iqaamatud-Daliil ’alal-Man’i Minal-Anaasyid) dan yang lainnya.
Kesimpulan :
1. Nyanyian dan musik adalah haram menurut pendapat yang rajih yang didasarkan oleh nash-nash yang shahih.
2. Nyanyian dan musik hanya diperbolehkan pada waktu pernikahan dan hari raya. Bisa juga dilakukan ketika seorang pemimpin atau orang besar datang, menurut salah satu pendapat. Hal itu merupakan satu rukhshah yang dipandang dalam syari’at Islam.
3. Alat yang diperbolehkan untuk dimainkan hanyalah rebana (duff) yang dibawakan oleh perempuan. Laki-laki diharamkan untuk memukul rebana. Tidak diriwayatkan satu pun shahabat dan tabi’in besar yang memukul rebana.
Alhamdulillah selesai....
[Lihat sebelumnya : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-1.html dan http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-musik-dan-nyanyian-2.html].
[1] Kecuali apa yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin Hasan Al-Anbary yang menurutnya tidak apa-apa.
[2] Ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa ahli/penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam hal itu, sebagaimana yang dikatakan Imam Adz-Dzahabi terhadap biografi Yusf bin Ya’qub bin Abi Salamah bin Al-Majisyun : {قلت: أهل المدينة يترخصون في الغناء ، وهم معروفون بالتسمُّح فيه} “Aku berkata : Penduduk Madinah memberikan kelonggaran dalam hal nyanyian. Dan mereka memang dikenal sebagai orang-orang yang longgar dalam masalah ini” [selesai perkataan Adz-Dzahabi]. Maka perlu ditegaskan bahwa ketika disebutkan Ahlul-Madinah, maka di sini tidak termasuk Imam Malik bin Anas sebagai penghulu ulama Ahlul-Madinah.
Sungguh aneh pula apa yang dikatakan oleh Asy-Syaukani yang menukil dari Al-Qaffal bahwa madzhab Imam Malik membolehkan nyanyian dengan musik !
[3] Saya peroleh dari www.saaid.net/books
[4] Perincian rukhshah di sini ada enam keadaan, yaitu (1) Rukhshah dalam menggugurkan kewajiban, (2) Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, (3) Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban, (4) Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, (5) Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, (6) Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban, dan (7) Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perkara yang diharamkan. Semua rukhshah tersebut terbingkai dengan syarat : Adanya udzur syar’i.

