Speaker Tadarusan



Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ، وَقَالَ: أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ، أَوْ قَالَ: فِي الصَّلَاةِ
Dari Abu Sa'iid, ia berkata : "Rasulullah beri'tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur'an)-nya. Kemudian beliau membuka tirai seraya bersabda : 'Ketahuilah, sesungguhnya kalian semua tengah bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian orang mengeraskan suaranya terhadap sebagian yang lain dalam bacaan (Al-Qur'an)’  - atau beliau bersabda : dalam shalatnya’" [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daawud no. 1332, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 7/288-289 no. 8038, Ibnu Khuzaimah 2/190 no. 1162, dan Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/310-311].

عَنْ الْبَيَاضِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ، فَقَالَ: " إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ، فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ، وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ "
Dari Al-Bayaadliy : Bahwasannya Rasulullah pernah keluar menemui orang-orang yang ketika itu mereka sedang shalat, dan suara mereka yang sedang membaca qira’at demikian keras. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya. Perhatikanlah apa yang ia munajatkan itu, dan jangan sebagian kalian mengeraskan bacaan Al-Qur’annya kepada sebagian yang lain” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 1/386-387 no. 185, Ahmad 4/344, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/387-388 no. 3350 & 7/288 no. 8037, dan lain-lain; dishahihkan oleh Saliim Al-Hilaaliy dalam tahqiq dan takhrij-nya terhadap Al-Muwaththa’].
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah ketika menjelaskan perincian mengangkat/mengeraskan suara di masjid, beliau berkata:
أحدهما : أن يكون بذكر الله وقراءة القرآن والمواعظ وتعليم العلم وتعلمه ، فما كان من ذلك لحاجة عموم أهل المسجد إليه ، مثل الأذان والإقامة وقراءة الإمام في الصلوات التي يجهر فيها بالقراءة ، فهذا كله حسن مأمور به . وقد كان النبي ﷺ إذا خطب علا صوته واشتد غضبه كأنه منذر جيش ، يقول : (( صبحكم ومساكم )) ، وكان إذا قرأ في الصلاة بالناس تسمع قراءته خارج المسجد ، وكان بلال يؤذن بين يديه ويقيم في يوم الجمعة في المسجد .
.............
وما لا حاجة إلى الجهر فيه ، فإن كان فيه أذى لغيره ممن يشتغل بالطاعات كمن يصلي لنفسه ويجهر بقراءته ، حتى يغلط من يقرأ إلى جانبه أن يصلي ، فإنه منهي عنه .
وقد خرج النبي ﷺ ليلة على أصحابه وهم يصلون في المسجد ويجهرون بالقراءة ، فقال : (( كلكم يناجي ربه ، فلا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن .
وفي رواية : (( فلا يؤذ بعضكم بعضا ، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة .
خرجه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث أبي سعيد .
وكذلك رفع الصوت بالعلم زائدا على الحاجة مكروه عند أكثر العلماء .......
Jenis Pertama, (mengeraskan suara) dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, nasihat-nasihat, pengajaran ilmu, dan mempelajarinya. Maka mengeraskan suara dalam katagori ini untuk memenuhi kebutuhan umumnya ahli masjid seperti adzan, iqamat, dan qira’at imam dalam shalat-shalat jahr; semua ini bagus lagi diperintahkan. Dulu Nabi apabila berkhuthbah, maka suara beliau meninggi dan kemarahan beliau memuncak seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memperingatkan pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.[1] Apabila beliau membaca qira’at dalam shalat mengimami manusia, maka qira’at-nya tersebut terdengar hingga di luar masjid. Dan Bilaal dulu mengumandangkan adzan dan iqamat di hadapan beliau pada hari Jum’at di dalam masjid.
……..
Adapun sesuatu yang tidak ada kebutuhan untuk mengeraskan suara padanya : Apabila menyakiti/mengganggu orang lain yang sedang melakukan amalan ketaatan seperti misal orang yang shalat sendirian seraya mengeraskan qira’at-nya hingga orang yang membaca qira’ah di sampingnya keliru dalam shalatnya; maka ini terlarang.
Nabi pernah keluar pada suatu malam menemui para shahabat yang sedang melaksanakan shalat di masjid seraya mengeraskan qira’at-nya. Maka beliau bersabda : ‘Kalian semua sedang bermunajat kepada Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian mengeraskan qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Dalam sebagian riwayat : ‘Janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain, dan jangan sebagian kalian mengangkat suara qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy dari hadits Abu Sa’iid.
Begitu juga mengangkat suara dalam perkara ilmu lebih dari kebutuhan adalah makruh menurut jumhur ulama…. [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/397-399].
Beliau rahimahullah melanjutkan :
الوجه الثاني : رفع الصوت بالاختصام ونحوه من أمور الدنيا ، فهذا هو الذي نهى عنه عمر وغيره من الصحابة .
ويشبه : إنشاد الضالة في المسجد ، وفي صحيح مسلم ، عن النبي ﷺ كراهته والزجر عنه ، من رواية أبي هريرة وبريدة .
وأشد منه كراهة : رفع الصوت بالخصام بالباطل في أمور الدين ؛ فإن الله ذم الجدال في الله بغير علم ، والجدال بالباطل ، فإذا وقع ذلك في المسجد ورفعت الأصوات به تضاعف قبحه وتحريمه .
وقد كره مالك رفع الصوت في المسجد بالعلم وغيره . ورخص أبو حنيفة ومحمد بن مسلمة من أصحاب مالك في رفع الصوت في المسجد بالعلم والخصومة وغير ذلك مما يحتاج إليه الناس ؛ لأنه مجمعهم ولا بد لهم منه .
Jenis Kedua, mengangkat suara dengan perdebatan dan semisalnya dari perkara dunia. Maka hal ini adalah perkara yang dilarang ‘Umar[2] dan yang lainnya dari kalangan shahabat.
Dan yang serupa dengannya : mencari barang yang hilang di masjid. Dalam Shahiih Muslim, dari Nabi  tentang penyebutan ketidaksukaan dan celaan beliau terhadap perbuatan tersebut, dari riwayat Abu Hurairah[3] dan Buraidah[4].
Dan kemakruhan yang paling keras : mengangkat suara dengan perdebatan kebathilan dalam perkara agama, karena Allah mencela perdebatan tentang Allah tanpa ilmu dan perdebatan kebathilan. Apabila terjadi perdebatan di masjid dan terangkat (mengeras) suaranya, maka keburukan dan keharamannya menjadi berlipat ganda.
Maalik memakruhkan mengangkat suara dalam urusan ilmu dan yang lainnya. Abu Haniifah dan Muhammad bin Maslamah dari kalangan Maalikiyyah memberikan rukhshah mengangkat suara di masjid untuk urusan ilmu dan perdebatan dalam perkara yang dibutuhkan manusia, karena masjid adalah tempat berkumpul mereka dan hal tersebut tidak dapat dihindari” [idem, 3/399].
Oleh karena itu, bukan termasuk adab dalam membaca Al-Qur’an berlomba-lomba mengeraskan bacaannyanya.
Jika dulu suara qira’at para shahabat yang dilarang Rasulullah adalah suara asli mereka yang hanya terdengar di dalam masjid atau sekitar masjid; lantas bagaimana keadaannya dengan zaman kita sekarang yang suara-suara itu sudah disambung dengan peralatan speaker lengkap dengan amplifier-nya hingga terdengar seantero kampung/desa/kompleks ?.
Banyak orang melakukannya karena niat baik dan semangat menyebarkan syiar-syiar Islam. ‘Tadarusan’, qashidahan, atau bahkan ada yang latihan menjadi penyiar radio dengan alasan membangunkan sahur. Mereka tidak sadar (atau : sadar ?) bahwa apa yang mereka lakukan justru menganggu kaum muslimin yang lain. Dapat Anda bayangkan, betapa meriahnya suara di dalam masjid, sementara mungkin saja ada orang yang sedang membaca dan menghapal Al-Qur’an atau shalat. Atau di luar masjid, banyak orang yang sedang membutuhkan ketenangan di rumahnya karena sedang sakit, belajar, atau aktivitas lainnya.
Ketika qira’at Al-Qur’an diperdengarkan melalui speaker/toa masjid, itu artinya kaum muslimin yang berada di sekitar kompleks masjid tersebut ‘diharuskan’ mendengarkannya karena Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat” [QS Al-A’raaf : 204].
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:
هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب الله يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه.
وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب الله، فإنه ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في دينه، ولهذا رتب الله حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب، فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.
“Perintah ini umum terhadap semua orang yang mendengar Kitabullah dibacakan. Maka, ia diperintahkan untuk istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) dan inshaat (diam). Perbedaan antara istimaa’ dengan inshaat adalah : inshaat (diam) secara dhaahir dilakukan dengan meninggalkan pembicaraan dan kesibukan yang dapat menganggu aktivitasnya dalam mendengarkan/memperhatikan (Al-Qur’an). Adapun istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) Al-Qur’an adalah memasang telinganya, menghadirkan hatinya, dan mentadaburi apa yang didengarkannya. Karena termasuk kelaziman dua perkara ini, ketika Al-Qur’an dibacakan, maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, ilmu yang berlimpah, keimanan yang senantiasa diperbaharui, petunjuk yang terus bertambah, dan bashiirah dalam agamanya. Oleh karena itu, Allah menetapkan diperolehnya rahmat pada keduanya (istimaa’ dan inshaat). Hal itu juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang dibacakan kepadanya Al-Qur’an namun ia tidak mendengarkan/memperhatikannya dan diam, maka dirinya tidak mendapatkan kebaikan sehingga luput baginya kebaikan yang banyak” [Tafsiir As-Sa’diy, 1/314 – via Syaamilah].
Ketika suara tadarusan menggema via speaker/toa masjid, kaum muslimin yang ada di rumah-rumah mereka sedang melakukan aktivitas atau hajatnya yang tidak mungkin dirinya multitasking sambil mendengarkan dan diam terhadap qira’at yang terdengar di speaker/toa masjid.
Tadarusan yang banyak dilakukan kaum muslimin di masjid-masjid pada bulan Ramadlan adalah perbuatan yang baik. Baik pembaca atau yang menyimaknya akan mendapatkan limpahan pahala yang banyak.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Faathir : 29-30].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Orang yang pandai membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi patuh; sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mendapatkan kesulitan padanya, baginya dua pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 798].
Allah ta’ala berfirman:
فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
Maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat ini menjelaskan bahwa mendengarkan kalaamullah menjadi sebab diberikannya petunjuk.
Oleh karena itu, aktivitas tadarusan hendaknya cukup didengarkan di kalangan mereka (pembaca) saja tanpa perlu dikeraskan suaranya dengan speaker/toa hingga keluar masjid. Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki bacaan, maka cukup terdengar dalam halaqah tersebut. Atau jika tujuannya hanya sekedar target mengkhatamkannya saja, maka cukup di dengar oleh Pembacanya saja atau orang di dekatnya yang ingin mendengarkan bacannya.
Bagusnya bacaan Al-Qur'an seseorang, bukan berarti semua orang harus diperdengarkan suaranya. Ada adab di sana yang telah diajarkan Nabi kita. Insyaallah, itu lebih baik dan lebih sempurna.
Apalagi jika sampai dendang qashidahan dan latihan menjadi penyiar, ini malah lebih jelas kemunkaran dab keharamannya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 15 Ramadlaan 1439].


[1]    Hadits dimaksud adalah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: " صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ "، وَيَقُولُ: " بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى "، وَيَقُولُ: " أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "، ثُمَّ يَقُولُ: " أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
 Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak hingga seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memberikan peringatan kepada pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.’ Beliau bersabda :’Aku diutus sedangkan (jarak) antara aku dengan hari kiamat (adalah) seperti dua hal ini’. Beliau menunjukkan dua jarinya : jari telunjuk dan jari tengah. Beliau melanjutkan : ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Kemudian beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya. Dan barangsiapa yang mati dsalam keadaan meningalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka itu adalah tanggungjawabku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
[2]    Yaitu riwayat:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: " لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ "
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : Ketika aku berdiri di dalam masjid, tiba-tiba ada seseorang yang melemparku dengan kerikil, yang ternyata orang itu adalah 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Umar) berkata : “Pergilah dan bawalah dua orang ini kepadaku". Maka aku pun datang dengan membawa dua orang tersebut. ‘Umar berkata : "Siapakah kalian berdua?" – atau ‘Umar berkata : "Dari mana kalian berdua berasal?". Keduanya menjawab : "Kami berasal dari penduduk Thaaif". 'Umar berkata : "Sekiranya kalian dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya aku akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah meninggikan suara di masjid Rasulullah " [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 470].
[3]    Riwayatnya adalah:
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang mendengar seseorang mencari-cari barang hilang di masjid, maka katakanlah : ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 568].
[4]    Riwayatnya adalah:
عَنْ بُرَيْدَةَ ، أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الأَحْمَرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ "
Dari Buraidah : Bahwasannya ada seseorang yang mencari-cari (barang hilang) di masjid. Ia berkata : “Siapa yang dapat mendapati onta merah (yang hilang) ?. Maka Nabi bersabda : “Semoga engkau tidak mendapatkannya, karena masjid-masjid dibangun hanyalah tujuan khusus dibangunnya masjid (yaitu berdzikir kepada Allah, shalat, ilmu, mudzakarah, dan yang lainnya – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 569].

Comments

Anonim mengatakan...

Baru kemaren mengalami lagi sakit gigi tapi tadarusannya ga berhenti-henti sampai pukul 11 malam, rasanya nyut2an parah.
serasa dilema marah sama orang lagi ngaji