Shalat Sunnah Dua Raka’at Sebelum Shubuh/Fajr



Banyak shalat sunnah yang dapat dikerjakan seorang muslim untuk menambah perbendaharaan amal shalih dan penambal kekurangsempurnaan shalat wajibnya[1]. Diantara shalat sunnah yang mempunyai keutamaan besar adalah shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr.
Allah ta’ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)” [QS. Ath-Thuur : 49].
Sebagian salaf menafsirkan wa idbaaran-nujuum adalam ayat di atas adalah shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh.

حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، عَنْ أَبِي الْعَنْبَسِ، عَنْ زَاذَانَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ، قَالَ: " وإِدْبَارَ النُّجُومِ: رَكْعَتَانِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَأَدْبَارَ السُّجُودِ: رَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, dari Abul-‘Anbas (yaitu : Sa’iid bin Katsiir At-Taimiy), dari Zaadzaan, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar (bin Al-Khaththaab) radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Wa idbaaran-nujuum (dan di waktu terbenam bintang-bintang) (QS. Ath-Thuur : 49), maksudnya adalah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, dan ‘wa adbaaras-sujuud’ (dan setiap selesai sujud/shalat) (QS. Qaaf : 40), maksudnya dua raka’at setelah Maghrib” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/615 no. 8838; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ، يَقُولُ: " وَإِدْبَارَ النُّجُومِ: الرَّكْعَتَانِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَأَدْبَارَ السُّجُودِ: الرَّكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Yaziid bin Ibraahiim, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan (Al-Bashriy) berkata : “Wa idbaaran-nujuum (dan di waktu terbenam bintang-bintang) (QS. Ath-Thuur : 49), maksudnya adalah dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, dan ‘wa adbaaras-sujuud’ (dan setiap selesai sujud/shalat) (QS. Qaaf : 40), maksudnya dua raka’at setelah Maghrib” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/614 no. 8834; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا بِشْرٌ قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ قَوْلَهُ: وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ: كُنَّا نُحَدَّثُ أَنَّهُمَا الرَّكْعَتَانِ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)’ (QS. Ath-Thuur : 49), ia berkata : “Kami mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah dua raka’at ketika terbit fajar” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 22/491; sanadnnya shahih].
Beberapa hadits yang menjelaskan disunnahkannya shalat dua raka’at sebelum Shubuh, diantaranya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Tidak ada shalat sunnah yang lebih Nabi jaga (untuk mengerjakannya) dibandingkan dua raka’at (sebelum) Shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1163 dan Muslim no. 724].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ الْعِشَاءَ، ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَرَكْعَتَيْنِ جَالِسًا وَرَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءَيْنِ، وَلَمْ يَكُنْ يَدَعْهُمَا أَبَدًا "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi shalat ‘Isyaa’, kemudian shalat delapan raka’at, dua raka’at sambil duduk, serta dua raka’at antara adzan dan iqamat (di waktu Shubuh) - dan beliau tidak pernah meninggalkan dua raka’at (shalat antara adzan dan iqamah Shubuh) tersebut” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1159].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ إِلَى شَيْءٍ مِنَ الْخَيْرِ أَسْرَعُ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَلا إِلَى غَنِيمَةٍ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Aku tidak pernah melihat Rasulullah lebih bersegera menuju kebaikan daripada mengerjakan dua raka’ar sebelum Shubuh/Fajr, dan tidak pula kepada ghanimah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/160-161 no. 1108; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib 1/379 no. 582].
Hingga ketika safar pun, Nabi tidak luput untuk mengerjakannya.
عَنْ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ، قَالَ: " كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَنَامَ عَنِ الصُّبْحِ، حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَاسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: تَنَحَّوْا عَنْ هَذَا الْمَكَانِ، قَالَ: ثُمَّ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ ثُمَّ تَوَضَّئُوا وَصَلَّوْا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، ثُمَّ أَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَصَلَّى بِهِمْ صَلَاةَ الصُّبْحِ
Dari ‘Amru bin Umayyah Adl-Dlamriy, ia berkata : “Kami pernah bersama Rasulullah di sebagian safarnya. Suatu ketika beliau tertidur dari shalat Shubuh hingga matahari terbit. Maka Rasulullah bangun lalu bersabda : ‘Berpindahlah dari tempat ini’. Kemudian beliau memerintahkan Bilaal untuk mengumandangkan adzan, lalu mereka berwudlu dan mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr. Setelah itu, beliau memerintahkan Bilaal mengumandangkan iqamat, dan beliau shalat Shubuh berjama’ah mengimami mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 444; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/131-132].
Tidaklah Nabi konsisten melakukan amalan dan senantiasa menjaganya kecuali amalan tersebut mempunyai keutamaan yang sangat besar.
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: " رَكْعَتَا الْفَجْرِ، خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا "
Dari ‘Aaisyah, dari Nabi , beliau bersabda : “Dua raka’at (sebelum) Shubuh lebih baik daripada dunia dan seisinya[2]” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 725, At-Tirmidziy no. 416, An-Nasaa’iy no. 1759, dan lain-lain].
Karena, dunia dan kenikmatannya bersifat fana yang tidak lepas dari kesukaran dan kepayahan; sedangkan pahala shalat sunnah tersebut kekal dan tidak akan memudar  [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/454 – via Syaamilah].
Barangsiapa yang – qadarullah – terlambat bangun shalat Shubuh hingga matahari terbit, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat sunnah ini sebelum shalat Shubuh sebagaimana riwayat ‘Amru bin Umayyah Adl-Dlamriy radliyallaahu ‘anhu di atas.
Barangsiapa yang terluput mengerjakannya sebelum shalat Shubuh, maka diperbolehkan mengqadlanya setelah shalat Shubuh.
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: رَأَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَجُلًا يُصَلِّي بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " صَلَاةُ الصُّبْحِ مَرَّتَيْنِ.؟ " فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا فَصَلَّيْتُهُمَا الْآنَ، فَسَكَتَ "
Dari Qais bin ‘Amru, ia berkata : Rasulullah melihat seorang laki-laki mengerjakan shalat dua raka’at setelah shalat Shubuh. Maka Rasulullah bersabda : “Apakah shalat Shubuh dua kali ?”. Orang tersebut berkata : “Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat sunnah sebelum Shubuh, sehingga aku mengerjakannya sekarang”. Beliau pun diam (membiarkannya) [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 422, Abu Daawud no. 1267, Ibnu Maajah no. 1154, Ibnu Abi Syaibah 3/166 no. 6498, dan lain-lain; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/347-348].
Meskipun boleh dikerjakan setelah shalat Shubuh, lebih utama dikerjakan setelah terbit matahari[3].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr, hendaklah ia mengerjakannya setelah terbit matahari” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 423 dan Ibnu Khuzaimah 2/165 no. 1117; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/244].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوَانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: " أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْقَوْمِ وَهُمْ فِي الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَكُنْ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ، فَدَخَلَ مَعَهُمْ، ثُمَّ جَلَسَ فِي مُصَلَّاهُ، فَلَمَّا أَضْحَى، قَامَ فَقَضَاهُمَا
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Fudlail bin Ghazwaan, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia (Ibnu ‘Umar) pernah datang datang kepada satu kaum yang sedang mengerjakan shalat. Waktu itu, Ibnu ‘Umar belum mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (sebelum Shubuh). Ia langsung masuk bergabung dengan mereka (shalat berjama’ah), setelah itu ia duduk di tempat shalatnya. Ketika tiba waktu Dluhaa, ia mengqadlanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/167 no. 6503; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ، يَقُولُ: " لَوْ لَمْ أُصَلِّهِمَا حَتَّى أُصَلِّيَ الْفَجْرَ صَلَّيْتُهُمَا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ "
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Yahyaa bin Sa’iid (Al-Anshaariy), ia berkata : Aku mendengar Al-Qaasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq) berkata : “Seandainya aku belum mengerjakannya (dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr) hingga aku shalat Shubuh, maka aku mengerjakannya setelah terbit matahari” [idem, no. 6502; sanadnya shahih].
Shalat sunnah sebelum Shubuh/Fajr bukan sesuatu yang berat, karena ia merupakan dua raka’at yang ringan/ringkas. Ini adalah sunnahnya dari Nabi .
عَنْ حَفْصَة أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ، وَبَدَا الصُّبْحُ، رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ
Dari Hafshah Ummul-Mukminiin : Bahwasannya Rasulullah apabila muadzdzin telah selesai mengumandangkan adzan shalat Shubuh dan masuk waktu Shubuh, beliau mengerjakan dua raka’at ringan sebelum melaksanakan shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 618 dan Muslim no. 723].
عَنْ عَائِشَةَ : كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari ‘Aaisyah : Nabi biasa mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ringan antara adzan dan iqamat shalat Shubuh [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 619 dan Muslim no. 724].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ، حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi biasa meringankan shalat sunnah dua raka’at yang beliau kerjakan sebelum shalat Shubuh hingga aku berkata : ‘Apakah beliau membaca Al-Faatihah ?” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1165].
Saking ringkasnya, sebagian ulama ada yang berpendapat cukup membaca Al-Faatihah saja. Abul-‘Abbaas Al-Qurthubiy rahimahullah berkata:
واستحب مالك الاقتصار على أم القرآن على ظاهر حديث عائشة رضي الله عنها
“Maalik menyunnahkan untuk meringkas bacaan hanya Ummul-Qur’aan (Al-Faatihah) saja berdasarkan dhaahir hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa” [Al-Mufhim, 2/263].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy rahimahullah mengatakan hal serupa:
وَاسْتُدِلَّ بِحَدِيثِ الْبَاب عَلَى أَنَّهُ لَا يَزِيد فِيهِمَا عَلَى أُمّ الْقُرْآن وَهُوَ قَوْل مَالِك
“Dan berdasarkan pendalilan dengan hadits dalam bab ini (yaitu hadits ‘Aaisyah) bahwa tidak menambahkan bacaan apapun dalam dua raka’at tersebut selain dari Ummul-Qur’an (Al-Faatihah). Ini adalah pendapat Maalik” [Fathul-Baariy, 3/47].
Namun ini kurang tepat, karena telah shahih dalam beberapa hadits bahwa Nabi membaca surat atau ayat pendek setelah Al-Faatihah:
1.    Membaca QS. Al-Kaafiruun pada raka’at pertama dan QS. Al-Ikhlash pada ayat kedua.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah membaca qul yaa ayyuhal-kaafiruun (QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash) ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr [Diriwayatkan oleh Muslim no. 726, Abu Daawud no. 1256, An-Nasaa’iy no. 945, dan Ibnu Maajah no. 1148].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " رَمَقْتُ النَّبِيَّ ﷺ شَهْرًا فَكَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ بِ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Aku memperhatikan Nabi selama sebulan, maka beliau senantiasa membaca qul yaa ayyuhal-kaafiruun (QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash) ketika mengerjakan shalat dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 417, An-Nasaa’iy no. 992, dan Ibnu Maajah no. 833 & 149; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/239].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُخْفِي مَا يَقْرَأُ فِيهِمَا، وَذَكَرَتْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ".قَالَ سَعِيدٌ: فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah memelankan surat yang beliau baca padanya”. Lalu ‘Aaisyah menyebutkan qul yaa ayyuhal-kaafiruun (QS. Al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (QS. Al-Ikhlaash). Sa’iid (yaitu perawi yang membawakan hadits ini – Abul-Jauzaa’) berkata : “(Yaitu) dalam dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 1482; shahih].
2.    Membaca QS. Al-Baqarah ayat 136 pada raka’at pertama:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya"
dan QS. Aali ‘Imraan ayat 52 pada raka’at kedua:
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Maka ketika Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ ابْن عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فِي الأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ، وَفِي الآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ "
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr membaca di raka’at pertama ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami) yang terdapat dalam Al-Baqarah (ayat 136), dan di raka’at kedua ‘aamannaa billaahi wasy-had bi-annaa muslimuun’ (Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri)[4] (QS. Aali ‘Imraan : 52) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 727].
3.    Membaca QS. Al-Baqarah ayat 136 pada raka’at pertama sebagaimana di atas, dan pada raka’at kedua membaca QS. Aali ‘Imraan ayat 53:
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".
Dalilnya adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي السَّجْدَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، فِي السَّجْدَةِ الأُولَى قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ الآيَةَ، وَفِي السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ: رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ketika mengerjakan dua raka’at sebelum Shubuh/Fajr, pada raka’at pertama membaca ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila ilaa ibraahiim’ (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim) (QS. Al-Baqarah : 136) dan pada raka’at kedua ‘rabbanaa aamannaa bimaa unzilat wat-taba’nar-rasuula wak-tubnaa ma’asy-syaahidiin’ (Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)) (QS. Aali ‘Imraan : 53) [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/298 no. 1772, Abu Daawud no. 1260, dan Al-Baihaqiy 3/43 no. 4877; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/345-346].
Oleh karena itu, hadits ‘Aaisyah (yang diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1165 di atas) merupakan bentuk mubaalaghah betapa ringkasnya shalat sunnah yang dilakukan Nabi , berbeda dengan shalat-shalat beliau yang lain[5].
Lebih utama seseorang membaca beberapa variasi bacaan yang dicontohkan Nabi di atas dalam rangka mengamalkan semua sunnah beliau . Satu waktu membaca yang ini, di waktu lain membaca yang itu.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 13 Ramadlaan 1439 H].



[1]    Nabi bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ أَكْمَلَهَا كُتِبَتْ لَهُ نَافِلَةً، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَكْمَلَهَا قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِمَلَائِكَتِهِ: انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَأَكْمِلُوا بِهَا مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَتِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ
Amalan hambah yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila ia menyempurnakannya, akan ditulis baginya (pahala) nafilah. Namun apabila ia tidak menyempurnakannya, maka Allah subhaanahu wa ta’ala berkata kepada malaikat : ‘Lihatlah, apakah engkau dapatkan pada hambaku amalan shalat sunnah (tathawwu’) ?. Sempurnakanlah shalat (wajib) yang ia luput (mengerjakannya) dengan shalat sunnah tersebut’. Kemudian amalan-amalan lain diperlakukan seperti itu” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 864, Ibnu Maajah no. 426, An-Nasaa’iy no. 466, dan lain-lain; shahih].
Oleh karena itu, Rasulullah senantiasa berusaha melakukan shalat sunnah yang beliau mampu dan menganjurkan hal itu kepada umatnya.
عَنْ رَبِيعَة بْن كَعْبٍ الأَسْلَمِيُّ، قَالَ: " كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ، فَقَالَ لِي: سَلْ، فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ، بِكَثْرَةِ السُّجُودِ "
Dari Rabii’ah bin Ka’b Al-Aslamiy, ia berkata : “Aku pernah bermalam bersama Rasulullah . Maka, aku pun mengambilkan air wudlu beliau dan keperluan beliau . Beliau bersabda kepadaku : “Mintalah”. Aku berkata : “Aku minta kepadamu untuk dapat menemanimu di surga”. Beliau bersabda : “Adakah selainnya ?”. Aku menjawab : “Itu saja”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, tolonglah aku atas dirimu agar engkau memperbanyak sujud (shalat)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 489].
[2]    Apabila dunia dan seisinya tidak lebih berharga di mata Rasulullah dibandingkan shalat sunnah sebelum Shubuh/Fajr, lantas bagaimana keutamaan shalat Shubuh berjama’ah bersama kaum muslimin di masjid ?. Tentu keutamaannya jauh lebih besar lagi.
[3]    Al-Baghawiy rahimahullah menjelaskan:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَنْ صَلَّى فَرْضَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، مَتَى يَقْضِيهِمَا؟ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيهِمَا بَعْدَ فَرْضِ الصُّبْحِ ، وَبِهِ قَالَ عَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ ابْنُ جُرَيْجٍ، وَالشَّافِعِيُّ.
وَقَالَ قَوْمٌ: يَقْضِيهِمَا بَعْدَ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ، وَبِهِ قَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَرُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَاتَتْهُ رَكْعَتَا الْفَجْرِ، فَصَلاهُمَا بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الأَوْزَاعِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ.
وَقَالَ مَالِكٌ: يَقْضِيهِمَا ضُحًى إِلَى وَقْتِ الزَّوَالِ، وَلا يَقْضِيهِمَا بَعْدَهُ، وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ، وَيَحْتَجُّونَ بِحَدِيثٍ غَرِيبٍ يُرْوَى عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ ".
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang telah mengerjakan shalat fardlu Shubuh sebelum mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, kapan ia mesti mengqadlanya ?. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwa ia mengerjakannya setelah selesai shalat Shubuh. Pendapat ini dipegang oleh ‘Athaa’, Thaawuus, Ibnu Juraij, dan Asy-Syaafi’iy.
Sekelompok ulama lain berpendapat : mengqadlanya setelah matahari meninggi/naik. Pendapat ini dipegang oleh Al-Qaasim bin Muhammad. Diriwayatkan dari Maalik, telah sampai kabar kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar luput mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, lalu ia mengerjakannya setelah terbit matahari. Pendapat ini dipegang oleh Al-Auzaa’iy, Ibnul-Mubaarak, Ats-Tsauriy, Ahmad, Ishaaq, dan ashhaabur-ra’yi.
Maalik berkata : Mengqadlanya pada waktu dluhaa hingga waktu zawaal, dan tidak boleh mengqadla setelah waktu tersebut. Ini adalah satu pendapat dari Asy-Syaafi’iy. Mereka berhujjah dengan hadits ghariib yang diriwayatkan dari Basyiir bin Nahiik, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : ‘Barangsiapa yang belum mengerjakan dua raka’at shalat sunnah Fajr, hendaklah ia mengerjakannya setelag terbit matahari” [Syarhus-Sunnah, 2/392].
[4]    Dalam riwayat lain:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا، وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ، تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ".
 Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah ketika mengerjakan shalat dua raka’at (sebelum) Shubuh/Fajr membaca ‘quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa (Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami) yang terdapat dalam Al-Baqarah (ayat 136), dan ayat yang terdapat dalam Aali ‘Imraan (ayat 64): ‘ta’aalau ilaa kalimatin sawaa’ bainanaa wa bainakum (Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 727].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 3/147 no. 6393, Ibnu Khuzaimah no. 1115, Al-Haakim 1/307, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 1647, dan Al-Baihaqiy 3/42 no. 4876; semuanya dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Sa’iid bin Yasaar, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’. Dalam riwayat ini, ayat yang dibaca pada raka’at kedua adalah QS. Aali ‘Imraan ayat 64.
Abu Khaalid Al-Ahmar menyelisihi:
a.    Marwaan bin Mu’aawiyyah Al-Fazaariy; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim no. 727, An-Nasaa’iy dalam Al-Mujtabaa no. 944 dan dalam Al-Kubraa 1/487 no. 1018 & 10/89 no. 11093, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/298 no.1771, Al-Baihaqiy 3/42 no. 4875), dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 1646
b.    Ibnu Numair; sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 1/230
c.     Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1259, Abu ‘Awaanah dalam Musnad-nya no. 2162, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab 1/525 no. 705, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 24/43
d.    ‘Iisaa bin Yuunus; sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Talkhiish Al-Mutasyaabih 2/801
yang semuanya meriwayatkan dari ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Sa’iid bin Yasaar, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’ dengan menyebutkan ayat yang dibaca pada raka’at kedua adalah QS. Aali ‘Imraan ayat 52.
Marwaan bin Mu’aawiyyah (tsiqah lagi haafidh), Ibnu Numair (tsiqah shaahibul-hadiits), Zuhair bin Mu’aawiyyah (tsiqah lagi tsabat), dan ‘Iisaa bin Yuunus (tsiqah lagi ma’muun) adalah para perawi yang jauh lebih unggul riwayatnya dari Abu Khaalid Al-Ahmar (shaduuq).
Maka, penyebutan QS. Aali ‘Imraan ayat 64 pada ayat kedua adalah kekeliruan Abu Khaalid.
Wallaahu a’lam.
[5]    An-Nawawiy rahimahullah berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى الْمُبَالَغَةِ فِي التَّخْفِيفِ ، وَالْمُرَادُ الْمُبَالَغَةُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى عَادَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِطَالَةِ صَلَاةِ اللَّيْلِ وَغَيْرِهَا مِنْ نَوَافِلِهِ ، وَلَيْسَ فِيهِ دَلَالَةٌ لِمَنْ قَالَ لَا تُقْرَأُ فِيهِمَا أَصْلًا
“Hadits ini (yaitu hadits ‘Aaisyah) merupakan dalil atas mubaalaghah dalam meringankan (shalat). Dan yang dimaksud dengan mubaalaghah dinisbatkan pada kebiasaan beliau yang suka memanjangkan shalat malam dan yang lainnya dari shalat-shalat sunnah. Tidak ada dalil dalam hadits tersebut bagi orang yang berpendapat tidak membaca surat pada kedua raka’at” [Syarh Shahiih Muslim, 6/4].

Comments